Wednesday, March 31, 2010

Kami Memang Bersahabat



Saya kenal Lini atas referensi seorang teman. Dia tak pernah pelit membagi ilmunya, padahal awalnya dia tak kenal saya sama sekali. Dalam hati diam-diam saya mengagumi keterbukaannya dan tidak simpan-simpan ilmu sama sekali ketika saya bertanya ini dan itu seputar penerbitan. Sampai suatu ketika, dia mengajak saya bergabung dengan Yuk Nulis. Mengapa tidak? Bersahabat dengan seorang Lini yang terbuka membuat saya melihat banyak hal seputar penulisan yang sebelumnya tidak saya ketahui. Yang saya lakukan hanyalah menulis sesuai ‘mood’ yang timbul tanpa peduli akan EYD, pemenggalan kalimat, dan segala yang seolah berbau teknis. Padahal untuk jadi penulis yang baik, harus setidaknya menguasai hal-hal tersebut.

Persahabatan itu tercipta. Seolah terjadi begitu saja, tetapi saya yakin semua sudah berada pada jalur-Nya. Bukanlah kebetulan saya dipertemukan dengannya dan belajar banyak pula dari dirinya. Ketika saya pulang ke Jakarta, Lini berinisiatif mengajak beberapa Nulisers lainnya untuk bertemu muka dengan saya. Senangnya dianggap bagian keluarga. Hal yang sampai hari ini terasa bagi saya adalah saya tak pernah merasa asing walaupun saya tinggal jauh dari mereka. Walaupun saya berada di negeri ‘pho’ ini dan mereka tersebar di berbagai kota di Indonesia, kami membina persahabatan yang kuat lewat milis Yuk Nulis.

Lini berani menerbitkan bukunya sendiri. Buku My Life is an Open Book itu sudah saya baca dan saya kagumi kejujurannya. Dia selalu memotivasi kami, anak-anak TK Yuk Nulis dengan kata-kata, “ Bagus,” namun tak lupa mengingatkan kami juga untuk terus belajar. Mungkin ada kalanya dia seolah seorang Ibu Kos yang tiba-tiba rewel ke anak kosnya, namun itu karena kepeduliannya.

Femi.

Femi adalah teman sekampung saya dari Palembang, adik kelas saya di SMU yang sama. Dia juga sahabat saya yang jadi dekat karena wadah YN. Tak terbilang besarnya motivasi yang saya terima dari Femi yang sering ‘chatting’ di malam hari bersama saya. Dari dia saya banyak belajar juga untuk marketing dan sejenisnya. Karena saya sebetulnya pribadi yang pemalu (percaya gak percaya, deh hahaha). Dari dia saya dapatkan banyak ide pula untuk menuangkan karya kami dalam proyek bersama.

Sahabat-sahabat penulis di YN.

Jumlahnya makin hari makin banyak saja. Ada Angel, Anita, Grace, Hanna, Dede, Tina, Shandra, San San, Rini, Vero, Rosa, Ratna, dan Simon yang tergabung di proyek buku ‘Kamu Bagian dari Hidupku’ yang menceritakan tentang persahabatan kami yang diangkat dari apa yang sudah kami alami. Tanpa sadar, selama kami di YN, kami juga membina apa yang dinamakan persahabatan. Yuk Nulis sudah jadi rumah saya, sudah jadi bagian penting dalam hidup saya. Sama pentingnya dengan nulisers yang belum disebutkan di atas: Imel, Mbak Henny, Ode, Olyvia, Udo Indra, Daesy, Irene, Suyeni, Agnes, Shafira, Martha, Levina, Felicia, Malinda, dan maafff kalau banyak nama yang tak disebutkan satu per satu…Tapi, kalian juga sahabatku yang dekat di hatiku.

Dan ketika sahabat-sahabatku tengah berjuang untuk menerbitkan buku ‘Kamu Bagian dari Hidupku’ itu tadi dengan upaya menjual merchandise berupa kaos ‘limited edition’ yang sudah ditulis oleh Femi di notes-nya dan ditanggapi Lini pula di notes-nya. Aku hanya bisa bersyukur dan tersenyum, sekaligus menggores hari dengan percaya akan kekuatan persahabatan itu sendiri. Saling berbagi, saling membantu, dan dengan berdoa juga…Smoga kaosnya lakuuu biar bukunya bisa cepat terbit. Amin:)

HCMC, 30 Maret 2010

-fon-

* persahabatan ini menularkan semangat berbagi. Fekhi/ Femi ke Lini. Lini ke aku. Entah ke siapa lagi:) Hayooo…estafet lagi (buat anak-anak YN:)).

Serial Anak Kampung di Rantau (Bagian ke-6)



Sebulan telah berlalu.

Bertambah sebulan lagi pengalaman hidupku di HCMC. Banyak pengalaman baru, banyak teman baru, banyak kegiatan baru. Intinya, so far so good!

Banyak yang bertanya padaku, apa tinggal di Vietnam mengerikan? Karena mereka mendengar atau masih dalam ingatan mereka bahwa Vietnam itu ‘kan bekas perang. Mungkin masih bentuknya mengerikan. Well, harus diakui, Vietnam memang belumlah secanggih Indonesia dalam hal ini Jakarta. Misalnya urusan mal. Untuk urusan yang satu ini, di sini memanglah amat kurang. Dibandingkan Singapura, apa lagi. Secara kualitas hidup memang Singapura sudah pasti menang ke mana-mana. Tentunya, tidak semua negatif, pastilah ada positifnya. Aku merasa senang karena di sini apa-apa masih murah. Bahkan terkadang lebih murah ketimbang Jakarta. Jadi, kalau segala sesuatu tidak begitu mahal, pastinya tidak begitu pusing kepala. Kalau harga-harga membumbung tinggi, pastinya pusing yaaa… Mau apa-apa pasti dipikirkan masak-masak.

Kondisi keamanan di HCMC menurutku masih lebih mending daripada Jakarta. Pernah ada kejadian pencurian masuk ke rumah juga sih, tapi kalau di jalan raya rasanya lebih aman di sini (terlepas dari motornya yang ruarrr biasa banyaknya, ya….). Di lampu merah setidaknya tidak ada pengamen yang ngotot minta uang atau tukang bersih-bersih kaca jendela yang sering pula membawa batu bila tidak dikasih uang, siap-siap lempar batu ke kaca mobil. Tidak ada pengalaman semacam itu yang kualami di sini. Kecuali kendala bahasa yang rasanya memang cukup mengganggu (kata temanku, dia merasa Bahasa Inggrisnya mengalami penurunan di sini, karena dia harus berbicara se-simple mungkin, sesederhana mungkin untuk dimengerti oleh sopirnya dan pedagang bila ia berbelanja). Aku merasa beruntung juga, di HCMC yang sudah kutinggali lima bulan, Bahasa Vietnamku akhirnya kelihatan sedikit perbaikan. Kursus yang kujalani bersama guruku selama tiga bulan setidaknya membuahkan hasil. Itu pun kurang maksimal karena aku terkadang kurang tertarik me-review pelajaran yang diberikannya. Karena jujurnya, Bahasa Vietnam memang tidak menarik. Kalau Bahasa Perancis yang cantik dan enak didengar itu bisa memancing rasa keingintahuanku, namun di Bahasa Vietnam yang penting bisa yang sederhana saja sudah syukurrrr banget.

Bulan ini aku sempat mengunjungi Vung Tau. Pulau yang berjarak 1.5 jam ‘ferry-ride’ dari HCMC ini kecil dan cukup sepi. Aku suka tempat ini. Dia memiliki tempat-tempat yang cantik pula, seperti patung Yesus yang besar di atas bukit, patung Buddha besar, pantai yang mirip-mirip Bali, dan ‘seafood’ segar plus murah. Bila ingin bepergian ke sini, bisa juga naik taksi atau mobil (jadi tak harus naik ferry). Lamanya sekitar 2.5 jam. Asyik juga melihat pemandangan yang lain dan lepas dari ramainya HCMC dengan jarak yang sesingkat itu kita bisa melihat suasana yang berbeda. Motor pun tak sebanyak di HCMC, jadi rasa deg-degan ketika menyeberang berkurang jauh dibandingkan di sini. Hidup pun lebih santai. Matahari-pantai-bukit. ‘I love this place.’

