Monday, December 22, 2008

Refleksi Akhir Tahun

Refleksi Akhir Tahun

Mungkin dua tahun terakhir ini adalah tahun di mana saya mengalami perubahan drastis yang sudah sering saya ceritakan. Dan setahun belakangan ini, walaupun adaptasi sudah berjalan cukup baik, namun masih saja banyak kerikil di sana sini yang belum mampu saya atasi. Sampai akhirnya, memasuki bulan Desember tahun 2008 ini, saya merasakan bahwa saya bisa melihat dari kaca mata yang baru.
Saya bersyukur sekali dan dalam hati ada damai yang baru…

Everything…
Ada satu fase di dalam hidup saya, di mana saya kira, saya memiliki segalanya. Segalanya dalam versi saya, tentunya amat berbeda dengan segalanya dalam versi orang lain. Mungkin buat orang lain harus punya rumah 5, mobil 5, baru memiliki segalanya…
Namun, bagi saya waktu itu adalah, saya memiliki karir yang cukup lumayan, keluarga dan teman-teman yang amat mendukung dan sangat mengasihi saya, dan pelayanan yang saya sukai… Bagi saya, saya memiliki segalanya saat itu. I had ‘everything’ back then, back to the year 2004…
Karir semakin baik, semakin naik… Dan segalanya itu bertambah dengan kehadiran seorang pacar yang puji Tuhan sesuai dengan impian dan dambaan saya, yah… saya merasa amat bersyukur karena saya punya segalanya!
Dan list of ‘everything’ itu bertambah, ketika sang pacar menyatakan keseriusannya untuk membina rumah tangga. Wow, rasanya sempurna sekali!
Tidak lama setelah menikah, saya pun hamil dan berita kepindahan kami ke Singapura menambah sempurna list of ‘everything’ itu.
I couldn’t ask for more… God has been so good to me!

Nothing…
Ternyata setelah kepindahan saya, saya rasakan kehampaan karena perubahan ini ditambah tidak adanya teman-teman yang dekat di hati plus kesulitan mencari pekerjaan. Memiliki anak, suatu sukacita yang amat besar, namun amat melelahkan bila harus menjaga sendiri. Salut untuk para ibu zaman dulu yang bisa memiliki banyak anak tanpa mengeluh.
Dan tiba-tiba saja, everything yang ada pada saya beberapa waktu yang lalu, saya rasakan diambil begitu cepatnya… And I left without anything. Nothing!
Kenyataan yang sulit diterima dan cukup pahit, saya jalani. Tidak melulu sabar, karena saya pun banyak mengeluh. Saya berusaha sabar, tetapi terkadang saya merasa ini semua sungguh di luar kekuatan saya. Saya mendapati diri saya mengalami kesulitan untuk menerima segala perubahan ini. Saya tidak mampu melihat hal-hal baik dalam hidup saya…
Sampai akhirnya….

Something…
Saya mulai bisa melihat kalau Tuhan tidak pernah melencengkan jalan kita tanpa sebab. Karena dia merencanakan sesuatu. That special ‘something’ in His plan is waiting for me. Some good things for a better me…
Di akhir tahun ini, saya mulai bisa melihat bahwa Tuhan berkehendak lain terhadap kehidupan saya. Di mana dia tanamkan ide dan kerinduan untuk beberapa hal. Yang utama adalah menjadi penulis dan puji Tuhan sudah mulai terlihat jalan! Semoga bisa terlaksana di pertengahan tahun depan. Satu hal lagi bisnis online dengan suami yang masih dalam tahap penggarapan. Dua hal ini akan saya informasikan kemudian bagi teman-teman semua.
Tapi, puji Tuhan! Sungguh dengan segala ketulusan, saya mohon ampun kepada Tuhan untuk segala kekerasan hati saya untuk mempertahankan ‘everything’ I had, only to find that from ‘nothing’, He will build me once again. He will give me another plan, ‘something’ good, ‘something’ beautiful in His perspective for me.
Saya mulai bisa melihat lagi bahwa Tuhan sungguh baik selama dua tahun ini, dia memberikan saya keluarga yang baik, suami dan anak yang baik dan lucu. Tuhan memberikan saya dan keluarga kesehatan. Hal yang amat mahal bagi sebagian orang. Dan hal-hal kecil yang tak terlihat, tiba-tiba saja menjadi jelas karena saya memakai mikroskop thankfulness to the Lord.

Dan sesungguhnya, saya tidak tahu, ke depannya akan bagaimana. Tetapi ada kedamaian luar biasa yang saya rasakan, karena saya percaya kepadaNya. Bahwa di balik reruntuhan kesombongan diri saya, Dia akan menata saya kembali dengan cintaNya. Dan berbisik sekali lagi bahwa saya harus percaya kepadaNya dengan segenap hati saya. Karena apa pun yang terjadi, Dia tidak pernah lepas tangan atas saya!

Happy New Year, God! Happy New Year, friends!
I’ve never been so excited in my life towards a new year… Selama ini, setiap tahun berlalu begitu begituuu saja, tetapi tidak tahun ini…
Dengan harapan, segala sesuatu jadi berbeda.

So, bila saat ini, kamu berada pada kondisi ‘everything’, remember that there will be some day that you feel that ‘nothing’ in your life… Hampa, tidak ada apa-apanya sama sekali, semua terasa membosankan. Namun, di saat siklus itu berbalik kembali kepada ‘something’ dan nanti ‘everything’… Just remember itu adalah kebaikan Tuhan yang mengizinkan kita mengalami siklus hidup. Sekali lagi hanya untuk mendewasakan kita dan menjadikan kita seseorang yang lebih baik.

Singapore, December 23, 2008
-fon-
* New Year comes early this year… Especially in my heart :)

Tuesday, December 2, 2008

Tetap Setia

Tetap Setia

Dari hasil obrolan via email dengan seorang teman yang menyarankan aku untuk menulis mengenai perkawinan- khususnya perkawinan Katolik- maka tulisan ini dibuat.
Jujur, menuliskan perkawinan, apalagi setelah menjalaninya juga, bukanlah sesuatu yang mudah. Dalam arti, mengerti betapa sakralnya pernikahan itu, at the same time, betapa kompleksnya pula permasalahan yang dihadapi, padahal kalau dipikir-pikir hanya ada dua pribadi. Tetapi kompleksitas itu berkembang karena perkawinan di Indonesia juga menyangkut perkawinan antarkeluarga. Di mana harus juga berhadapan dengan mertua, ipar, keluarga besan, dan sebagainya.
Dua orang digabungkan menjadi satu saja, sudah cukup berat. Karena banyak perbedaan yang harus disesuaikan antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu bukan hanya sekedar karakter, tetapi juga bagaimana cara masing-masing keluarga membesarkan si anak, sehingga si anak menjadi pribadi yang seperti sekarang ini. Juga tak kurang, pengalaman si anak beradaptasi dengan lingkungan yang dihadapi seperti : sekolah-teman-guru-pacar-dan semua orang yang ditemuinya sepanjang perjalanan hidupnya, juga mempengaruhi dan memberi warna bagi kepribadian si anak.

Well, tulisan ini juga bukan untuk menakut-nakuti para single yang sedang berpacaran, ataupun yang tengah memimpikan suatu pernikahan. Namun rasanya, kita tidak bisa menutup mata, bahwa permasalahan ini ada, timbul, dan berkembang di tengah dunia yang semakin cuek dengan lembaga perkawinan. Dan sementara perkawinan Katolik harus berdiri tegar dengan monogami dan tak terceraikan. Dan itu tidak mudah!

Singkat cerita, temanku itu prihatin dengan kondisi di sekitarnya, di mana dua orang teman baiknya sedang berada dalam proses perceraian. Dua-duanya menikah di gereja Katolik. Yang satu sakramen, yang satu pemberkatan (salah satu pasangan bukan Katolik). Kedua istri bekerja dan permasalahan itu bukan karena pihak ketiga, namun karena materi dan perseteruan dengan keluarga suami.
Aku pribadi juga melihat beberapa perceraian, ada yang memang bermasalah dengan suami yang ternyata setelah dinikahi tidak memberikan nafkah, atau ada juga permasalahan dikarenakan si istri balik lagi dengan pacar lamanya dan tidak mempedulikan sang suami.
Banyak hal yang bisa menyebabkan perceraian itu terjadi.
Cerai menjadi kata yang begitu gampang terlontar ketika terjadi pertengkaran. Atau setidaknya pemikiran untuk pisah rumah sering menghinggapi banyak pasangan ketika timbul konflik. Tidak terbayangkan, mengapa perkawinan yang dulu diimpikan sebagai satu lembaga yang merupakan tempat bertumbuh dalam kasih, koq berbalik menjadi lembaga yang penuh sakit hati, di mana para anggotanya-suami dan istri- berlomba menyakiti hati satu sama lainnya?
Di mana kesetiaan yang diucapkan saat di altar? Yang bersama akan saling menanggung dalam susah senang, untung malang? Di mana kasih, di mana cinta tanpa syarat (unconditional love) yang mampu mengampuni tanpa batas? Tiba-tiba menguap entah ke mana.

Ketika berpacaran, semua terasa indah. Satu sama lain ingin menyenangkan pasangannya. Dan rasanya dunia indah sekali, milik berdua, yang lain ngontrak :).
Tidak demikian halnya ketika menikah. Banyak permasalahan yang dihadapi. Dari mengurus keuangan yang banyak menjadi sumber permasalahan (banyak perceraian juga dikarenakan manajemen uang ini), hubungan dengan mertua-ipar juga menduduki peran yang tak kalah pentingnya, dan of course WIL/PIL pihak ketiga.

Aku termenung. Memang begitu kompleksnya pernikahan, apalagi jika sudah diarungi sekian tahun. Aku baru akan memasuki tahun ke-3 pernikahan kami, masih balita. Aku tak hendak memberi ceramah, karena rasanya masih sangat hijau dalam perkawinan juga, namun aku hanya ingin menghimbau, sekaligus menghimbau diriku sendiri untuk tetap setia dalam perkawinan yang sudah diberikan Tuhan kepada semua yang sudah menikah dan memilih pasangan hidupnya.
We can try for a better married life! Kenapa tidak?

Kira-kira begini mungkin tips bagi kita semua:
1.Libatkan Tuhan sebagai pusat perkawinan itu sendiri.
Dengan melibatkan Tuhan sebagai ‘center’ akan menjadi lebih mungkin bagi kedua belah pihak untuk saling mengampuni. Tidak ada yang mustahil bila Tuhan campur tangan. Dan rasanya, tidak ada perselisihan yang tak terselesaikan, apabila kita mau melihat dari sisi orang lain, dari sudut pandang pasangan kita, dan bukan hanya terpaku dalam pemikiran dan anggapan bahwa diri sendiri yang paling benar.

2.Komunikasi, komunikasi, sekali lagi komunikasi.
Di tengah zaman gadget ini, rasanya komunikasi menjadi hal yang mudah, apabila kedua belah pihak menginginkan perbaikan. Ada handphone yang bisa mengirim SMS, MMS, dan saling bertukar cerita. Ada internet yang memungkinkan untuk chatting, e-mail, bahkan saling melihat wajah lewat web cam. Dan sebagainya. Tetapi masalahnya terkadang, dengan yang serumah, dengan pasangan, komunikasi rasanya koq mentok, rasanya sudah tidak banyak yang bisa dibicarakan, karena kalau dibicarakan, hasilnya perang. Jadi, untuk beberapa pasangan lebih baik diam, daripada ribut. Dan hasilnya, masing-masing semakin tenggelam dalam pikiran dan kesibukan masing-masing, yang ujung-ujungnya saling menjauh. Mengupayakan komunikasi yang lebih baik tidak mudah, namun hendaknya berusaha untuk itu. Dulu waktu berpacaran, kenapa yah bisa ngobrol berjam-jam? Lha koq setelah menikah, jadinya cuma bicara seperlunya? Ironis? Untuk banyak pasangan itulah yang terjadi.

3.Find a time on your own
Bo Sanchez, penulis kondang asal Filipina, selalu menyediakan waktu seminggu sekali untuk nge-date dengan sang istri. Hal yang patut dipuji, di tengah segala kesibukannya berkotbah keliling dunia, dia masih menyempatkan diri untuk membawa istrinya untuk menghabiskan waktu berdua saja. Ini penting untuk menciptakan atmosfir yang positif dalam keluarga, dalam rumah tangga. Untuk yang masih memiliki anak kecil, mungkin hal ini sulit, karena si anak belum bisa ditinggal. Namun, bisa dicari jalan keluarnya, mungkin tidak perlu seminggu sekali, namun sebulan atau dua bulan sekali. Bisa minta tolong saudara dekat untuk membantu mengawasi si anak. Atau apabila kedua pasangan rela menunda waktu berdua, waktu pergi dengan si anak juga bisa menjadi waktu yang berkualitas bagi si keluarga. Tidak perlu yang mahal, bisa ke taman bunga, taman bermain. Semua orang berusah menghemat di tengah krisis moneter ini, dan waktu yang berkualitas tidak sama dengan penghamburan uang semata. Bisa dicari jalan yang murah namun tetap berkualitas.

4.Mengingat kembali hal-hal positif pada diri pasangan.
Bagaimana kisah cinta Anda dulu? Apa yang membuatmu jatuh cinta jungkir balik karena si Dia? Apakah kepandaiannya? Apakah ketampanan/kecantikannya? Atau kebaikannya? Pasti ada sesuatu yang menjadikan kita menyukai pasangan kita dan mau menikah dengannya. Permasalahannya, di tengah kesibukan keseharian kita, hal itu menjadi terlupakan dan terlewatkan begitu saja, walaupun tampak di depan mata.
Juga mungkin dikarenakan kekesalan yang berlebihan terhadap hal yang berulang-ulang dilakukan pasangan, misalnya pelupa, sulit merapikan barang sehingga rumah berantakan, dll, membuat si pasangannya menjadi gampang marah, emosi, dan mengingat hal-hal kecil yang buruk itu. Sedangkan hal-hal baik, tertutup dengan hal-hal jelek.
Untuk jatuh cinta lagi pada pasangan sendiri, rasanya perlu menyediakan waktu untuk merenungkan hal-hal positif pada dirinya. Bila perlu menuliskannya dan membacanya kembali.
We need to fall in love with our spouse. Fall all over again!

