Monday, March 31, 2008

Suddenly

Taken from the year of 2004, my writing...

Billy Ocean - Suddenly
I used to think that love was just a fairy tale
Until that first hello, until that first smile
But if I had to do it all again
I wouldn't change a thing
Cause this love is everlasting

Chorus:
Suddenly
Life has new meaning to me
There's beauty up above
And things we never take notice of
You wake up and suddenly, you're in love



Dear friends,

Lagu Billy Ocean yang syairnya aku letakkan di awal tulisan ini, lumayanlah untuk mengingatkan kita, betapa terkadang kita nggak sadar akan hal2 tertentu yang blm pernah kita perhatikan sebelumnya. Dan SUDDENLY, secara tiba-tiba saja: perasaan itu mengalir dan exist!

Friends (or probably best friends) to Lover:
Well, talking about LOVE, emang nggak pernah akan ada habisnya. Tapi LOVE yang macam apa sehhh?

Dari pengalaman yang ada di sekitarku, ada teman yang bercerita tentang jatuh cinta dengan orang yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, karena itu sahabat dekatnya. For some people, sacrifice their friendship bakal sayang banget, dan mereka would like to stay that way, temenan terusss ajee... Ada lagi yang mikir, daripada cari ke mana-mana gak ketentuan arahnya, mending sikat aja yang ada di depan mata... (istilahnya sikat boo...emangnya gigi, disikat?? hehe). Yang at least sudah taulah seperti apa orangnya, walaupun lagi-lagi bukan jaminan, krn selama berteman sih asik2 aja, tapi kalo dah jadi that special someone mungkin saja berbeda, menjadi lebih posesif adjective misalnya...(sisa2 les Inggris di masa kecil.. hehe...).


Anyway, sedari awal, mungkin kagak berasa, krn semuanya biasa-biasa saja. Tapi ya koq tiba-tiba alias Suddenly..., tiada hujan tiada angin tiada badai tiada topan, bisa ada spark tertentu alias getar2 yang nggak pernah exist sebelumnya. Kenapa kalo terpikir dia, disengaja or tidak, timbul nada-nada indah tertentu ( hopefully indah n gak fals yaaa..kalo sampe fals, harus latihan vocal dulu ama Mbak Ubiet hehe...).


DEJA VU ?
Itu tadi from friends to lover relationship...

Ada juga orang yang bertemu dengan seseorang yang gak pernah dia temui sebelumnya, tapi langsung merasa comfortable dengan orang ini. Don't know why, nggak bisa dijelaskan oleh logika, tapi emang langsung aja 'click' gitu lho...:)

Ada istilah dalam bahasa Perancis yang bilang deja vu, yang artinya kurang lebih: pernah melihat keadaan itu dan merasakan perasaan seperti itu sebelumnya, familiar gitu deh: nggak asing lagiii. Pas ketemu orang itu koq sepertinya pernah ngobrol sama dia, entah di mana, dan entah kapan, sepertinya ini pengulangan kejadian sebelumnya. Dalam agama Buddha yang percaya akan reinkarnasi, tentunya itu lebih bisa dijelaskan...Karena adanya kehidupan di masa lalu yang berkaitan dengan hidup masa kini dan masa mendatang. Mungkin di masa lalu, si A punya hubungan adik kakak sama si B or sahabat dekat or suami-istri, nah...sekarang bawaannya mau deket ajaa...dan rasanya familiar banget, gitu kali ye kira2nya...

Tapi di agama lain kan nggak mengenal hal seperti reinkarnasi ala buddhism gitu, mungkin lebih sulit dijelaskan. Bisa jadi, alam bawah sadar (istilah psikologi) yang terus mengembara, yang memimpikan hal itu dan menjadi dekat dengan orang yang bersangkutan...? Who knows?? Krn kalo diumpamakan, alam sadar bak the tip of the iceberg (puncak gunung es), namun alam bawah sadar kita, bagaikan iceberg (gunung es) itu sendiri di kedalaman lautan yang sungguh tak terselami besarnya...Sulit membayangkan, nonton lageee deh Titanicnya Leonardo Dicaprio n Kate Winslett, pas bagian kapalnya menabrak gunung es... Intinya ya: bisa saja bertemu dengan orang yang baru dikenal tapi bisa langsung nyaman alias comfortable...

