Sunday, October 23, 2011

Genggam Tanganku


Genggam Tanganku

Wanita itu sudah bukan anak kecil lagi. Bahkan, dia mungkin salah satu penghuni tertua di Panti Asuhan Anak yang cacat fisik dan kelainan mental ini. Umurnya di atas 20 tahun. Dia terus memandangi kami, ketika kami melangkah masuk pagar depan. Dia terus mengikuti kami dan tak lama dia merangkulku. Seolah begitu erat, tak mau melepaskanku. Aku sendiri bingung campur sedikit cemas, tetapi juga kasihan. Jadi, kubiarkan saja sementara dia terus menatapku.

Tak lama, kami pun diberi semacam gelang rosario, hasil karya mereka. Dia langsung memasangkannya di tanganku. Begitu bahagia mereka menyambut kedatangan kami yang hanya sebentar saja ini.

Memang di sebelah Panti Asuhan ini, ada sekolah untuk anak-anak yang normal. Mungkin-ini hanya dugaanku- mereka sering melihat anak-anak itu dijemput orang tuanya. Sehingga mereka pun memiliki kerinduan untuk dikunjungi dan begitu bahagia menyambut kami yang datang ke sana. Kami diterima dengan sambutan yang luar biasa: rangkulan juga pemberian gelang, tanda mereka memang butuh kasih dan perhatian dari sesama.

Saat dia genggam tanganku, beribu rasa jadi satu. Tak ada kata yang tepat ‘tuk menggambarkan semua itu. Batinku terus menyerukan sesuatu: sudahkah aku memberi perhatian pada sesamaku? Keluargaku, anak-anakku, teman-teman yang singgah dalam hidupku? Dan juga bagi mereka yang butuh perhatian: kesepian, sakit, putus asa, hilang harapan akan kehidupan? Dan bagi mereka yang ‘spesial’ karena mereka berbeda- mereka yang tak lengkap panca indera atau mereka yang mentalnya tidak bertumbuh secara normal, seperti yang kutemui hari ini….Ya, mereka juga butuh kasih dan sayang. Mereka butuh cinta kasih yang selama ini mungkin jauh dari mereka, yang seolah sering menyembunyikan diri hanya karena mereka berbeda. Padahal mereka juga butuh cinta dan bukan salah mereka jika mereka tidak normal seperti manusia pada umumnya. Mereka yang bahkan mungkin ditolak keluarganya, mereka yang mungkin dibuang ayah-ibunya. Mereka yang tak punya pilihan lain selain menerima keadaannya… Tuhan, kasihanilah mereka.

Tak terasa, air mataku menitik saat aku harus pulang. Aku mungkin bukan orang yang luar biasa sempurna dalam hal mengasihi sesama. Masih jauh dari itu. Tetapi, biarlah setiap hariku yang Kauanugerahkan bagiku merupakan hari yang lebih baik dalam membagikan kasih kepada sesama. Terutama mereka yang menderita dan butuh perhatian kita. Dunia ini tengah lapar. Lapar secara fisik di mana banyak yang tidak bisa makan karena perekonomian yang sulit, tetapi juga lapar akan kasih karena tak jarang di keluarga yang kaya-raya dengan uang berlimpah, cinta seolah sudah menguap entah ke mana…Uang tak bisa membeli semuanya. Tanpa uang memang hidup tak mudah, tetapi jika hanya mengandalkan uang saja, bahagia pun seolah sembunyi belaka…

Hari ini, kuberdoa khusus bagi mereka yang merasa kesepian dan terluka. Bagi mereka yang tersisih dan terlupa.

Bagi mereka yang putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya…

Tuhan, kasihanilah…

Masih ada harapan di dalam Dia…

Kupercaya akan itu, Tuhan…

Semoga semakin banyak hati yang mau terbuka terhadap kasih-Mu,

sehingga mampu berbagi kepada mereka yang kekurangan cinta…

Genggam tanganku, Oh Tuhan, dan jangan lepaskan…

Semoga dalam penyertaan-Mu, diriku Kaumampukan

Untuk menggenggam lebih banyak tangan

Dalam kasih dan kedamaian…

HCMC, 23 Oktober 2011

-fon-

*tergerak untuk menuliskan sharing seorang sahabat ketika berkunjung ke sebuah panti asuhan di daerah Dong Nai-Vietnam

Monday, October 17, 2011

Salah


Tidak ada orang yang suka dibilang salah. Tak jarang, banyak orang berusaha mencari-cari alasan untuk pembenaran diri jika dia bersalah. Seolah sah, tetapi salah tetaplah salah.

