Thursday, November 26, 2009

Pho Bo


Pho…

Diucapkan sebagai fe

Bukan po…

Bukan pula pho…

Berarti mie Vietnam yang putih

Mirip seperti kwetiaw…


Bo…

Dilafalkan sebagai bo…

Seperti Majalah Bobo…

Dan berarti daging sapi…


Sayuran yang menghiasi..

Tauge…

Daun bawang…

Cabe rawit…

Daun mint…

Jeruk nipis jangan lupa…

Dan kuah yang melimpah

Hampir memenuhi mangkok…


Makan Pho Bo…

Di seputar Saigon

Asyik…
Keringat mengucur…

Sebagian karena pedasnya cabe

Sebagian karena panasnya kuah…


Di tengah keasyikan makan Pho Bo…

Kenapa tiba-tiba yang kuingat malah…

Bakso…?

HCMC, 27 November 2009

-fon-

* Seenak-enaknya tinggal di negeri orang, tetap saja ada hal-hal yang membuat kangen negeri sendiri…:)

sumber gambar:

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyxzI5zaaxRgcpzmlnjTpsE4VDd9-_PGTqKvCclBZVgaUHJFgpqiJQtZqsSi-eiyy5uy5ptL76VXVcOLUac_FdewV8fXSZwXHxEAJvIrB3PagS6J5qfprC-9PRq_NsXKtamJdevcQoweA/s1600/Pho2.jpg

Wednesday, November 25, 2009

Layu



*** Lagi-lagi belajar dari ‘Farmville’ edisi ke-4

Setelah beberapa waktu yang lalu mengira bahwa dengan di-bannednya FB di Vietnam berarti pula akhir cerita cinta saya dengan ‘FarmVille’ (FV), ternyata saya masih diberi kesempatan untuk melanjutkan karya-karya mulia di ladang milik saya sendiri :). Mulia, karena dari sana saya setidaknya berhasil menelurkan empat tulisan. Dan mungkin masih akan ada susulannya. Akhirnya, FB kembali normal dengan internet provider ‘Viettel’ tercinta. Saya tidak tahu berapa lama, karena kadang normal kadang tidak, tetapi saya cukup mensyukuri, setidaknya masih ada tambahan waktu bagi saya bermain FV.

Sewaktu saya tidak bisa mengakses FB sekitar 10 harian, saya agak gelisah dengan tanaman mawar saya yang seyogyanya dipanen dua hari sesudah ditanam. Sudah terbayang keindahan mawar di ladang saya, tetapi tiba-tiba hal yang tidak diharapkan muncul. FB tidak bisa diakses. Apa boleh buat, saya harus menghadapi kenyataan bahwa apa yang sudah saya tanam harus layu. Tanpa tahu kapan saya bisa menanam lagi, kapan saya bisa mengangkut seluruh mawar yang layu dan mulai memilih tanaman baru lainnya. Menyedihkan sekaligus mengecewakan. Namun, apa boleh buat, itu kenyataan yang harus saya terima.

Dari sisi kehidupan, saya mencatat pula bahwa ada kalanya apa yang sudah kita tanam dengan susah payah tidak menghasilkan seperti yang kita inginkan. Ada kalanya sudah bersusah payah menanam cinta dalam suatu relasi sebagai sepasang kekasih, hasilnya tidak berbuah manis. Malahan, setelah beberapa tahun, cinta itu layu dan kering. Sehingga pasangan itu memutuskan untuk berpisah. Apa boleh buat, itu bagian dari kehidupan yang harus dijalani. Yang tidak selalu manis, yang menyisakan masa-masa di mana kelayuan menyapa dengan frekuensi cukup sering. Belum lagi kita sudah bersusah payah di bisnis yang baru dirintis, di pekerjaan yang baru, di sekolah baru, di universitas baru, di negara baru, di mana-mana di tempat baru, tetapi hasilnya juga tidak kelihatan. Bahkan sepertinya mengecewakan. Tidak sesuai harapan. Seperti ketika saya berharap mawar mekar, ternyata mawar di FV saya layu dan kering kerontang.

Begitulah hidup. Terkadang apa yang sudah susah payah kita perjuangkan, tidak selalu berbuah manis. Bisa layu, bisa busuk, bisa tidak merekah. Bisa gagal. Dan apa yang harus dilakukan?

Sabar menunggu. Tetap berusaha. Berdoa.

Ketika mawar saya layu, saya hanya menunggu waktunya FB kembali aktif. Atau ketika suatu saat saya keluar dari Vietnam entah untuk liburan ke Indonesia atau ke tempat lainnya. Pasti ada satu masa di suatu ketika, ketika saya kembali mampu mengakses FB.

Ketika hidup tak seperti yang kita inginkan. Ketika banyak kali hidup tidak memberikan hasil seperti yang kita harapkan, tak ada cara lain kecuali menunggu saat-Nya tiba. Saat-Nya untuk menjadikan segala sesuatu indah, lagi-lagi bukan menurut saya, tetapi menurut kehendak-Nya. Mungkin saat-saat itu bisa dipakai sebagai saat-saat yang reflektif. Di mana saya bisa merefleksikan, apa yang sudah saya lakukan dan apa yang sepertinya salah sepanjang perjalanan hidup saya. Bukan untuk menghakimi diri saya sendiri dengan segala kelalaian dan kebodohan saya karena saya gagal, melainkan untuk kembali memetik pelajaran di tengah kegagalan tersebut. Saya tetap yakin, dalam setiap kondisi kehidupan yang ‘layu’ asal tidak dihadapi dengan hati yang ‘layu’, tetap akan ada sesuatu yang dipelajari. Bahkan sering kali, kegagalan atau ‘kelayuan’ macam ini justru membuat orang semakin dewasa. Semakin bijaksana. Semakin tegar. Karena tahu hidup tak selalu mudah, namun pasti ada jalan bagi mereka yang percaya.

Hidupmu tengah layu saat ini? Hidupmu tengah lesu akhir-akhir ini? Bersihkan kelayuan itu dengan cinta-Nya. Basuh kembali hidupmu dengan kasih-Nya. Dan akan kaurasakan semangat hidup yang membara. Sehingga, meminjam istilah film animasi ‘Up’, engkau akan merasakan ‘the spirit of adventure’ kembali. Semangat untuk kembali berpetualang dalam hidup dan kehidupan itu sendiri.