Me and GOD: SUDDENLY ??

Kalo mau dibilang Sudden: Yes, It was...

Ketika tiba-tiba saja, aku terbangun dan merasakan kasih TUHAN yang begitu nyata, sesuatu yang sudah ada namun tak pernah kurasakan sebelumnya, aku terkejut, not to mention: terkesima. Kalo meminjam istilah Glen dan Audy dalam lagu Terpesona: bener2 Terpesona, ku pada pandangan pertama...:) Itulah rasa yang timbul saat-saat merasakan indahnya kasih Tuhan for d 1st time.

And as the feeling grows stronger each day, semakin dewasa tentunya, semakin aku menyadari bahwa kasih Tuhan terhadapku tidak melulu berpusat kepada perasaaan. Tuhan selalu konsisten terhadap kita, tapi kita? Apa pasti selalu konsisten terhadap DIA? Tidak juga...Saat tidak merasakan lagi keindahan kasih di awal perkenalanku yang sudden dengan TUHAN, apa yang harus kulakukan? Tetap terus berdoa, mengejar hadirMu dalam hidupku, kata Sidney Mohede dalam salah satu lagunya di album Follow.

Sikap hati dalam menghadapi masalah yang timbul: mungkin kita bertanya: WHY ME? WHY THESE THINGS MUST HAPPEN TO ME??

Ato, ada alternatif lain: Tuhan, secara jujur aku mengakui kalau aku sedih, aku mungkin kecewa dengan kenyataan ini, namun karena aku percaya kepadaMU, bahwa segala sesuatu yang aku alami adalah mendatangkan kebaikan dalam rencanaMU, maka... aku mau menanggungnya di dalam ENGKAU. Aku hanya mohon rahmatMu untuk bisa melihat secara bijak, apa yang terjadi dalam hidupku. Karena rancanganKU, bukanlah rancanganmu dan jalanmu, bukanlah jalanKu, demikian firman TUHAN. (Yes 55:8)

Yeah, I'd like to stay that way... to keep the faith to U my Lord. Awalnya mungkin tiba-tiba. Suddenly. Tapi aku mau terus mempertahankan kesetiaanku terhadap ENGKAU, whatever it takes. I'll try...:)



Tlah kulihat....
kebaikanMu yang tak pernah habis di hidupku
Kuberjuang sampai akhirnya
Kau dapati aku tetap setia...
(Ruth Sahanaya's Tetap Setia: TW's album Take Us Higher)

Jkt, 23 Agustus 2004
Thank God It's Monday!
(gak ada salahnya kan terus bersyukur...:):))
-fon-

Saturday, March 29, 2008

The Colors of Life Part 1: Yellow

The Colors of Life part 1: Yellow

Ketika tengah menggendong anakku di taman depan rumahku, kulihat seekor kupu-kupu berwarna kuning. Sembari mengajari bayiku kata butterfly is yellow, kulihat kecerahan warna kuning muda kupu-kupu itu begitu indah, begitu enak dilihat mata.
Dan memberikan rasa senang dan syukur karena ada salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang indah yang menghiasi jagad raya ini. Setidaknya, ia hadir saat ini di depan mataku!

Historically…
Tetapi, jika kuingat-ingat masa kuliah dulu, di mana aku harus menjalani ospek mahasiswa baru di kampusku, really I didn’t like that color at all.
(Maaf bagi para penyuka warna kuning, no hard feeling: kita emang beda…).
Begini ceritanya, singkat saja. Di fakultas ekonomi yang identik dengan warna kuning, aku harus mengenakan segala atribut dengan warna senada. Pita kuning, kaos kaki bola kuning, lalu sepatu kuning. Karena sulit mencari sepatu kuning, alhasil kami membeli sepatu warna putih, lalu diwantex dengan warna itu. Belum lagi bekal makanan: tahu kuning, yoghurt yang tempatnya harus dibikin kuning, dan sebagainya dan sebagainya.
Pokoknya harus YELLOW all the time. Tanpa sadar, aku yang sebelumnya tidak punya rasa apa-apa terhadap warna tersebut, pelan-pelan mulai memendam rasa. Rasa tidak suka tepatnya. Entah mengapa, rasanya koq ya kalo melihat warna tersebut, tidak sukaaa sekali. Sentimen? Mungkin…
ENOUGH with YELLOW, pleaseee… Cukup sudah…!

