Sunday, November 16, 2014

Smile to the Beautiful Morning


Tidak setiap pagi menyenangkan…
Banyak kali, pagi itu adalah hari yang mengecewakan.
Sisa semalam, seminggu yang lalu, atau setahun kemarin….
Duka yang masih ada, luka yang masih menganga…

Ada kalanya rasa kantuk masih begitu membelenggu dan sukar untuk dilawan.
Seperti pagi itu.
Beautiful?
Halahhh
Sungguh iklan bakery itu benar-benar seolah mengejekku.
Tulisan itu berbunyi : “ Smile to the beautiful morning.”
Padahal, aku tahu.
Maksud mereka tentunya baik.
Lagian, siapa juga yang tidak ingin paginya indah?
Tidur nyenyak, mungkin mimpi bertemu pangeran pujaan hati bagi mereka yang jomblo, mimpi naik pangkat, punya mobil keren…
Dan, bangun pagi dengan kesegaran prima.
Maunya setiap hari seperti itu.
Maunya, sih
Nyatanya?
Seperti pagi itu…
Atau pagi-pagi yang lain…
Terkadang begitu sulit untuk mengucap syukur akan datangnya pagi.

Dalam 365 pagi, atau 366 pagi di tahun Kabisat…
Berapa persen sih, yang membuat senyum kita sumringah?
Atau, kalau sulit dihitung dengan persentase, berapa hari yang begitu sesuai dengan impian kita?
Mungkin pertengkaran dengan pasangan-entah suami atau istri- yang belum selesai semalam.
Mungkin anak yang tengah tidak enak badan, sehingga tidur kita pun tak nyenyak…
Mungkin tumpukan deadline pekerjaan di kantor yang bikin seolah diburu-buru tiap pagi…
Mungkin kemacetan Jakarta yang harus diperjuangkan untuk dilalui setiap hari…
Mungkin stres ujian bagi mahasiswa atau pelajar..
Berjuta kemungkinan yang bisa kita hadapi hari itu…
Berjuta kemungkinan yang seolah merenggut indahnya pagi dari diri kita…

Padahal, di bawah segala tekanan itu tadi, apakah jadinya pagi itu tidak indah?
Apa jadinya tidak ada sama sekali kebaikan atau keindahan di dalamnya?
Atau, apa kita yang seolah ‘tertutupi’ atau ‘terbutakan sementara’ akan indahnya pagi karena permasalahan yang mendera, sehingga membuat kita tak bisa mensyukuri kehadirannya?

Seburuk apapun, pagi ini kita masih bernafas.
Itu berarti masih ada harapan untuk menjadi lebih baik.
Seburuk apapun, pagi ini kita masih bisa menjalani peranan atau pekerjaan kita…
Mari usahakan yang terbaik yang kita bisa…
Seburuk apapun, masih ada keindahan yang patut disyukuri.
Sehingga, pagi ini dan pagi-pagi berikutnya yang masih dianugerahkan-Nya pada kita,  semoga senantiasa kita syukuri…
Tak lagi aku mengeluh.
Perlahan tapi pasti, senyuman mulai mengembang di sudut-sudut bibirku…

It is indeed a beautiful morning!
And there’s always a reason to smile.
As soon as I smile,  I can feel a wonderful shade of happiness gradually fills my heart.
Yes, I’m grateful for this beautiful morning.
Thanks be to God!

Seolah alam pun memancarkan keindahannya yang terbaik pagi itu.
Sesudah hujan, pelangi menghiasi langit biru.
:)



Singapore, 16.11.2014
fon@sg
*inspirasi dari iklan Breadt*lk  yang belakangan sering dipajang di outlet-outletnya…




Friday, November 7, 2014

Something About Love... (Cerpen)


“Ketika cinta memanggilmu, maka dekatilah ia walau jalannya terjal berliku.  Ketika cinta memelukmu, maka dekapilah ia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu.”― Khalil Gibran


Masih terngiang jelas di telingaku dan lekat dalam ingatanku akan tulisan Pujangga ternama-Khalil Gibran itu.
Cinta? Hmmm, aku tersenyum.
Sunggingan di bibirku itu tak terlalu manis, sedikit sinis.
Aku sejujurnya sudah tidak tahu lagi apa arti cinta sesungguhnya.
Ketika cinta itu begitu indah, berwarna, dan bermakna di awal perjumpaan kita...
Aku menikmati setiap detiknya, setiap hembusan nafasnya ke dalam hari-hari kita.
Kusyukuri itu semua...
Begitu membahagiakan dan membuat berbunga-bunga.
Jalan kita terbilang mulus di kala itu, tak banyak hambatan berarti.
Perkenalan-pertemuan-berpacaran-dan kemudian memutuskan untuk menikah.
Ya, tentu saja aku ingin menikah denganmu.
Menghabiskan masa tuaku bersamamu, jika Tuhan menghendaki kita berumur panjang, dan saling mengisi sampai akhir nanti...