Tidak ada orang yang suka mengingat-ingat atau diingatkan tentang kesalahan yang telah dia perbuat. Walaupun mungkin dia mengakui dengan rendah hati akan kesalahannya, tetapi bila rasa bersalah itu datang lagi dan merongrongnya, tak jarang ia malah kehilangan sukacita itu sendiri.

Tidak ada orang yang luput dari kesalahan. Sebaik-baiknya seseorang, pastilah pernah melakukan suatu hal yang ‘salah’. Tetapi, kesalahan bukanlah akhir dunia. Banyak kali, kesalahan yang dianggap fatal oleh manusia, malah menjadi sebuah pintu menuju suatu kesempatan baru yang disediakan oleh-Nya.

Amatlah mudah menuding orang lain, “ Tuh, dia yang salah!” Dengan emosi yang membabi-buta, membuat kita sendiri lupa, kalau kita sendiri yang dituding, apa kita akan suka?

Mudah melihat kesalahan orang lain, tetapi sukar melihat kesalahan sendiri? Ingatlah akan peribahasa: Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak . Tidak selalu mudah, tetapi hendaknya kita berusaha melihat sisi baik dari setiap orang yang pastinya juga dimilikinya. Juga tak lupa melakukan introspeksi diri atas kesalahan yang sudah pernah kita perbuat.

Salah adalah manusiawi. Tetapi, bukanlah berarti boleh ‘melegalkan’ kesalahan itu sendiri. Salah, untuk kemudian belajar bangkit dari kesalahan dan mengampuni diri sendiri serta orang lain yang menyakiti, adalah hal yang baik yang memampukan kita berdiri tegar. Hari ini adalah rangkaian sekumpulan tindakan yang sudah kita ambil di masa lalu-yang benar maupun yang salah- dan mencari pembelajaran di dalamnya.

Bila rasa bersalah terlalu menderamu, bawalah itu semua kepada-Nya. Mohonkan ampunan Yang Kuasa bagi dirimu atas kesalahan yang telah kauperbuat. Tiada kesalahan yang terlalu besar atau fatal yang tak bisa diampuni-Nya. Jangan membebani diri terlalu berat atau jadi putus asa. Masih ada hari esok dan kesempatan untuk melakukan yang lebih baik dari hari ini.

Jika orang yang bersalah kepadamu begitu menyakitimu. Bukakan pintu maafmu kepadanya. Mungkin langkah pertama akan sangat sulit karena tak pernah mudah membuka luka lama, tetapi hadirkan kasih-Nya sehingga diri kita merasakan cinta-Nya sepenuh-penuhnya. Untuk kemudian mampu perlahan-lahan mengampuni orang yang begitu melukai hati kita.

Andaikata seseorang itu termasuk orang yang tak pernah mengaku salah. Merasa diri selalu benar. Ada baiknya untuk belajar rendah hati. Tiada orang yang sempurna. Hanya Tuhanlah yang sempurna.

Dan pada akhirnya, biarlah semua kesalahan yang pernah kita perbuat, kita bawa kepada-Nya. Mohon ampun kepada Tuhan, minta maaf kepada sesama yang pernah kita sakiti hatinya, juga mengampuni diri sendiri bila rasa bersalah begitu mendera. Salah bukanlah akhir segalanya. Salah, untuk kemudian berbalik ke jalan yang benar, akan membawa bahagia.

Akhir kata, maafkan saya kalau ada salah-salah kata:)

Salam!

Ho Chi Minh City, 18 Oktober 2011

-fonnyjodikin-

Sunday, October 2, 2011

Mendua



*** sebuah cerpen

Mari bercerita tentang kegetiran yang ada di rasa, di jiwa.

Suamiku baru saja melakukan pengkhianatan. Mengatas-namakan kesepian, dia cari lagi seorang perempuan. Ironisnya, saat aku mulai bekerja kembali -banting tulang untuk bantu keluarga- saat itulah baginya merupakan celah. Apa pun alasannya, sulit bagiku untuk menerima.