5.Hubungan dengan keluarga besan.
Hal ini tidak mudah. Banyak pasangan mengeluhkan bahwa si mertua begini, si ipar begitu, dan sebagainya. Ini juga hal yang sensitif. Misalnya sang suami harus menerima keluhan tentang ibunya terus menerus dari istrinya sendiri. Kondisi suami berada pada suatu dilema, satu pihak ibu- pihak lain istri. Sungguh tidak mudah! Sang suami dalam istilah yang sering dipakai di sini, sandwiched, terjepit di tengah-tengah.
Dengan gaya dan cara yang berbeda, kita dibesarkan. Dan sebagai istri, hendaknya juga menyadari kesulitan si suami apabila istri berseteru dengan mertua. Tentu saja, adaptasi itu tidak mudah, apalagi harus tinggal dengan mertua yang sama sekali berbeda dengan orang tua kita. Namun, biar bagaimana pun berusaha menerima bahwa dia adalah ibu dari pasangan kita. (Permasalahan lebih sering terjadi antara istri dengan mertua perempuan, walaupun tidak tertutup kemungkinan juga bahwa suami dengan mertua juga bermasalah, namun di banyak permasalahan biasanya istri dengan mertua perempuan).
Pasangan kita tidak bisa memilih orang tuanya, dia juga adalah buah hati mereka yang dibesarkan dengan cinta. Sedapat mungkin kita berusaha hormat dengan pihak keluarganya. Walaupun banyak perbedaan yang kalau dibicarakan bisa memancing kericuhan, namun apa gunanya itu semua? Berusaha lebih positif dengan keluarga suami. Semoga dengan atmosfir dan niat positif itu, membawa perkembangan yang positif pula bagi keluarga kedua belah pihak.

6.Tidak merasa lebih baik dari pasangan.
Pasangan yang kita pilih, adalah yang terbaik di mata kita pada saat kita berpacaran dan mengenalnya. Maka, rasanya tidak adil juga bila kita menganggap diri lebih baik. Suami tidak baik rasanya bila menganggap remeh istri, walaupun dia hanya ibu rumah tangga. Dan sejujurnya ibu rumah tangga juga memiliki banyak peran yang tidak mudah juga, walaupun tidak dinilai dalam bentuk gaji ataupun uang.
Bagi para istri yang bekerja dan punya penghasilan (bahkan beberapa lebih tinggi dari suaminya), hendaknya tetap menghormati sang suami, karena dia adalah kepala keluarga. Bukan berarti memiliki uang lebih berarti bisa menginjak-injak harga diri suami.

Dalam Efesus, juga dikatakan sebagai berikut:
5:22 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan,
5:23 karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh.
5:24 Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.
5:25 Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya
5:26 untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman,
5:27 supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.
5:28 Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri.
5:29 Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat,
5:30 karena kita adalah anggota tubuh-Nya.
5:31 Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
5:32 Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.
5:33 Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.

Rasanya, kalau mau membicarakan semua perbedaan yang tak ada habisnya, tak akan pernah selesai. Namun, apabila berkeinginan untuk menikah dan saling setia dalam mempertahankan pernikahan yang monogami dan tak terceraikan, butuh usaha dari semua yang sudah menikah untuk memperkuat rumah tangga masing-masing dan melakukan semua yang bisa dilakukan untuk mempertahankan pernikahan itu.
Tidak ada yang mustahil bila melibatkan Tuhan. Semoga keinginan untuk tetap setia menjadi keinginan terdalam dalam hati setiap kita dan ingin mewujudkannya.
Menikah sebagai salah satu panggilan hidup yang diberikan Tuhan, hendaknya disertai juga dengan niat mempertahankannya till death do us part.
Last but not least, beberapa waktu lalu, aku baca di koran Singapura ini, ada pasangan yang merayakan hari jadi perkawinan mereka yang ke-72. Sang suami berumur 90-an, sementara sang istri 88. Kenapa tidak bisa? Contohnya sudah ada…:)

Singapore, 3 December 2008
-fon-
PS: thanks to Irene, my ex-colleague, for the idea to write down this.

Tuesday, November 25, 2008

Tahun ke-2 Di Singapura

Tahun ke-2 di Singapura

This time last year, I also wrote the same thing. Tapi itu tentang tahun pertama di Singapura. Perjuangan, adaptasi, dan kisah lucu tertuang di sana.
This year? I don’t know what exactly I should write. Gak ada perubahan berarti rasanya, tapi yang pasti catatan singkat ini tetap dibuat untuk melihat apa yang terjadi di tahun ke-2 ini.

Ada impian yang belum kesampaian. Seperti mau jadi penulis hehehe… Tapi tetap diperjuangkan. Mungkin suatu saat akan ada jalan. Yang pasti, penulis harus tetep nulis. And I try to do that. Bagus atau jelek, senang atau tidak, tetap menulis. Dan konsistensi menulis satu renungan tiap hari juga melatihku untuk bertahan dan setia dengan cita-cita itu. Terlepas dari apa pun hasilnya, aku serahkan kepada Tuhan. Dia yang lebih tahu, apa yang akan terjadi berikutnya. I’ve done my part, and let Him do the rest.

Ada dilema juga. Audrey makin besar, harus kerja atau tidak? Karena terbiasa aktif, membuatku terkadang sulit juga untuk tidak beraktivitas sama sekali. Mengurus anak memang bukan hal yang mudah sekaligus banyak menyita waktu, perasaan, dan energi. Namun, namanya anak sendiri, sudah layak dan sepantasnya diurusin. Dan satu sisi, itu juga merupakan privilege juga karena kan bisa melihat perkembangannya tiap waktu. Dan kalau bekerja, mungkin harus mendengar laporan dari yang mengasuhnya, either suster, pembantu, mama, atau mertua.

Kalau kerja, di tengah kondisi ekonomi yang kayak gini, apa mungkin? Secara iman, of course aku tetap percaya kalau Tuhan beri, pasti ada. Namun di sisi lain, secara realistis juga harus menerima bahwa banyak yang qualified juga tengah di lay off dan mencari pekerjaan. Not an easy time for many people…
Singapura sendiri juga mengalami resesi secara ekonomi. Ada lay offs di beberapa perusahan termasuk DBS bank yang total menurut the koran sini memecat 900 orang di Singapore, Hongkong, dan negara lainnya. Belum lagi HSBC juga sekitar 500 orang katanya dan Citigroup seluruh dunia bakal memecat 52.000 orang, Singapore pasti kena imbasnya juga, sedikit banyak pasti ada. Don’t know. I don’t know. But God knows. Heaven knows.

Mungkin yang terlihat sekarang adalah lebih terbiasa dengan negara ini. Lebih terbiasa dengan pola seorang full time mom. Dan lebih bisa menerima perubahan ini. Walaupun ada kalanya hati juga berontak, kenapa koq kayak gini, semua sekaligus digabruk ke aku at the same time, God? Tapi ada suara dalam hatiku mengajakku bersabar dan menerima, pasti ada waktuNya di mana aku bisa mengerti arti semua ini.
Maunya sih pindah di saat belum hamil, maunya sih pindah langsung dapat kerja, maunya sih bisa beradaptasi dulu sebelum jabang bayi lahir. Maunya gini, maunya gitu…
Tetapi setelah semuanya terjadi hanya bisa menerima. Terima dengan sabar. Patiently. Bukan berarti kesabaran itu membuatku menjadi lesu dan nrimo saja. Aku berusaha tetap berjuang untuk impian-impianku yang seolah terkadang kabur, karena ketidakjelasan banyak hal. Namun, satu sisi, impian yang utama dan terutama, jadi hambaNya. Di mana pun ditempatkan, menerima. Lagian, ini kan Singapore, bukan negeri antah berantah…
Walaupun demikian, masih juga harus berjuang melawan rasa sepi di sini, rasa kangen Indonesia, rasa kangen dengan temen-temen dan keluarga di sana. Yang untungnya, puji Tuhan lagi, secara jarak dekat. Ini kan Singapore, dan bukan negara di benua lain yang jauhhh… Dan juga secara dunia maya bisa jadi amat dekat. Kalau begini, thanks to internet dan teknologi…

So, kesimpulan tahun ke-2, adaptasi berlangsung lebih baik. Pola hidup menjadi lebih jelas, naik MRT, naik bus apa, naik taksi, dokter anak, memikirkan sekolah anak etc… etc…Lebih terbiasa tinggal di sini.

Dan mensyukuri sekaligus percaya, kalau memang Dia tempatkan di tempat ini, Dia akan bukakan jalan. Mungkin bukan sekarang, bukan at this point of time, but heyy… besok? Siapa tau? Bukan gak mungkin, kan?

Singapore, 25 November 2008
-fon-
* 12 menit jelang 26 Nov, saat exactly that 2 years come…

Thursday, October 23, 2008

Omong-Omong Tentang Perasaan

Omong-Omong Tentang Perasaan

Jauh…
Perasaan, akhir-akhir ini hubungan dengan Tuhan koq tambah jauh saja. Tuhan terasa tidak bisa dipahami. Tuhan terasa tidak peduli dengan membombardir dunia ini dengan krisis finansial, dengan permasalahan yang tak kunjung henti, dengan berita kematian seorang teman yang masih cukup muda dan berada di usia produktif. Dan perasaan itu terbawa dan terbawa sampai terpikir bahwa memang Tuhan tidak peduli dan tidak akan pernah mengerti. Kalau Dia peduli, mengapa Dia izinkan begitu banyak kepedihan dalam hidup ini? Kalau Dia peduli, mengapa Dia tidak menolong seketika ketika terjadi bencana? Dia kan Tuhan? Dan Tuhan itu Mahahadir dan Maha Kuasa. Jadi, kalau Dia mau, apa sih yang mustahil bagi Tuhan? Tetapi, kenapa Dia tidak lakukan? Kenapa Dia sepertinya diam seribu bahasa dalam menyikapi semua keluh kesah manusia yang tak kunjung henti? Adakah Dia peduli dan memahami semua ini??? Kecewa, sedih, sakit hati, semua bercampur jadi satu. Andai Tuhan tahu…

Dekat…
Perasaan yang pernah dirasakan beberapa waktu sebelumnya…
Tuhan sungguh baik, Tuhan sungguh peduli, Tuhan sungguh mengerti yang terbaik dalam hidup setiap insan manusia. Tuhan dengan ramah menyambut kehadiranku hari ini dengan sapaan alam: angin lembut bertiup, udara cerah ceria, langit biru sempurna. Ah, Dia memang baik. Dia memang dekat di hati. Dan Dia sungguh ada, peduli, mengerti, mengasihi, mencintai, menerima seluruh manusia apa adanya. Dia yang menciptakan semua makhluk di bumi ini dan Dia menginginkan kehadiran setiap dari kita untuk memberikan warna kepada dunia ini. Dia memberikan segala sesuatu tepat pada waktuNya. Tidak kurang tidak lebih. Pas! Seluruh kejadian yang terjadi dalam hidup adalah mata rantai yang sambung menyambung bak film seri Korea. Ada awal, ada akhir. Semua sudah di-plot dengan sempurna oleh sang sutradara kehidupan, siapa lagi kalau bukan Tuhan.
Percaya bahwa hari-hari ke depan, Tuhan akan berikan segala yang terbaik dalam perencanaanNya.

Heiiii…
Perasaan-perasaan lain berkecamuk. Hadir dan hilang. Ada dan tiada. Timbul dan tenggelam. Jauh-dekat. Peduli-tak peduli. Mengasihi-membenci. Mengampuni-mendendam. Aahhh.. semua campur aduk jadi satu.
Tetapi … Tetapi bukankah Tuhan bukan cuma sekedar perasaan???
Tuhan adalah Tuhan dan heiii… ini bukan relasi mikrolet yang jauh dekat tetap dibayar dengan harga sama. Ini relasi dengan Tuhan.
Tuhan selalu konstan. Tuhan selalu baik, mengasihi, mengampuni, peduli. Namun di kala perasaan kita tengah berkecamuk dan kacau, sepertinya Dia jauh dan tidak mendengarkan doa-doa kita.
Dalam kegelisahan malam-malam penuh tangisan dan isak air mata, seseorang mungkin bertanya akan kebenaran bahwa Tuhan senantiasa peduli. Senantiasa mengerti. Kalau Dia mengerti, do something donk, God…!
Tetapi… lagi-lagi tetapi… Dia bukanlah karyawan kita yang bisa langsung bertindak kalau kita suruh ini dan itu. Ingat, Dia adalah Tuhan, bukan budak kita. Dia berkuasa menentukan segala sesuatunya…Mungkin…mungkin kita yang keterlaluan apabila mendiktenya…
Tuhan, hari ini aku sadari sekali lagi bahwa Tuhan bukanlah sekedar perasaan. Memang kita punya perasaan yang harus diakui, tetapi bukan selalu harus dituruti. Dan dengan permainan segala perasaan ini, semoga akhirnya kita sadari bahwa Tuhan tetaplah Tuhan yang baik, peduli, dan mengasihi tanpa syarat. Hanya saja kita memperkenankan perasaan kita mendominasi untuk sementara waktu sampai akhirnya kita mengerti bahwa Tuhan memberikan yang terbaik pada kita.