                                                                           ***

Aku begitu bahagia ketika aku mengenakan pakaian pengantin wanita.
Kurasakan kebanggaan itu.
Aku merasakan kepenuhan diriku sebagai wanita...
Kita akan menikah...
Kita saling cinta...
Ah, indahnya!
Aku merasa bagaikan seorang Putri yang disunting Pangeran berkuda putih...
Meninggalkan kastil kejombloanku dan mengikuti kamu ke mana pun kamu pergi.

Tetapi, bahagia itu hanyalah sementara.
Bunga-bunga yang seolah bermekaran, suatu saat akan layu juga.
Perasaan yang berbunga-bunga di masa lalu, menjadi perasaan pilu di suatu waktu...
Saat kita tak lagi saling mengerti, saat kita tak lagi saling peduli.
Saat kita melihat begitu banyak perbedaan yang seolah baru kita sadari.
Padahal, yang menyatukan kita di awal relasi ini adalah seolah ada begitu banyak kesamaan dalam diri kita yang mempererat tali cinta kita...
Sekarang? Aku duduk termenung.
Meragu.
Dalam bimbangku aku hanya bisa membenamkan diri di bantalku-saat kamu tak ada di sisiku.
Juga, saat aku berada di toilet.
Kamar mandi seolah menjadi tempat yang paling ideal buat menumpahkan segala keresahan di hatiku.
Aku jadi sering berlama-lama di sana, bukan hanya melakukan kewajiban yang seharusnya, namun aku juga menumpahkan segala rasa.
Tangisku. Gelisahku.
Semua tertumpah di situ.

Pernah kucoba menonton drama Korea seperti saran beberapa sahabatku.
Aku menyukai beberapa pemerannya, terlarut di dalamnya...
Namun, kesedihan itu seolah kembali menghujam ketika aku rasa betapa cuek dan dinginnya sikapmu...
Kamu bukanlah Lee Min Ho yang berperan sebagai Kim Tan di serial 'The Heirs', yang rela melakukan apa saja demi Park Shin Hye yang berperan sebagai Cha Eun Sang.
Begitupun kamu bukanlah Do Min Joon yang mau melakukan apa saja, bisa datang kapan saja karena dia makhluk luar angkasa demi kekasihnya Cheon Song Yi dalam serial 'My Love From Another Star'.
Waktu berdua? Tak lagi ada.
Selalu alasanmu adalah pekerjaan dan pekerjaan senantiasa.
Belum lagi pertemuan dengan sahabat-sahabatmu. Golf-mu. Internet-mu. Gadget-mu.
Ah, sudahlah...
Terkadang ada rasa segan dan enggan untuk memikirkan hal ini.
Karena pada akhirnya hanya akan berujung sakit hati.

Beginikah cinta kita pada akhirnya?
Jalan yang berliku?
Ada pedang di sela-selanya?
Mungkin aku yang keliru...
Berharap terlalu banyak padamu...
Namun, sungguh karena cintaku (ya, sampai hari ini aku masih cinta padamu)...
Aku berani menjalani ini semua bersamamu...

Ini tahun kesepuluh pernikahan kita, sayangku.
Dan, jika anak yang menjadi alasanmu...
Kita memang belum dikaruniai-Nya, kita sudah cek ke mana-mana...
Tak ada yang salah kata mereka...
Namun, kenyataan berkata lain...
Kita masih belum punya buah hati yang konon akan melengkapi keceriaan rumah tangga kita.