Pelan-pelan, setelah tamat kuliah dan bekerja. Aku merasakan kebencian tanpa alasan akan warna kuning, pelan-pelan pudar. Kasihan juga tuh warna, lagian salah apa dia???


Rasa tidak suka…
Kuning, bagiku melambangkan rasa tidak suka. Yang entah dari mana datangnya tapi betul-betul terasa penolakan yang hebat dari diriku.
Dan setelah kupikir-pikir, aku sendiri terkadang tanpa sadar, memperlakukan beberapa orang sebagai warna kuning. Yang mungkin orang tersebut tidak ada salah apa-apa, tapi terlanjur sudah memberikan kesan yang kurang baik, sehingga membuatku merasa tidak suka.
Dan kerap kali tanpa kusadari, aku menjaga jarak, menghindar, dan kurang memiliki kasih terhadap orang-orang tersebut.
Mengapa harus begitu, ya???
Padahal, apa yang Tuhan Yesus selalu pesankan, janganlah menghakimi orang lain. Namun bagiku, pengalaman akan si yellow ini membuatku merasa aku masih jauh dari sempurna. Karena begitu mudah, dengan ekor mataku aku menghakimi si kuning-si kuning tanpa dosa di dunia ini. Mataku meneliti apa yang mereka pakai, apa yang mereka bawa (merk tas- jenis mobil), milik mereka (apartemen, rumah, kapal pesiar, helikopter, bajaj, motor…), pekerjaan dan kedudukan mereka, dan seterusnya.
Aku terlalu mudah menghakimi. Aku terlalu mudah mempercayai rasa yang timbul dari kesan pertama.
Kasihan orang itu. Terlebih lagi, kasihan diriku!
Ampunnn… Kalau aku ternyata jadi si kuning bagi orang lain. Bagaimana rasanya?? Tidak enak, marah, kesal, kecewa?? Dan bagaimana sebaliknya ketika kulihat diri orang lain sebagai si kuning? Apa aku memikirkan perasaan mereka? Apa aku menyadari bahwa aku tidak boleh menghakimi karena aku tidak tahu persis apa yang mereka alami, latar belakang mereka mengapa mereka jadi begini, karena aku tidak berada di posisi mereka??

Dan pencerahan itu berwarna KUNING…
Seekor kupu-kupu kuning terbang melintas lagi di depan mataku. Dan heiii! Tidak ada kebencian di sana. Tidak ada rasa sebal. Tidak ada rasa sentimen.
Yang ada hanya rasa damai. Yuk, kuning…kita damai, yukkk!
Tidak enak rasanya memendam rasa benci. Walaupun itu hanyalah dengan sebuah warna. Apalah artinya sebuah warna? (psstt… terinspirasi Shakepeare, apalah artinya sebuah nama? :)).
Hari ini aku berdamai dengan warna kuning. Dan untuk si kuning-si kuning dalam hidupku, aku akan berusaha untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda dan (mencoba) memahami bahwa banyak yang bisa terjadi kenapa seseorang jadi begitu menyebalkan bahkan dari tatapan pertama.
Kesan pertama begitu menyebalkan…Tapi, itu bukan jaminan kesan-kesan berikutnya, kan?
Aku hanya berpikir kalau aku jadi warna kuning di mata orang lain. Akan sukakah aku? Mungkin yang bisa aku lakukan hanyalah mencoba mengerti bahwa tidak ada orang yang mau menjadi si kuning bagi yang lain. Namun, hidup tidak pernah bisa ditebak dan terkadang luka yang menyakitkan terjadi dan membawa bekas yang parah. Dan bekas itu terus terbawa dan terkadang membuat seseorang menjadi begitu KUNING di mata orang lain, sampai SILAU, man!!
Ah, pencerahan dari seekor kupu-kupu berwarna kuning membawaku kepada pengertian baru. Tidak ada orang yang mau dibenci dan seharusnya tidak ada orang yang mau membenci karena kalau saja mereka tahu bahwa kebencian hanya akan lebih menyakitkan bagi orang yang memendamnya, mereka tentu tidak mau membenci.
Capek! Melelahkan diri sendiri dan sering membuat insomnia orang yang merasakannya. Apalagi kebencian tanpa alasan. Jangan sampai deh…!