Memuakkan. Menyakitkan. Kenyataan itu begitu memilukan.

Mengapa sampai hati kaulakukan?

Tak tahukah kau, kau hujam dadaku berkali-kali dan aku kesakitan?

Akibat dirimu berpaling dari kesetiaan?

Haruskah kusalahkan keadaan?

Atau selama ini kau memang hanya cari-cari alasan?
Haruskah kupilih pisah?
Sementara kulihat buah hati kita yang masih begitu belia.

Baru dua tahun saja umurnya.

Ah, aku tak tega, membuatnya kehilangan figur seorang ayah.

Itu konsekuensinya kalau aku memilih meninggalkanmu.

Akhirnya, kutelan pahitku sendirian.

Tak berani kubicara pada ibuku kalau hanya ciptakan kesedihan baginya.

Duka menaungi hari-hariku.

Senyumku pun bernada pilu. Tak bisa ia kusembunyikan dari wajahku.

Apalagi setelah kutahu, WIL (Wanita Idaman Lain)-nya suamiku lebih segala-galanya dariku. Lebih cantik, lebih putih, lebih tinggi, dan lebih muda. Dan yang lebih membuatku tersedak mendadak: di rahimnya sedang tertanam benih suamiku. Astaga!!!

Inginku teriak.

Tapi aku tak kuasa. Hanya dalam hati, aku teriak sekencang-kencangnya. Tak pernah kubayangkan akan berbagi suami. Kami melewati masa berpacaran yang menyenangkan. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Kami memang menikah muda. Usiaku baru 23 kala itu, dan suamiku-Don- berusia 26 tahun. Dan kami saling cinta, jadi masih mau tunggu apa? Hatiku begitu berbunga-bunga ketika dia melamarku. Kuanggukkan kepala kuat-kuat tanda setuju. Bahagia langsung memenuhi hidupku.

Tetapi, itu masa lalu.

Kini, yang ada hanyalah kelelahan seusai kerja dan kondisi rumah yang tak lagi ramah. Kami saling diam, kalau tidak saling caci. Anak kami kebingungan melihat kami. Dia terpaksa kutitipkan pada ibuku ketika kubekerja. Suamiku memang usaha sendiri, jual-beli barang-barang apa saja yang dibutuhkan sebuah kantor, jadi dia punya banyak waktu sementara aku pergi cari uang buat bantu-bantu keluarga. Dia pun setuju ketika itu, kapan pun aku mau mulai kerja, silakan saja katanya. Tetapi, dia ingkar akan janji setianya. Dia lupakan begitu saja. Di siang hari saat aku bekerja, dia mencari cinta lainnya.

Kata sahabat-sahabat wanitaku- Vina, Jenny, dan Kiky, tampar saja perempuan tak tahu diri itu. Tetapi, entah mengapa, aku tak bisa. Ketika kutemui dia, aku hanya bisa berkata.

“ Sejujurnya, aku kasihan padamu. Kamu begitu muda dan cantik, apa kamu tidak bisa cari suami yang lebih baik dari suamiku ini?” Kukatakan itu dengan tatapan menghujam ke arahnya, dengan nada sesinis-sinisnya. Dan dia hanya bisa menangis, tanpa banyak berkata-kata.

Kejadian ini baru dua minggu yang lalu kuketahui.

Jadi, sulit bagiku berpikir jernih. Untunglah sahabat-sahabat wanitaku, juga kakak perempuanku terus memberikan kekuatan padaku. Kalau tidak, aku sendiri takut pikiranku jadi kacau. Aku juga tak berani terlalu lama sendiri, aku takut ada keinginan untuk bunuh diri yang pernah juga muncul sesekali. Tetapi, selalu dia kutepis, karena aku harus hidup demi puteri kami. Walaupun papanya sudah begitu menyebalkan dan menyakiti hati kami, aku memilih tinggal demi puteri kami. Suamiku kadang pulang, kadang tidak. Saat dia tidak pulang itulah, kutahu pasti, dia sedang berada dengan perempuan itu.

