Saturday, November 14, 2009

There’s No Free Lunch



*** Belajar dari ‘FarmVille’, bagian ketiga

Di permainan ‘FarmVille’, saya belajar banyak hal. Salah satunya yaitu : untuk sukses, harus kerja keras. Untuk memperoleh penghasilan berupa koin dan kenaikan level, saya harus bekerja. Menanami ladang, memanen pohon, memerah susu, mengumpulkan ‘wool’ domba, rambut kuda, juga bulu kelinci. Belum lagi ternak lain semisal babi, ayam, dan bebek juga harus diurusi. Pohon pun macam-macam : ‘olive tree, fig tree, maple tree, lemon tree, orange tree, plum tree, cherry tree, date tree’ dan masih ada beberapa jenis pohon lainnya. Menanam ladang pun dengan macam-macam tanaman tergantung tingkatan saya di permainan itu. Kadang menanam anggur, tomat, ‘raspberry’, ‘blueberry’. Kadang menanam beras, kapas, dan kedelai. Kadang menanaminya pula dengan bunga tulip ataupun bunga mawar. Dari menanam, menunggu, dan memanen, saya mengerti bahwa hasil akan saya dapatkan nantinya. Dalam istilah yang sering kita dengar dan sering kali dipakai: ‘There’s no free lunch ‘

Ketika saya cari di internet, ternyata istilah ini berasal dari istilah Milton Friedman dengan penjelasan sebagai berikut:

Nobel-prize winning Chicago-school economist Milton Friedman is famous for saying, "There is no such thing as a free lunch." Sci-fi novelist Robert Heilein also used the phrase in his book "The Moon is a Harsh Mistress."

The term means that nothing is free, and if something seems free, it's just that you're getting charged through a back-door means; e.g., a bar might offer you a free lunch but you pay for it in the price of drinks.

More likely is that it may be free to for some people, but someone else is picking up the tab.

(http://wiki.answers.com/Q/Who_said_'there_is_no_free_lunch')

Menurut Wiki Answers, istilah tersebut berarti: tidak ada yang gratis. Dan bila sesuatu kelihatannya gratis, hanyalah kamu dikenakan pembayaran di belakang nanti. Setidaknya harus membayar sesuatu. Misalnya di satu bar yang menawarkan makan siang gratis, tetapi kita membayar makan siang yang gratis itu dalam harga minumannya.

Kalau istilah itu diterapkan dalam kehidupan ini, cocok juga ternyata. Dan rasanya cukup tepat. Kalau mau sukses, silakan bekerja keras. Dan nantikan upahnya dari kehidupan, dari Sang Maha Kuasa, yang pasti juga akan satu saat memberikan yang terbaik bagi mereka yang sudah bekerja keras. Belum lagi kerja keras banting tulang itu dibarengi dengan meninggalkan keluarga (harus terpisahnya suami dan istri karena suami bekerja di lain kota, sementara istri harus membesarkan anak di kota lainnya), dimaki-maki atasan setiap hari, dijelek-jelekkan rekan sekerja, menjadi korban fitnah, ditipu rekan bisnis, dan sebagainya. Cari uang memang bukan perkara mudah. Ada pula orang-orang yang tengah berusaha, masih terus berusaha, tetapi belum juga berhasil. Ada yang patah semangat lalu berhenti dan tidak mau usaha lagi. Ada yang sebaliknya, malah semakin giat berusaha seolah tak lagi peduli apa pun hasilnya nanti yang penting tidak menyerah. Ada yang tetap berusaha sambil berharap, walaupun kesannya cenderung pasrah, namun orang-orang semacam ini menjadi orang yang lebih mempercayakan hidupnya kepada penyelenggaraan Tuhan sendiri. Karena mereka merasa bagian mereka hanyalah bekerja keras dan tidak menjadi pribadi yang malas plus dibarengi doa, sementara masalah hasil, mereka serahkan kepada yang di atas.