Layu itu sementara. Tidak akan selamanya. Begitupun kebahagiaan yang membuncah, yang membuatmu melayang tinggi di awan dan terbang di antara bintang-bintang. Itu semua sementara. Yang pasti, ketika layu, janganlah berhenti berharap. Suatu saat keadaan akan berubah. ‘Wither’ atau layu hanya terjadi pada satu titik waktu. Bukan berarti setiap sisi, setiap detik hidupmu layu. Tetapi, ketika kaucari, kau akan menemukan bahwa di sisi lain di saat yang sama, kau masih bisa melihat titik-titik keceriaan yang mungkin amat kecil. Tak kasat mata. Namun sebetulnya ada.

Selamat mencari titik-titik kebahagiaan dalam hidup Anda. Kabar baiknya, bagi mereka yang mencari, biasanya mereka akan menemukan. Kelayuan bukanlah akhir segalanya, kelayuan hanya sementara. Have a great adventure with a new spirit in this life!

HCMC, 26 November 2009

-fon-

* inspirasi dari layunya mawar di ‘FarmVille’ plus sedikit dari nonton DVD ‘Up’.

* tulisan ini juga ada di FB notes saya dan blog http://www.fjodikin.blogspot.com/, serta http://yuknulis.com/

sumber gambar:

http://gallery.photo.net/photo/5844948-md.jpg

Monday, November 23, 2009

Never on Holiday


Libur tlah tiba! Setiap orang senang, setiap orang bahagia. Siapa yang tidak suka liburan? Setelah sumpek bekerja, setelah stress ujian, setelah kelelahan, setiap orang butuh istirahat. Istirahat atau liburan, tidak harus berupa jalan-jalan ke luar kota atau ke luar negeri. Tidur bisa jadi alternatif juga, karena terlalu lelah terkadang yang dibutuhkan hanya istirahat dalam bentuk bobo yang panjanggg. Kalau bisa ya bobonya di Bali, siapa takut? Syukur-syukur di ‘Carribean Islands’ atau di ‘Disneyland’ di Hongkong, juga tidak menolak, ya kan? :) (maunya tuh wakakaka :P).

Tapi ada orang-orang tertentu yang tidak selalu bisa libur. Contohnya operator MRT di malam tahun baru, di mana banyak masyarakat Singapura ataupun turis yang berdatangan memenuhi sekitar ‘Esplanade’ dan ‘City Hall’, justru harus bekerja di saat itu. Di hari-hari libur semacam itu yang jadi libur besar bagi banyak keluarga, banyak satpam yang harus tetap jaga. Tukang ojek, sopir taksi, masinis kereta, pengemudi busway, yang masih berusaha mengais rezeki di hari-hari yang semakin mendekat dengan hari raya atau hari libur juga termasuk dalam jajaran ini. Begitu pula dengan dokter dan perawat yang harus masuk dan meninggalkan pesta pora, keriuhan di luaran demi tanggung jawab dan dedikasi pada pekerjaan. Dan satu pekerjaan yang tak bisa libur apalagi ‘resign’ adalah posisi seorang Ibu (seorang Bapak juga sih, nanti dipikir mentang-mentang Ibu, gak nulis yang Bapak…Trus para Bapak sensi lage…peace ya, Pak :)). Tidak ada kata berhenti untuk jadi seorang Ibu. Dia tetaplah ibu. Begitupun setelah jadi Bapak. Walaupun terpisah, walaupun bercerai, walaupun lari dan sembunyi, Bapak tetaplah Bapak. Dan…Ibu tetaplah ibu.

Satu lagi, ada sesosok pribadi yang selalu saya ingat, Dia tidak pernah liburan. Dan tak pernah jenuh juga mendengarkan doa dan permohonan manusia yang itu-ituuu saja. Yang bandel dan tak mau berubah tapi ngotot maunya dituruti. Yang terkadang di mata saya yang manusia saja (ketika melihat diri sendiri saya pun berkaca dengan gaya ‘miror…mirror on the wall…’ :D) jujur saja : menyebalkan dan bikin darah tinggi. Saya ingin berandai-andai sejenak, kalau saya adalah Tuhan (peace God, bukan maksud hati sotoy, tapi apa boleh buat mungkin pengandaian ini paling cocok :D), saya pasti ingin libur karena sumpek, suntuk, bosan dengan kesalahan yang diulangi lagi oleh manusia yang itu-itu saja. Mungkin sudah kesalahan yang ke-2560. Kesalahan bodoh serupa yang diulangi lagi. Belum lagi dengan keangkuhan yang ada dan tak pernah jera. Ampun deh, susahnya jadi Tuhan, gak kebayang! (Mungkin film Bruce Almighty bisa sedikit menggambarkan hal itu…).

Tetapi, hal itu tidak terjadi pada Tuhan. Yang super baik, super mulia, super peduli pada manusia. Tuhan memang super. Makanya Tuhan tidak pernah liburan. Wong ‘Clark Kent’ saja kalau lagi liburan terus mendeteksi adanya kejahatan langsung berubah wujud jadi ‘Superman’… Superman kayaknya sudah jadul ya, bagaimana kalau dengan Ben 10? Maklum tontonan anak saya salah satunya Ben 10 juga :D. Intinya superhero saja tidak liburan atau libur dan kemudian bisa balik menolong orang dulu baru melanjutkan liburannya, apalagi super segalanya,Sang Mahakuasa?

Untuk itu saya ingin berterima kasih kepada-Nya.

Untuk waktu yang selalu tersedia bagi saya, 24/7/365…

24 jam sehari, 7 hari seminggu, 365 hari setahun

366 hari setahun bila itu tahun kabisat…

Untuk kesediaannya mendengarkan saya…

Keluh-kesah, obrolan tak penting, mau curhat atau bicara dari hati ke hati dengan-Nya

Untuk ke-Maha-hadiran-Nya…

Selalu ada kapan saja, di mana saja, selalu siap sedia menolong…

Untuk kebaikannya yang takkan pernah habis saya ceritakan

Karena kemampuan saya mencatat kebaikannya amat terbatas…
Belum lagi ketika ngambek saya lupa mencatat kebaikan-Nya

Sebaliknya malahan saya menuding hal-hal yang tidak sesuai

Dan itu saya anggap kesalahan-Nya…

Untuk setiap bahu yang Dia tawarkan ketika saya butuh bahu itu untuk ditangisi

Untuk setiap tetesan air mata yang Dia hapuskan dengan tisue Ilahi-Nya

Untuk setiap detik ketika Dia menemani saya dan saat itulah saya merasa aman

Dan tidak lagi merasa sendirian…

Untuk setiap kesukaran saya yang ditanggapi dengan harapan bahwa segala sesuatu itu mungkin di dalam Dia.

