Thursday, October 29, 2009

Pupuk



*** Belajar dari ‘Farmville’ bagian kedua

Setelah beberapa waktu lamanya, saya menemukan bahwa ‘Farmville’ mengizinkan saya untuk memberi pupuk atau ‘fertilizer’ bagi tetangga ataupun teman saya di ladang ‘Farmville’. Pupuk itu fungsinya menjadikan tanaman jauh lebih besar dari seharusnya. Tumbuh lebih bagus, lebih indah, lebih kuat.

Saya jadi keranjingan juga memberi pupuk di ladang orang, sekaligus senang melihat hasil yang ada di ladang saya ketika teman-teman saya memberi pupuk pada tanaman saya. Saya tidak bisa memupuk tanaman saya sendirian, melainkan pemupukan terjadi secara silang dengan teman atau tetangga saya.

When you help out a neighbor rake leaves, scare away foxes or crows etc. you get 5 bags of fertilizer that you can use on that farm only once you go to a different farm they are gone. Fertilized crops sparkle more than others. (source: Wiki Answer)

Jadi, ketika saya menolong tetangga merapikan tanamannya, mengusir rubah atau burung gagak dan sebagainya, saya akan mendapatkan lima kantong pupuk yang bisa saya gunakan di ladang tersebut saja. Saat saya pergi ke ladang teman saya yang lainnya, pupuk itu sudah tidak ada lagi. Jadi harus saya pakai di ladang yang sama, di ladang tempat saya memberikan bantuan. Bibit yang dipupuk akan lebih berkilau dibandingkan yang lainnya. Dan hasilnya pun: buah atau biji yang ditanam akan berkembang jauh lebih indah-kuat-bagus dibandingkan dengan hasil ladang pada umumnya.

Hal ini membuat saya lagi-lagi tersadar, bahwa dalam hidup, kita perlu pupuk. Dalam hidup di keluarga kita misalnya, tanpa pupuk cinta kasih, tanpa pupuk kepercayaan, tanpa pupuk komunikasi yang baik, rasanya di keluarga itu tak akan ada rasa aman apalagi nyaman. Anak-anak yang mendapatkan pupuk yang baik di keluarga, rasanya akan mampu memperlihatkan hasil bak buah yang dipupuk di ‘Farmville’. Cemerlang, berkilau, indah, dan kuat.

Saya percaya, pupuk cinta kasih akan membuat mereka menjadi lebih ‘kinclong’. Pupuk kepercayaan akan mendatangkan kepercayaan diri yang positif pula. Pupuk kejujuran akan membawa si Anak (mudah-mudahan) menjadi orang jujur pula. Segala pupuk kebaikan, semoga akan berbuah baik. Bahkan buahnya akan sangat berbeda dengan buah yang ada di masyarakat pada umumnya.

Upaya pemupukan itu sendiri adalah usaha terus-menerus tanpa henti. Tidak bisa sekali saja selesai seperti dalam permainan ‘Farmville’ ini. Karena pemupukan dalam keluarga, dalam persahabatan, dalam hobby ataupun kecintaan terhadap sesuatu itu butuh waktu. Butuh pula proses dan butuh ketekunan serta konsistensi. Kemauan yang kuat untuk terus memupuk apa yang sudah ada bila sudah baik adanya ataupun kemauan untuk menambah pupuk-pupuk positif bagi kehidupan harus tetap membara. Ketika semangat sirna, tak lagi berkeinginan untuk memupuk apa pun dalam keluarga, dalam diri, dalam masyarakat, dalam hubungan doa dengan Sang Pencipta… Mungkin inilah saat yang tepat untuk kembali bertanya pada diri sendiri: “ Apa saya terlalu lelah mengejar sesuatu? Apa saya kurang toleran terhadap orang lain dan maunya menang sendiri? Apa yang baik dalam diri saya dan masih ingin saya kembangkan lewat pemupukan tiap hari? Dan hal-hal yang kurang baik apakah yang ingin saya kurangi dan menggantinya dengan ‘fertilizer’ hal-hal yang baik, yang lebih positif?”

Lagi-lagi, ‘Farmville’ mengajarkan saya untuk sabar melihat kilauan hasil dari ladang saya yang telah dipupuk oleh teman-teman yang berbaik hati. Sedangkan pemupukan dalam hidup untuk menuju ke arah yang lebih baik membutuhkan waktu dan proses. Dan semoga kita sabar menantikan hasilnya dan tak berhenti melakukan kegiatan memupuk kasih di antara kita.

