Untuk mengucap terima
kasih kepada Mama saya, bagi saya pribadi terasa lebih mudah.
Mama yang sabar, baik
hati, hampir tidak pernah melarang-larang saya dari kecil.
Malah beliau yang banyak
memberikan lampu hijau atas aktivitas yang ingin saya kerjakan.
Sebagai Ibu dari lima orang anak, tentunya tidak mudah
mengurusi semuanya.
Ditambah Mama juga menjaga toko, membantu Papa dalam usahanya demi ngebulnya dapur.
Ditambah Mama juga menjaga toko, membantu Papa dalam usahanya demi ngebulnya dapur.
Boleh dikatakan saya
mengalami masa kecil yang cukup membahagiakan…
Rata-rata apa yang saya
dambakan, cukup.
Tercapai.
Mama memberikan saya
kursus Bahasa Inggris…
Juga memperbolehkan saya
ikut Aerobik, Les Organ, tidak ada larangan berarti…
Berbeda dengan Papa.
Papa cukup keras dan
berprinsip.
Sering kali prinsipnya
berseberangan dengan saya.
Pernah satu kali saya
sangat tertarik dengan ikut Aerobik.
Papa bilang, “Jangan!”
Dengan alasan tidak
boleh saya campur dengan laki-laki dalam kelasnya.
Padahal kelasnya cewek
semua.
Akhirnya dengan mediasi
dan persuasi Mama, saya diperbolehkan ikutan.
Asyikkkk!
Terima kasih, Papa…!
Belum lama ini, saya
membaca postingan seorang sahabat tentang anaknya yang tampil dengan permainan
piano yang memukau.
Dia lalu berkisah bahwa
mereka tidak punya piano di rumah.
Jadi Si Gadis menunggu saat kelarnya Kebaktian di Gerejanya, lalu belajar piano di sana.
Jadi Si Gadis menunggu saat kelarnya Kebaktian di Gerejanya, lalu belajar piano di sana.
Luar biasa, bukan?
Ini sedikit banyak
mengingatkan saya pada kejadian sekitar umur 10 tahun dulu…
Saya punya keinginan
belajar Organ.
Tapi karena mahal dan
khawatir saya hanya ‘hangat-hangat tahi ayam’ belaka…
Papa tidak mengizinkan
saya membeli alat musik itu.
Tapi saya boleh Kursus
Organ di Swara Indah-Kolonel Atmo, Palembang.
Dan saya harus datang
seminggu dua kali.
Satu kali untuk kursus,
satu kali lagi untuk latihan sendiri.
Diberi izin oleh Pemilik
kursus yang adalah teman Papa.
Papaku gitu-gitu adalah
Wedding Singer dan sempat punya band di Palembang.
Dan itu setidaknya
menurun di aku.
Yang belum tercapai
hanyalah keinginan beliau untuk rekaman, sampai beliau berpulang di tahun 1993
itu belum terwujud.
Setelah menunjukkan
keseriusanku…
Akhirnya Organ itu
dibelikan juga…
Aku belajar tidak terlalu
lama, lalu ganti guru…
Di mana Guru berikut
yang juga teman Papa yang mengarahkan aku lebih ke Musik Pop.
Aku diajar untuk bisa
mendengar dan mencari notasi lagu yang kusuka.
Hanya karena Organ, jadi
tangan kiri-ku hanya pegang ‘chord’, tidak terlalu lancar menggerakkannya
seperti piano…
Sekarang di rumah, hanya
punya ‘keyboard’.
Yang sesekali kumainkan,
jika sedang kangen.
Pernah mencipta satu
lagu rohani, dari bekal permainan Organ dulu…
Ketika aku menoleh ke
belakang…
Aku bersyukur untuk
Papaku…
Bukan hanya aku
bersyukur karena sudah berdamai dengan Papa sebelum beliau berpulang selamanya 26
tahun yang lalu…
Terlebih untuk izinnya,
memperbolehkan aku belajar banyak hal yang kemudian menjadi pengalaman berharga
yang kusyukuri sampai detik ini…
Dan setelah menjadi
orangtua, menjadi seorang Mama…
Aku sadar, tidak mudah
jadi orangtua untuk membesarkan anak dengan baik…
Terlepas dari segala
kekuranganku, juga kekurangan Papa…
Tak kurang rasa syukurku
atas Papaku.
Papa yang Tuhan pilihkan
bagiku.
Kita memang tidak
sempurna, tetapi kita selalu belajar untuk lebih baik hari lepas hari, bukan,
Pa?
Our relationship was
beautifully imperfect…
Indah dalam
ketidaksempurnaannya…
Terima kasih, Papa…
I know you’ll be happy
up there, Pa!
Aku tetap doakan Papa
dan semoga Papa pun mendoakan kami semua di sini…
Proudly say...
“I’m thankful to be your
daughter!”
Aku bangga jadi anakmu.
Singapura, 28 September
2019
Fonny Jodikin