Untuk kesediaan-Nya tetap hadir, sementara Dia sebetulnya bisa memilih berlibur

Atau cuti dari tugas-tugas Ilahi-Nya tapi Dia tak pernah lakukan itu Karena?
Dia terlalu cinta pada anak-anak-Nya ini…

Terima kasih, Tuhan…

Tidak pernah ada kata-kata yang sanggup untuk melukiskan

Betapa kebaikan-Mu itu

Telah dan tetap akan mengisi hari-hariku….
Kesetiaan-Mu tetap mewarnai setiap detik hidupku…

Dan jiwaku bersuka karena-Mu.

Jiwaku memuliakan-Mu.

Thank You, Lord because You choose not to have a holiday.

While if You want to, of course You can.

Because You are God!

But You don’t do that, merely because You love us so much.

You put a huge concern on us.

Please accept my greatest gratitude for YOU!

Thank You, God!

HCMC, 23 November 2009

-fon-

* inspirasi dari obrolan lewat email dengan seorang teman dan itu menyadarkan saya bahwa Tuhan tak pernah libur, tak pernah pergi, selalu ada dan tetap setia :)

sumber gambar:

http://www.holidayrep.org/index_files/HolidayRep.jpg

Sunday, November 22, 2009

Serial Anak Kampung di Rantau (Bagian ke-3)



***Catatan minggu ke-3 di Saigon

Pasar Tradisional dekat rumah…

Akhirnya jadi juga saya pergi ke pasar tradisional dekat rumah. Di hari minggu, pukul enam tiga puluh, saya mengenakan pakaian kebangsaan ke pasar (belum ada sih sebelumnya, baru mau diadakan). Kaos agak belel dengan celana sebatas lutut. Sandal pun dipilih yang nyaman, siapa tahu harus berlari dari kejaran sepeda motor ( ‘ge er mode on’, sapa juga yang mo ngejer? Hehehe). Berbekal kantong belanja berbahan kain yang ‘environmentally friendly’, kalkulator Cas*o, buku notes kecil dan bolpen. Saya berangkat. Oh, tentunya bawa uang. Kalau nggak, berabe lagi. Sudah gak bisa ngomong, mau ngutang lagi? Tinta mungkin lah yaw :P

Perjalanan ke pasar singkat. Kurang dari sepuluh menit. Saya mulai menelusuri barang apa saja yang bisa dibeli dan mau dibeli. Saya memilih buah-buahan dan sayuran, serta sedikit daging. Pertama di ‘counter’ daging. Ambil secumplek daging (secumplek, apa lagi tuh? Istilah sendiri. Yang penting saya ngerti, Anda ngerti, cukup sudah…hehe), langsung tanya, “ How much?” sambil ngeluarin kalkulator. Dia memberikan angka 28 ribu dong (sekitar 15 ribu rupiah). Oklah, masih murah meriah. Ambil lagi cumplekan kedua daging. Tambah 10 ribu dong katanya. Ok, bungkusss!

Beli mangga juga sama. Tapi kalkulator kurang terpakai, karena pake bahasa isyarat ternyata lebih afdol. Tidak salah dulu kita diajar berhitung dengan jari, karena terasa betul manfaatnya di sini. Untung saya tidak pernah membolos pelajaran berhitung (kayak susah aja ya pelajarannya hihi), jadi saya fasih menggunakan jari-jari saya. Dan itu ternyata amat bermanfaat di sini. Tak pernah saya kira ck ck ck…(lebay neh critanya:)).

Setelah menggondol sayuran, buah dan daging plus cuci mata sepanjang pasar melihat kemolekan ‘dragon fruit’, nanas, ikan, daging, ayam dan teman-temannya, saya pulang dengan tidak sukses. Karena nyasar! Udah nyasar, bawaan agak berat lagi. Akhirnya saya pulang juga, sampai dengan selamat. Oh iya, saya juga membeli bahn mi (semacam roti tradisional Vietnam dari roti baguette Perancis dengan isi daging, sayuran dan acar). Masih dalam bahasa isyarat juga. Sukseslah pengalaman pertama ini! Dengan kurang dari 150 ribu dong, saya berhasil mendapatkan cukup banyak barang. Saya puas. Karena kalau ke mini market, pasti harga yang saya bayarkan lebih mahal. Konsekuensinya saya dianggap orang asing dan di-‘charge’ ekstra juga tak mengapa. Apa boleh buat, resiko masih belum bisa bicara banyak dalam bahasa lokal.

Dan karena sukses, saya pun mengulang kembali di hari Kamis lalu. Jadi dalam seminggu, ada dua kali saya ke pasar. Dan sukses, Saudara-Saudara! (Ke pasar aja, bangga…Please, deh…Ya iyalah, secara pengalaman pertama. Bukannya congkak, bukannya sombong neh…).

Hari pertama kursus Bahasa Vietnam

Bahasa Vietnam tidak sesulit Bahasa Mandarin/’Chinese’ dari segi tulisan. Karena mempelajari tulisan Bahasa Mandarin perlu tahunan. Untuk membaca koran dan majalah, perlu waktu lama untuk mempelajarinya. Namun, ‘tone’ suara atau intonasi per suku kata di bahasa Mandarin ada 4. Misalnya kata “ma”. Dilafalkan dengan 4 nada berbeda memiliki arti berbeda pula. Bahasa Vietnam, hurufnya hanya alfabet biasa dengan tambahan topi di atas huruf ‘e’ misalnya. Dan huruf ‘A’ memiliki 3 bunyi. Hari pertama belajar bahasanya sudah langsung ada soundtrack ‘Killing me softly’ di telinga saya. Ternyata ribet, bow!

Strumming my pain with his fingers (one time)
Singing my life with his words (two times)
Killing me softly with his song
Killing me softly with his song
Telling my whole life with his words
Killing me softly, with his song

‘Killing me softly with those tones’, bunyinya 6 macam lho. Jadi satu kata misalnya ‘ma’ itu tadi bisa dilafalkan dengan enam cara dan memiliki enam arti berbeda. Belum lagi karena belum pernah mendengar bahasa itu sebelumnya, jadi betul-betul saya seperti makhluk planet yang mencoba belajar bahasa bumi. Anggaplah saya yang dari Planet Venus kepengin belajar bahasa bumi. Ah, sulitnya! Pengin rasanya mengakhiri seketika kursus itu dan tidak mau belajar lagi….Mending nyanyi aja ah…*Killing me softly with his song…killing me softly…*

Hari kedua belajar bahasa ini, ternyata sudah mulai tidak begitu ‘killing me softly’ lagi. Saya mulai agak merasa nyaman. Apalagi saya juga bertanya bagaimana melafalkan nama jalan yang sering saya kunjungi sehingga memudahkan saya berkomunikasi dengan sopir taksi. Lumayan menarik juga…

Dan hari ini, hari ketiga saya belajar, semakin saya senang. Hanya memang perlu waktu untuk menguasai lebih banyak. Kan pelan-pelan..Kan bahasa asing… Jadi, ya…enjoy aja, sambil menikmati pakai bahasa isyarat plus ‘English’.