Ending…
Perasaan ini dan itu yang dirasakan, kusampaikan kepada Tuhan. Tuhan mengerti dan peduli. Dan aku juga tidak mau dipermainkan perasaan. Relasi dengan Tuhan lebih dari sekedar perasaan. Kalau hanya berhenti pada perasaan, kedalaman relasi dengan Tuhan tidak tercapai. Karena perasaan kita terkadang membuat kita salah sangka terhadap Tuhan. Misunderstand Him. Dan itu rasanya tidak ‘ fair’ untuk Tuhan. Dia lebih dari sekedar perasaan. Dia Tuhan. Dia tidak moody. Coba kalau Tuhan moody, hari ini Tuhan baik, besok…? Entahlah… Untung kita bukan Tuhan. Kalau iya, apa jadinya seluruh alam raya, surga dan bumi???

Singapore, 24 Oktober 2008
-fon-
pssst…perasaanku lega setelah menuliskan tulisan ini :)

Friday, October 3, 2008

Pertemuan Dengan Anuar

Pertemuan Dengan Anuar

Beberapa bulan yang lalu…
Audrey yang tidak bisa tidur, mengajak aku dan suamiku jalan-jalan. Maunya keluar rumah. Alhasil, karena waktu sudah menunjukkan di atas pukul 9 malam, mau ke mana juga, akhirnya kami ke kolam renang dan club house. Di Club House apartemen ini, ada seorang penjaga (guard), dan di hari Jumat-Sabtu-Minggu, ada seorang Melayu Singaporean bernama Anuar yang bertugas. Kami bertegur sapa dan berkenalan.
Anuar, seorang Bapak dari 2 anak plus, yang satu lagi ceritnya bakal lahir sekitar beberapa bulan ke depan. Dia bersemangat dan kulihat dia tiap jaga membaca buku rohani Islam. Bagus sih untuk mengisi waktu luang.
Kami bercerita tentang banyak hal seputar anak, karena dia cukup mengerti soal susu formula, dokter anak, sampai dokter kandungan istrinya.

Hari ini, kami bertemu lagi…
Kembali karena Audrey masih mau berkeliaran, kami ke Club House. Bersama suami dan anakku, kami melihat Anuar kembali. Ini hari Jumat, jadi dia yang jaga.
Dia amat ramah, kami mengucapkan selamat Idul Fitri kepadanya. Sekaligus dia bercerita tentang bayi laki-lakinya yang baru lahir dan berusia 2 bulan.

Dan dari cerita ngalor-ngidul, aku baru tahu bahwa Anuar bekerja sebagai graphic designer di sebuah percetakan dari Senin-Jumat. Dan Jumat-Minggu dia menjadi security di sini. Dia sangat rajin karena katanya dia berteman dengan banyak orang Chinese Singaporean di sini yang bekerja keras dan mengutamakan pendidikan.
Tidur pun tak cukup, karena shift malamnya mengharuskan dia tidur siang hari. Dan hari Senin menjadi hari yang paling panjang, karena dia selesai kerja jam 6.30 pagi sebagai guard, sementara dia harus bekerja jam 7.30 di percetakan. Tapi dia menjalankan dengan tabah, semangat, dan sangat memotivasi aku…
Dan teringat, ada tertulis di alkitab…
Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.
--- Roma 12:11


I don’t know… I just got a feeling that akhir-akhir ini, entah karena ritme dan rutinitas sebagai seorang ibu RT, entah karena sempat mengalami beberapa puluh kegagalan dalam aplikasi pekerjaan, dan berbagai kesulitan adaptasi di negeri orang membuatku merasa agak kendor.
Tetap berusaha menelorkan tulisan, tetapi memang terkadang tidak maksimal. Aku masih bisa lebih rasanya…

Melihat Anuar, malam hari ini aku termotivasi. Untuk suatu saat kembali mendapatkan satu kegiatan yang pasti sudah Tuhan sediakan untukku.
Saat ini, biarlah aku tetap rajin menjadi mommy yang baik, menjadi istri yang baik…
Menjadi penulis yang setia di tengah sekecil apa pun kontribusi yang bisa aku sumbangkan bagi Dia.

Kembali ayat itu bergema dalam hatiku…
Layanilah Tuhan…Yah, melayani Tuhan dengan segala yang ada padaku sekaligus dengan segala keterbatasanku. Mungkin belum bisa terlalu banyak, tapi at least aku berusaha kembali mengkonsistenkan diri untuk tidak kendor. Tetap rajin. Melayani Tuhan di mana pun Dia tempatkan.

Pertemuan dengan Anuar, seorang hard working sekaligus low profile membuatku sadar bahwa hidup memang perjuangan. Dan perjuangan itu bukan sekedar kata-kata manis ataupun kalimat motivasi, namun perlu ‘action’ untuk keluar dari comfort zone, untuk keluar dari segala yang membuat kerajinan kendor.
Biarlah roh kita menyala-nyala untuk membakar dunia ini dengan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang fresh from God’s oven yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Keep on fire!

Singapore, 4 October 2008
-fon-
*yang nulis sambil denger CD rohani

Friday, August 22, 2008

I'm Not Michael Phelps

I’m Not Michael Phelps…

Michael Fred Phelps (born June 30, 1985) is an American swimmer and 14-time Olympic gold medalist (the most by any Olympian), who currently holds seven world records in swimming.
Phelps holds the record for the most gold medals won at a single Olympics; a total of eight, surpassing Mark Spitz, also a swimmer.Overall, Phelps has won 16 Olympic medals: six gold and two bronze at Athens in 2004, and eight gold at the 2008 Summer Olympics in Beijing. (Source: Wikipedia).


Membaca ringkasan prestasi Michael Phelps, sepertinya luar biasa sekali. Aku kagum. Untuk orang yang terbilang muda seperti dia, memegang rekor dunia dan memiliki 8 emas di Olimpiade Beijing sungguh suatu hal yang luar biasa.

Hari ini, aku berenang, berada di kolam renang pukul 7 pagi, ketika Audrey masih tidur. Terbayang, kalau aku jadi Michael Phelps, gimana yah? J Rasanya pasti bangga, senang, sekaligus juga pasti penuh latihan dan latihan untuk mempertahankan prestasi.

Aku mulai berenang lagi dengan gaya kodok, santai. Maklum, aku juga baru betul-betul menjalankan olahraga berenang setelah kena back pain. Karena katanya olahraga yang paling baik adalah renang bagi orang yang kena back pain, so aku lakukan sebisanya. Dulu, jangan harap renang masuk kategori hobbyku.. kesannya sombong yah, tapi karena mungkin aku tidak bisa hehehe… Aku lebih suka berjingkrak-jingkrak di ruang aerobik atau terakhir di ruang hip hop fitness center di Jakarta, ataupun kelas yoga sebagai variasinya.

Tetapi, semenjak back pain dan juga beberapa kali Audrey berusaha menceburkan diri ke kolam besar, aku merasa perlu meningkatkan kemampuan renangku, sebagian juga untuk dia. Sehingga, kalau sewaktu-waktu (amit-amit sih…), tapi yah untuk jaga-jaga, in case dia dengan gagah berani menceburkan diri, at least aku masih bisa bantu.

Selama ini gaya renangku dengan kepala di atas. Aku tidak suka kepala basah, dan aku tidak bisa mengambil nafas dengan kepala naik turun. Aku bisa mengapung, tp mungkin bukan renang sesungguhnya. Akhirnya, setelah akhir-akhir ini banyak latihan dan tanya dengan my hubby, so…agak bisa dan semakin bisa. Of course, I’m not Michael Phelps. Jauh boo…hahaha… Sudah bagus bisa renang, gak tenggelam aja udah syukur. Dan at least bisa untuk mengajar anak berenang, itu saja. Sesederhana itu.

Hari ini, kubaca dan kulihat lagi biografi prestasi Michael Phelps. Dan sungguh, aku sendiri jauhhhh dari dia. Tapi satu hal, kulihat dia selalu memberikan yang terbaik dalam hidupnya. Memberikan yang maksimal yang bisa dia lakukan. Dan hasilnya, plok…plok … plok… dia jadi legenda, dia jadi atlit kelas dunia, dan bukan itu saja, dia jadi nomor satu di bidangnya.

Of course, Michael Phelps adalah juga manusia dengan segala kekurangannya. Dia pasti tidak sempurna, tetapi dia bisa menggali potensi diri dan memberikan yang terbaik dari apa yang dia punya.

I’m not Michael Phelps. I’m Fonny. Dan itu tidak menghalangiku untuk memberikan yang terbaik hari ini.

Di antara semua kegagalan yang sepertinya agak ramah denganku akhir-akhir ini, jujur… ada beberapa kali gagal ujian saham di Singapura ini, dan juga gagal di interview kerja dan sampai sekarang belum dapet juga. Aku sempat berpikir, apa maksudnya ini semua, Tuhan? Setelah sekian lama kesuksesan dan hanya kemapanan yang datang dalam hidupku, aku menikmatinya dan tanpa sadar, berada dalam comfort zoneku.

Setelah semuanya sepertinya dijungkirbalikkan dengan segala perubahan ini. Begitu banyak perubahan terjadi sekaligus dalam hidupnya selama 2 tahun terakhir ini, ada rasa memberontak juga, kenapa ini harus terjadi pada diriku, Tuhan?

Pergumulan tiap hari terasa berat. Lebih berat dari saat di Indonesia, dan lebih berat dari saat single. Menikah memang membutuhkan perjuangan apalagi punya anak di negeri orang. Dan pada akhirnya, aku tidak menyesali semua ini, aku melihatnya sebagai gemblengan yang Tuhan berikan kepada diriku untuk dibentuknya sebagai bagian dari bejana tanah liat hidupku di tanganNya.

Ada masa-masa di mana aku juga stress berat. Tidak mengerti, kenapa sampai terjadi perubahan seperti ini. Jujur, semua kutuliskan di sini, bukan untuk dikasihani, bukan untuk mengeluhkan lagi, karena rasanya semua keluhan sudah cukup aku keluarkan kepada Tuhan yang mengerti sekali perasaaanku. Tetapi, di hari ini juga aku menyadari kembali bahwa adalah mudah menuliskan segala sesuatu di saat aku senang. Adalah mudah menuliskan tentang penderitaan di saat aku senang, tetapi aku tidak mengerti esensi dan realitanya. Hanya dengan mengalaminya, aku bisa menuliskan dengan lebih baik.

Jujur, apa yang kualami tidak separah banyak orang yang kurang makan. Koq sepertinya aku tidak mensyukuri rezeki dan berkat yang ada dariNYA. Aku berterimakasih untuk semua hal yang baik, yang Dia berikan. Kesehatan, suami, anak yang sehat dan lucu, keluarga, aku berterima kasih. Sekaligus mengerti bahwa hidup adalah perjuangan untuk tetap tegar, tetap berdiri, walaupun dengan derai air mata, walaupun dengan susah payah. Karena ada beberapa tulisan dari Bo Sanchez juga yang menyarankan agar lebih jujur juga menceritakan segala kelemahan kita, bahwa kita tidak sempurna, hanya untuk memperlihatkan bahwa Tuhan yang punya kuasa. Untuk itulah tulisan ini kubuat.

Hari ini, aku sadar, aku bukan Michael Phelps. Aku bukan seseorang yang tengah berjaya dengan prestasi luar biasa. Namun, aku berterima kasih untuk hal-hal kecil yang indah yang ada di hidup hari ini. Berjanji dalam hati, untuk menjadi orang yang lebih baik hari ini. Tegar di tengah segala perubahan yang puji Tuhan sudah mulai lebih biasa kuhadapi.

Aku mau menjadi seperti Michael Phelps yang punya semangat juang untuk jadi nomor satu. Dan seperti Liu Xiang, atlit lari gawang 110m yang mundur karena luka di kakinya berkata, “ I'm one that can't accept failure easily,I will rise again,” Yah, aku juga ingin berkata, aku akan bangkit kembali dan tidak membiarkan hidup mengalahkanku. Aku mau jadi pemenang, mulai hari ini bagi diriku dan bagi orang-orang di sekitarku dan dengan iman percaya bahwa Tuhan sudah sediakan yang terbaik bagi diriku. How about you? J

Singapore, 22 August 2008
-fon-
11.31 pm, rainy day in Singapore

Tuesday, August 12, 2008

Bebasss

Bebasss

Hari kemerdekaan Singapura baru saja lewat, 9 Agustus yang lalu. Dan sebentar lagi, gantian, hari kemerdekaan Indonesia juga bakal datang, 17 Agustus nanti.
Merdeka, selalu punya arti bebas dalam hatiku. Merdeka berarti punya banyak kesempatan untuk melakukan apa yang diinginkan, untuk kebaikan tentunya. Negara yang berada dalam jajahan, sulit berkembang dan tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. Dan bila si negara sudah merdeka, setidaknya dia punya suara untuk menentukan langkah apa yang harus dijalankan untuk meraih kemajuan bagi dirinya.