Hal yang juga kusuka adalah servis yang murah di sini. Cuci rambut misalnya. Cuci rambut di sini plus cuci muka. Istilahnya ‘goi dau’ (shampoo) dan ‘rua mac’ (cuci muka). Barisan shampo berjejer di salon tak jauh dari rumah kami. Ada berbagai merek, seperti mau jualan saja. Mungkin agar suasana yang tercipta mirip seperti rumah dan bisa pakai shampo yang biasa kita pakai di rumah pula. Sabun cuci muka pun begitu, banyak macamnya. Di distrik 1 – daerah turis- harga pelayanan semacam ini sekitar VND 90.000 (sembilan puluh ribu VND, setara Rp.45.000 –dibagi dua saja). Sedangkan untuk salon-salon yang lebih kecil, harga relatif lebih murah. Yang termurah bahkan hanya VND 30.000 plus ‘blow’ pula. Itu artinya sekitar Rp. 15.000. ‘Manicure-pedicure’ juga murah, walaupun membersihkannya beda dengan yang di Indonesia. Harga di pasar nampaknya berkisar antara VND 10.000-20.000 (Rp. 5.000-10.000 saja). Dan kuku sudah cantik rapi, walau sederhana saja membersihkannya tidak sampai total plus kutikula dan sejenisnya. Jadi tak heran ketika kulihat kuku-kuku penjual sayur atau ‘pho’ juga berhiaskan warna-warni kuteks yang lucu dan menarik. ‘They know how to enjoy life.’

Mereka tampaknya mudah disenangkan oleh hal-hal yang sederhana. Seperti yang kulihat menjelang Natal. Di Nguyen Hue dekat Tax Center (Satra), banyak orang datang hanya untuk berfoto di depan pohon natal. Mereka sepertinya sangat ‘excited’. Sangat menikmati setiap suasana yang ada. Tak perlu yang mahal sepertinya untuk menyenangkan mereka. Dari mereka kulihat bahwa mereka orang-orang yang mudah bersyukur. Tidak seperti di negara-negara yang tampaknya maju, tapi dipenuhi orang-orang yang keras dan menjadi seperti robot-individualistis-dan kurang ramah.

Tiap tempat ada plus minusnya. Dan di bulan ke-5 di Vietnam ini, kurasakan aku mulai memahami sedikit banyak tradisi di sini. Kalau mau memahami sepenuhnya mungkin sulit ya, tapi setidaknya sudah tidak terlalu gelap lagi. Titik terang itu sudah mulai ada, walaupun kendala masihhh aja ada, sih. Yang ‘ngadepin’ sopir taksi yang muter-muter lah, susahnya mau pesen makanan lah terutama di daerah yang non English speaking. ‘But, I will survive, as long as I know how to love I know I’ll stay alive’. Wakakaka, nyanyi lagiiii:)

Toi song o’ Tan Pho Ho Chi Minh (saya tinggal di Ho Chi Minh City). Praktek dikit Tieng Viet (Vietnamese-ku). Fonny undur diri, sampai jumpa di episode berikutnyaaa…

HCMC, 31 Maret 2010

-fon-

sumber gambar:

http://iguide.travel/photos/Vung_Tau-9.jpg

Monday, March 29, 2010

Maukah Kau Berbagi?


Seorang anak mendekati.

Bukan, dua orang anak kecil mendekati. Sambil mengulurkan tangannya, memohon belas kasihan. Bahasa universal yang tak perlu ucapan kata, mereka hanya butuh sedikit recehan saja. Muka dioret sedikit arang hitam. Ditimpa panas yang menyengat. Siang hari di distrik tujuh- Ho Chi Minh City, tiga puluh tiga derajad Celcius.

Seorang anak mendekati.
Bukan, tepatnya seorang anak yang digendong oleh seorang wanita yang berjalan mendekati. Siang hari. Beda situasi dan kondisi. Di Pasar Ben Thanh, di jantung
kota Ho Chi Minh City. Berjuang demi sesuap nasi. Berkata dalam Bahasa Inggris yang tak fasih, “ Baby hungry.”

Setengah memaksa orang untuk memberi sedekah. Mengandalkan anak kecil dalam gendongannya. Antara miris dan tercelikkan seketika: kemiskinan memang rata. Ada di mana-mana. Dan terkadang mengorbankan anak kecil yang tak tahu apa-apa.

Seorang anak mendekati.

Bukan, tepatnya seorang anak yang membimbing seorang buta yang memegang bahunya. Pagi hari, di suatu pasar yang tak jauh dari rumah. Mencoba menjual lotere yang entah berapa harganya. Atau bila tak mau beli, sumbang saja seadanya. Mempergunakan ketidaklengkapan fisik untuk meminta-minta. Nurani mungkin bimbang seketika: haruskah beli lotere untuk menyumbang? Padahal tak pernah dalam sejarah beli lotere sebelumnya? Masih cerita yang sama: kemiskinan membuat orang melakukan apa saja.

Potret kemiskinan yang tak jauh beda dengan apa yang terlihat di negeri tercinta. Indonesia. Kemiskinan memang tak pandang bulu, bisa menyerang siapa saja dan kapan saja. Bukan pula sesuatu yang bisa dipilih, walaupun terkadang itu jadi alasan untuk tidak mau mandiri dan tak mau bekerja keras. Teringat, banyak yang cacat tapi mau usaha. Teringat, banyak yang miskin tapi tak kenal lelah. Teringat, banyak anak kecil yang juga membantu orang tuanya berjualan demi sesuap nasi. Yang penting niatan tulus di hati, bukan? Dibantu seribu-dua ribu Dong (mata uang Vietnam setara Rp.2000-4000), apakah ada gunanya? Ini ibarat lingkaran yang terus dan terus berputar. Kalau mau beri, berikan ikan atau pancingnya?

Kemiskinan dalam berbagai rupa. Menyuarakan kepedihan yang sering terlupa.

Sementara dalam hati-hati yang miskin kasih, yang tak lagi peduli. Yang penting uangku banyak, yang penting anakku sukses, yang penting keluarga kami makmur. Segalanya tentang aku dan aku.

Tiba-tiba, rasa itu menyentak: kapan jadi manusia yang kaya hati kalau begini? Kapan keseimbangan itu akan lebih tercipta bila bukan dari sekarang? Belajar berbagi, belajar peduli, dan tak menghamburkan uang untuk kesenangan yang terlalu berlebihan. Tak ada yang salah dengan menggunakan uang yang dihasilkan oleh keringat sendiri. Tetapi, bila terpikir mereka yang kekurangan, masih mungkinkah nurani terketuk sekali lagi? Mungkinkah juga ketulusan berbagi terpampang lebar di pintu hati?

Memberi sering kali melemahkan orang yang menerima, begitu prinsip beberapa orang. Namun, tidak memberi sekaligus bersikap masa bodoh dan cuek: apakah itu juga solusinya?

Seorang anak menghampiri.

Bukan satu, dua anak kecil itu lagi.

Dan hati berbisik: maukah kauberbagi hari ini? Atau lakukan sesuatu untuk mengentaskan hal ini?

Mungkin hanya dalam pikiran utopis ditambah harapan untuk sedikitnya masih berlaku di dunia nyata: kasih itu masih ada. Kasih itu masih menyala. Masih banyak orang yang kaya kasih dan yang masih mau berbagi. Ketika kemewahan tak lagi memberikan kepuasan batin… Ada banyak orang baru tersadar, mungkin dengan memberi hidup jadi lebih berarti. Bukan melulu uang. Bukan melulu kenyamanan. Namun, memberikan diri bagi mereka yang sulit dan menderita. Membagikan talenta, membagikan keahlian, menjadi pendengar yang baik, memberikan yang terbaik yang ada dalam diri bagi sesama yang menderita dan perlu bantuan.