Intinya, memang tidak ada yang gratis di dunia ini. Lalu, mungkin sebagian dari kita pernah melihat bahwa ada saja orang-orang yang tampaknya beruntung. Yang tidak perlu kerja keras, tetapi ongkang-ongkang kaki jadi bos suatu perusahaan. Hanya karena dia anak Si Pemilik perusahaan. Hanya karena dia saudara dekat Si Pemilik, hanya karena dia menantu dari adik pemilik. Dan seterusnya. Karena relasi, karena nepotisme yang walaupun tidak layak menempati posisi tertentu di satu perusahaan, namun jabatan itu berhasil disandang. Dengan tidak mengurangi hormat saya pada mereka yang memang layak duduk di satu posisi tertentu walaupun mereka adalah juga anak pemiliki perusahaan ataupun berhubungan keluarga dekat dengan pemilik, namun tidak jarang saya pun menyaksikan banyak yang tidak pantas duduk di satu posisi tertentu. Cenderung hanya karena relasi saja. Tentu saja kita tidak perlu iri dengan hal-hal semacam ini. Protes? Iya, mungkin saja kita protes keras. Tetapi untuk sampai level iri, perlukah? Kalau kita telaah lebih lanjut, hubungan kekeluargaan bisa berakhir (dalam arti Si A yang menikahi putri pemilik perusahaan dan mendapatkan jabatan Direktur perusahaan tersebut, akan sangat mungkin kehilangan pekerjaan dan mata pencahariannya yang bergengsi itu tatkala dia bercerai dengan istrinya). Belum lagi, hidup manusia yang terbatas, suatu saat juga akan berhadapan dengan kematian. Si Pemilik suatu saat akan meninggal dan tergantikan dengan anak-cucunya yang kalau mampu mengelola perusahaan dengan baik akan dapat bertahan, tetapi kalau tidak, tentunya akan habis juga. Entah dijual, entah dijaminkan ke bank tanpa mampu membayar pinjaman tersebut, entah bangkrut. Entah…

Walaupun mungkin saja keberhasilan terus mengayomi suatu bisnis tertentu yang dijalankan turun-temurun, suatu saat itu semua akan berganti. Roda hidup naik-turun. Tidak selamanya orang itu berada di atas, tidak selalu pula dia berada di bawah. Jadi, kesiapan diri untuk menghadapi berbagai perubahan itu yang lebih diperlukan.

Akan sama halnya dengan mereka yang mendadak sukses dan kaya-raya karena mendapatkan lotere ataupun undian. Di Singapura, melihat antrian orang yang membeli nomor di ‘Singapore Pool’ sudah jadi makanan sehari-hari. Tidak hanya di mal, namun di pasar-pasar tradisional atau yang biasa dikenal dengan ‘wet market’ di bilangan ‘Housing Development Board’ pun banyak ditemui penjualan nomor resmi pemerintah. Di Indonesia pun, berapa banyak penggerebekan polisi terhadap perjudian gelap. Belum lagi perjalanan ke Genting Highlands di Malaysia yang dipenuhi ‘casino’ yang memang surga bagi para penggemar perjudian, semakin membuka mata saya. Banyak orang punya mimpi : hidup enak tanpa kerja keras. Siapa pun rasanya tidak akan menolak jika bernasib baik seperti itu. Tetapi, sekaligus saya disadarkan bahwa memiliki hasil undian tanpa kemampuan mengelolanya dengan baik, lama-lama pasti habis juga. Uang seberapa banyak pun kalau dipakai dengan boros dan dihambur-hamburkan dengan sesuka hati, pasti cepat pula habisnya.

Istilah ‘there’s no free lunch’ mengingatkan saya kembali: untuk bekerja keras dalam hidup ini. Karena tidak ada yang gratis. Semua perlu usaha dan tetesan keringat dalam mencapainya. Dan ketika sukses mengetuk pintu bagi mereka yang sudah bekerja keras dan mungkin menahan tangis menunggu kesuksesan itu datang, tentunya mereka bisa berbangga sekaligus berbahagia. Karena mereka memang pantas mendapatkannya. Karena memang mereka sudah memperjuangkan sekian lama. Karena mereka sudah berdoa siang dan malam. Karena mereka sudah pernah menangis putus asa. Namun, mereka berbalik kembali percaya dalam iman kepada-Nya. Kembali bekerja lebih keras dan menemukan ide-ide yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Kalau di ‘FarmVille’ banyak orang rajin main permainan ini. Banya orang terbius dengan permainan ini, namun bagaimana jika membawanya kepada tingkat kerajinan yang sama dalam hidup. Dalam mengejar impian, dalam mengejar ‘passion’ dari relung hati yang tak pernah mati, dalam pekerjaan yang menjadi tanggung jawab sehari-hari. Tetap berusaha dengan giat bekerja walaupun hasil belum terlihat nyata. Dan suatu saat sukses akan tersenyum dan datang ke pintu Anda. Dan dengan bangga Anda berkata, “ Terima kasih, Tuhan! Ini anugerah-Mu lewat pertahanan imanku dan kerja kerasku. “

HCMC, 14 November 2009

-fon-

* yang tidak begitu ketagihan FarmVille lagi. Sedikit bosan, tapi tetap main juga sebagai selingan : )


sumber gambar:

No comments:

Post a Comment