Bebas bagiku…
Setelah menjalani hidup sebagai anak kos lebih dari 10 tahun, aku betul-betul merasakan apa yang namanya bebas. Bebas yang terbatas tentunya, karena dalam norma dan dalam iman, aku juga punya batasan kebebasan semacam apa yang boleh aku lakoni. Yang pasti, masa-masa di awal pindah ke Jakarta, tinggal di tempat saudara, berubah menjadi suatu ajang kebebasan luar biasa setelah menjadi anak kos. Merdeka! Ya, aku tau rasanya menghirup udara kemerdekaan. Bukan berarti tinggal di rumah saudara berasa bak di penjara, tetapi tentunya tinggal di rumah orang, sebebas-bebasnya tentunya harus ikut aturan juga.
Dan itu tidak terjadi ketika aku kos. Istilahnya mau jungkir balik di ranjang dalam kamar keq, mau tidur di lantai keq, mau apa juga, tidak ada yang pusing… Paling tante kos saja yang pusing kalau ranjangnya rusak akibat terlalu sering dijungkir-balikkan hehe…

Masa-masa single yang cukup panjang menjadi masa berharga yang kulalui dengan kebebasan. Bebas memilih apa yang ingin aku lakukan. Bebas berteman dengan banyak orang. Bebas meraih impian, mengejar karier, melakukan pelayanan yang Tuhan percayakan. Bebas! Bebas mau liburan ke mana dan sama siapa. Bebas.
Enak sekali kebebasan itu. Aku meraup sebanyak-banyaknya kebebasan itu. Terus dan terus. Dan ketika aku memasuki kepala 3, setelah cukup puas menjalani itu semua, ada keinginan baru yang muncul. Aku ingin punya pacar dan menikah.
Lho…? Apa yang terjadi? Ngapain juga sudah sibuk-sibuk memperjuangkan kebebasan, kalau nanti neh…akhirnya terikat lagi. Bukankah punya pacar, punya suami, dan menikah itu bikin terikat? Bukankah pernikahan itu mengikat? Dan bukan itu saja, mengikat aku dengan keluarga si dia? Are you sure you want to settle down, Fon?
Entahlah… Waktu itu rasanya kebebasan itu memang enak. Tetapi bila terlalu lama berada dalam masa-masa itu, namanya manusia, juga bisa bosan. Antara bimbang dan tetap memaksimalkan kebebasan dalam masa lajang, aku tetap berjalan.
Btw, mau married sama siapa, wong pacar juga belum punya…? :)

Singkat cerita, akhirnya kutemukan dia. Seseorang yang disediakanNya bagiku. Dan setelah bertemu, tidak lama, rasanya ingin menghabiskan the rest of my life with him. Ciaileee… Tapi beneran deh, ketika orang yang tepat datang, you can’t say No. Only Yes, and Yes, and Yes… Trust me…

Segala sesuatu berlangsung cepat. Termasuk pernikahan, kehamilan, kepindahan ke negeri orang. Perubahan peran dari wanita karier jadi ibu RT, wah… banyak perubahan sekaligus. Adanya pihak keluarga suami, mertua dan ipar… Banyak adaptasi dan tidak mudah.
Satu sisi, aku merasa kehilangan kebebasan yang dulu. Jelas saja, karena ketika menikah, aku masuk ke keluarga suami dan itu berarti banyak adaptasi, tidak bisa jungkir balik seperti di tempat kos dulu…Kangen dengan kebebasan seperti itu? Kuakui kadang-kadang IYA. Namun, satu sisi aku juga tahu bahwa dalam hidup ada banyak tahapan. Tahapan single sudah kulalui dengan penuh suka cita, banyak kebebasan yang kuraih, banyak kesempatan yang tercipta yang sudah dipercayakan Tuhan kepadaku. Aku mensyukurinya, mengenangnya sebagai masa-masa pembentukan diri yang berharga, sampai akhirnya aku masuk ke masa berumah tangga. Masa di mana kebebasan seenak anak kos sudah hilang. Namun, aku tahu bahwa dalam keluarga, dalam kondisi yang dikelilingi suami dan anak tercinta, aku mendapatkan kebebasan yang baru. Kebebasan mencintai dan dicintai sepenuh-penuhnya.
Tentunya dengan problematika tersendiri. Jujur, adaptasi terhadap banyak perubahan, tidak mudah. Namun, aku mensyukuri kebebasan dalam ikatan pernikahan ini. Bebas mencintai dan dicintai sepenuh-penuhnya itu tadi membuatku menjadi lebih mengerti arti kehidupan. Mengerti bahwa tidak ada yang lebih indah selain menjalani panggilan yang dipercayakanNya kepada kita dengan sebaik-baiknya. Karena itu adalah persembahan yang bisa kita berikan kepada Dia.

Bebassss?? Ya, bebas. Bebas menjadi yang terbaik bagi diriku untuk Dia dengan setia menjalani panggilan hidup ini. Tidak mudah, kadang juga ngos-ngosan menjalaninya. Tapi dengan iman percaya bahwa Tuhan beri kekuatan. Amen.

Singapore, August 13, 2008
-fon-

Wednesday, July 16, 2008

Nomor Satu

Nomor Satu

Dalam hidup, kebanyakan orang rasanya ingin menjadi nomor satu. Sehingga tidak heran, banyak cara dilakukan untuk mencapainya. Bagi orang yang ingin menduduki posisi puncak di suatu perusahaan, tidak jarang banyak cara dilakukannya dan tidak jarang pula orang menghalalkan segala cara, asalkan posisi itu direbutnya.
Banyak kali, persahabatan dirusak oleh keinginan dan ambisi pribadi yang berlebihan untuk menjadi si nomor satu.
Ada kalanya, orang sampai tidak peduli lagi akan teman, akan sahabat, yang penting tujuanku tercapai walaupun harus ‘back stabbing’ ataupun menusuk dari belakang si sahabat itu.
Sebegitu parahkah? Iya, penulis sempat melihat beberapa kejadian serupa yang rasanya amat tidak mencerminkan kehidupan yang penuh kasih. Dan dalam kejamnya dunia, itu terjadi.

Harta, jabatan, kekuasaan, uang, kepandaian, si cantik/si tampan…
Dunia ini memang kompetitif. Banyak orang mengejar harta, jabatan, kekuasaan, yang UUD, ujung-ujungnya duit. Uang memang memberikan banyak kemudahan. Namun, di sisi lain, apabila sudah terlalu ‘serakah’ akan uang sampai menghalalkan segala cara, keinginan untuk jadi nomor satu itu, rasanya sudah terlalu berlebihan.

Orang berlomba untuk menjadi nomor satu. Majalah ekonomi secara teratur menerbitkan profil orang-orang terkaya. Kancah politik menjadi ajang yang bagi banyak orang menggiurkan (tetapi buat beberapa orang, politik yang penuh basa-basi dan trik itu menjadi hal yang tidak disukai).
Namun, satu orang kaya, akan ada yang lebih kaya di suatu saat. Orang yang paling berkuasa sekali pun, suatu saat akan mundur juga entah karena tua, sakit, meninggal, ataupun dikudeta.
Orang yang paling pandai sekalipun akan mendapatkan saingan di suatu hari nanti, di mana orang tersebut lebih pandai dari dia.
Atau orang tercantik/ tertampan di kampung, di suatu daerah, di suatu negara, ataupun Miss/Mr. Universe? Bintang film atau artis penyanyi yang amat dikagumi parasnya? Suatu saat juga akan beranjak tua, tidak sesegar dan se-fit dulu, dan akan banyak pengganti-penggantinya yang jauh lebih muda dan lebih menawan.

TIDAK PERNAH KOMPETISI ITU BERAKHIR. Jadi, tindakan untuk selalu menjadi nomor satu di bumi ini, akan rasanya selalu sia-sia. Akan selalu mengecewakan.Karena, tidak bisa selamanya nomor satu dipegang. Ranking satu di sekolah, ada kalanya direbut juga oleh teman lain yang lebih rajin belajar atau dibekali macam-macam bimbingan belajar.
Jadi, langkah untuk menjadi nomor satu untuk selama-lamanya suatu saat pasti terhenti.

Jadi…???
Apakah itu membuat kita tidak mau lagi berusaha untuk menjadi yang terbaik? Tentu saja TIDAK.
Namun, upaya yang dilakukan untuk menjadi nomor satu, hendaknya dibarengi dengan pemahaman bahwa tidak ada cara yang lebih baik selain menjadi nomor satu bagi diri kita sendiri.
Maksudnya? Akan lebih baik apabila kita mengejar yang terbaik dalam diri kita. Sehingga, tiap hari, kita menjadi seorang yang lebih baik. The best of me.
Tentu saja, apabila dalam satu masa di kehidupan kita, kita menjadi yang terbaik di sekolah, di kelas, di RT kita, di dunia, tidak ada yang salah dengan itu. Nikmati dan hargai itu. Treasure those beautiful moments in our life.
Dan dengan kesadaran bahwa tidak ada yang abadi, kita juga patut mengembangkan kerendah-hatian untuk menerima kalau suatu saat posisi nomor satu itu bisa lepas dari diri kita.
Sepak bola, formula one, tennis, badminton, semua olahraga rasanya memiliki peringkat nomor satu. Namun, mereka, para atlit itu suatu saat juga akan berganti dengan yang ‘lebih’ dari mereka. Lebih muda, lebih hebat, dan sebagainya.

Tidak kecewa apabila momen itu pergi, menikmati ke-nomorsatu-an itu apabila dia hinggap di hidup kita, I think that’s the best thing to do! Dan apalah artinya jadi nomor satu dengan menghalalkan segala cara, tetapi kehilangan teman, keluarga, dan orang-orang yang dekat di hati? Nomor satu tetapi dihinggapi kesepian, sendirian, itukah yang dicari?

Setidaknya, kita tetap jadi nomor satu dalam kaca mata pencipta kita, yang rindu agar kita menjadi yang terbaik bagi diri kita, dalam rencanaNya.

Nomor satu bagiNya, memberikan yang terbaik dari diri kita, itu yang kita persembahkan bagi dunia. Agar kita tidak terkecoh persaingan yang mematikan persahabatan, namun kita bersaing secara sehat.
Kompetitif, tetapi tetap penuh kasih dan sportif menerima apabila waktu-keadaan-ataupun kondisi sedang tidak ramah pada kita dan membawa kita ke nomor dua, tiga, empat, sepuluh ataupun seribu dalam ranking dunia. Tetapi tetap mengingat bahwa di mata Tuhan, kita tetap nomor satu. Di hatiNya, kita tetap spesial!

Singapore, July 17, 2008
-fon-
* In memoriam, mengingat kepergian seorang teman yang meninggal 2 hari lalu dalam kecelakaan lalu lintas di Jakarta, trader dan dealer di satu securities house di Jakarta, Darma. Hidup memang singkat, tak pernah bisa ditebak. Selamat jalan, teman! Semoga persatuan kembali dengan sang Pencipta membawa kedamaian abadi bagimu.

Monday, June 16, 2008

Retak

Retak

Beberapa minggu yang lalu…
Kupandangi gelas yang baru saja akan kucuci. Retak. Ada bagian pinggirnya yang retak sampai kira-kira setengah bagian gelas tersebut.
Retaknya gelas, kejadian biasa. Hal yang sangat sering terjadi. Tidak ada yang spesial. Setiap hari mungkin ratusan, ribuan, bahkan, jutaan piring, gelas, mangkok retak di seluruh dunia.
Namun, dari kejadian sederhana itu, berhasil membawaku masuk ke penyelaman yang lebih dalam akan kata ‘retak’ itu sendiri…

Retak dalam diri manusia…
Tetapi tiba-tiba saja, terbayang dalam pikiranku bahwa banyak manusia juga mengalami keretakan. Keretakan dalam hidup, keretakan dalam jiwanya. Adanya ketidakutuhan dalam jiwa yang disebabkan oleh banyak hal. Pertama mungkin dikarenakan tertolak. Tertolak dari lahir, saat masih dalam kandungan, mungkin sang Ibu tidak menginginkannya. Dan pengalaman-pengalaman tertolak, ditolak. Terluka dan dilukai. Dibenci dan disakiti.
Ah, banyak hal yang membuat jiwa seseorang mengalami keretakan. Dan itu tak terhindarkan.

Retak-retak yang menghentak…
Tanpa disadari keretakan satu membawa keretakan yang lain. Dan apabila terkumpul sedemikian banyaknya, retak-retak itu bisa menghentak. Ya! Menghentakkan kehidupan sang manusia yang menjalaninya.
Retak karena keluarga yang tidak utuh, dibesarkan oleh single parent misalnya, apabila tidak diatasi, akan membawa si anak terus mencari dan mencari cinta yang tidak pernah didapatkan dari sang ayah atau ibu. Sehingga, begitu rindunya dia sampai frustrasi dan melakukan banyak hal yang keliru.
Walaupun datang dari keluarga yang utuh, banyak dari kita mengalami hal yang tidak menyenangkan juga seperti dibandingkan dengan kakak atau adik (si kakak lebih pintar, si adik lebih cantik), tidak disayang seperti saudara kita yang lain, tidak diasuh sebagaimana yang kita harapkan karena perhatian orang tua tersita kesibukan mencari uang, dan sebagainya.
Retak membawa hentakan dalam hidup pribadi kita. Tidak jarang karena keretakan itu membuat kita kehilangan percaya diri, atau memiliki kepercayaan diri yang amat rendah (low-self esteem).

Penyambung Keretakan…
Sesungguhnya, dalam perjalanan hidup manusia, selalu merindukan suatu kasih yang sejati, kasih yang sempurna.
Di mana pun dicari, di seluruh pelosok ataupun penjuru dunia, agaknya sulit mendapatkannya. Apabila dicari dari seseorang, anggaplah kekasih hati yang begitu mencintai kita, dia pun tidak bisa memenuhi kebutuhan kasih yang sempurna ini.
Apabila dicari dari suatu kesenangan, suatu hobby misalnya, juga akan mengalami suatu kebosanan atau setidaknya suatu titik jenuh.
Penyambung keretakan yang sejati hanya dapat ditemukan dalam kasih dari Sang Pencipta. Ada kekosongan yang tak pernah bakal bisa terisi secara penuh dalam diri kita, dalam batin kita, dalam jiwa kita, kecuali oleh Dia sang empunya hidup kita.

Di dunia, semakin banyak keretakan membawa manusia semakin tak tentu arah. Tujuan untuk mencari kesenangan, untuk menghindar atau lari dari keretakan jiwa yang dialaminya, bisa berakibat fatal. Orang mencoba mencari kesenangan lewat pil ekstasi-narkoba dan sejenisnya, atau lewat hal-hal terlarang lainnya, dengan harapan keretakan itu akan tersambung. Bagian yang kosong, akan terisi. Dan upaya ini agaknya berakhir sia-sia. Selalu ada bagian yang kosong. Selalu ada luka yang masih menganga dan memperlihatkan retaknya pada dunia.