Hidup dalam kelimpahan bukan melulu untuk egoisme pribadi. Hidup dalam kelimpahan berarti yang lebih mau berbagi kepada yang berkekurangan. Talenta, pengetahuan, uang, atau yang lainnya. Hati berbisik kembali: maukah kau berbagi hari ini?

HCMC, 29 Maret 2010

-fon-

Sumber gambar:

http://www.old-picture.com/united-states-history-1900s---1930s/pictures/Sharing.jpg

Friday, March 26, 2010

Kepakan Sayap Si Kupu



Cinta membuatku menempatkannya dalam satu ruang kaca atau lebih tepatnya sangkar yang terbuat dari kaca. Karena ketakutanku, karena perasaan tidak nyaman akan diriku sendiri, dan penyebab utamanya adalah karena aku tak punya cukup kepercayaan diri. Kuharap dengan cinta semacam itu bisa membuatku merasa aman. Mungkin setidaknya satu, dua, atau tiga tahun. Sementara tahun-tahun berikutnya, aku tak pernah tahu. Mungkin aku akan membangun jeruji besi di luar sangkar kaca itu. Jeruji besi dengan kombinasi kawat halus, biar Si Kupu-kupu itu tak dapat terbang dari sangkar yang kuperuntukkan baginya.

Kukira. Iya, kukira…

Dia bakal tinggal dengan nyaman, selamanya. Ternyata aku keliru. Keliru besar. Adalah kebodohanku yang mengekangnya sampai sedemikian rupa. Tanpa pernah memikirkan perasaannya, tanpa pernah memikirkan kalau suatu saat dia bisa frustrasi di dalam ruang kaca itu. Dirinya kini meneriakkan kebebasan. Rasa yang diam-diam merasuki hatinya. Aku masih dengan gembokku dan perkakas kunci canggihku untuk meningkatkan keamanan sangkar itu. Namun nyatanya dia malah semakin tak terjangkau, tak terengkuh. Semakin lama semakin jauh dari hadapanku dan dia mulai gelisah. Seolah resah berada dalam relasi cintanya denganku.

Aku termenung dalam diam. Mungkin ini salahku. Terlambat sudah kumenyadarinya. Ketika dia sudah putuskan untuk pergi dari sisiku. Salahkah aku karena aku tak sungguh menjaganya sekuat tenaga? Mungkin iya, tetapi lebih salah lagi menempatkan seluruh pikiran itu dalam benakku. Aku keliru dari awal. Aku tak seharusnya tempatkan dia dalam ruang kaca. Yang seharusnya kulakukan adalah: membebaskannya terbang. Biarkan Si Kupu itu mengepakkan sayapnya dan terbang dengan leluasa. Dan bila ia satu saat kembali lagi, pastinya dia adalah milikku seutuhnya.

‘If you love something, set it free. If it belongs to you, it will come back to you.’

Kata-kata itu terlambat sudah untuk kuterapkan. Penyesalan selalu datang terlambat. Sambil berharap, suatu hari, bila kepakan sayapmu membawamu singgah lagi dalam babakan hidupku….Semoga aku bisa membebaskanmu terbang. Namun bila kita memang tak berjodoh untuk bersama, ketika kutemukan seesorang yang lain nanti. Pada suatu hari. Kuharapkan aku bisa membiarkannya terbang tanpa harus dikungkung di ruang kaca.

Kutatap jendela kamarku di pagi itu. Seekor kupu-kupu menempel di jendela kacaku. Kuhapus air mataku pelan. Kupu, sampaikan salamku padanya. Aku merindukannya dan aku amat menyesal… Kupu itu terbang, seolah mengerti. Yang aku tak tahu pasti, apa salamku itu sampai padanya. Kuharap iya, semoga.

HCMC, 27 Maret 2010

-fon-

* inspirasi dari lagu ‘Butterfly-Mariah Carey’. ‘Nice song!’


Sumber gambar:
http://www.beautiful-desktop-wallpaper.com/wp-content/uploads/2009/12/butterfly-wallpaper1.jpg

Bergaul dengan Si Mbak



Fenomena pembantu, Si Mbak, Si Iyem-Inem-Tuty-sampe Theresia …

‘Ehm’…ada juga yang namanya keren lho, tidak semua namanya ala pembantu selalu jadi bahan perbicangan yang cukup seru. Ketiadaan mereka dalam hidup sehari-hari sering kali menjadi beban keluarga terutama para ibu. Dengan adanya mereka, pekerjaan rumah pastinya lebih terbantu. Tentu saja tidak tertutup kemungkinan (karena ini seringkali terjadi) banyak kasus juga yang kurang mengenakkan.

Contohnya: pencurian barang, pemukulan anak, sampai pada selingkuh dengan orang di rumah (entah suami Sang Nyonya atau anak majikan dan sebagainya). Tanpa pembantu, status FB teman-teman di Jakarta selama masa mudik lebaran akan berbunyi: “ Jadi Oshin deh gw seminggu ini.” Atau: ngasih makan Alya ternyata susah ya, kapan baliknya nih Si Suster. Sus, cepetannn!”

Setelah menikah dan pindah ke luar Indonesia, saya tidak memiliki pembantu. Malah di Singapura, karena saya mengasuh anak sendiri, saya berteman dengan banyak pembantu Indonesia dan Filipina. Bahkan satu teman akrab saya adalah seorang ‘nanny Singaporean’ orang India. Mungkin dari dulu saya tidak pernah menganggap rendah pembantu. Biar bagaimanapun, bagi saya, mereka tetaplah manusia. Walaupun yang sudah melanglang buana ke negeri lain semisal Singapura dandanannya aduhai sampai ‘Aduh, Mak…’ hebohnya, tetap saja mereka adalah pribadi-pribadi juga. Di Singapura saya berkenalan dan berteman dengan banyak pembantu yang saya jumpai di ‘playground’ atau ketika mendorong ‘stroller’ di taman apartemen kami. Banyak kali, majikan mereka keduanya bekerja, sehingga pengasuhan anak diserahkan kepada pembantu. Plus ‘child care’ dari yang murah sampai yang mahal selama setengah hari atau lebih, sisanya kembali ke tangan para pembantu sampai orang tua pulang ke rumah.

Pembantu-pembantu Filipina umumnya berbahasa Inggris cukup baik walaupun dengan logat Filipino-nya. Itu sebabnya gaji mereka di atas gaji para pembantu Indonesia di sana. Herannya juga, banyak kasus yang dimuat di koran ‘The Straits Times’ menunjukkan banyaknya penganiayaan terhadap pembantu Indonesia oleh majikan di Singapura atau sebaliknya mereka yang melakukan tindak kriminal sampai diadili. Rata-rata dari Indonesia, sementara yang dari Filipina jarang terdengar bermasalah. Mungkin hanya gaya hidup yang berbeda saja, misalnya keberanian mereka berpakaian: pakai ‘tank top’ dan celana super pendek. Terkadang yang dari Indonesia sekian lama pun berani saja pakai begitu, tetapi yang Filipin lebih berani. Tiap Minggu mereka kumpul-kumpul di ‘Lucky Plaza’ di ‘Orchard Road’. Selain banyak restoran Indonesia di sana, juga banyak restoran Filipin, jadilah pusat perbelanjaan itu dipenuhi Si Mbak modis dan keren yang berpakaian Giordan*, Bal*no, Boss*ni, Hang T*n, bahkan Mang*.