Tuhan, hari ini Kau izinkan aku mengerti lewat si kupu-kupu kuning. Terima kasih.
Kuning… oh si kuning… aku mau memaafkanmu. Mencoba mengerti bahwa kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan… dan mengasihimu. Maafkan aku juga, ya…!
Kuning, damai yaaa… damai! Kuulurkan tangan untuk bersalam damai denganmu.
Peace!

Singapore, 29 Maret 2008
-fon-

Monday, March 24, 2008

Yang Terkasih Yang Terlukai

Yang Terkasih Yang Terlukai

“ Brukkk…,” Bunyi bantingan pintu terdengar keras, ketika Lena buru-buru bergegas masuk ke kamarnya menahan tangis. Tidak disangka, pernikahannya yang baru berusia setahun, membawa luka.
Dalam kamar, Lena membayangkan betapa indah masa-masa berpacaran selama 5 tahun dengan Septian, suaminya. Mereka mengalami banyak hal yang manis bersama. Dan bukan itu saja, Lena juga pernah mengalami beberapa masalah dalam masa berpacaran itu tetapi semuanya selalu ada jalan keluar.
Lena begitu percaya bahwa memang Tian (begitu panggilan suaminya) adalah yang terbaik yang Tuhan beri dalam hidupnya.

Namun, masa pacaran memang amat berbeda dengan pernikahan itu sendiri. Dalam menjalani masa-masa awal pernikahan, Lena mengalami beberapa masalah. Bukan saja dalam hal adaptasi antara dua karakter yang sudah pasti terjadi karena two become one bukan hal yang mudah, apalagi mereka dibesarkan dengan latar belakang keluarga yang berbeda, tentunya masing-masing membawa gaya dan kebiasaan keluarga mereka sendiri-sendiri. Terlebih dari itu, Lena harus menelan kenyataan pahit, bahwa mimpi-mimpi sebelum pernikahan, harus pupus ketika menghadapi realita bahwa cinta romantis dan kemanisan yang direguk semasa berpacaran harus berkurang jauh dan semakin jauh dalam kenyataan hidupnya saat ini.

Apa yang terjadi? Lena membatin. Pertanyaan ini berulang kali muncul dalam benaknya. Sepertinya semua mimpi bahwa Lena akan bahagia, saling memberi, saling membagi, harus pupus, tergantikan dengan kesibukan masing-masing, kekurangan waktu berkomunikasi, kelelahan selepas kerja membawa mereka langsung tidur lelap karena kecapekan. Tidak ada kata-kata manis seperti dulu. Yang ada hanyalah kritik dan kata-kata yang kurang enak didengar. Makin hari sepertinya Lena tidak kenal dengan Tian lagi. Tian bukanlah Tian yang dulu membuatnya jatuh cinta setengah mati, head over heels… Bukan Tian yang seperti ini. Bukan Tian yang dengkurannya begitu keras sehingga membuat Lena tidur tak nyenyak setiap hari. Bukan Tian yang cara memencet odolnya tidak rapi seperti Lena, dan bukan Tian yang secara sembarangan melempar pakaian kotor sehabis pulang kerja. Bukan Tian yang seperti ini.
Lena sedih. Belum lagi hubungan dengan ipar dan mertua yang tinggal satu rumah dengan dia. Menambah banyaknya adaptasi yang harus dilakukan termasuk adaptasi dengan anggota keluarga Tian.
Kepala Lena pusing, rasanya hampir pecah. Sakit sekali rasanya harus bangun dari mimpi indah di awal perkawinannya. Hampir Lena tidak mampu bertahan, dan dia berpikir untuk cerai atau setidaknya pisah rumah. Tapi, bukankah apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia? Itu adalah ayat yang dibacakan di saat pernikahan Lena. Apa yang harus dilakukan??? Haruskah menghadap konselor perkawinan? Karena kalau diteruskan, Lena semakin takut akan menjadi-jadi. Belum lagi kehadiran anak nanti pasti banyak membawa perubahan, Lena belum siap. Untunglah dia belum hamil, dia menarik nafas lega.
Sebegitu peliknyakah kehidupan perkawinan? Kalau tahu begini, Lena memilih hidup melajang. Bebas, merdeka… Tetapi, Lena takut kesepian. Itu juga alasannya menikah.
Lena bingung, entah harus bagaimana. Yang sementara bisa dilakukannya adalah kembali membenamkan kepalanya di bantal. Bertemankan sekotak tissue, Lena menangis. Yah, menangisi semua hal yang jauh dari impiannya selama ini…