Hari ini, aku bisa berkata dengan bangga, kalau aku adalah manusia yang retak. Manusia yang begitu rapuhnya, tak bisa menghindari keretakan itu. Lalu, apabila tidak terhindarkan, apa yang harus dilakukan?
Hadapi dia- keretakan itu- hadapi dengan berani dan tegar.
Dan cari DIA- Tuhan Sang Pencipta- dengan sepenuh hati. Dialah yang bisa membasuh semua luka, merekatkan kembali setiap hati yang luka-hati yang retak- dengan perekat kasihNya.

Sepanjang hidup ini, aku mengalami keretakan yang tak terhitung jumlahnya. Dan kabar baiknya, Tuhan selalu menyambungkan kembali seberapa banyak keretakan yang kualami asal kupersembahkan semua keretakan itu ke dalam tangan kasihNya.
Dia adalah lem-ku, dia adalah selotip-ku. Dia adalah perekat sejati yang membuat aku pulih dari keretakan dalam jiwaku.
Dan dari keretakan yang kualami, aku mampu melihat bahwa Dia yang punya kuasa. Dia yang luar biasa. Sementara aku? Manusia biasa yang dalam keretakan jiwaku mampu ditolongNya dan membagikan pengalaman retakku pada dunia.

Hari ini, anggaplah hari retak sedunia. Di mana semua orang memiliki luka, memiliki keretakan dalam jiwa mereka.
Kalau begitu, hari ini juga adalah hari perekat keretakan sedunia. Hari di mana kasih Tuhan akan mengalir dan membasuh setiap hati yang terluka.
Mari rayakan hari ini dengan suka cita!
Walaupun kita tengah berada dalam keretakan, dalam kesedihan, ataupun mungkin dalam tangisan ketidakberdayaan, kita tetap percaya bahwa Tuhan akan sediakan perekat untuk setiap keretakan hidup kita.

Singapore, 17 June 2008
Tengah malam lewat sebelas menit,
-fon-

Thursday, June 12, 2008

Bagian Dari Mengejar Impian - Arti Seorang Ibu

Dear friends,

Cita-cita jadi penulis, harus diwarnai dengan kegiatan menulis. Tapi karena keterbatasan waktu krn Audrey lagi aktif2nya belajar jalan dan sudah bisa jalan 2 hari yang lalu, thank God for that.. Jadinya terbatas jg hasil penulisan gue.

So far, udah dikirim ke majalah wanita di Jakarta via email. Tetapi belum ada feed back dari mereka.

So, mungkin hilang ditiup angin hehe...

Gak pa2.. Kt Bo Sanchez, utk jadi orang besar, harus berani ditolak banyak kali...

Dan karena untuk gue impian jadi penulis itu terus ada dan belum pernah pupus, semoga ada jalan untuk gue.

Ini artikel gue kirimkan utk temen2 semua. Smoga bermanfaat, refleksi dari hari Ibu di Singapore ini.


GBU all...
-fon-



Arti Seorang Ibu

Salam dari Singapura!

Mother’s Day…

Mother’s Day baru saja lewat, tanggal 11 Mei yang lalu. Dan di banyak negara, seperti di Amerika Serikat, kabarnya banyak antrian di restoran untuk memperingati hari ibu sampai membuat jalanan macet.

Di Indonesia, hari ibu dirayakan tanggal 22 Desember. Dan sejak tinggal di Singapura sekitar satu setengah tahun yang lalu, saya melewati sekaligus menyaksikan bagaimana Mother’s Day dipromosikan lewat begitu banyak menu khusus di restoran dan buffet hotel, termasuk juga begitu banyak hadiah yang bisa dijadikan ide untuk diberikan kepada sang mommy, sang ibu tercinta, mulai dari tas, sepatu, makanan kesehatan, sampai berlian.

Terakhir, yang cukup mengejutkan, koran setempat, The Straits Times edisi 11 Mei 2008bertepatan dengan Mother’s Day, bahkan memuat angka estimasi gaji yang seharusnya diterima oleh seorang ibu yang tidak bekerja (full time mom atau menurut istilah HR Expert alias Ahli SDM, stay-at-home mom (ibu rumah tangga)), atas semua pekerjaan yang dia lakukan. Mengejutkan sekaligus mencengangkan, karena satu ahli SDM tersebut mengambil angka S$ 23,000. Dengan kurs ke rupiah saat ini yang sekitar Rp.6800 untuk 1 Dollar Singapura, maka dengan menghitung semua tugas yang dikerjakan oleh ibu rumah tangga (Ibu RT) ini adalah sekitar Rp. 156.400.000,- per bulan.

Dan uang sebesar itu dialokasikan untuk tugas yang dijalankan sang Ibu RT, mulai dari bersih-bersih rumah, memasak, sebagai guru bagi sang anak, asisten pribadi, merangkap sopir.

Sungguh pekerjaan yang tidak mudah, memakan waktu dan energi sang ibu, sekaligus kesabarannya.


Pengalaman Sebagai Ibu RT di Singapura

Saat ini, dengan pengalaman pribadi saya sebagai seorang Ibu RT di Singapura, saya pun merasakan betapa tidak mudahnya menjadi Ibu RT itu. Setelah sekitar 10 tahun berkarir dan berkarya di Jakarta, saya mengambil peran sebagai Ibu RT di negeri singa ini.

Di awal, sempat saya melamar pekerjaan, namun pada akhirnya, terutama untuk saat ini, di mana anak saya masih kecil baru sekitar 14 bulan, ada rasa kasihan untuk meninggalkan dia dan kembali lagi ke dunia kerja.

Selain itu, alasan lain adalah biaya yang cukup tinggi perlu dikeluarkan untuk membayar jasa pembantu atau baby sitter. Di sini, pembantu plus pajak yang harus dibayar ke pemerintah per bulannya sekitar S$ 700 (Rp. 4.760.000,-, bayangkan dengan uang sedemikian besar, berapa pembantu yang bisa diambil untuk membantu di rumah di Indonesia, 10 orang?? Ironis memang…:)).

Belum lagi jasa baby sitter. Di sini, ada jasa baby sitter harian, di mana sang baby sitter dibayar per jam sekitar S$ 12 (Rp.81.600,-) atau beberapa teman bule mempekerjakan baby sitter seperti pekerja kantoran. Dari Senin-Jumat, dari jam 08.00-18.00, dengan gaji S$ 1600 (Rp. 10 jutaan) per bulan. Mungkin sama dengan gaji manager di Indonesia, ck ck ck… bukan main!

Hal itu juga yang menjadi pertimbangan banyak ibu di Singapura ini menjadi ibu RT, karena memang jasa ataupun service dipandang amat tinggi dan dibayar dengan mahal di sini.

Mungkin di Singapura ini, bagi sebagian bule asal Eropa ataupun Australia, malah tidak semahal untuk menggaji pembantu atau baby sitter di negara mereka. Memang, kita harus melihat dari kaca mata siapa. Bagi orang Indonesia, di mana service atau urusan jasa amatlah menyenangkan dan murah misalnya cream bath, salon, pijat, pembantu, baby sitter, dan lain sebagainya, tentunya S$ 700 untuk membayar pembantu agaknya terasa terlalu mahal. Namun, bagi bule asal Eropa ataupun Australia dan di negara-negara yang jauh lebih mahal dari Singapura untuk urusan jasa yang harus dibayarkan, tentunya S$ 700 adalah biasa ataupun malah terbilang murah bagi mereka.

Sungguh, tergantung dari kaca mata siapa…!


Apakah nilai seorang ibu ditentukan hanya sekedar sejumlah nominal tertentu?

Tentu saja, TIDAK!
Terbayang di pelupuk mata saya, mama saya adalah seorang Ibu dengan 5 anak. Dan jasa seorang ibu, tidak bisa dinilai dengan harga berapa pun. Apalagi apabila ibu tersebut menjalankan tugasnya sebagai Ibu dengan sepenuh hati dan dengan cinta tanpa syarat. Tentunya, besarnya tak ternilai! Jangankan Rp. 150 juta sebulan, bahkan lebih!

Namun, bagi saya pribadi, jumlah sebesar itu agaknya penting bagi mereka yang menganggap remeh pekerjaan seorang Ibu RT. Jangan pernah sepelekan tugas mereka. Bahkan, boleh dibilang Ibu RT adalah sebuah karir juga, di mana harus menjaga keutuhan dan kelangsungan keluarga dengan baik adalah tujuannya. Dan tugas itu tidak mudah…


Konklusi..
Mother’s Day kali ini, hendaknya membawa kita semua menyadari pentingnya arti seorang ibu. Bayangkan ibu, simbok, mama, mami, bunda kita di mana pun mereka berada untuk saat ini. Entah di kampung, entah serumah dengan kita, entah di kota lain ataupun di negara lain, atau mungkin sudah kembali ke haribaan yang kuasa. Kita semua punya ibu, seseorang yang melahirkan kita ke dunia ini. Seseorang yang membuka cakrawala dunia bagi kita.

Seberapa besar arti seorang ibu bagi kita? Cuma kita yang tahu. Terkadang seorang ibu tampil dengan kemasan yang tidak sesuai dengan apa yang kita mau. Mungkin ibu kita terlalu cerewet, terlalu mengatur, terlalu mau enaknya sendiri, sehingga banyak kekesalan yang timbul dalam hati kita. Atau mereka adalah ibu yang sempurna atau hampir sempurna, di mana kedua tangannya yang mulai keriput itu adalah tangan yang membelai rambut kita, menghapus air mata kita? Dan bahu mereka adalah bahu yang kokoh, yang memberikan kita kekuatan, a shoulder to cry on, di saat dunia ini sungguh mengecewakan kita.

Ibu, sempurna atau tidak di mata kita, seperti yang kita mau atau tidak, tetaplah merupakan mereka yang melahirkan dan membesarkan kita.

Ibu, memiliki arti penting, sangat penting, super penting malah! Yang tidak bisa diukur dengan nilai nominal berapa pun, karena kasih sayangnya kepada anak-anaknya sejak kecil sampai besar, bahkan sampai akhir menutup mata. Setiap anak adalah kebahagiaan sekaligus sumber kekuatiran para Ibu yang tidak ada habisnya.

Untuk para Ibu sekalian, arti penting Ibu tak ternilai dengan Singapore Dollar berapa pun. Juga tak ternilai dengan mata uang lain, entah itu Rupiah, US Dollar, Australian Dollar, ataupun Peso.

Untuk para anak, bagaimana sikap kita terhadap ibu kita? Tempatkanlah ibu sebagai satu bagian terpenting dalam hati kita.

Singapore, 12 Mei 2008,
-fon-

Thursday, May 22, 2008

The Rainbow of Life (The Color of Life part 4: The End)

The Rainbow of Life (The Colors of Life part 4: The End)

Hidup memang penuh warna. Ada warna kuning yang melambangkan sesuatu yang kurang kusukai tetapi kucoba untuk menerimanya. Ada warna biru di mana melambangkan sesuatu yang kusukai, ada juga warna hijau yang dibutuhkan di saat hati panas membara, perlu adanya suatu kesejukan.
Well, I can write almost about every color of life!
Ada romantisme yang ditawarkan si pink (merah muda), ada kesedihan yang diungkap lewat warna ungu seperti apa yang tengah dialami dunia saat ini: berduka dengan begitu banyak bencana alam yang terjadi. Ada putih, hitam, abu-abu yang bisa melambangkan sesuatu yang baik, jahat, dan grey area (di mana antara baik atau jahat tidak terlalu jelas). Ada keberanian yang diwakili warna merah…
Dan seterusnya, dan sebagainya…

Namun, kuputuskan mengakhiri tulisan tentang warna. Biar tidak terlalu panjang di satu sisi. Di sisi lain, biarlah tiap orang meng-explore apa yang mereka pikirkan tentang setiap warna. Yang tentunya punya arti masing-masing dalam hati mereka terdalam.
Warna tetaplah warna. Dia punya keindahan yang ditawarkan untuk menyejukkan mata. Dia juga punya kesedihan yang bisa ditangkap sanubari hati yang terdalam. Untuk itulah, rasanya tiap warna diciptakan. Tanpa warna, apa jadinya hidup?

Pelangi…
Setting : After the rain. Tanah becek. Genangan air di mana-mana.
Namun, ada kesejukan tersendiri melihat pelangi yang hadir sesudahnya.
Hidup memang penuh warna. Dan pelangi kehidupan itulah yang membuat kita tersenyum, tertawa, menangis, ataupun terharu di dalamnya.
Setiap kejadian yang terjadi adalah pelangi kehidupan yang terpatri dalam kehidupan kita. Tak terelakkan. Terkadang menimbulkan kesedihan mendalam yang tak terlupakan. Atau di saat yang berbeda, membaca keceriaan yang berlangsung cukup lama.
Kesadaran bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini membuat kita hendaknya menyadari bahwa apa pun bentuknya, warna kehidupan harus kita syukuri.
Hari ini, hidup tetap membawa keindahan pelangi di dalamnya. Mampukah kita menyelami keindahannya? Atau karena tertutup warna-warna kelam dan kusam, mata kita tak lagi mampu menyiratkan cahaya kebahagiaan?
Pilihan ada di tangan kita. Bagaimana kita mendayagunakan pelangi yang sudah Tuhan beri dalam hidup kita.
Selamat mencari sepercik cinta dalam pelangi hidup hari ini!