Bergaul dengan mereka secara cukup intens di masa itu karena frekuensi pertemuan yang sering setiap hari, membuat saya berpikir banyak tentang mereka. Ada yang sering curhat sama saya. Mulai dari urusan cinta, sampai urusan keluarga. Ada satu pembantu Filipin, sebut saja namanya Rose, meninggalkan anaknya di usia 2 tahun untuk bekerja di Singapura. Ironisnya, dia malah mengasuh anak majikannya sementara anaknya dia tinggalkan bersama asuhan ibunya. Memang di Filipina sulit dapat kerja katanya. Dia sendiri sempat kuliah tetapi tidak selesai. Dia sempat menawarkan kakaknya pada saya. Yang ini malah lebih parah, lulus universitas di Filipina, namun karena kondisi perekonomian yang sulit mereka malah memilih kerja sebagai pembantu di Singapura. Gaji mereka sekitar SGD 350 sekitar Rp.2.275.000 per bulan (waktu saya di sana, entah sekarang apa naik lagi?). Dan akan bertambah sesuai berjalannya waktu dan pengalaman kerja mereka. Diberi off sebulan sekali kalau beruntung, ada yang kerja dengan bule diberi libur setiap minggu (tiap keluarga beda-beda peraturannya). Mimpi mereka kerja dengan bule. Gaji tinggi, libur banyak, kerja tak terlalu berat. Sedangkan bila kerja dengan keluarga lokal biasanya kerja rodi semua dilakukan sendiri. Itu pun masih ditambah kena marah. Lucunya Si Rose sering curhat sama saya, sementara bosnya juga curhat ke saya (bos ini Nenek dari cucu-cucunya, bukan Mama dari anak-anaknya). Bisa mendengarkan dua sisi-‘both sides of the story-membuat saya kadang cengar-cengir sendiri. Memang di mana-mana, masalahnya sama saja. Bos dan anak buah di kantor, majikan dan pembantu seperti itu, dan seterusnya. Rose orang yang baik, tegas, mungkin agak galak. Setelah dua tahun mengumpulkan uang dia memutuskan untuk tidak bekerja dan pulang ke Filipina.

Lain halnya dengan Shella yang juga asal Filipina. Dia dengan cueknya pindah dari satu majikan ke majikan lain, masih di apartemen yang sama. Tanpa rasa bersalah. Awalnya dia bilang akan menikah, ternyata dia pulang sebentar saja. Tak sampai sebulan dia datang lagi dan kerja di tempat baru yang untungnya beda blok, tetapi masih di satu apartemen. Shella ‘heboh’, suka menggosipkan bossnya kepada siapa saja termasuk saya. Dan lucu juga sih (karena dia tidak kerja sama saya, jadinya lucu). Kalau kerja sama saya dan saya yang digosipkan? Awas kamu, Shel… Tak pecat kamu :) (galak ‘ mode on’ hahaha…).

Dan last but not least.

Kisah sedih di apartemen tentang seorang pembantu bernama Tuti yang sudah saya tuangkan dalam bentuk cerpen. Kisah nyatanya entah kenapa dia percayakan kepada saya. Sebetulnya saya masih mau membuat sekuel berikutnya dari kisah yang berjudul (Hanya) Seorang Pembantu, namun belum ada waktu karena akan sangat menguras air mata. (Untuk melihat posting saya itu, silakan klik di sini). Dia menikah dengan anak bosnya, punya anak kembar, dan tidak diakui keluarga suaminya. Jadinya dia harus pergi ke Singapura dan bekerja. Tuti yang orang Indonesia ini begitu ‘bawel’ pada saya. Dia menceritakan setiap detil hidupnya kepada saya. Terima kasih untuk kepercayaanmu, Tuti. Saya doakan yang terbaik untukmu.

Nyeritain soal pembantu, mungkin tidak bakal ada habisnya. Mulai dari culunnya atau istilah para majikan : bodoh,tolol, begonya mereka. Dalam hati karena tidak punya pembantu kecuali yang setrika baju seminggu dua kali, saya hanya bisa membatin: “ Ya, kalau pinter, dia gak jadi pembantu kaleeee.. Jadinya astronot, ahli fisika, atau tukang insinyur… wkwkwk….” (Buat yang sering darah tinggi a.k.a darting sama pembantu, maap yaaa…karena tidak punya saya jadi bisa mikir begini, coba kalau punya, pasti sama dengan Anda:)).

Satu hal yang pasti, pembantu juga manusia. Mereka punya sepenggal kisah kehidupan yang sedang mereka lakoni. Sering kali kita mengecilkan arti mereka walaupun misalnya beberapa dari mereka sudah keluar dari kepembantuan mereka dengan menikahi bos mereka, bisa kerja di kantoran walaupun kerja rendahan, dan seterusnya. Seolah kita terus memberi cap kepada mereka. “ Dulu ‘kan dia cuma seorang pembantu…Jadi, gak usah gaya-gaya deh, dulunya ‘bebong’ juga…”

Padahal yaaa, pembantu juga manusia lah… Punya rasa, punya hati…
Dannnn… kalau norak sekali-kali yah harap maklumlah. Secara kita yang katanya ‘educated’ juga bisa norak, koq… Ya nggak?

Untungnya saya tidak pilih-pilih ya… Walaupun sempat ‘wondering’ sih, koq temen gw banyakan pembantu ya di Singapore? Hahaha… Gak pa-pa. Belajar menyelami kehidupan mereka dan menjadi sahabat bagi mereka. Saya tidak alergi sama pembantu. Malah saya bisa melihat sekelumit kehidupan mereka. Yang lagi-lagi saya diuntungkan karena saya bukanlah majikan mereka, jadi saya bisa lebih obyektif. Mereka tidak pernah memilih jadi pembantu, tetapi kondisi membuat mereka demikian. Dan bagi kita yang beruntung mendapatkan posisi bos, majikan, semoga bisa menghargai mereka sebagai makhluk hidup. Bukan dengan umpatan kebun binatang atau perlakuan bak terhadap hewan. Mereka juga manusia yang walaupun bikin keki, sebel, dan kesel… Tanpa mereka, susah juga, kan? Yang penting mereka jujur dan mau kerja. Sisanya sih saya kira bisa pelan-pelan. Kalau sudah mencuri, berbohong, dan bertingkah keterlaluan…Males juga kali yeee…

Sebelum mengakhiri, saya teringat juga teman saya sesama penulis yang bahkan mendapatkan banyak inspirasi dari Si Mbaknya yang sotoy. Lengkap dengan segala kelucuannya, cerita itu dibuat dan menghibur pembacanya. Oh iya, jangan suka menganggap rendah ‘maid’ juga ya…Kalau ‘maid’-nya Jennifer Lopez yang main di ‘Maid in Manhattan’ gimana, hayoooo??? Pusing jagain suami-suami kali yaaaa…Berbahaya….hehehe…

Bergaul dengan siapa pun tanpa pandang bulu itu yang ingin saya terapkan walaupun tidak selalu mudah dan tidak selalu bisa, ya. Setidaknya saya berusaha. Dulu bergaul sama pembantu, siapa tahu entar-entar samaaa tukang becak, sopir taksi, atau konglomerat? Sama ajaa…Semua juga manusia….(nyanyi ala Serieus).

HCMC, 26 Maret 2010

-fon-

* hasil ‘chatting’ dengan seorang teman di lain benua yang membuat saya terinspirasi dan teringat kisah-kisah para pembantu dalam folder di otak saya:)

Sumber gambar:

http://images.nymag.com/daily/intel/13_maidinmanhattan_lgl.jpg

Thursday, March 25, 2010

Masihkah Kauingat Dia?


Dia guru kami.