Teacher, udah gak ‘killing me softly’ lagi neh. ‘Soundtrack-nya’ ganti ‘I will survive’ ya :)

Keamanan di Vietnam…

Di Singapura, ada seorang teman asal Cina yang lama tinggal di Amerika Serikat mengatakan kepada saya kalau keamanan di Vietnam kurang baik. Karena banyak copet dan sebagainya. Dan seorang teman di Vietnam yang mengajak saya ke pasar, masih ingat Cindy si ojek cantik? Juga berpesan hal yang sama. Saya tidak boleh membawa dompet kalau ke pasar katanya. Masukkan di saku kiri, kanan, depan, belakang. Dan kalau ada yang menyenggol, harus hati-hati, karena mungkin kena copet. ‘So far so good’, saya rasa keamanan di sini secara keseluruhan masih lebih baik daripada Jakarta. Terbukti, di taksi, tidak mengunci pintu mobil pun tak mengapa. Di lampu merah aman, tanpa ada yang maksa bersihin jendela dan mengancam mukul kaca pakai batu kalau tidak dikasih uang. Dan juga tidak ada gerombolan yang terkenal suka mengambil handphone dengan memecahkan kaca jendela mobil di tengah kemacetan. Vietnam Ok koq… Hati-hati tetap perlu ya, tapi secara keseluruhan masih lebih aman daripada Indonesia, ini pendapat saya pribadi yang baru sekitar 3 minggu di sini lho… Kalau salah ya, maaf deh :)

Menyeberang Jalan

Karena orang Vietnam luar biasa tertibnya dalam berlalu lintas…(tertib? Mungkin saya salah kasih istilah… yang benar luar biasa tidak tertib), makanya kalau menyeberang harus lihat depan belakang, kanan-kiri. Secara saya yang tidak jago menyeberang di Indonesia tapi jago di Singapura (ya iyalah, wong ada lampu merah buat penyeberang jalan wakakak…), di sini saya kesulitan. Mulai dari hampir ditabrak, sampai digandeng suami dan diarahkan untuk menyeberang. Karena di sini motor bisa datang dari segala penjuru tanpa peduli, tanpa kendali…Dan melawan arah? Itu hal yang biasa di sini. Sayangnya saya yang tak terbiasa…Dan mungkin harus ekstra hati-hati ketika menyeberang jalan…*Sigh*… Positifnya harus banyak latihan sport jantung dan cuek…Karena berhadapan dengan pengendara motor tercuek yang pernah saya lihat…Trotoar pejalan kaki pun milik mereka dan bukan itu saja, mobil pun naik trotoar…Tobat…tobat :P wkwkwk….

Ok, sekian dulu info di minggu ini. Kunjungan ke Saigon Notre Dame atau ‘Duc Ba’ dalam bahasa lokal, akan saya bahas di minggu depan…

Anak kampung yang (berusaha) tidak kampungan undur diri. Kalau masih agak kampungan? Ya, maklumlah…Namanya juga anak kampung hahaha…

HCMC, 23 November 2009

-fon-

* menikmati minggu-minggu pertama di HCMC, sekaligus melihat seperti apa sih hidup di negeri orang?

sumber gambar:

http://blog.tiffanywan.com/__oneclick_uploads/2008/05/ho-chi-minh-city_dsc_0199.jpg

Keterbatasan



Setelah tinggal di negara yang membebaskan masyarakatnya berteknologi seluas-luasnya di Singapura, saya merasakan hal yang kurang mengenakkan di Saigon. Dibatasi. Terutama dari sisi teknologi dan situs jejaring sosial ‘Facebook’. Karena pemerintah sudah melarang dan konon kabarnya masih ada beberapa ‘internet provider’ yang masih membolehkan pelanggannya untuk main fesbuk. Kecuali dua internet provider yang sudah menuruti aturan ini, termasuk penyedia jasa internet di rumah kami, Viettel.

Dengan tidak bermaksud untuk mengeluh, hanya untuk mencurahkan isi hati, saya hanya berpikir bahwa hidup dalam keterbatasan memang tidak pernah enak. Tetapi, hidup di mana pun, pasti ada keterbatasan. Pasti ada hal yang menjadi ‘restriction’ itu tadi.

Contoh di Singapura, negara yang membebaskan masyarakatnya untuk berinternet, untuk mengejar ekonomi seluas-luasnya, untuk berbelanja dengan mudah karena segala ada. Dan barang bermerek termasuk cukup lumayan, terutama kalau merek Singapura atau Hongkong seperti Samuel & Kevin, Giordano, Esprit, G2000, dan banyak lagi lainnya. Sampai merek mewah semisal Gucci, Prada, Louis Vuitton, Burberry, dan banyak merek antik yang mungkin belum pernah didengar namun memenuhi mall semisal ION Orchard. Singapura memang surga bagi para ‘shopaholic’. Yang menyediakan segala sesuatunya. Namun, di Singapura batasan itu ada pada peraturan yang ketat. Denda yang tinggi. Misalnya dilarang membawa durian jika naik MRT atau bus, karena dendanya SGD 1000 (kalikan dengan Rp. 7000, banyak kan? Dan konyol kalau karena durian harus bayar seperti itu). Belum lagi tidak boleh buang sampah sembarangan. ‘Singapore is litter free’. Konon saya dengar, dulu tetangga saya di Singapura punya pembantu orang Indonesia dan minum minuman dari ‘fast food’. Membuang sembarangan. Hasilnya, kena dengan SGD 300. Lumayan banyak juga. Di atas dua juta untuk buang gelas plastik…

Keterbatasan dan peraturan itu membuat Singapura memang bersih dan rapi. Belum lagi larangan bejibun lainnya misalnya tidak boleh membawa barang bajakan, semacam DVD, VCD. Kalau ketahuan, bisa berabe. Dan harus memakai software aseli lho… Selama di Singapura, kami selalu memperbaharui Norton Antivirus di komputer kami setiap tahun dengan membeli resmi. Dan bagi orang Indonesia yang terbiasa dengan bajak-membajak, tentu saja ini merupakan siksan tersendiri. Contoh lain, tidak adanya permen karet di Singapura memang membuat Singapura bersih-rapi, tetapi anak-anak yang dari lahir sampai besar di Singapura, tidak berkesempatan untuk tahu bahwa ada kenikmatan tersendiri ketika membuat balon-balon dari permen karet bak serial ‘Lupus’ beberapa tahun yang lalu. Tinggal di negara dengan peraturan bejibun seperti itu, mau tidak mau membuat banyak orang berhati-hati. Kalau tidak, kena masalah sendiri.