Di saat seperti ini, aku hanya bisa berdoa. Memohon kekuatan dari-Nya. Berharap suatu saat suamiku akan berubah menjadi baik kembali. Seperti sedia kala? Ah, itu hanyalah anganku semata yang rasanya sia-sia. Tetapi, rasanya berdoa tak pernah salah. Hari-hari begitu sulit kujalani. Terpikir ingin berhenti kerja, tetapi tak tega pada bos yang sudah memberikan kepercayaan padaku. Dan kalau aku tidak kerja, apa aku tidak lebih gila memikirkan semuanya itu karena punya lebih banyak waktu???

Kuatkan hatimu, Lanny. Kutepuk pundakku sendiri. Dengan air mata yang mengalir deras di kedua belah pipiku, aku mencoba bangkit dari mimpi buruk ini.

***

Sudah dua belas tahun berlalu dari kejadian itu.

Anak kami, Tifanny, sudah berumur 14 tahun. Dia tumbuh menjadi ABG yang manis, ramah, dan tahu diri. Mungkin karena keadaan kami berbeda dengan keluarga lainnya, dia terbentuk jadi mandiri. Aku masih bekerja, tak kusangka pekerjaan itulah yang menyelamatkan aku dan Tifa. Karena kalau aku tak kerja, mana bisa Tifa sekolah? Suamiku, Don, sudah delapan tahun pergi dari hidup kami. Dia memilih tinggal bersama maduku yang bernama Angela (tidak sesuai betul, ya… Seseorang yang memiliki nama yang berarti malaikat malahan jadi penghancur rumah tanggaku?). Mereka pindah ke luar kota.

Hidupku baik-baik saja.

Ada beberapa pria iseng mencoba mendekat. Siapa tahu, janda ini mau coba-coba? Ah, bagiku, tak ada istilah coba-coba. Untuk hal-hal yang menyangkut hati, aku tak pernah coba-coba. Nanti keterusan dan aku tak bisa lari, jadi kupilih dinding tebal pembatas antara aku dan kaum lelaki. Biarkan aku sendiri dan membesarkan Tifa saja. Itu saja keinginanku.

Hanya kekuatan dari Tuhan yang membuatku tetap kuat berjalan.

Walaupun aku pernah jatuh tapi tangan-Nya menopangku sehingga aku tak sampai tergeletak. Aku tak pernah henti berdoa. Terus mensyukuri hal-hal lainnya, di luar Don yang mendua, dalam hidupku. Tifa yang sehat dan pintar, pekerjaan yang semakin membaik. Kini aku jadi manajer di kantorku.

***

Hari Natal 2010. Pagi yang indah dan damai.

Aku dan Tifa misa bersama di pagi yang cerah. Hati kami begitu damai dan bahagia. Melangkah kami perlahan pulang ke rumah, setelah selesai makan siang bersama di restoran kesukaan kami berdua- makanan Italia. Tifa makan spaghetti carbonara kesukaannya, sementara aku makan lasagna.

Untuk minuman, kami berdua memilih Italian Soda dengan flavour yang berbeda. Aku suka yang lebih manis: strawberry, Tifa suka yang asam-segar: kiwi.

Di depan rumah, Don menunggu kami. Entah apa maunya kali ini. Setelah bertahun-tahun tak ada kabar berita, kini dia datang lagi. Kutenangkan hatiku yang selama ini sudah terlanjur membeku. Tetapi, kuakui, aku masih menyimpan rasa itu. Don adalah cinta pertamaku.

Tifa masih ingat Papanya. Walaupun begitu kaku, dia masih bisa ucapkan:

Selamat Natal, Pa.

Don mengusap kepalanya dengan lembut seraya mencium keningnya.

“ Selamat Natal, juga, Sayang.”

Don tersenyum dan terlihat ketampanannya yang masih begitu menonjol di usianya yang sudah kepala empat itu. Hatiku berdesir, tetapi kutahan, sehingga suaraku tak jadi gemetar. Kuteguhkan hatiku dan kusalami dia, orang yang sudah begitu menyakitiku:

“ Selamat Natal, Don.”

Dia menarik tanganku dan memelukku. Aku terdiam. Terpaku. Kehabisan kata-kata. Tak kupungkiri, aku memang masih cinta.

“ Lan, aku mohon maaf padamu. Aku sungguh lelaki yang paling jahat di muka bumi ini. Telah melukai orang yang begitu mencintaiku.” Katanya lembut.