Pernah mengajar kami sekaligus wali kelasku. Pak Sy mengajar pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman di sekolah kami, SMA kami tercinta di Palembang. Setelah sekian puluh tahun mengabdi, tibalah saat pensiun. Dari status FB seorang teman sekaligus kakak kelasku, kuketahui hal yang cukup mengejutkan. Mungkin tidak mengherankan, namun membuat beberapa dari kami merasa tertampar juga akan kenyataan yang pahit yang dihadapi. Pak Sy dari pensiunannya hanya mendapatkan uang sejumlah UMR, karena masih ada tanggungan, beliau harus berdagang kaki lima di Pasar Sekip, suatu daerah di Palembang. Saya tahu memang penghasilan seorang guru tidaklah besar, tetapi saya tak pernah berpikir bahwa ia harus berjualan kaki lima. Berangkat dari situ, kakak kelas itu berniat mengumpulkan koin untuk Pak Guru. Segera hal itu mendapatkan sambutan dari beberapa kakak kelas kami serta sebagian dari angkatanku.

Tak pernah mudah menjadi seorang guru. Dedikasi selama puluhan tahun, tak selalu diimbangi dengan kemapanan finansial. Hari tua pun tak selalu terjamin. Memang, beberapa guru akan menikmati kenyamanan finansial di hari tua. Mungkin tidak sampai kaya raya, tapi cukuplah buat hidup sehari-hari. Saya sadar, di luar apa yang tampak nyata di hadapan saya dalam bentuk penderitaan Pak Sy yang terpaksa banting setir demi sesuap nasi, masih banyak guru-guru lain di daerah terpencil-di pelosok- yang lebih menderita lagi. Mungkin harus kerja serabutan, kerja yang lain, demi memenuhi kebutuhan keluarga.

Sedangkan para muridnya? Ironisnya sudah banyak yang jadi dokter, insinyur, sarjana ekonomi, sarjana fisip, sarjana ini-sarjana itu. S1, S2, S3. Mapan pula secara ekonomi. Rumah dari pantas ditinggali sampai rumah megah, mobil satu sampai empat, sekolah anak di sekolah internasional, sudah melanglang buana sampai ke mana-mana.

Terlalu jauh memang kesenjangan antara para murid yang sudah berhasil dengan kondisi finansial para guru yang masih berjuang untuk hidup.

Profesi memanglah selalu menjadi pilihan pribadi. Semua orang berhak memilih profesi apa yang akan dijalani. Sambil meng-klik satu per satu foto mantan guru SMA saya di bagian foto kakak kelas saya tadi, saya melihat wajah mereka yang tua dimakan usia. Ada guru fisika yang terbilang galak dan ‘killer’ kini kelihatan tenang dan beranjak tua. Juga beberapa guru lain yang memang sudah semakin berumur dan termasuk Pak Sy itu tadi.

Saya hanya berpikir, kalau FB bisa menggalang begitu banyak anak SD, SMP, SMA bersatu. Kalau FB bisa membuat begitu banyak orang berkumpul dan sibuk dengan reuni sana reuni sini. Minggu ini reuni SD, minggu depan reuni universitas, minggu depan reuni SMU…. Mengapa kita tidak memikirkan (juga) di luar hura-hura dan makan-makannya untuk menyumbangkan sesuatu bagi guru-guru yang berkekurangan? Saya yakin ada banyak anak murid yang sudah mengecap keberhasilan, bukankah ini waktunya berbagi? Tentu saja, keputusan ada di tangan Anda, tetapi saya kira dengan menyisihkan koin untuk guru-guru, setidaknya akan ada yang butuh. Ada yang sakit keras tapi tak cukup uang berobat, ada yang perlu uang buat cucunya, dan sebagainya. Kalau ‘American Idol’ punya acara ‘Idol Gives Back’, mengapa kita tidak bisa melakukannya untuk sesama? Apalagi kali ini, sesama itu adalah bagian dari hidup kita. Apalagi kali ini, sesama itu yang sering kita bikin pusing kepala karena kenakalan kita dan kita cuma bisa terkekeh kegelian mengingat masa itu:)?

Saya hanya merasa miris karena merekalah pahlawan tanpa tanda jasa yang butuh perhatian dan kasih juga. Indahnya yang dilakukan kakak kelas saya, memikirkan apa yang harus dilakukan bagi mereka. Mereka juga butuh cinta para muridnya.

Setidaknya kita sisihkan dari minum kopi di gerai ternama dua tiga kali, sudah lumayan buat menambah koin bagi guru-guru kita.

Masihkah kauingat dia? Masihkah kauingat mereka yang pernah jadi bagian hidupmu? Setidaknya mereka berperan dan mendidik kita sehingga menjadikan kita ada seperti hari ini.

‘So, do you still remember’?

HCMC, 25 Maret 2010

-fon-


Sumber gambar:
http://www.school-clipart.com/_small/0511-0805-1314-2517.jpg

Tuesday, March 23, 2010

Prasangka



Dia bukanlah teman baik. Atau dia cukup baik tetapi jarang kontak apalagi ketemuan. Tiba-tiba dia mengirimkan SMS. Bunyinya begini: “ Aku mau ketemuan. Mau traktir makan.”

Dengan hati yang bertanya-tanya, tentunya kita bakal berpikir: adakah udang di balik batu? Benarkah dia bisa berubah sebaik itu? Pikiran pertama yang timbul (biasanya dan maaf kalau salah): paling mau menawarkan sesuatu. Entah bisnis baru, entah bisnis berjenis ‘multi level marketing’, entah asuransi, entah produk yang baru, entah… Banyak kemungkinannya. Dan biasanya kita sudah berpersepsi negatif. Padahal banyak di antara rekan-rekan kita yang betul-betul bekerja keras dengan bisnis yang mereka tekuni: entah itu MLM, entah itu asuransi, entah itu jadi ‘stockbroker’ yang harus mencari ‘client’. Mereka bekerja keras dan saya angkat topi buat mereka.

Namun, sekali lagi yang namanya ‘mind set’ sukar berubah. Orang yang dekat dengan kita ketika mengirim SMS semacam itu, pastinya kita sambut dengan bahagia-gegap gempita. Dan traktiran itu menjadi ajang yang ditunggu-tunggu. Sedangkan dari seseorang yang rasanya asing di hati namun tiba-tiba mengajak seperti itu? Mungkin dengan tegas kita akan menolaknya. Mungkin juga kita akan langsung tanya ‘to the point’: “ Ada apa, ya? Kalau bisa kasih tau dulu lewat SMS, jadi gak usah susah-susah ketemuan.”

Sekali waktu, saat saya baru berada di HCMC sekitar dua bulan, saya menelpon seseorang yang direkomendasikan oleh teman saya di Jakarta.

Katanya: ”Coba kamu telepon temanku ini. Kakaknya teman baikku. Dia tinggal di HCMC sudah sekian tahun.”

Berpikir saya akan dapat teman dari Indonesia, saya dengan senang hati langsung menelpon. Tanggapannya luar biasa. Dingin, tak bersahabat, jutek.

Dan pertanyaan berupa:” Mengenai apa ya? Kalau mau cari teman coba kamu kontak Masyarakat Indonesia di HCMC.”

“ Di mana ya itu?” Tanya saya lagi, masih berusaha menenangkan hati yang kecewa karena luar biasanya jawaban beliau itu.

“ Tanya aja di Konjen (Konsulat Jenderal) Indonesia di HCMC.” Klik. Sambungan terputus. Dan saya juga memutuskan untuk tidak mengontaknya lagi setelah sambutan yang sedemikian rupa.

Mungkin dikira juga saya mau menawarkan asuransi, produk, atau sebagainya. Ketika saya ceritakan hal ini kepada beberapa rekan, mereka berpendapat sepertinya Si Nyonya Muda itu sombong sekali. Kalau mau cari temen di Konjen aja, gak perlu cari gw. Begitu kira-kira.

Merasa kecewa dan sedih, ketika diprasangkai. Tetapi, pas berprasangka ke orang lain koq ya nggak mikir???