Singapore, 22 Mei 2008,
-fon-

Wednesday, May 14, 2008

How To Be Truly Rich

How To Be Truly Rich

Bo Sanchez, pewarta asal Filipina, sudah merupakan seseorang yang cukup terkenal di Indonesia. Dan beberapa waktu yang lalu, dia sempat mampir ke Singapura.
Tepatnya di tanggal 28 April, 2008, diadakan seminar How To Be Truly Rich bertempat di Blessed Sacrament Church- Damien Hall, daerah Commonwealth di Singapura ini.
Seminar yang buat saya pribadi, sangat memperkaya pengetahuan saya dan mengubah pandangan saya mengenai uang dan cara mengelola uang.
Bo Sanchez seperti biasa penuh tawa dan canda ria, seperti apa yang bisa dibaca di blognya ataupun di buku-bukunya. Namun, sungguh, dia memberikan banyak inspirasi. Dia sendiri sudah mulai berkhotbah di umur 13 tahun, dan menulis buku pertamanya di umur 20 tahun.
Pengalaman ini akan saya rangkum dalam tulisan ini. Semoga memberkati kita semua. Dan mungkin akan ditulis mayoritas istilahnya dalam Bahasa Inggris, karena seminar tersebut diadakan dalam Bahasa Inggris, sambil saya coba terjemahkan sebagian di antaranya.

Dalam bukunya yang berjudul 8 Secrets of the Truly Rich, Bo Sanchez mengawalinya dengan kata pengantar yang cukup menghentakkan pemikiran saya pribadi. “ Is it possible to have the wealth of a millionaire and the heart of a Monk?”
Apakah mungkin memiliki kekayaan seorang milioner dan hati seorang rahib?
Karena banyak kali kita berpikir bahwa uang adalah jahat. Yang oleh Bo Sanchez dituliskan money is evil, namun itu adalah pemikiran yang salah. Uang adalah netral, tergantung dia digunakan untuk apa. Seperti pisau, adalah netral. Bisa untuk memotong sayur dan buah untuk membantu pekerjaan di dapur, while at the same time, bisa dipakai seorang perampok untuk melukai korbannya. Pertanyaannya pisau ada di tangan siapa?
Begitu pun dengan uang. Sebagai orang yang tidak pernah mempedulikan uang, dan sangat terkesan dengan kehidupan St. Francis of Asisi, Bo Sanchez bahkan melakukannya dengan pelayanan ke tempat-tempat sempit dan kumuh di Filipina sana. Apa yang mengubah dia untuk kemudian berpikir soal uang? Pada saat dia menikah! Itu keputusan besar yang mengubah cara pandangnya tentang uang.
Dengan uang, dia merasa bahwa bisa menyalurkan bantuan kasih kepada orang yang lebih membutuhkan. Yang tidak bisa dilakukan tentunya bila tidak punya uang. Namun, menghindari diri dari materialisme, yang menempatkan uang sebagai tuan dari segala-galanya, itu juga yang dihindarinya.


3 Reasons why people are poor:
1. Because they don’t want to become rich
2. Because they are financially stupid
3. Because they don’t ride vehicle to wealth

8 Secrets to be truly rich

1. Be responsible for your financial success
Stop the blame. Stop blaming government, your family, the devil, God, of your poverty. Take responsibility.
Ambillah tanggung jawab. Dan jangan menyalahkan siapa pun. Banyak orang bilang bahwa saya miskin karena keluarga saya miskin. Saya miskin karena pemerintahan ini yang membuat saya miskin.
Tetapi, ada orang-orang yang bisa bangkit dari itu semua. Dari kemiskinan keluarga, dari kemiskinan pemerintah, dan keluar sebagai pemenang.

2. Enlarge your psychological wallet
There is a secret psychology to money. Most people don’t know about it. That’s why most people never become financially successful. A lack of money is not the problem; it is merely a symptom of what’s going on inside you. (T. Harv Eker).

Bo Sanchez mengemukakan:
…the first giant reason why people are poor is because they don’t want to be rich. As absurd as this may sound, it’s true.
Because subconsciously, we don’t think it fits us. We feel it’s not who we are.
Here’s what I learned. If you want to make small incremental improvements in your life, change your behavior, but if you want to make dramatic, quantum leaps in your life, change your beliefs.
( 8 Secrets of the Truly Rich, page 47).

Satu hal yang juga penting, increase your money comfort zone. Berapa jumlah yang dirasa pantas dan mau kita terima setiap bulannya. Hanya kita yang bisa menentukannya.
Lalu kita juga perlu meningkatkan pengetahuan kita, misalkan bagaimana berinvestasi melalui unit trust (reksadana), atau bisnis lainnya untuk mencapai penghasilan sejumlah tertentu di tiap bulannya yang menjadi impian kita.
Untuk mengejar jumlah penghasilan itu, kita juga perlu meng-upgrade diri, meningkatkan pengetahuan finansial kita agar bisa memperoleh penghasilan yang lebih. Giat belajar untuk menambah pengetahuan finansial.

3. Get Rid of Crazy Religious Beliefs
Tanggalkan semua keyakinan yang keliru dalam pandangan keagamaan kita.
Bo Sanchez menekankan tentang ayat yang sudah sangat kita kenal, Matius 19:24
Again, I tell you, it is easier for a camel to go through the eye of a needle than for a rich man to enter the kingdom of God.

Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.

Kita semua sudah pernah dengar bahkan mungkin hafal ayat tersebut. Dan beberapa di antara kita menginterpretasikannya secara keliru. Dan langsung mengambil kesimpulan bahwa lebih baik tidak jadi orang kaya, karena orang kaya tidak akan bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah. Jadi, untuk apa mengejar kekayaan di dunia ini, kalau pada akhirnya tidak masuk surga?
Tetapi betulkah demikian?

Menurut Bo Sanchez, banyak orang tidak membaca ayat selanjutnya:
Matius 19:25-26
Ketika murid-murid mendengar itu, sangat gemparlah mereka dan berkata, “ Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?”
Yesus memandang mereka dan berkata, “ Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin.”

Yesus tidak mengatakan orang kaya tidak mungkin masuk surga. Dia hanya mengatakan akan lebih sulit bagi orang kaya untuk masuk surga. Mengapa? Karena Yesus berkata bahwa setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut. (Lukas 12:48).
--- Terjemahan bebas dari buku 8 Secrets of the Truly Rich halaman 71.

Ketika Yesus mengatakan lobang jarum, orang Yahudi di zaman itu langsung mengerti bahwa yang dimaksudkan bukanlah lobang jarum jahit yang kecil mungil seperti dalam benak kita, namun lobang jarum berarti pintu rumah unta, pintu kandang unta yang amat kecil namun masih bisa muat untuk si unta tersebut asalkan dia melepaskan semua pernak-pernik yang ada pada dirinya.

Bo Sanchez juga memberikan beberapa pertanyaan reflektif dalam bukunya, seperti:
- Do you practice the “ I hate Myself” spirituality? Karena dia meyakini banyak kali orang menjadi miskin dikarenakan ada masalah dalam gambar diri, dalam citra diri, dalam cara mereka memandang diri mereka sendiri. Ini yang lebih dulu harus dibenahi.
- Have you relied on God too much? Apakah tingkat ketergantungan akan Tuhan sebegitu besar, sehingga kita tidak mau berusaha?
- Do you disguise your laziness as faith? Apa kita menyamarkan kemalasan kita sebagai iman? Terkadang begitu mudah mengatakan saya beriman, padahal saya tidak mau melakukannya karena kemalasan saya. Hati-hati dengan hal-hal seperti ini.
- Have you romanticized poverty? Apakah kita meromantisir kemiskinan. Menganggap kemiskinan sebagai hal yang romantis. Contoh di film Titanic, ujar Bo Sanchez. Di mana di deck tempat orang yang lebih miskin tempat Leonardo DiCaprio sebagai Jack Dawson berada membawa keceriaan bagi Kate Winslet (Rose DeWitt Bukater) dari strata sosial yang berbeda. Di deck kapalnya, Rose merasa kesepian, dan dia mendapatkan keceriaan lewat tarian di deck tempat Jack berada. Kemiskinan dibuat seolah suatu hal yang romantis.

4. Be Totally committed to your dream
Be the scriptwriter of your life and write a happy ending script for your life. Write your dreams and pray for them daily.
Bo Sanchez memberikan sharing bahwa dia sendiri memiliki buku impian, dan berisi 15 halaman yang secara setia dia doakan tiap hari. Why don’t we try to make one, rasanya kalau belum bisa 15 halaman, tidak apa-apa … Setidaknya mulai mencoba menuliskan impian kita…

5. Raise your financial IQ
Tingkatkan kualitas IQ finansial kita. Kita perlu mencari seseorang untuk dijadikan mentor, sebagai guru kita yang membantu kita merencanakan ataupun memberikan masukan seputar masalah finansial kita.
Jangan terlibat dalam bad debt. Misalnya pinjam uang bank untuk jalan-jalan ke luar negeri. Tetapi misalkan pinjam uang dari bank untuk beli apartemen dan kemudian disewakan kembali, itu bukanlah bad debt. Karena hutang itu kembali menghasilkan penghasilan untuk kita.
Juga jalankan investasi se-awal mungkin. Lebih cepat lebih baik. Dan kita juga harus mempelajari mana cara yang baik untuk berinvestasi.

6. Ride something to wealth
Untuk sampai ke Bali dari Jakarta,kita bisa naik becak. Tapi perlu berapa hari? Kita juga bisa naik bus sambung ferry. Juga masih perlu beberapa puluh jam rasanya. Lalu, bagaimana dengan naik pesawat terbang? Dalam waktu 1.5 jam kita bisa sampai di Bali. Untuk mencapai tujuan, kita harus mengendarai sesuatu. Apakah itu ekspansi pasar yang lebih luas lewat kemampuan untuk menjual? Ataukah kemampuan untuk mendayagunakan talenta yang ada dalam diri kita, misalnya menyanyi, menari, melukis, dan sebagainya yang mungkin saja bisa menghasilkan uang dan kita tidak menyadarinya?
Bo juga menyarankan adanya passive income dan exponential income, di mana penghasilan akan berlipat ganda. Kendarai pesawat untuk menuju ke penghasilan yang lebih baik.

7. Have a bias for action
Bertindak dan terus bertindak untuk sukses. Karena sukses tidak datang dari langit, melainkan dari action kita.
Dan beranilah untuk menerima kegagalan, pesan Bo Sanchez.

8. Win in all areas
Rahasia sukses yang ke-8, jadilah pemenang di semua area, di semua bidang. Termasuk di antaranya, berilah yang terbaik kepada sesama karena dengan memberi kita semakin diperkaya. Truly rich dimaksudkan, bukan hanya melulu kaya secara finansial, namun sesudahnya kembali memberkati sesama. Memiliki kekayaan seorang milioner, sekaligus hati seorang santa.

Tentunya, rangkuman ini dari seminar selama sekian jam yang saya hadiri, juga buku yang tengah saya baca, tidak mampu mencakup semuanya. Namun, saya mencoba menuliskan dari point-point yang saya anggap penting dan semoga bermanfaat dan membuka perspektif yang baru bagi semua yang membacanya.

Singapore, 15 May 2008
GBU all…
-fon-

Sunday, April 27, 2008

Jembatan

Jembatan

Singapore, few weeks ago…
Bus yang kutumpangi sudah berhenti. Dan aku melanjutkan perjalananku ke British Council dengan melalui jembatan penyeberangan.
Jujur, kondisi jembatan penyeberangan di Singapura ini amat berbeda dengan Jakarta. Di sisi kiri-kanan jalan terlihat bunga dan tanaman segar berwarna kehijauan. Asri, diselingi warna pink bunga yang bermekaran. Lalu, kondisi jembatan sepi dan amat bersih. Di ujung jalan kulihat seorang wanita tengah berbicara melalui handphonenya dengan santainya. Kulangkahkan kakiku agak cepat, karena aku sudah hampir terlambat masuk ke kelasku yang mulai jam 19.00.
Tetapi kesan nyaman, bersih, aman, dan asrinya jembatan itu tidak lepas dari ingatanku :)

Jakarta, few years ago…
Pengalaman naik turun jembatan penyeberangan di Jakarta, jelas lebih banyak daripada apa yang kualami di Singapura. Karena aku tinggal di Jakarta lebih lama sekitar 14 tahunan, jadi tentunya kualami berbagai pengalaman dengan jembatan penyeberangan.
Mulai dari kawasan Grogol depan Citraland. Sebagai anak Untar dulu, aku terbiasa naik jembatan penyeberangan Grogol. Jujur lagi nih, dengan rasa was-was karena banyak kejadian mulai dari copet sampai rampok di jembatan penyeberangan.
Kondisi jembatan penyeberangan di Jakarta pada umumny kotor (tetapi di depan Citraland itu sering ada yang menyapu sambil memegang kaleng sembari minta penghargaan atas tugasnya membersihkan jembatan, which was not bad, kan dia juga sudah usaha).
Jembatan di Jakarta secara umum lebih kotor dari Singapura, juga kurang aman, dan banyak pengemis. Tetapi ada yang menarik juga misalnya banyak yang berjualan di sana, mulai dari jepit rambut sampai gantungan kunci ataupun folder untuk kuliah, lengkap deh… (Hal ini yang tidak mungkin kujumpai di Singapura :)).

Pengalaman berjembatan juga kualami di daerah sekitar Setiabudi (Chase), Le Meridien, ataupun Jembatan depan Plaza Indonesia, karena dulu sempat berkantor di kawasan Sudirman-Thamrin. Tetapi tetap saja, banyak pengalaman yang kurang mengenakkan yang kudengar, misalnya ada seorang bule di kantorku dulu yang dirampok 4 orang sekaligus sambil memegang kedua kakinya dan sisanya mengambil barang-barangnya. Mengerikan…? Boleh dibilang begitu.
Tidak tahu bagaimana kondisi jembatan penyeberangan di Grogol, Karet, Sudirman, ataupun di Jakarta pada umumnya sekarang ini, aku hanya mencatat apa yang kuingat beberapa tahun yang lalu di Jakarta…
Biar bagaimana pun, Jakarta tetap kusukai di luar kemacetan dan banjirnya, Jakarta memberikan banyak kenangan manis… Walaupun pengalaman berjembatan di Jakarta tidak termasuk dalam kemanisan itu karena agak sering diiringi rasa was-was…

Jembatan aku dan Dia…
Saat aku berada di jembatan di Napier Road yang menghubungkan sisi Gleneagles Hospital dengan British Council di Singapura ini, aku teringat bahwa jembatan memiliki arti penting. Jembatan menghubungkan dua belah tempat.
Tanpa jembatan, hubungan itu tidak terjalin. Bisa tentunya menyeberang lewat jalan biasa seperti yang biasa dilakukan di Jakarta misalnya, tetapi resiko tentunya lebih besar.