Keterbatasan itu berubah bentuk di Vietnam. Kebebasan beragama boleh. Gereja Katolik banyak. Satu distrik bisa ada 2-3, bahkan 4 menurut teman saya yang Vietnam asli (namun saya belum tahu juga kebenarannya). Minimal satu distrik ada satu gereja. Siang ini, saya juga berkesempatan melihat sebuah mesjid. Setelah sebelumnya sempat melihat vihara di sini. Namun, untuk kegiatan rohani, misalnya kumpul untuk doa bersama di lingkungan. Jangan harap ada di sini. Kalau di Singapura hal itu tidak terlaksana karena individualistis dan kesibukan para penghuni negaranya. Karena pulang kerja sudah terlanjur malam, di atas jam 7, dan tidak jarang kalau tidak ada pembantu para ayah dan ibu harus mati-matian menjaga anak pula, maka dengan keletihan semacam itu jarang ada orang yang mau pergi berorganisasi lagi. Walaupun gereja tetap padat, kegiatan juga banyak, namun diisi oleh mereka yang berbau ibu rumah tangga, yang sudah ada umur, dan sebagainya. Keterbatasan itu di Vietnam, ditakutkan oleh pemerintah, kalau kumpul-kumpul merencanakan sesuatu yang membahayakan. Sebagaimana fesbuk di-‘banned’ dengan alasan adanya pernyataan atau foto yang mendiskreditkan pemerintah (ini info dari seorang teman yang juga belum saya cek kebenarannya sampai di mana). Keterbatasan selalu ada di mana-mana, dalam bentuk yang berbeda. Barang impor di Vietnam mahalnya luar biasa. Jadi malas, ketika melihat angka jutaan untuk satu tas atau sepatu. Selain memang uang yang terbatas, lagian juga pola hidup yang cukupan yang hendak diterapkan di sini. Saya memang tidak mampu membeli barang-barang yang terlalu mewah karena merasa sayang juga membelanjakan uang untuk hal-hal berbau gengsi. Belum lagi merasa tidak enak hati dengan mereka yang tidak sanggup makan tiga kali sehari, sedangkan tas yang saya pakai harganya puluhan juta rupiah misalnya. Rasanya malu sekali. Jadi, sampai sekarang saya belum beli selain juga pengangguran koq beli tas mewah? :D hahaha… Uangnya dari mana???

Di Indonesia, sebetulnya tidak banyak keterbatasan yang saya alami. Bebas berorganisasi, bebas membawa apa pun ke dalam bus. Jangankan duren, petai dan jengkol pun boleh, ‘tul gak? Hehehe. Namun, keterbatasan di Indonesia berbentuk lain. Mungkin masalah banjir yang harus dihadapi kota Jakarta, belum lagi kemacetan yang selalu jadi sumber masalah. (Dan itu pun dihadapi Saigon di sore hari sekitar pukul 17.00-19.00.) Memang kita tidak bisa memiliki semuanya. Selalu ada yang enak dan ada yang tidak. Selalu ada peraturan yang berbeda di tiap negara. Terkadang, selama hidup di Indonesia, saya sering mendengar keluhan dari beberapa teman terutama mereka yang pernah mengecap kesempatan untuk hidup di luar Indonesia sebelumnya. Banyak hal yang bisa dikeluhkan, mulai dari polusi, korupsi, ketidakadilan hukum yang berlaku, banjir, bencana alam lainnya, macet, pengaturan negara yang kurang sesuai (bahkan dulu banyak yang bilang kurang becus). Tapi sebetulnya, dengan tidak bermaksud pro pada siapa pun, mengatur Indonesia yang sebegitu luas dan besar wilayahnya dengan berbagai suku dan budaya, dengan berbagai adat dan kebiasaan, tentunya sulit. Sulit jika dibandingkan dengan Singapura yang jumlah penduduknya tidak lebih banyak dari kota Jakarta. Cuma setengahnya saja kira-kira.

Keluhan itu berganti menjadi keluhan yang lainnya di Singapura, di Vietnam, atau di negara lain. Sebut saja Inggris, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, Korea, Hongkong, dan sebagainya. Sejujurnya, di tiap negara selalu ada enak dan tidaknya. Selalu ada plus-minusnya. Di tengah kondisi fasilitas dan praktisi kesehatan yang prima seperti Singapura, memang gampang mengeluhkan dokter-dokter Indonesia yang dirasakan kurang oleh banyak orang yang mampu berobat ke luar negeri. Sehingga sedikit-sedikit periksa ke Singapurrr… Memang standar yang berbeda itu harus diakui. Namun, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya pada banyak dokter (termasuk beberapa yang saya kenal) yang berdedikasi tinggi dan betul-betul mencurahkan perhatian penuh kepada para pasiennya. Indonesia masih menyisakan banyak dokter yang baik, tidak mata duitan, dan berhati mulia. Serta cukup jago.

Memang jumlah yang berkualitas seperti itu menjadi banyak di Singapura karena rata-rata dengan status Profesor, ‘Senior Consultant’, atau minimal ‘Consultant’ rata-rata sudah Ok betul.

Kalau mau dibandingkan, jujurnya gak akan ada habisnya. Setelah menikmati kemudahan medis di Singapura dengan kualitas prima, di Vietnam saya harus menghadapi kenyataan bahwa dokter-dokter umum maupun spesialis yang bisa berbahasa Inggris di sini adalah dokter dari Rusia, Israel, dan Filipina. Juga negara-negara yang kurang favorit lainya. Begitulah kenyataan yang memang tak bisa dipungkiri. Saya tidak mau menghakimi kemampuan mereka, namun karena keterbatasan pilihan, saya juga hanya berjalan berdasarkan rekomendasi teman. Karena yang pasti kami tak mungkin ke dokter lokal karena kendala bahasa. Berbeda di Singapura, justru kalau sakit yang ringan seperti pilek, batuk ataupun sedikit demam, dokter lokallah yang kami cari terlebih dahulu.