Sekali lagi saya diingatkan. Saya pun pernah berlaku demikian, mungkin dengan skala yang tidak sejutek itu, tidak sevulgar itu menolaknya. Namun, setidaknya saya pernah juga menempatkan prasangka dan syak wasangka terhadap orang yang tidak saya kenal secara dekat. Yang tiba-tiba SKSD (Sok Kenal Sok Dekat).

Berhati-hati memang perlu, apalagi di zaman sekarang yang seolah begitu lihai memanfaatkan kepolosan dan kebaikan orang. Kelicikan seolah mudah untuk diterapkan menghadapi kepolosan yang diidentikkan dengan ‘culun’ atau lebih kasar lagi istilah yang sering kita dengar: bodoh atau bego.

Apakah bodoh untuk percaya? Apakah bodoh untuk bertindak baik? Apakah berprasangka dan syak wasangka itu adalah hal yang baik dan seharusnya diterapkan? Bukankah dalam hukum juga ada istilah praduga tak bersalah, sebelum tahu akan kebenarannya?

Hmmm, sambil merenungkan semuanya itu, sekali lagi kata hati saya mengingatkan: “ Jeng, Jeng… Bukannya waktu-waktu sebelumnya elo juga yang pernah berprasangka sama orang? Jadi kalo sesekali orang berprasangka sama elo, yah harap maklumlah. Karma Jeng, hukum tabur-tuai ….”

Dan seperti biasa, saya hanya bisa cengar-cengir sendiri. Suara hati! Anda benar!!! Ini juga pernah terjadi ketika gw ngelakuin yang sama ke orang lain. Kenapa pas orang lain lakukan ke gw malah sakit hati segala kayak gini, ya?

Bukannya ada pepatah: kalau nggak mau orang lain lakuin ke elo, jangan lakuin itu ke orang lain? Koq gw lupa ya? Atau?? Pura-pura lupa?

Alhasil, pengalaman memprasangkai orang dan diprasangkai (bener gak tuh ejaannya? Hehe…) orang, menyadarkan saya kalau ternyata pembelajaran diri soal ini masih dalam level cetek. Level dasar. Kalau mau maju, harus ‘upgrade’ dulu dong!

Yaelah, Jeng…Jeng… Belajarnya perlu lebih banyak lagi yaaa?

Okelah kalau begitu:)

Tak disangka-sangka, pelajaran soal prasangka dan syak wasangka memang perlu praktek yang tak kuduga. Hmmm, besok lebih baik! Semangat:)

HCMC, 23 Maret 2010

-fon-

* mencoba mengurangi berprasangka orang karena ternyata diprasangkai itu gak enak banget ya? Mari sama-sama belajar. Tetep cerdik seperti ular, tulus seperti merpati yaaaa biar gak dimanfaatin secara sembarangan:)

Sumber gambar:

http://elev8.com/files/2009/11/pointing-finger.jpg

Monday, March 22, 2010

Fan Page Chapters of Fonny's Life


Fan Page Chapters of Fonny’s Life

***’behind the scene’

Tanggal 21 Maret, hari Minggu kemarin, rasanya merupakan hari yang cukup bersejarah bagi diri saya. Setelah sekian lama menulis dan hanya mengandalkan blog sebagai sarana penulisan saya, akhirnya saya-atas dorongan seorang teman sesama penulis-memberanikan diri untuk membuat ‘Fan Page’ (FP) di Facebook (FB).

Saya tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, bahkan dulu saya mungkin akan berpikir, mending tidak usah saja karena ada terselip kekuatiran juga: bagaimana kalau saya jadi sombong setelah tahu fans-nya banyak? (Pssst, sampai hari ini belum terlalu banyak sih, jadi saya masih tenang-tenang juga). Memang mungkin pada dasarnya saya pemalu, baik budi dan tidak sombong (jadi inget pilem jadul Catatan Si Boy, yang belum lahir mungkin nggak tahu:)). Terbayang kalau di band rohani, saya jarang mau jadi pemimpinnya. Saya lebih suka sebetulnya jadi ‘backing vocal’ dan puas dengan membagikan suara alto saya. Ada kalanya saya juga kuatir bahwa nantinya kualitas tulisan saya akan lebih berbau komersial ketimbang ketulusan hati seperti yang sudah saya jalani selama ini.

Berangkat dari berbagai kekuatiran itu (dan sebagian ketidaktahuan juga karena saya bukanlah orang yang amat canggih dalam dunia per-internet-an), akhirnya saya memilih: nulis aja yang banyak, gak usah pusingin hasilnya. Dan akhirnya, setelah tahun kemarin menulis ratusan artikel, puisi, renungan, refleksi, cerpen, dan sebagainya, akhirnya tiba juga waktu-Nya bagi saya. Kata orang ketika kita siap, kesempatan itu tiba, seolah itu juga yang terjadi pada diri saya. Saya tak pernah berpikir akan sejauh ini saya melangkah. Sampai sini saja sudah bersyukur, tetapi saya sadar bahwa saya tengah dalam jalur yang ‘on track’ dalam perwujudan impian saya.

Saya cinta Yuk Nulis! Rumah kos yang memberikan kenyamanan, persahabatan, dan pengetahuan tentang dunia tulis-menulis. Saya merasa amat terbantu dengan persahabatan antarsesama penulis yang saling menguatkan. Tanpa mereka, saya tidak pernah akan jadi seperti sekarang ini. Juga ratusan teman, banyak yang saya tak pernah kenal sebelumnya, yang malah jadi orang-orang yang amat memberkati saya dengan perkataan positif seputar tulisan saya. Mereka berterima kasih untuk tulisan yang asalnya ditujukan buat mengingatkan diri saya sendiri. Kalian memberikan warna dan semangat baru bagi saya untuk terus menulis dengan hati dan terus berbagi. Juga berbagai milis yang saya singgahi dan memberikan kenyamanan bagi saya untuk terus berekspresi tanpa henti. Terima kasih.

Di hari kedua, FP saya di FB: Chapters of Fonny’s Life, sudah mencatatkan anggota sebanyak 227 orang. Bukan jumlah yang spektakuler, tetapi saya amat berterima kasih untuk semua dukungan itu. Tanpa Anda, saya bukanlah apa-apa dan tanpa Dia saya tak mampu melangkah sampai sejauh ini. Terima kasih. Doakan saya agar tetap rendah hati, terus menulis dengan lebih baik, dan tetap ingin berbagi dari apa yang sudah saya rasakan-lihat-pikirkan plus imajinasi dan inspirasi yang mengalir dalam diri ini.

Dan Tuhan, jauhkanlah saya dari cerita dari Kitab Kejadian di alkitab tentang menara babel, karena saya tak hendak diluluhlantakkan gara-gara kesombongan saya. Semua hanya bagi kemuliaan-Nya, semua hanya bagi cinta saya pada dunia menulis, dan bagi Anda yang membacanya. Semoga goresan saya tidak berhenti, malah semakin indah hari lepas hari. Doakan saya ya:) Terima kasih.

HCMC, 23 March 2010

-fon-

* ‘special thanks to’ Fekhi, untuk ‘chatting-chatting’ yang memotivasi di malam hari.

Sumber gambar:

http://icantfindajob.files.wordpress.com/2009/03/life.jpg

Sunday, March 21, 2010

Surat


Surat

*** cerpen

Aku pernah putus asa.

Kecewa.

Berat. Amat berat bahkan!

Dengan pasangan hidupku.

Dia yang dulunya selalu mencintaiku, ternyata setelah menikah seringnya menjelekkan aku di depan umum. Bukankah kami menikah atas dasar saling cinta? Bukankah kami juga melewati masa berpacaran yang indah dan romantis sebagaimana layaknya pasangan lainnya?