Aku tak tahu, akankah hidup kita lebih bahagia dengan hadirnya anak-anak di dalamnya?
Mungkin iya, mungkin juga tidak...
Karena kupikir, jika kita tak sanggup bahagia di saat ini, apa kita sanggup bahagia di berbagai babakan kehidupan kita?
Tentunya, sebagai seorang wanita, aku sungguh mengharapkan setidaknya seorang buah hati lahir dari rahimku sendiri.
Bagiku, itulah kepenuhan diriku sebagai seorang wanita seutuhnya.
Merasakan seorang bayi tumbuh dan berkembang di dalam tubuhku...
Merasakan genggaman tangannya nanti saat dia lahir ...
Mendengarkan tangisan pertamanya saat dia membuka matanya ke dunia...
Sungguh, aku merindukan momen itu...
Sungguh ingin aku merasakan itu semua...

Jangan suruh aku berdoa!
Sudah kering air mataku saat memanjatkan seluruh keluh-kesah yang ada...
Sekarang tahapnya aku menerima (jika tidak kukatakan aku terpaksa menerimanya).
Karena jika tidak pun, hatiku semakin terasa teriris.
Kamu dan kesibukanmu.
Kamu dan kecuekanmu.
Aku dan kesepianku.
Aku dan kesendirianku...
Aku dan harapanku untuk jadi seorang Ibu...
Apa kamu pernah tahu segala kesedihan di hatiku?
Komunikasi kita sudah macet total seperti jalan tol yang tengah mengalami kecelakaan fatal.
Aku kecewa, sayangku...
Sungguh!

                                                                                 ***

Ketukan itu cukup keras dan berulang-ulang di pintu kamarku.
Kubuka pintu dengan sedikit kesal.
Tumben Si Mbak agak kurang ajar seperti ini pikirku.
Ketika kubuka, setengah tak percaya, kupandangi wajahmu dengan takjub.
" Da..niel..?"
Ujarku terbata-bata.
Kau diam saja, namun langsung memelukku.
Aku tak bisa menghalangi air mata yang jatuh membasahi pipiku.
Air mata haru bercampur kerinduan yang mendalam pada seorang Daniel-suamiku.

" Maafkan aku, Vy. Ini salahku. Aku tak seharusnya cuek padamu. Seharusnya aku membenahi persoalan yang mendera rumah tangga kita, bukannya malah menjauh dan lari darinya." Ucapnya dengan nada penuh keseriusan.

" Aku juga sa...lah, Daniel. Ma...ma..mafkan aku, ya..."
Ucapanku juga terbata-bata, diiringi tetesan air mata dan isak tangis bahagia.

Ini babak baru dalam relasi kami.
Persahabatan yang mengawali hubunganku dengan Daniel, kembali tercipta.
Ya, kami masih menunggu buah hati kiriman dari Yang Kuasa.
Namun, kami menjalani hari demi hari penuh bahagia.
Saling mengisi-saling mengerti.
Sebagaimana janji pernikahan kami dulu...
Setia dalam untung dan malang...
Dan mau mencintai dan menghormatinya.
Seumur hidupku.
Bintang di atas sana seolah berpijar dengan cahaya yang paling terang malam ini.
Seolah menerangi perjalanan episode kami kali ini.
Semoga terang-Mu terus membimbing kami, ya Tuhan.

the end.
@copyright Fonny Jodikin

07.11.2014
fon@sg

Tuesday, November 4, 2014

Daun-Daun Berguguran

Daun-daun berguguran.
Bukan, bukan di luar sana.
Melainkan di hatiku.
Cuaca di sini tetaplah hanya musim hujan dan kemarau.
Namun, entah mengapa, tanpamu, seolah diriku luruh.
Satu per satu...
Bak daun-daun yang menguning dan berjatuhan.
Terkadang kurasa sulit menghirup nafas dengan lega.


Jarak.
Ya, dia memang telah memisahkan kita.
Bukan hanya jarak antarbenua.
Itu pernah kita taklukkan bersama...
Sekarang jarak kita tak lagi sejauh dulu.
Kita sudah sekota.
Namun, jarak di hati kita mengalahkan jarak antarbenua itu.
Berpuluh bahkan beratus kali lipat...


Daun-daun berguguran.
Bukan, bukan di luar sana.
Melainkan di hatiku.
Luruh satu per satu...
Seperti cinta kita yang pudar.
Seperti renggangnya tali rasa yang pernah terjalin.
Diiringi hujan air mata...
Saat harus berkata, " Cukup sampai di sini kisah kita."
(-fon-)


@copyright Fonny Jodikin November 2014