Aku menangis. Tak mampu kubendung lagi air mataku. Aku memaafkannya. Walau aku tahu, cinta kami tak pernah lagi akan sama.

Dalam kondisi tersedu, aku bertanya padanya:

“ Kenapa kamu ke sini? Mana Angela dan anak kalian?”

Dia terdiam. Tak lama, bibirnya meluncurkan sebuah jawaban yang tak pernah kusangka-sangka:

“ Angela sudah pergi dari hidupku. Tahun ini baru kutahu, anak itu bukanlah anakku. Dia hanya cari kambing hitam untuk dijadikan perisai bagi dirinya, agar dia tidak lagi malu. Aldi, anak dari pacarnya sebelum aku.”

Aku takjub. Tak lagi mampu berbicara. Kututup kedua mulutku. Aku shock dengan pengakuannya ini.

“ Selama ini aku telah tertipu. Dan aku pun keliru, karena aku mau diriku sendiri terjebak dalam tipuan itu. Bahkan aku sempat menikmatinya. Angela memang cantik, tetapi dia tidak jujur. Bukan hanya itu, dia pun sering selingkuh di belakangku. Dan kini, aku tahu, betapa sakitnya hatimu ketika dulu kulakukan hal itu terhadapmu.”

“ Lan, aku memang manusia berdosa. Dosaku begitu besar padamu dan Tifa. Apa mmmm…. Apa masih ada kesempatan bagi kita untuk memulai kembali lembaran baru?”

Aku diam lagi. Aku tak tahu, apakah ini jawaban atas doa-doaku. Selama ini, aku berdoa untuk dikuatkan dalam menghadapi semua pencobaan di hidupku. Aku juga memohon, kalau suatu saat ada kemungkinan bagi kami untuk bersatu, biar Tuhan buka jalan bagi Don dan diriku. Inikah saat yang tepat bagi-Mu?

Aku tak bisa langsung mengangguk setuju. Walaupun amat ingin kulakukan itu. Aku hanya bilang pada Don:

“ Mungkin masih ada kesempatan, tapi aku masih belum tahu apa aku bisa kembali seperti dulu.”

Don tidak kecewa dengan jawabanku. Setelah pergi delapan tahun dari aku dan Tifa, tentunya tidak semudah itu kubuka lagi pintu hatiku.

Dan kami memilih memulai kembali sebagai sepasang kekasih. Seperti dulu, kala pertama kali kami bertemu. Kami mulai lagi berkencan. Juga pergi dengan Tifa anak kami. Nonton bioskop bersama, olahraga bersama, juga jalan-jalan ke Bandung bersama.

Perlahan, kebekuan pun mencair. Berganti sinar mentari yang menyinari dengan indahnya rumah tangga kami. Kami tak pernah cerai dan Don masih suamiku yang sah. Walaupun dia sudah pernah begitu mengecewakan aku dan sangat menyakiti hatiku, tetapi aku memilih memaafkannya. Menerima dirinya sekali lagi dalam hidupku. Tifa pun terlihat lebih ceria dan bahagia. Dia juga butuh figur seorang Papa. Yang dulu coba kupertahankan walaupun sakit hati, tetapi Don sendiri yang pergi dari kami. Kini Don kembali. Benang cinta yang sempat terputus, kini kami rajut kembali.

Ada keindahan dalam kesabaran. Sabar menanggung yang menyakitkan, sabar menanti rencana-Nya terwujud dalam kehidupan kami. Dan pada akhirnya, kami nikmati kedamaian dalam hidup kami. Hal yang tak pernah henti kudoakan, walaupun seolah sia-sia di waktu lalu. Aku juga sadar, di masa depan, badai mungkin bahkan hampir pasti akan datang lagi, tetapi akan kami hadapi bersama. Aku, Don, dan Tifa. Serta dengan tuntunan tangan Tuhan yang senantiasa setia pada setiap umat-Nya.

Kami serumah lagi. Suamiku yang hilang, mendua, kembali setia. Seperti mimpi saja. Kucubit tanganku sendiri, sakit! Ini realita yang sungguh indah!

Ho Chi Minh City, 8 September 2011

@ copyright Fonny Jodikin