Namun mengapa ketika menikah, semakin lama cinta itu semakin tipis? Berganti dengan kekesalan yang sangat ketika dia berjumpa denganku. Ketika dia hanya merepet mengenai pekerjaannya, tak pernah ada perhatian bagiku. Kalau tidak, dia diam, menyibukkan diri di depan komputer, BB, atau TV-nya. Mereka yang dicumbu lebih sering ketimbang diriku yang nyata-nyata adalah istrinya. Terkadang, aku berpikir… Apa ada gunanya mempertahankan perkawinan kalau begini jadinya? Terkadang, kurasakan pula kepiluan hatiku: menanggung resiko atas pilihanku sendiri yang ternyata ‘hanya’ segini saja.

Untuk pergi dari dirinya, sudah kupikirkan berulang kali. Siapa yang bisa tahan kalau tiap saat tak pernah ada kata-kata manis. Pilihannya adalah: kemarahan yang diungkapkan dalam bentuk umpatan dan kata-kata kasar atau mendiamkanku seperti benda mati. Malah benda mati diperlakukannya seperti benda hidup. Ya itu tadi, komputernya, BB-nya, TV-nya. Aku cemburu pada mereka. (Mungkin) aku juga cemburu pada raut yang penuh senyum di wajahnya setiap dia tengah ‘chatting’ dengan teman dunia mayanya. Yang realita di depan mata, dianggap tak terlihat.

Dengan hati yang seolah teriris-iris, aku mencoba menganalisa, apa yang tengah terjadi dengan pernikahan kami yang sudah sepuluh tahun ini.

  • Kalau dulu tiap kencan rasanya begitu mudah untuk saling tukar cerita, kini ketika hari pernikahan atau ‘anniversary’ kami, isinya hanya makan malam sambil bengong, tak tahu harus bicara apa.
  • Kalau dulu tiap aku bikin teh manis yang kemanisan, nasi goreng yang keasinan, dia tak pernah mengeluh. Sekarang, sedikit saja kurang dari apa yang dia sukai, habis aku dimarahinya. Terkadang juga di depan keluarga kami dan teman-teman kami. Karena kesalahan-kesalahan kecil itu, aku dianggap bukan istri yang baik.
  • Ketika dia pulang, aku ingin ceritakan kegiatanku bersama anak-anak kami sepanjang hari. Karena aku tak bekerja, jadi aku ingin ceritakan padanya bagaimana hariku kulalui. Namun baginya, cerita itu ‘boring’. Membosankan. Dan dengan kata-kata kasarnya dia bilang MEMUAKKAN. Padahal itu cerita tentang orang-orang yang dikasihinya. Istri dan anak-anaknya. Dia anggap aku cerewet, tak mau peduli kelelahannya mencari uang. Hanya bisanya menghabiskan uang yang dia peroleh susah-payah, tanpa mampu memberikan kontribusi sedikitpun. Padahal, aku berusaha lho! Hanya hasilnya memang belum kelihatan. Masalah ekonomi agaknya tetap jadi problem utama di keluarga kami. Caraku mengatur keuangan yang dianggap kurang becus, keinginanku untuk buka usaha catering sendiri tapi belum menunjukkan hasil yang baik. Perbedaan apa yang dia kira baik dengan apa yang aku butuhkan, seringkali juga membuat pertengkaran kami semakin memuncak.
  • Masalah ke tempat ibadah. Tiap hari Minggu, aku inginkan dia bersama anak-anakku beribadat bersama. Bukan melulu main komputer lagi-BB lagi-YM lagi-FB lagi, atau nonton TV lagi. Kami butuh waktu-waktu bersama, bukan melulu memusatkan perhatian pada benda mati. Kalau tidak lagi peduli padaku, setidaknya anak-anak ini juga perlu figur Papa buat mengisi kekosongan rongga mereka. Seolah Papa adalah figur tak tersentuh. Yang sibuk, galak, tak mau mengerti mereka, karena Papa sibuk cari uang buat memenuhi kebutuhan keluarga ini.
  • Kata-kata kasar itu melukaiku. Dari semua yang paling melukaiku adalah dia selalu menyebut nama mantanku. Terutama yang membuatnya cemburu buta, dan mengejek serta mengulang-ulang: “ Kenapa kamu tidak kawin sama dia saja?” Aku tak bisa berkata-kata lagi. Terdiam. Itu menyakitkan tetapi dia terus lakukan. Upayaku melawan dengan kata-kata juga, dibalas terlebih menyakitkan, dan terakhir dibalas dengan tindakan fisik. Pukulan. Belum lagi perkataan: bodoh, tolol, tak becus mendidik anak, bego, monyet, dan serangkaian kata-kata yang tak pernah pantas diucapkan oleh seseorang yang mencintai istrinya, dia lontarkan seperti senapan yang ditujukan padaku. Tanpa henti.
  • Kalau aku pergi, meninggalkan dia dan anakku yang tiga orang itu. Apa jadinya mereka? Mungkin suamiku tak peduli. Mungkin yang hanya mencariku adalah anak-anakku. Aku tak pernah berani mencobanya. Namun aku juga tak mau mencobanya. Karena bagiku mereka sebetulnya tetaplah bagian tak terpisahkan dari hidupku. Hanya dalam menjalani hari-hariku, harus kuakui, tak mudah. Banyak kali aku sering menangis juga. Mengasuh tiga anak di zaman sekarang bukanlah pekerjaan mudah. Pembantu yang membantu cuci gosok dan bersih-bersih rumah juga terkadang tidak cukup mengobati kelelahanku. Aku harus memasak sendiri dan terlebih mendidik tiga anakku itu. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Menjalani hari-hari begini aku ingin menyerah juga… Tapi hatiku menyuruhku bertahan. Aku hanya bertanya: sampai kapan? Sampai kesabaranku habis?

Dari analisa itu, kudapati keberanian mengemukakannya pada suamiku. Anggaplah, ini upaya terakhir rekonsiliasi hubungan pernikahan kami. Anggaplah kalau upaya ini gagal (mungkin) aku akan memutuskan untuk cerai dari dirinya. Karena aku sendiri sudah tak tahan lagi, dan aku kira berada pada kondisi perkawinan seperti ini tidaklah sehat bagiku secara mental. Kalau tak bisa cerai mungkin aku akan pilih pisah rumah. Tapi aku tak tahu, kapan aku akan betul-betul berani mengungkapkannya? Kalau tidak hari ini, mungkin aku takkan pernah berani lagi… Tetapi keberanianku hanya setengah. Jadi kuputuskan saja untuk ‘print’ surat yang sudah kuketik di dokumen ‘Word’-ku.

Daniel,

Sebetulnya aku malu untuk mengungkapkan hal ini. Tetapi karena aku sudah tak tahan lagi, kau pasti akan bilang aku cerewet kalau aku bicara terlalu banyak. Namun, aku rindu masa-masa kita dulu. Aku rindu masa-masa di mana kita bisa seirama dalam melangkah. Bukan seolah dansa yang keliru melulu begini. Kita menarikan salsa dengan lagu hip hop, kita menarikan waltz dengan lagu dangdut. Seolah tak cocok lagi. Tanpa berpanjang kata, aku hanya rindu dirimu yang dulu.

I miss you, but I hate you.

Judul lagu itu menggambarkan kondisi hatiku sekarang ini. Aku rindu kamu, tapi tingkahmu yang melulu melukaiku bikin aku mulai tersiksa dan membencimu juga.

Adakah kemungkinan kita kembali seperti dulu? Jika tidak, mungkin aku pilih kita pisah rumah saja, karena aku tak tahan lagi.

Frieda.

Diam-diam, kulipat surat itu, kumasukkan ke dalam amplop putih panjang. Dan kuselipkan di tas kerja Daniel. Entah apa yang bakal terjadi. Entah dia akan baca atau tidak. Mungkin juga dia akan buang setelah melihat tulisanku: Dearest Daniel-my hubby. Aku tak tahu, setidaknya aku ingin lakukan sesuatu.