Menelaah Lebih Jauh Persoalan Lena…
Setiap orang memiliki mimpi-mimpi sebelum memasuki mahligai rumah tangga. Sebetulnya orang tidaklah buta akan kenyataan begitu banyak permasalahan di dalam rumah tangga, tetapi di kala cinta sudah mengetuk dan rasanya inilah orang yang paling tepat sebagai jodohku, tidak jarang banyak orang berusaha menepis ketakutan yang pernah menghiasi dirinya, bahkan beberapa di antara mereka tidak ragu untuk mengatakan, “ Ah itu bisa terjadi pada orang lain, tetapi tidak pada saya. Dengan pasanganku, aku yakin akan adem ayem saja selama perkawinan,” begitu ujarnya.

Namun, pada kenyataannya, pada saat memasuki perkawinan, hendaknya kita juga menyiapkan diri bahwa akan banyak sekali adaptasi yang harus dilakukan. Karena sang pilihan kita bukan hanya berada bersama-sama kita selama dua atau tiga jam seminggu, namun setiap hari, bahkan seumur hidup kita! Dan ini bukan main-main.
Dan orang yang selalu bersama-sama. Dekat. Tentunya membuka lebih banyak peluang pula untuk saling melukai. Kalau sesama teman bertemu, pastilah saling jaga perasaan. Atau sebagian orang ada yang ja-im (jaga image), tidak menampakkan sifat aslinya. Begitu pula di masa pacaran, banyak pula yang ja-im. Namun, dalam perkawinan tidak ada lagi ja-im. Semua terbuka keasliannya.

Di masa berpacaran, Lena dan Tian, sedikit banyak saling ja-im. Itu yang membuat mereka saling jatuh cinta. Namun, cinta yang tulus dan sesungguhnya diuji bukan pada saat semua ceria, semua indah. Namun, terlebih dari itu, cinta sejati diukur dari kemampuan untuk memaafkan, kemampuan untuk menerima perbedaan, kemampuan untuk mengerti pasangan.
Dan jujur saja, itu bukan hal yang mudah! Tetapi, patut diperjuangkan.
Lena mungkin ada baiknya untuk mengenang kembali hal-hal positif yang ada pada diri Tian, yang dulu membuatnya jatuh cinta. Yang selalu membuat dirinya bangga akan Tian. Dan Lena juga hendaknya mengerti bahwa Tian tidak selalu mampu untuk jadi pangeran penolong bak Michael Scoffield dalam serial Prison Break yang serba bisa, yang serba pintar memutar otak, selalu bisa menemukan solusi permasalahan.
Tian bukan Superman. Tian bukan dewa. Tian hanya manusia biasa. Begitu pun dengan Lena. Dalam keletihan, Lena cenderung marah-marah dan semakin melihat kejelekan yang ada pada diri Tian.

Akhirnya, memang pria dan wanita berbeda. Seperti yang ditulis oleh Bill dan Pam Farrel dalam buku mereka dengan judul yang sangat menarik: Men Are Like Waffles, Women Are Like Spaghetti (Understanding and Delighting in Your Differences), mengungkapkan perbedaan sebagai berikut:
Men process life like waffles. They think and act by moving from box to box---they enter a box, size up a single problem, and formulate a solution.
Women process life like a plate of spaghetti. Each issue is like an individual noodle that touches every other noodle on the plate, and women find it natural to multitask.


Atau yang sudah lebih dulu kita kenal, Men are From Mars, Women Are From Venus karya John Gray, juga mengungkapkan hal yang kurang lebih sama nadanya. Pria dan wanita memang berbeda.