Dalam perenunganku kala itu, membawaku ke dalam pengertian tentang hubunganku dengan Tuhan.
Dalam hal ini, jembatan menghubungkan dua belah pihak: aku dan Dia.
Jembatan yang menghubungkan aku dan Dia adalah DOA.
Tanpa doa, rasanya hidupku belum lengkap. Jembatan doalah yang menghubungkan aku dengan Tuhan selama ini. Doa menghubungkan aku dan Tuhan. Dan rasanya jarak tidaklah menjadi masalah. Karena Tuhan jauh sekaligus dekat. Kalau dilihat dari kebesaran dan keagunganNya, memang sepertinya Dia jauh. Namun sekaligus Dia dekat di hati, karena Dia sudah masuk dalam hatiku dan merajainya.

Di jembatan di Singapura ini, aku bersyukur bahwa aku punya jembatan doa.
Dan semoga jembatan doa yang terbangun menjadi jembatan yang tak kunjung putus yang terus kudoakan setiap hari dalam setiap detik kehidupanku, dalam setiap nafas hidupku, dalam segala suka-dukaku.
Doa tidak harus melulu terpaku pada waktu atau tempat tertentu. Karena jembatan doa bisa terbangun kapan saja, di mana saja, karena Tuhan Yesus selalu ada di tiap detik hidup kita.

Thanks to jembatan yang membawaku kepada pengertian baru. Bahwa pentingnya arti jembatan membawaku kepada pentingnya hidup doa dan tidak melupakannya. Melainkan mencari cara agar jembatanku dengan Dia menjadi lebih asri, indah berwarna-warni, memberikan rasa aman dan tenteram senantiasa dan kutahu itu tidak datang begitu saja. Relasi terbina karena adanya waktu, adanya keinginan untuk meluangkan waktu. Hari ini aku bertanya kepada diriku sendiri (dan tentunya teman-teman bisa juga berefleksi), “ Sudah cukupkah waktuku untuk membina relasi yang baik dengan Tuhan? Bagaimana jembatan doaku dengan Dia apakah sudah terbina baik?”

Mari sama-sama kita benahi jembatan kita dengan Dia saat ini juga agar tercipta hubungan yang semakin indah….

Singapore, April 28, 2008
-fon-

Friday, April 18, 2008

Beware of Garbage Trucks

Beware of Garbage Trucks
By David J. Pollay

How often do you let other people's nonsense change your mood?
Do you let bad driver, rude waiter, curt boss, or an insensitive colleague ruin your
day? Unless you're a robot, you are bound to blow your top off.
However, the mark of a successful person is how quickly he or she can get
back his or her focus on what's important.

Sixteen years ago, I learned this lesson. I learn it in the
back of a New York City taxi cab. Here's what happen.
I hopped in a taxi, and we took off for Grand Central Station.
We were driving in the right lane when, all of a sudden, a black car
jumped out of a parking space right in front of us. My taxi driver slammed on
his brakes, skidded, and missed the other car's back end by just inches!

The driver of the other car, the guy who almost caused a big
accident, whipped his head around and he started yelling bad words at us.

My taxi driver just smiled and waved at the guy. And I mean he
was really friendly. So, I said, 'Why did you do that? This guy almost
ruined your car and sent us to the hospital!'

And this is when my taxi driver told me what I now called,
'The Law of the Garbage Truck'.
Many people are like garbage trucks. They run around full of
garbage, full of frustration, full of anger, and full of disappointment. As
their garbage piles up, they need a place to dump it. If they happen to dump
it on you, don't take it personally.
You just smile, wave, wish them well, and moved on. You'll be
happier if you did that rather than fight them.
So this was it: 'The Law of the Garbage Truck'..
I started thinking, how often do I let garbage trucks run
right over me? And how often do I take their garbage and spread it to other
people: at work, at home, on the street? It was that day I said, 'I'm not going to
do it anymore.' I see garbage trucks everywhere and everyday. I see
the load they're carrying. I see them coming to drop it off. And like
my taxi driver I don't make it a personal thing; I just smile, wave, wish
them well, and I move on.

Good leaders know they have to be ready for their next
meeting. Good parents know they have to welcome their kids home from school with
hugs and kisses . Teachers and parents know that they have to be fully present
and at their best for the people they care about.

The bottom line is that successful people do not let garbage
trucks take over their day. What about you? What would happen in your
life, starting today, if you let more garbage trucks pass you by?

Here's my bet. You'll be happier.
So...love the people who treat you right.
Forget about the ones who don't.
Believe that every thing happens for a reason.
If you get a chance, TAKE IT!
If it changes your life, LET IT!
Nobody said it would be easy...
They just promised it would be WORTH IT

The Colors of Life Part 3: Green

The Colors Of Life Part 3 : GREEN

Di kala terik dan panas menyengat…
Akan sejuk rasanya berteduh di bawah pohon yang rindang.
Dan di banyak tempat di Singapura ini, tumbuh pohon-pohon yang bervariasi. Dari yang besar dan kelihatan sudah sangat tua dan berakar, pohon yang sedang, dan pohon yang kecil-kecil rantingnya.
Tetapi di semua pohon itu sama, bertengger daun-daun kehijauan. Bervariasi dari hijau muda, hijau tua. Tetapi memberikan kesejukan saat dipandang mata.

Di kala hati terasa panas menyengat…
Dalam banyak kejadian di kehidupan ini, sering kali, kita berada pada kondisi hati yang panas. Hati yang panas, yang dipenuhi emosi, akan cenderung marah-terkadang tanpa alasan yang jelas.
Tentu saja mungkin bagi yang tengah berhati panas, terkadang tidak sadar atau tidak sepenuhnya sadar bahwa apa yang dilakukan membuat orang di sekitarnya bertanya-tanya, “ Ada apa dengan dia?”

Akhir-akhir ini aku menerima sebuah e-mail yang berisi tulisan tentang “ Garbage Trucks” sebagai berikut:

Beware of Garbage Trucks
By David J. Pollay

How often do you let other people's nonsense change your mood?
Do you let bad driver, rude waiter, curt boss, or an insensitive colleague ruin your
day? Unless you're a robot, you are bound to blow your top off.
However, the mark of a successful person is how quickly he or she can get
back his or her focus on what's important.


Sering kali, kita menjadi pelampiasan emosi dari orang lain yang merasa tidak bahagia, stress, ataupun depresi. Sama halnya, kita pun apabila merasa stress, pusing dengan segala macam masalah ataupun beban hidup, juga kita tanpa sadar melampiaskan emosi kita kepada orang yang tidak seharusnya menerima. Terkadang tak terhindarkan, tetapi terjadi.

Dan Pollay, sekali lagi juga menggambarkan dengan baik The Law of the Garbage Trucks
And this is when my taxi driver told me what I now called,
'The Law of the Garbage Truck'.
Many people are like garbage trucks. They run around full of
garbage, full of frustration, full of anger, and full of disappointment. As
their garbage piles up, they need a place to dump it. If they happen to dump
it on you, don't take it personally.
You just smile, wave, wish them well, and moved on. You'll be
happier if you did that rather than fight them.


Banyak orang (termasuk kita sesekali dalam hidup kita), seperti truk sampah. Yang berlari penuh sampah (sampah emosi dalam hal ini), penuh rasa frustrasi, penuh kemarahan, dan penuh kekecewaan.
Ketika sampah tersebut menumpuk, mereka perlu tempat untuk membuangnya. Ketika mereka kebetulan membuangnya kepadamu, jangan simpan di hati. Tersenyumlah, lambaikan tangan, harapkan yang terbaik bagi mereka, dan melangkah.
Kamu akan lebih bahagia bila kamu melakukannya daripada melawan mereka.

Dan biarlah warna hijau yang sejuk di mata, membawa kita menjadi pribadi-pribadi yang sejuk…
Di antara tumpukan sampah emosi yang meliputi begitu banyak emosi negatif, hendaknya kita tidak melawan dengan kekerasan juga ketika kebetulan kita menjadi tempat penampungan sampah emosi orang lain.
Dan berusaha apabila kita tengah emosi, kita tidak menumpahkannya kepada orang yang tidak seharusnya menerima. Sulit? Pastinya… Tetapi apabila kita mampu melakukannya, kita naik kelas dalam perkembangan iman kita sebagai murid-murid Kristus…

Green Peace. Hijau membawa perdamaian. Mendamaikan suasana alam yang terik menjadi bersahabat dan lebih teduh. Mendamaikan hati-hati yang panas juga menjadi lebih bersahabat dan teduh.

Dunia perlu orang-orang sejuk, dunia perlu orang-orang ‘hijau’ agar dunia tidak sebegitu panas. Suasana di luar boleh panas, tetapi hati dan kepala tetap sejuk.

Singapore, April 19, 2008
Dalam kesejukan warna hijau…
-fon-

Monday, April 14, 2008

Menyiasati Tekanan dalam Kehidupan

Minggu, 13 April 2008 | 15:06 WIB
OLEH : Sawitri Supardi Sadarjoen, psikolog

TEKANAN kehidupan akhir-akhir ini tidak dapat diabaikan karena terasa semakin menekan kehidupan manusia dan langsung berpengaruh terhadap keseimbangan faktor biopsikososial individu. Tekanan kehidupan tersebut lebih populer disebut dengan istilah stres.

Stres adalah situasi yang sangat tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan harapan, kebutuhan, dan tujuan individu atau justru yang sangat menyenangkan dan datang tiba-tiba sebagai kejutan dan biasanya menyertakan reaksi psikofisik spesifik.

Jenis stres

Stres terbagi dalam:

1. Eustres: kejadian yang menyenangkan dan sering tidak terduga, tetapi tetap membuat manusia memberi respons spesifik, seperti hilang nafsu makan, semangat berlebihan, tidak bisa tidur, tetapi setelah waktu relatif singkat kembali pada kondisi awal.

2. Distres: kejadian/situasi tidak menyenangkan karena situasi yang dihadapi jauh dari harapan, keinginan, dan kebutuhan.

Stres kehidupan dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar:

1. Stres katastrofik, bencana alam, seperti banjir bandang, tsunami, gempa bumi yang mengakibatkan trauma psikologik yang mendalam.

2. Stres perkembangan jiwa dihadapi saat seseorang berada dalam masa transisi perkembangan jiwa, seperti masa transisi menuju masa pensiun, yang sering membuka peluang munculnya gejala penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, tekanan darah tinggi atau rendah, dan stroke.

3. Stres berlanjut dihadapi setiap waktu, seperti menghadapi bos yang kaku, dominan dan otoriter, serta kemacetan lalu lintas.

Reaksi terhadap stres

Stres kehidupan yang tidak mampu diatasi dengan baik akan memengaruhi keseimbangan fungsi mental individu.

Individu mengalami ketegangan emosional, merasa tidak aman, tidak nyaman, terganggu keseimbangan psikofisik yang muncul pada berbagai keluhan fisik tanpa dasar gangguan organis yang relevan atau bahkan sulit menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial.

Gangguan keseimbangan fungsi mental itu akan memengaruhi kehidupan intrapsikis dan sosial individu.

Reaksi terhadap kondisi stres yang menyebabkan seseorang berada dalam keadaan frustrasi adalah:

- Agresi: marah, mengamuk, dendam kesumat, jengkel berlanjut, menyerang orang lain (ekstra agresi), atau melukai diri (intra-agresi).

- Depresi: sedih, murung, menarik diri dari pergaulan, mengurung diri, tiba-tiba menjadi pendiam.

- Apatis: acuh tak acuh, tidak peduli lingkungan, tidak mandi, tidak mengikuti aturan yang berlaku.

- Regresi: bertingkah seperti anak kecil lagi, merengek-rengek dalam artian seolah mundur dalam taraf perkembangan terdahulu.

Menyiasati stres

Cara menyiasati stres ketika kita ingin meraih suatu tujuan dalam kehidupan kita adalah dengan mengintegrasikan aspek emosi dengan rasio secara optimal dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan di bawah ini kepada diri sendiri.

1. Perlukah kita bereaksi emosi tanpa kendali seperti itu?

2. Nilailah kembali apakah harapan kita itu realistis?

3. Bisakah kita mencari upaya lain agar akhirnya bisa mendapat apa yang sebenarnya kita harapkan?

4. Perlukah kita tunda beberapa saat agar akhirnya kita memperoleh apa yang kita harapkan?

5. Bisakah kita kompensasikan dengan hal lain?

Untuk itu, agaknya kita perlu juga menilai kembali tujuan kita dengan mengajukan beberapa pertanyaan apakah kita tidak terlampau ambisius? Sejauh mana potensi pribadi, intelektual, dan sosial yang kita miliki membuka peluang tercapainya harapan itu?

Sejauh mana semangat juang, komitmen, dan ketekunan kita meraih harapan tersebut? Sejauh mana kita merencanakan penggunaan waktu dan menggunakan waktu dengan baik untuk meraih apa yang kita inginkan?

Bila ambisi lebih dari potensi, turunkan tujuan dan sesuaikan dengan potensi kita. Juga akomodasikan potensi dan optimalkan pemanfaatan potensi.

Kalau ambisi berimbang dengan potensi, maka kita harus meningkatkan daya juang dengan cara lebih gigih berupaya mencapai tujuan, seperti bangun lebih pagi dan mulai bekerja lebih awal dan selesai bekerja lebih larut sesuai kekuatan fisik yang dimiliki.