Hari itu aku menunggu dengan gelisah. Semua SMS dan telepon yang masuk, jangan-jangan ada yang dari Daniel? Tetapi ternyata tak satu pun berita yang masuk dari Daniel. Aku mengeluh dalam hati. Kecewa berat. Mungkin cintanya padaku sudah benar-benar musnah. Sehingga dia tak lagi peduli padaku, apalagi perasaanku. Mungkin aku dianggapnya cengeng. Setelah puas memikirkan segala pikiran negatif yang memenuhi kepalaku, aku mulai bersiap untuk berbenah. Mungkin ini hari yang bersejarah. Kalau sampai malam nanti dia tak ada respons, aku akan pergi. Pergi dari penjara ini. ‘Prison break’.

Sore jam enam tiga puluh. Tumben, dia pulang pagi. Daniel suamiku pulang. Tanpa ekspresi. Dia mengganti bajunya lalu duduk di komputernya. Tidak lapar katanya. Tak selera makan. Aku diam, menunggu kalau-kalau dia akan mengajakku bicara. Dia malah diam saja. Seolah lidahnya membeku. Bicara denganku benarkah sesulit itu?

Aku masuk ke kamar kami, anak-anak kami masih ribut urusan televisi. Berebutan’channel’ seperti biasa. Ketika akan kuambil tas kecil yang kuisi baju buat beberapa hari tinggal di rumah orang tuaku, kulihat ada sepucuk surat di situ. To: Frieda, istriku.

Isinya cuma singkat. Di kertas HVS itu, tulisannya dengan spidol biru tua terpampang lebar-lebar: ‘I HATE YOU BUT I DON’T MISS YOU!!!’

Aku sudah hampir marah menahan emosi jiwa. Keterlaluan ini. Aku sudah siapkan diriku. Urus saja sana tiga anak-anakmu!

Tetapi, kuperhatikan lagi, tulisannya itu belum selesai. Ada panah kecil menunjuk ke halaman sebaliknya. Dengan segera, kubalik:

Aku bohonggg… ‘I MISS YOU too!’

Daniel.

Sebal, merasa dipermainkan, kudatangi dia. Kupukul punggungnya dari belakang, agak kencang. Dia tertawa terbahak-bahak. Inilah suami yang kucintai, tetapi memang urusan kami tak semudah itu diselesaikan. Surat-suratan tak cukup untuk membuat segala permasalahan yang sudah runyam terselesaikan seperti menjentikkan jari. Tapi… Mungkinkah ini awal yang baru bagi kami?

Dia lalu memelukku. Dia bilang, “ Maaf ya, Fried! Kalau aku selama ini menyebalkan. Aku mencoba memperbaiki diriku, ya. Tapi aku tak janji akan seberapa cepat kita kembali seperti dulu lagi atau mungkin kita tak pernah kembali seperti dulu karena memang kisah kita sudah berbeda dengan tambahan tiga buntut kita yang lucu-lucu itu. Tapi, aku sadar, aku salah.”

Aku merasa amat lega. Jujur, masih ada ketakutan yang menghantuiku. Bagaimana kalau dia mengulang lagi perbuatan-perbuatan kasarnya itu. Makian dan cercaan itu? Hinaan itu? Tak semudah membalikkan telapak tangan, dia bisa berubah sekejap gara-gara surat ini, kan?

“ Fried, selama ini aku menghadapi masalah di kantor, aku tahu, tak seharusnya kubebankan kepadamu tanpa kautahu apa salahmu. Tapi, aku bukan pengontrol emosi yang baik. Aku mohon maaf.” Dia kembali bicara dengan lembut dan perlahan.

Aku tak tahu harus percaya penuh atau tidak. Yang pasti, hari ini kulihat adanya niat tulus dari dirinya. Mungkin tidak mudah dan tidak mulus, tapi biarlah kuberi kesempatan untuk melihat apa yang akan terjadi di hari depan nanti. Karena untuk pisah sebetulnya tidaklah mungkin bagiku.

Tiga anak kami memelukku dan kutarik suamiku ke dalam pelukan mereka. Kini, kami semua berpelukan. Erat. Semoga ini jadi awal yang baru bagi kami. Semoga apa pun yang terjadi nanti, kami diingatkan bahwa ada masa-masa di mana kami pernah saling mencinta dan ingin mengulangnya lagi.

Surat-suratan singkat ini, membuahkan hasil lumayan bagi kami. Kau mau mencobanya? :)

HCMC, 22 Maret 2010

-fon-


sumber gambar:
http://images.google.com.vn/imgres?imgurl=http://images2.layoutsparks.com/1/231848/i-miss-you.jpg&imgrefurl=http://www.layoutsparks.com/myspace-layouts/miss-you_0&usg=__K-73kgnHWsxjtiRHpfgwrX79Eg8=&h=833&w=1023&sz=61&hl=en&start=17&um=1&itbs=1&tbnid=0z4-I6qG5eKjeM:&tbnh=122&tbnw=150&prev=/images%3Fq%3Di%2Bmiss%2Byou%26um%3D1%26hl%3Den%26sa%3DN%26tbs%3Disch:1

Being Mom: Good Girl


Hari-hari belakangan, Odri mulai sulit diatur. Suka mencubit terutama mamanya dan akan bereaksi amat keras bila ia dilarang sesuatu. Kadang, sebagai orang yang banyak interaksi dengannya minus waktu-waktu di sekolah, aku pernah juga kesal. Tapi, apa mau dikata, namanya memang mengasuh anak tak pernah mudah, ya… Apalagi jaga sendiri. Dicubit balik, kadang dia cubit lagi. Ahh, hanya bisa mengelus dada… Sabarrr…

Hari ini.

Teman dari Jakarta tiba, kami janjian di Notre Dame Basilica (Gereja Katedral Saigon) di pusat kota. Menit-menit terakhir, Odri mau ikutan. Ya sudah, dengan janji jadi anak baik (alias ‘good girl’), kami pergi juga. Selama perjalanan, betul Odri sudah jadi anak yang cukup baik ketimbang biasanya. Kecuali saat dia tiba-tiba pengin naik MRT. Haduh, ananda… Di mana ada di HCMC ini???

Entah mengapa, mungkin karena keletihan dan kurang makan aku tiba-tiba drop tekanan darahnya hari ini. Melihat wajahku yang pucat pasi hampir pingsan (untungnya ada temanku, mamanya dan suaminya), Odri tiba-tiba mengelusku. Seolah ingin mengurangi bebanku. Selama menunggu suamiku datang menjemput kami (karena awalnya aku hanya pergi dengan Odri), Odri betul-betul jadi anak baik. Si Tante menyuapinya dan sesekali itu tadi, dia mengelus wajahku dan mengerti kalau aku sedang sakit.

Sesampainya di rumah, bangun tidur dan kondisiku mulai membaik, dia bisa bertanya lagi: “ Mama are you finish?”

Maksudnya Odri??? Mama gak ngerti…

“ Mama hao liau? Sen ping?” (Mama sudah sembuh, sakitnya?)

Aku hanya diam. Memeluknya, mencium pipinya. Dia perhatian sekali hari ini. Untuk anak umur tiga tahun, aku bersyukur atas hal ini.

Kupeluk dia erat.

Terima kasih, Nak, untuk perhatianmu.
Ada hari-hari memang di mana Mama kesal padamu, dalam kesendirian dan keletihan Mama, kadang Mama juga bisa kurang sabar.

Namun, ada hari-hari seperti hari ini. Di mana Odri seolah begitu dewasa dan mengerti bahwa mamanya sedang kurang enak badan. Bagian dari ‘parenthood’ yang tak ternilai dan tak tergantikan dengan apapun.

Thanks, Odri! Terima kasih Tuhan. Semoga Kauberi kami kekuatan untuk mendidiknya menjadi anak yang baik. Amin.

HCMC, 21 Maret 2010,

-fon-

Sumber gambar:

http://opinionsandexpressions.files.wordpress.com/2008/07/ist2_2304394-baby-girl.jpg