Keterbatasan dalam suatu negara yang sudah menjadi jatah kita, hendaknya kita bisa terima. Jatah berarti yang kita pilih ataupun dipilihkan kepada kita. Itu bisa berarti tanah air tercinta Indonesia. Atau Singapura, Australia, negara-negara di Eropa, Asia, bahkan negara-negara di Afrika. Di mana pun kita ditempatkan, baiknya berusaha menerima apa adanya sambil membuat perubahan-perubahan kecil yang berarti. Syukur-syukur bisa terlibat dalam melakukan perubahan besar. Namun, sebagai seseorang yang hidup di rantau, saya lebih memahami keterbatasan. Karena ini bukan negara saya, jadi saya memang harus lebih berhati-hati dan lebih banyak larangan bagi saya yang orang asing di negara ini untuk melakukan ini dan itu. Banyak hak kewarganegaraan yang tidak saya dapatkan. Sementara negara tercinta jauh di seberang sana. Nikmati saja, jalani saja, hadapi saja bahwa memang keterbatasan itu akan selalu ada. Sekaligus berusaha menerima dengan tidak melulu mengeluh. Karena di mana pun saya berada, akan mudah untuk melihat cacat celah suatu negara, suatu kota, suatu kampung. Namun, itu juga tantangannya untuk melihat hal-hal yang baik dari satu negara, satu desa, satu kota, satu kampung.

Keterbatasan akan membatasi kalau pikiran kita pun melakukan ‘blocking’ atas semua kesempatan yang mungkin tercipta. Sementara dari perspektif yang berseberangan, keterbatasan bisa membawa orang-orangnya bermimpi tentang sesuatu hal yang membebaskan, memerdekakan, setidaknya untuk menjadi apa yang diinginkan. Menjadi seseorang yang sudah diimpikan sejak dulu. Menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya.

HCMC, 23 November 2009

-fon-

* kesan pribadi saya saat mengalami perpindahan tempat tinggal dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.

sumber gambar:

http://www.hollerinrock.com/wp-content/uploads/2009/01/sb10069371c-002.jpg

Saturday, November 21, 2009

Angel-In-Us


Pagi ini kami berencana ke ‘Tax Center’ (Thuong Xa Tax) untuk beberapa keperluan. Sebelumnya, masih di jalan yang sama, di Nguyen Hue, saya mampir ke satu toko kopi sejenis ‘Starbucks’ dan ‘Coffee Bean’ bernama Angelinus Coffee. Awalnya saya pikir nama toko itu Angelinus. Bentuk maskulin dari Angela. Namun, ternyata toko kopi itu memiliki arti tersendiri. Dengan gambar malaikat yang bisa dijumpai, dengan sayap-sayap yang juga bisa terlihat, Angelinus memiliki arti tersendiri. Dia berarti ANGEL IN US. Malaikat di dalam diri kita masing-masing.

Saya cukup terkesima dengan tema ini, karena saya percaya pula bahwa di tengah semua kelemahan dan kekurangan kita, masihlah ada sisi baik dalam diri kita. Ada satu sisi yang tetap berjuang untuk terus berbuat baik. Ada sisi malaikat dalam setiap kita. Angel-in-us, membuat saya terus berpikir untuk melakukan sesuatu hari ini. Dan saya ingin membagikannya kepada teman-teman semua, bila Anda berkenan.

Terkadang dengan begitu kejam, kita sering menghakimi diri terlalu keras. Terutama akan dosa-dosa masa lalu kita. Terutama tentang kegagalan kita. Terutama tentang keburukan kita, entah secara fisik maupun mental kita. Terlalu sering kita dengan gampangnya melihat keburukan orang lain di depan mata. Sebut saja orang-orang terdekat, mereka yang banyak bersinggungan dengan kita di setiap hari. Teman dekat, teman sekantor, mama, papa, mertua, suami, isteri, anak, adik, kakak, keponakan, sepupu, pembantu, ‘nanny’ atau ‘baby sitter’, sopir, dan silakan lengkapi daftar ini dengan mereka yang Anda anggap dekat. Dengan orang yang dekat, saya akui memang lebih sulit melihat kebaikan mereka. Karena terkadang kebaikan-kebaikan itu terlanjur tertutupi dengan keburukan yang sering diulangi. Bukan sekali, bukan dua kali. Mungkin dua puluh kali. Mungkin tiga ratus lima puluh kali. Dan terkadang itu menyebalkan, mengesalkan, memuakkan. Melupakan janji penting lagi dan lagi… Melupakan ultah istri lagi dan lagi. Tidak memasukkan pakaian kotor pada ‘laundry basket’ lagi dan lagi. Segala sesuatu yang dihadapi setiap hari dan menjadi rutinitas memang melelahkan.

Di balik itu semua, mungkin orang-orang terdekat kita terlanjur sebal dengan sikap kita yang mengatur terus dan terus. Banyak bicara tetapi sedikit bekerja. Terlalu sombong. Tidak mau menerima nasihat. Dan sebagainya.

Di luar itu semua, masih ada kebaikan dalam diri mereka. Mungkin, sebagian orang perlu menuliskan kebaikan pasangan mereka. Kebaikan orang tua mereka. Kebaikan pembantu mereka. Untuk sekadar mengingatkan bahwa mereka punya hal-hal yang baik. Mereka punya ‘angels in them’. Malaikat dalam diri mereka.

Dan itu bisa dilihat dengan kebaikan yang ada dalam diri kita. Hanya dengan mengembangkan batin yang penuh kebaikan itulah, baru kita mampu melihat kebaikan orang lain. Kalau diri sendiri miskin cinta, kekeringan kasih, dan terlalu sinis dalam memandang segala sesuatu, rasanya akan sulit untuk melihat kebaikan diri. Apalagi kebaikan orang lain. Apalagi kebaikan Tuhan.

Angel in us menyemangati diri saya untuk melihat kebaikan Tuhan, membawanya dalam kehidupan saya, dan melihatnya dalam orang-orang yang saya anggap hanyalah bagian dari rutinitas belaka. Mungkin sulit untuk melihat kebaikan dari seorang yang tukang terlambat. Seseorang yang tukang obral janji ketimbang melaksanakannya. Dan sebal rasanya bila orang-orang itu adalah orang terdekat kita. Tetapi, apa boleh buat, memang kita harus menerima mereka apa adanya karena mereka juga telah menerima kelemahan kita. Dan rasanya kini adalah saat yang tepat untuk melihat kebaikan yang ada. Yang sering kita abaikan. Take it as a granted.

Find the angel in us. Find the angel in others. And find the source of all angelic goodness. In God.

HCMC, November 21, 2009

-fon-

* Hopefully we can find those angels inside us. Inspirasi tanpa minum kopi di gerai kopi. Karena saya memang tidak suka kopi :)

sumber gambar:

http://images2.layoutsparks.com/1/214534/baby-angel-cute-wings.jpg

Wednesday, November 18, 2009

Facebook di-‘banned’ di Vietnam


Setelah mendengar bahwa ‘Facebook’ (FB) di-‘banned’ atau dilarang di Cina beberapa waktu yang lalu, hal serupa terjadi pada negara Vietnam. Menyusul Syria dan Iran, Cina dan Vietnam menjadi negara-negara yang dilarang pemerintahnya untuk akses ke Facebook menurut Wikipedia.