Tidak ada cara lain untuk menjembatani perbedaan itu selain mencoba untuk saling mengerti, mencoba untuk saling menerima, dan akhirnya saling mengampuni. Tidak mudah, membutuhkan perjuangan senantiasa, namun itu tugas kita sebagai anak-anak Tuhan untuk belajar mengampuni.
Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?"
Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.
( Matius 18:21-22)


Oh, No!! Bukan saya Tuhan, saya tidak mampu mengampuni sebegitu banyak kali, walaupun itu adalah orang terkasih dan terdekat saya… Saya tidak bisa, Tuhan!
Mungkin itu jawaban yang terlintas di benak kita saat membaca ayat di atas.
Tetapi sekali lagi, kita diingatkan bahwa memang hidup berkeluarga, apalagi di awal masa pernikahan memang tidak mudah. Namun, Tuhan juga memberikan rahmatNya bagi mereka yang berdoa dan percaya, bahwa tetaplah berpegang dalam kasih, dalam pengampunan, dalam Yesus Kristus sebagai pusat keluarga dan pusat rumah tangga. Sekaligus percaya, bahwa Tuhan akan selalu sediakan jalan keluar. Asal kita mau berubah, asal kita mau mengalah dan memohon maaf. Mengalah bukan berarti KALAH. Demi yang terkasih, aku mau mengalah. Sehingga, kejadian yang terkasih yang terlukai bisa diminimisasi.
Tuhan, berilah kami hati seperti hatiMu yang penuh belas kasihan, terutama bagi orang-orang yang dekat di hati kami. Bukan kebetulan, mereka ada dalam kehidupan kami, namun karena rencanaMu, mereka hadir dalam hidup kami. Ajar kami untuk lebih menghargai mereka yang dekat, mereka yang mungkin tidak sempat kami beri perhatian karena kami terlalu sibuk.
Ajar kami Tuhan, agar kami mampu mengampuni dan terus mengampuni sebagai proses yang tak pernah usai dalam sekolah hidup kami di dunia ini.
Amen.

Singapore, 24 March 2008
-fon-

Tuesday, March 11, 2008

Kering

Kering

Selembar daun terjatuh di jalan, kejadian ini kulihat ketika aku berjalan pelan di belakang rumahku menuju ke MRT station. Kering kerontang. Berwarna kecoklatan. Di jalan itu ternyata dia tidak sendirian, dia bersama begitu banyak teman-temannya, daun-daun yang lain, mengalami hal yang sama. Kekeringan, layu, dan mati.
Kesannya menyedihkan, tapi itulah kenyataan yang tak dapat dihindari. Daur hidup daun akan mengalami fase di mana dia baru saja pucuk yang hijau muda, matang dan beranjak dewasa dalam keanggunan warna hijau tua, lalu pelan-pelan berubah warna menjadi hijau kekuning-kuningan dan akhirnya kering dan berwarna coklat.

Ah, hari tengah tidak ramah ketika kulihat matahari bersinar dengan garangnya. Kupandangi jalan yang penuh daun itu. Biasanya jalan itu bersih, namun hari ini, sepertinya penyapu (baca: pembersih jalan dengan vacuum di Singapura ini) belum menjalankan tugasnya hari ini.
Tetapi, tiba-tiba saja pemandangan daun kering itu membawaku kepada kondisi-kondisi yang pernah ataupun tengah kualami.

Kering, garing…
Apa pun istilahnya, mungkin kita semua pernah berucap, “ Wah, hidup gue lagi kering banget neh! Pacar gak punya, kerjaan biasa-biasa aja… “ atau “ Garing banget deh hidup gue akhir-akhir ini! Bosen…”
Kering, garing, atau apa saja istilah yang digunakan, tidak lain menunjukkan bahwa orang yang mengucapkannya tengah berada pada kondisi bosan luar biasa, di mana hidup dalam pandangannya hanyalah berupa rutinitas tanpa gejolak, tanpa kejutan yang membahagiakan.
Manusia cenderung mencari suatu ‘excitement’, yaitu suatu kondisi di mana adanya suatu hal baru yang membahagiakan ataupun mengilik semangat hidupnya untuk bangkit kembali. Hal-hal yang membawa antusiasme baru, itu yang selalu dicari.
Namun, sebagaimana layaknya siklus hidup daun, mau tidak mau-suka tidak suka, harus berhadapan dengan fase tumbuh, dewasa, layu, dst.
Karena setiap perubahan akan ada konsekuensinya. Kegembiraan di awal kenaikan gaji akan diiringi ‘workload’ yang semakin tinggi.
Dan setiap excitement itu bukan sesuatu yang abadi. Chemistry (percikan-percikan rasa) di awal masa pacaran tidak akan berlangsung selama-lamanya, suatu saat dia akan redup dan perlahan pudar.
Sering, manusia tidak siap di kala si kering ataupun si garing ini tiba. Hidup dalam kacamata banyak manusia maunya sih, selalu penuh warna, selalu indah, selalu lancar, selalu mulus. Tapi, adakah kehidupan semacam itu…? Kita semua tau bahwa jawabannya: TIDAK ADA.