Kita juga harus berkomitmen untuk konsentrasi dengan apa yang kita lakukan dan tidak berhenti sebelum maksud tercapai.

Kita juga harus disiplin memanfaatkan waktu dengan tidak membuang waktu dan terencana dalam pemanfaatan sisa waktu, tekun dan konsentrasi pada tujuan yang akan dicapai, dan tidak mudah teralihkan.

Sekarang tinggal kita bertanya kepada diri sendiri, sampai berapa jauh kita sudah menjalani saran-saran di atas. Selamat berjuang.

Sunday, April 13, 2008

Gereja St. Ignatius





Church of St. Ignatius, Singapore. Minggu pagi, pkl. 06.50

Pagi ini kuputuskan untuk pergi ke misa pagi. Karena akan ada acara pergi di siang harinya, jadi kupikir akan lebih baik jika aku menyelesaikan tugas yang satu ini, misa minggu.
Kulihat web veritas yang menginformasikan tempat dan jam misa. Misa Bahasa Inggris yang terpagi adalah jam 7, dan salah satu tempat yang cukup dekat dengan rumahku adalah Church of St. Ignatius yang terletak di Kings Road.
Kulangkahkan kaki menuju ke gereja yang tertata rapi dengan gaya minimalis. Cukup indah dan rapi gereja ini. Dan di saat kumasuki gereja, ada rasa yang timbul dan menyelinap dalam hatiku, karena nama St. Ignatius.
Gereja yang juga membawaku kepada pelayanan di PDKKnya di Jakarta, bernama sama. St. Ignatius. Dan bagiku, pengalaman itu membuatku mengingat kembali orang-orang yang kujumpai, teman-teman terkasih di PDKK Ignatius di Jakarta…



Gereja Katolik St. Ignatius Loyola, Jl. Malang, Jakarta

Gereja di kawasan Manggarai ini, berarti sekali untukku. Ini tempat aku dan suamiku menerima Sakramen Perkawinan kami. Tetapi, jauh sebelum ini, gereja ini sudah memiliki makna tersendiri karena bagiku dia memang spesial.

Dulu, sebelum aku baptis, di akhir tahun 2000, seorang teman kostku, Patricia Bing, mengajakku untuk datang ke latihan PD (Persekutuan Doa) katanya. Dan aku yang tengah katekumen, juga mencari suatu kegiatan yang positif. Aku tidak tahu, kegiatan macam apa yang bakal cocok denganku, tetapi yang pasti, aku mau melihat terlebih dahulu. Dan menyanyi adalah salah satu kesukaanku. Jadi, kenapa tidak?
Dari kunjungan pertama ke rumah Pak Suryadi yang menjadi posko kami, rasanya aku biasa-biasa saja. Tidak menolak, juga tidak memberikan komitmen apa pun. Karena pada prinsipnya, ketika aku memberikan komitmen untuk mau aktif, tentunya aku mau sungguh-sungguh aktif. Daripada memberikan janji yang tak pasti, aku mau melihat terlebih dahulu, begitu rencananya. Dan hari itu, aku menikmatinya. Tetapi, tiba di saat doa penutup sekaligus doa syafaat, Ririn, salah satu anggota PD, berdoa begini:
“ Terima kasih, Tuhan, sudah kautambahkan lagi satu orang di antara kami. Terima kasih karena Kau sudah mengirimkan Fonny kepada kami.”

Dalam hatiku, aku merasa agak terbeban, karena aku belum memutuskan akan aktif atau tidak, tetapi Ririn sudah mendoakan seperti itu. (Tetapi akhirnya kutahu bahwa mungkin itu juga adalah tuntunan Roh Kudus sendiri yang mendorongnya untuk berdoa seperti itu…).

Tetapi sejak hari itu, aku juga berusaha datang ke PD. Dan siapa sangka, akhirnya aku menjadi salah satu anggota di sana. Aku menjadi singer ataupun tim pujian. Dan kebersamaan kami berlanjut sampai kini, ketika mereka datang ke Singapore, mereka mengunjungi atau setidaknya kontak denganku. Dan aku pun demikian, ketika ada di Indonesia, aku juga mengontak mereka. Silaturahmi terjalin dan persaudaraan dalam kasih Kristus, sungguh nyata kurasakan.

Yang sulit kutemukan di tempat lain…
Puji Tuhan untuk semua pelayanan yang Dia percayakan bagiku. Mengawali karyaku lewat PDKK Ignatius Jkt sebagai singer, Tuhan percayakan pelayanan lewat band rohani juga sebagai singer. Aku sangat menikmatinya! Lalu, pelan-pelan, rasa ingin tahuku akan Tuhan, membawaku kepada kursus kitab suci selama 3 tahun. Dan yang pasti, yang masih kulakukan sampai hari ini adalah membagikan karisma menulis yang Tuhan percayakan kepadaku, lewat semua yang kualami, lewat semua yang sempat kupelajari, lewat apa yang kulihat dan Tuhan izinkan untuk kutuangkan dalam bentuk tulisan sampai saat ini.

Namun, di antara semua pelayanan, entah besar ataupun kecil, aku menemukan suatu kedamaian di komunitas kami. (Yang tentunya juga bisa dirasakan di mana pun Tuhan tempatkan kita semua, bukan??).

Kurasakan kasih sesungguhnya dari pembimbing PD kami, Pak Suryadi, lewat keterbukaannya kepada kami. Tuhan sungguh bertahtah dalam kehidupannya, ketika semakin hari semakin kulihat bahwa beliau sungguh tulus dan hanya menginginkan yang terbaik bagi kami semua anak-anak PDnya.
Dia selalu memberikan yang terbaik bagi kami. Tidak pernah dia memberikan yang no. 2, tetapi selalu diberikannya nothing but THE BEST.
Untuk semua hal yang sudah kualami bersama Pak Suryadi, aku mengucapkan terima kasih. Karena dia, aku juga bertahan dalam pelayanan. Di awal, di mana aku kurang mengerti akan banyak hal dan mungkin akan sangat mudah terpengaruh apabila kondisi pelayanan kurang baik, sebagaimana bisa kujumpai di banyak tempat, mungkin aku sudah menyerah kalau tidak melihat ketulusan lewat contoh kehidupan Pak Suryadi yang akrab kami panggil Apek.
Apek membuatku bertahan karena aku mau seperti dia, memperlihatkan ketulusan dan kasih Tuhan dalam kehidupannya.
Bukan pelayanan basa-basi atau asal. Bukan pelayanan yang juga berbau politik dan penuh strategi yang pernah kujumpai, bukan yang mau meninggikan diri, bukan yang mau mencari popularitas. Bukan!
Dan itu sungguh kuhargai, dan kusyukuri.

Setelah aku mulai mengerti esensi yang lebih mendalam, bahwa melayani Tuhan bukan hanya untuk kesenanganku sendiri, namun terutama untuk memberikan diri agar Dia pakai untuk kemuliaanNya dalam kondisi apa pun, membuatku juga semakin mengerti, pentingnya teladan hidup karena kita semua tahu, iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:26).

PDKK Ignatius adalah PD umum walaupun para pelayan pujiannya adalah kebanyakan anak-anak muda. Umat yang datang juga tidak banyak. PD yang dulu diadakan sebulan sekali kemudian menjadi sebulan 2x ini, dikunjungi oleh hanya sekitar 15-20 umat saja. Namun, aku bahagia di sana.
Di kesempatan ini, aku mengucapkan terima kasih kepada Tuhan untuk mempertemukanku dengan Apek dan istri (yang biasa kami panggil A’em), untuk setiap kebaikan hati yang tidak pernah bisa aku balas. Biar Tuhan sendiri yang menambahkan hari-hari penuh kesukacitaan dan ketulusan dalam hidup mereka. Dan juga untuk anak-anak mereka, Ko Alip dan Ci Shinta (Ci Uung). GBU and family!

Juga untuk para senior di PD, Tante Marcella, Pak Frans (alm.) dan ibu, Ko Fajar dan Ci Anne, Oom Hendra dan istri.
Untuk teman-teman dalam Kristus yang menghiasi hampir seluruh hari-hariku selama 6 tahun di Jakarta lewat PDKK Ignatius (dari saat aku hampir baptis tahun 2000, sampai Nov 2006 saat aku pindah ke Singapore):
Efra, Melan + hubby-Christian, Nona, Sylvi (Ipi), Bing-bing, Ami, Ririn, Ani, Jenny+ hubby-Ferdi, Imel, Christian (Efra’s Brother).
Juga untuk Maria dan Patricia Bing yang karena kesibukannya dengan pekerjaan dan rumah tangga plus anak, jarang datang ke PD, namun, terima kasih juga untuk waktu-waktu kita dulu bersama-sama.
Dan mungkin untuk beberapa nama yang tak sempat disebutkan mungkin karena aku kelupaan, namun pernah bersama-sama di PDKK Ignatius, aku mengucapkan terima kasih.

Terima kasih untuk semua perhatian, waktu sharing bersama, waktu pelayanan bersama. Dan waktu hang-out bersama. Itu semua menjadi kenangan yang sangat manis, memori yang sangat berarti bagi diri seorang Fonny.
Kenangan itu menjadikan aku mampu bertahan dalam kondisi yang sangat berbeda di negeri orang, dengan peran yang berubah drastis saat ini. Namun, persahabatan dan perhatian kalian semua, mengingatkanku kalau aku tidak sendirian. Tuhan mengirimkan sahabat dalam hidup kita, dan anggaplah aku beruntung memiliki sejumlah sahabat seperti kalian semua.
I’m just so blessed! 

Hari ini, kunjunganku ke St.Ignatius Church Singapore membawaku kembali ke masa-masa indah bersama teman-teman PDKK Ignatius di Jakarta.
Jarak tidaklah menjadi masalah. Apalagi kalau hanya Jakarta-Singapura. Dan jarak lebih tidak menjadi masalah karena sekarang sudah ada email, telepon, dan sms.
Dan jarak semakin tidak jadi masalah, karena kenangan itu terpatri dalam hati di mana pun kalian sekarang berada, atau ke mana pun kalian nanti akan diutusNya.
Thank God for all of you…

Singapore, April 13, 2008
-fon-

NB: satu hal yang kuharapkan agar teman-teman PD bersatu selalu dalam kasihNya. Dan semoga tetap kompak dalam Kristus. Dan… mudah-mudahan PDKK Ignatius semakin berkembang dan umatnya semakin banyak. Amiennnn…

Wednesday, April 9, 2008

The Colors of Life Part 2: Blue

The Colors of Life part 2: Blue


Lokasi: Kawasan Seminyak-Bali, beberapa tahun yang lalu…

Ketika aku tengah duduk di sebuah restoran yang terkenal akan sandwichnya di Seminyak- Bali ini, kulihat begitu indah perpaduan warna biru yang sempurna.
Ah, aku selalu suka warna biru. Apabila harus dihadapkan dengan pilihan dalam membeli pakaian, ada warna putih-biru-hitam-pink, aku kebanyakan akan selalu mengambil warna biru.
I love BLUE!

Ok, back to gradasi warna biru yang sempurna di Seminyak.
Pasir di depan restoran berwarna putih, kontras dengan warna biru muda laut di depanku, bertambah tua warna birunya ketika semakin ke tengah laut. Sambil menahan nafas, aku hanya berujar. Indah! Ciptaan Tuhan sungguh sempurna indahnya.
Dan langit yang berwarna biru, juga menambah keindahan alam yang serba biru di mataku…

Biru…
Sebetulnya kata BIRU, tidak selalu berkonotasi positif. When I’m feeling blue, somehow, berarti, ketika aku merasa sedih.
Tapi dalam pandangan mataku, biru selalu berarti semangat baru. Ada keceriaan baru ketika memakai sesuatu yang baru bewarna biru.
Biru, bagiku adalah sesuatu yang menyenangkan. Yang selalu membuat aku merasa betah untuk berlama-lama dalam warna itu. Entah memandangi alam yang mayoritas berwarna biru ataupun dengan hanya memakai kaos warna biru. Sesederhana itu …

Biru…
Membuatku mampu mengucap syukur untuk hal-hal yang kusukai dalam hidup ini. Untuk orang-orang yang kucintai dan membuatku betah berlama-lama dengan mereka. Karena mereka bisa menerima diriku apa adanya.
Biru bagiku, bisa berarti suatu kesukaan, suatu hobby, suatu kesukacitaan. Misalnya, menulis, menonton, menyanyi, ataupun santai sambil minum teh atau kopi.
Dan biru bagiku bukanlah tempat yang mewah, bukanlah sesuatu yang mahal. Asal kujalani dengan seseorang yang dekat di hati. Yang bagiku dia adalah ‘rumahku’ karena membuat aku betah bersama dengannya.

Biruku…
Biruku berarti suamiku, anakku, orang tuaku, adikku, sahabat-sahabat terdekatku. Mereka yang membuatku merasa nyaman dan merasa ‘ at home’ karena penerimaan yang besar dari mereka terhadap aku dengan segala kekuranganku.

Biruku yang terutama berarti TUHAN YESUS. Yesuslah yang membuat aku bisa melangkah dalam keseharian hidupku. Di tengah kondisi hidup yang tak pernah terprediksi, aku menemukan biruku dalam Tuhan Yesus. Karena Dia, aku merasa diterima. Karena Dia, aku merasa berharga. Jauh sekali dengan apa yang ditawarkan dunia ini. Berbeda sekali dengan apa yang kutemui di keseharian kehidupan yang terkadang mengecewakan ini. Biruku berarti Yesus yang menerimaku apa adanya, tanpa perlu ja-im (read: jaga image).

Terima kasihku untuk biruku. Les Blues. Dan yang paling utama dan terutama, yang terbiru dalam hatiku, Yesus Kristus.

Singapore, 10 April 2008 pukul 00.12
Masih dalam kondisi mengharu biru…
-fon-