Hal ini saya ketahui karena sampai hari ini saya masih belum bisa meng-akses FB dari ‘laptop’ di rumah. Dan karena sudah berhari-hari menunggu, saya ingin tahu kepastian apa yang sebetulnya terjadi. Saya menelpon teknisi dari Viettel, ‘internet provider’ yang mengurusi tidak jalannya ‘internet connection’ di tempat saya beberapa waktu yang lalu. Mr. Ty menginformasikan pada saya bahwa, “ My government deny FB” . Dan itu sudah menjadi satu kelegaan bagi saya walaupun saya kecewa. Setidaknya saya tahu kepastiannya. Di kantor suami saya, kadang masih bisa, kadang tidak. Tapi di tempat saya sama sekali tidak bisa masuk ke FB.

Satu sisi saya kecewa. Jelas, karena saya akan banyak ketinggalan berita, komentar, dan kesempatan untuk memasukkan artikel-artikel saya di bagian notes FB. Itu sudah menjadi kebiasaan saya sehari-hari. Namun, apa mau dikata, saya harus menerima bahwa selama setidaknya dua tahun ke depan, tidak ada FB bagi saya. Tidak ada ‘Farmville’ bagi saya. Hiks…!

Tetapi satu sisi, saya kira dulu pun tanpa FB saya hidup baik-baik saja. Seperti dulu tanpa Handphone, saya juga ok-ok saja. Sekarang ini FB dan HP sudah jadi kebutuhan, tidak bisa tidak. Pasrah menerima, mungkin saya bisa lebih konsentrasi menulis ataupun mengurus rumah dan keluarga.

Meskipun kecewa, tapi tetap percaya bahwa everything happens for a reason. Kalau sekali ini terjadi seperti ini, mungkin Tuhan punya rencana lain buat saya di sini. Bukan Facebook-an melulu…:P

Sekian sekilas info di pagi hari….

HCMC, 19 November 2009

-fon-

* tetap berusaha tegar, tanpa kau di sisiku, Facebook :) Mungkin musti balik ke Friendster yang ternyata gak di-‘banned’….Gak seru banget ye? Nasib, nasib…wkwkwk…

sumber gambar:

http://clubs.ncsu.edu/tappi/facebook_1.jpg


Tuesday, November 17, 2009

Pretty Holland


Pretty Holland, demikan aku menyebutnya. Karena dia berasal dari Belanda (Holland) dan wajahnya memang cantik. Karena waktu itu tengah menonton America’s Next Top Model-nya Tyra Banks, aku mengamati, model-model itu bahkan wajahnya tak secantik dirinya. Begitu pun dengan balutan bikini yang senantiasa ada di tubuh sempurnanya. Tingginya sekitar 175 cm, mungkin lebih, karena aku tidak pernah bawa meteran :), yang pasti dia jauh lebih tinggi daripada aku. Aku mengagumi kecantikan fisiknya yang sempurna. Mata yang kecoklatan, rambut pendek yang tidak mengurangi kecantikannya. Sekilas dia agak mirip Winona Ryder, bahkan lebih cantik. Dia jauh lebih tinggi karena Winona mungil. Kami berbicara dan ngobrol sebentar. Karena sama-sama membawa bayi dan tengah memberikan waktu untuk bayi kami berenang sebentar saja, makanya dia selalu berbikini.

Perjumpaan pertama berlangsung baik. Tanpa sungkan, dengan jujur, kupuji kecantikannya. Tulus. Emang cantik, sih… Aku bilang aku menebak dia (mungkin) seorang model. Tapi ternyata dia dulunya ‘food and beverage manager’ di satu hotel di Belanda sana. Dan baru kuketahui juga terakhir sebelum kami pindah ke Saigon bahwa dia adalah juga seorang penari. Suaminya pun cukup keren. Tidak terlalu ganteng tapi amat tinggi. Kalau tidak 190cm, mungkin 185 cm. Anak mereka sedikit lebih kecil dari anak kami, mungkin hanya beda 1 hari, info itu kudapat dari seorang teman. Dan amat tinggi, tegap, aktif. Namanya Ziggy.


Salah paham…

Entah karena beda budaya, entah karena memang tidak cocok, entah kenapa tiap kali bertemu di perjumpaan selanjutnya, dia selalu salah paham denganku. Ada pula seorang temanku yang lain, pengasuh anak tetanggaku (anak ‘British’), seorang nanny asal Singapura yang bernama Rajes (dia orang India), juga pernah kena dampratan Si Cantik yang ternyata galak ini.

1. Kericuhan pertama terjadi ketika anakku dan asuhannya Rajes tengah bermain di ‘club house’, dan ‘ pretty holland’ membawa Ziggy hendak pulang dan harus melewati tempat kami, karena dia tinggal di unit yang letaknya di atas ‘club house’. Saat itu hampir Natal, sehingga ‘club house’ mulai berbenah. Dihiasi pohon dan hiasan Natal. Karena ‘Pretty Holland’ sudah posisi siap mau pulang, sementara anakku main mainannya yaitu ‘pole noodle’ (semacam mainan yang bisa mengapung dan bentuknya panjang terbuat dari bahan semacam stereofoam) milik mereka. Agak merasa tidak enak hati, kupikir, lebih baik kutanyakan apa dia terburu-buru mau pulang.

Jawabnya, “ It’s Ok”. Tapi anakku terus saja memainkan ‘pole noodle’-nya. Sementara dia sudah berhanduk ria, basah, dan Ziggy juga basah-basahan di ‘club house’. Karena lagi-lagi merasa tidak enak hati, makanya aku pikir, mendingan anakku jangan main mainnannya dia. Aku pikir mengganggu mereka yang sudah mau siap-siap naik ke unit apartemen mereka. Eh, gak taunya si ‘pretty holland’ marah dan bilang, “ It seems that you don’t welcome me here!” Rajes masih berusaha menjelaskan bahwa bukan itu yang saya maksud. Tapi sudah terlanjur be te, ‘Pretty Holland’ masuk ke pintu yang menuju lift, setengah membanting pintu dan dengan marah naik ke atas. *Sigh* Salah sangka, buuu…Galak amat, seh? Lagian emang ‘club house’ punya gue? Bukan kale…Ngapain juga aku gak ‘welcome’ ke dia… Peristiwa ini berakhir tidak manis. Tidak seperti pada umumnya cerita yang aku buat. Gak nyangka juga akhirnya punya musuh di negeri Singa. Gak bermaksud musuhan seh, tapi apa daya…Kecantikan wajah tidak diimbangi oleh kecantikan sikap (itu kata Rajes, my friend :)).