Kekeringan Rohani
Setelah melewati masa-masa euphoria di awal perkenalan akan Tuhan secara pribadi, pada umumnya, banyak orang juga akan mengalami saat-saat di mana Tuhan terasa jauh dan sulit dipahami. Semua hal yang kelihatannya berupa berkat dan baik adanya, tertutup oleh mata manusiawi kita sehingga tidak mampu melihat kebaikanNya. Terkadang pula di saat terlalu fokus pada masalah yang dialami, tanpa diiringi relasi yang baik dengan Sang Pencipta, tak jarang orang menjadi putus asa, depresi, kehabisan enerji (beberapa merasakan enerjinya dikuras habis-habisan).
Oleh Ken Abraham, seorang penulis Kristen, spiritual dehydration digambarkan sebagai berikut:
Tak dapat dihindari, orang-orang yang tinggal atau bekerja dalam lingkungan yang amat menekan akan menemukan sumber energi mereka menjadi kering. Orangtua yang mengasuh anak-anak dan remaja juga sering mengalami persediaan spiritual/rohani mereka menjadi terkurang habis (kosong).

Ironisnya, orang Kristen yang paling aktif adalah kandidat/calon paling utama yang mengalami "kekeringan rohani". Mengapa? Karena sangatlah mudah untuk menjadi begitu sibuk saat melakukan "pekerjaan Tuhan" sampai anda memiliki sedikit atau tidak ada waktu sisa untuk menikmati kehadiran Tuhan.


Jujur saja, hidup saat ini rasanya semakin membuat stres dan kita cenderung semakin dihimpit oleh depresi. Harga barang yang terus membumbung tinggi, pendidikan anak yang semakin mahal, harga rumah yang semakin tak terbeli rasanya, membuat banyak orang frustrasi.
Tidak mudah memang hidup di zaman sekarang ini. Dan kondisi ini membuat semakin banyak orang tertekan. Dan itu membuat mereka akan merasa begitu kering, begitu gersang.

Saat melayani Tuhan, banyak terjadi juga para pelayan Tuhan tidak memiliki waktu yang cukup untuk ‘charge’ relasi mereka kembali dengan Yesus. Itu juga pernah terjadi pada diri saya. Namun, saya diingatkan kembali untuk menyediakan waktu untuk berdoa dan berkomunikasi dengan Dia. Karena tanpa Dia, kita tidak bisa memberikan lebih kepada sesama, karena kalau kita keletihan dan kekeringan, akan sulit untuk membagikan kasih Tuhan kepada sesama

Kering secara rohani, juga tak terelakkan. Dan tiada jalan lain, selain kembali kepada Tuhan. Karena kita tahu, Tuhanlah sumber air yang selalu mengalir dalam diri kita. Air hidup yang tak pernah berhenti mengalir. Bak oase di padang pasir yang terus menerus menyirami hati kita.

Dan pada akhirnya, kering-garing-gersang-dehydration atau apa pun istilahnya, mungkin terjadi pada satu fase dalam hidup kita. Namun, perlu disadari bahwa fase itu tidak abadi, dia akan pergi. Dan di saat mengalami kekeringan, jangan pernah melupakan kehidupan doa. Tetap berdoa di dalam kekeringan itu dan dalam iman, kita berharap sekaligus percaya bahwa sungai sukacita Tuhan akan datang dan mengisi setiap relung hati kita kembali.

Kering, garing, dehidrasi…? Aku tidak takut, sebab Tuhan besertaku. Amen.

Singapore, 11 March, 2008
-fon-