2. Kejadian kedua. Rajes yang kena batunya. Rajes hanya bilang anak laki-laki lebih aktif daripada anak perempuan. Rajes tahu karena dua anaknya laki-laki dan sudah besar, sudah 24 tahun dan 19 tahun. Dan ‘Pretty Holland’ langsung sewot dan menjawab, “ You’ll see when the girls get bigger, it will be harder to handle.” Rajes bengong sementara ‘pretty holland’ berlalu. Aku juga bingung. Koq tiap kali ketemu kayak lagi PMS melulu? :P


3.Kejadian ketiga, di ‘playground’ sekitar pukul 4 sore. Cuaca tidak panas, agak mendung sedikit. Dan di ‘playground’ banyak anak bermain. Kebanyakan anak Jepang dan jangan lupa ada ‘Pretty Holland’ dan Ziggy di situ. Aku dan anakku yang berjalan ke arah sana melihat mereka. Aku langsung spontan bilang, “ I don’t expect so many people here!” (Maksudnya aku gak nyangka banyak anak Jepang di sore hari pukul 4 itu, karena biasanya playground baru rame pukul 17-19, saat sudah tidak terlalu panas lagi). Eh, ‘Pretty Holland’ esmosi jiwa lageee…

Doski bilang, “ Why you don’t expect me to be here?” Halah! Gile benerrr, salah lagi, salah lagi…Kenapa di luar begitu banyak temen yang kutemui di apartemen ini yang rata-rata baik. Entah pembantu Filipin, pembantu Indonesia, Singaporean, European, Malaysian. Adaaaa aja yang kayak gini barang seekor. Cantik banget seh tapi emosian mulu :P Daripada salah sangka lagi, mendingan lari menjauh ke permainan yang tidak dimainkan anaknya. Daripada ribet, ribut, mendingan menghindar. Aku gak pengen ribut… Ntar ribet…pusing sendiri…


Setelah beberapa kali salah sangka. Aku jadi diam. Bingung harus bagaimana. Kata temenku, mungkin beda ‘culture’. Beda budaya. Dan benturan itu terasa ketika apa yang kumaksudkan bukanlah yang dia tangkap. Atau sebaliknya, mungkin juga apa yang dia maksudkan bukan apa yang kutangkap. Di luar itu, mereka memang termasuk cuek dalam menjaga anak. Mungkin itu tadi, kebiasaan sekaligus budaya juga. Ziggy jadinya pandai sekali berenang tanpa ban, tanpa alat bantu, karena nongkrongnya di kolam renang sehari tiga kali plus didorong mama-papaya ke kolam yang dalam sudah biasa. Aku tidak menyesali juga sih, karena memang aku tidak bisa menyenangkan semua orang. Cuma sayang juga, koq awalnya baik, jadi akhirnya seperti ini? Lalu, pernah satu kali kami di kolam kecil, aku cuma diam daripada salah ucap lagi dan disalahartikan. Malah dia yang super ramah dan senyum-senyum. Akhirnya kuberanikan diri mengobrol sebentar. Ada hari-hari yang lumayan juga di mana ‘misunderstanding’ menyingkir jauh.


Orang tuanya yang sering berendam di ‘whirlpool’ dan membiarkan anaknya bermain bebas, memang menjadi suatu relaksasi tersendiri bagi mereka. Bagi anak lain, Ziggy agak menjadi ancaman karena dengan bebas mengambil mainan mereka, merebut dan terkadang marah. Itu pun yang terjadi ketika suatu sore anakku ada di sisi kolam renang besar, tengah memainkan mainan keluarga Korea yang tertinggal di sana. Ziggy datang tiba-tiba. Kupikir hendak main bersama. Ternyata awalnya memang main bersama. Setelah itu, “Byur!” Anakku didorong olehnya ke kolam besar. Mama dan papanya biasa melakukan hal itu kepadanya, jadi tidak salah kalau dia anggap itu hal biasa. Yang jadi masalah. Anakku yang berumur 2 tahun kurang saat itu sedang tidak pakai baju renang, tidak ada balon untuk mengapung yang diletakkan di lengan (‘arm floats’) untuk anak-anak.


Alhasil, nyemplunglah anakku dengan sempurna di kolam besar dengan kedalaman yang masih mendingan karena ‘hanya’ 110 cm. Dan aku langsung menarik dia ke atas. Beruntung karena aku dekat sekali berdirinya dengan tempat itu. Untung dia tidak apa-apa. Yang ada hanya trauma anakku dan setelah itu, dia agak ragu main ke kolam. Sementara aku pun demikian. Daripada jadi korban lagi. Sudah korban perasaan, korban anak pula…


Hari-hari terakhir sebelum pindah ke Saigon..

Kami masih bertemu. Aku tetap menyapa, “ Hi” and “Bye”, tapi untuk mengobrol lebih jauh, aku jarang lakukan. Karena sudah mencoba berkali-kali dan gagal. Akhirnya aku dan Rajes berkesimpulan, memang kami tidak cocok dengannya. Mungkin karena beda tradisi, beda budaya, dan benturan kepribadian? Eniwei, ya sutra. Memang inilah salah satu dari sekian banyak warna yang kutemui di negeri singa. Sampai terakhir kali kutemui dia, dia bertanya tentang kepindahan kami ke Saigon karena dia tahu dari majikannya Rajes, yang merupakan teman baikku juga.


Bye-bye, Pretty Holland! Ini jadi kenangan juga buatku. Belajar hidup di negeri orang dengan macam-macam kepribadian. Terkadang menurut kita ‘rude’ atau kasar, mungkin di pikiran dia aku yang ‘rude’ ke dia.

Sekian kilasan peristiwa salah paham antara saya dan ‘Pretty Holland’. Gak penting seh, cuman gak afdol kalo gak ditulis…wkwkwk…

’Pretty Holland’, peaceee gal… Ato mungkin karena emang Belanda menjajah Endonesa ya, jadinya emang kita gak bisa ‘get along’… *Halah! Maksa benerrrr :P*


No hard feeling lagi, Mpok…Moga-moga lain kali kalo sampe kita dipertemukan lagi di satu babak kehidupan nanti, kita sudah mulai lebih belajar menjembatani perbedaan ini. Kalo gak? Ya sutra…Life goes on…:P

HCMC, 17 November 2009

-fon-

* yang hidup tanpa Facebook mulai dua hari lalu, connection-nya ngaco melulu. Gak tau kenapa…