Singapura, 30 Oktober 2009

-fon-


sumber gambar:

Wednesday, October 28, 2009

Jejak Langkah


Hari ini hujan mengiringi perjalanan saya dan putri saya menuju ke sekolah. Mulai dari rumah, kami terpaksa harus membuka payung karena hujan gerimis mulai turun perlahan di negeri Singapura ini. Dan di atas bus yang membawa kami menuju ke sekolahnya ketika kami duduk, saya melihat jejak langkah sepatu-sepatu yang kotor terkena becek dan tanah basah. Dan ketika di perjalanan hujan semakin deras, semakin banyak pula jejak langkah kaki yang saya lihat memenuhi bus yang saya tumpangi.
Saya berpikir dalam hati, jejak langkah manusia akan tertinggal untuk beberapa saat lamanya. Ada saat di mana kita melakukan kesalahan dalam perjalanan hidup dan itu pun menjadi bekas yang memilukan. Ada kalanya di mana kesuksesan mengiringi langkah kita dan kita amat bahagia karenanya dan mencatat jejak langkah itu sebagai sesuatu yang membahagiakan.
Dan bukan itu saja, jejak langkah kita bermula ketika kita lahir di dunia ini. Mengecap indahnya sekaligus pahitnya hidup, dari bayi sampai suatu saat nanti ketika kita harus dipanggil oleh Yang Kuasa. Termasuk di dalamnya peristiwa pertama masuk sekolah, lulus SD sampai lulus kuliah (S1-S3). Cinta monyet, berpacaran, menikah, sampai kepada menimang cucu di suatu saat nanti. Hidup adalah sekumpulan jejak langkah yang tertinggal. Setiap langkah yang pernah kita buat merupakan bagian dari kehidupan kita seluruhnya.

Hidup memang hanya sekali. Karena itu rasanya sayang jika kita menyia-nyiakan kesempatan yang datang dalam hidup ini. Ada kalanya kita mengambil keputusan yang salah dan ada kalanya keputusan itu tepat. Dan kesemuanya itu menjadikan jejak-jejak langkah kita di bumi menjadi semakin bervariasi. Apa pun yang terjadi, kita tetap melangkah. Terkadang dengan pasti, terkadang diliputi keraguan yang besar. Tetapi kita tidak berhenti. Kita tetap melangkah.

Dalam setiap jejak langkah, setidaknya ada orang lain juga yang melangkah bersama kita. Entah itu seorang teman, seorang sahabat, salah satu anggota keluarga, atau mungkin seseorang yang tidak kita kenal sebelumnya. Ada kalanya pula, kita merasa melangkah sendirian. Menjejakkan kaki di bumi yang semakin panas ini seorang diri. Tetapi sebetulnya ada satu sosok yang selalu setia berjalan bersama kita. Melangkah dalam hidup ini bersama-sama dan tak pernah berlalu dari kehidupan kita. Puisi berikut ini yang pertama kali ditulis di tahun 1934 oleh Mary Stevenson, rasanya mampu menjelaskan dengan baik siapa sosok itu sebenarnya.

Footprints in the Sand

One night I dreamed I was walking along the beach with the Lord.
Many scenes from my life flashed across the sky.
In each scene I noticed footprints in the sand.
Sometimes there were two sets of footprints,
other times there were one set of footprints.

This bothered me because I noticed
that during the low periods of my life,
when I was suffering from
anguish, sorrow or defeat,
I could see only one set of footprints.

So I said to the Lord,
"You promised me Lord,
that if I followed you,
you would walk with me always.
But I have noticed that during
the most trying periods of my life
there have only been one
set of footprints in the sand.
Why, when I needed you most,
you have not been there for me?"

The Lord replied,
"The times when you have
seen only one set of footprints in the sand,
is when I carried you."
(By Mary Stevenson)


Terima kasih, Tuhan karena Engkau selalu menjagai kami dan menopang kami. Ketika kami merasa sendirian, Engkau tengah menggendong kami. Sehingga hanya satu jejak langkah yang kelihatan di mata kami.

Mary Stevenson sendiri menciptakan karyanya di tahun 1934. Ibunya meninggal ketika dia berumur 6 tahun dan ayahnya membesarkan delapan anak sendirian. Tidak mudah. Dan Mary juga mengalami zaman ‘great depression’ di Amerika dan ingin membagikan hasil karyanya untuk memberkati banyak orang. Namun, banyak orang mulai menuliskannya lalu menempatkan di bawahnya ‘author unknown’ (pengarang tidak diketahui/tidak dikenal). Di umur 16 tahun, dia menikah dan melarikan diri akibat kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya. Akhirnya dia menemukan cinta sejati di perkawinan keduanya. Namun, suaminya meninggal karena penyakit jantung. Dia hampir saja melupakan karyanya, namun dia menemukan kembali tulisan itu di kertas yang sudah cukup tua. Dan mulailah dia mengejar hak cipta bagi puisinya tersebut. Ketika Mary meninggal di tahun 1999, dunia sudah mengakui bahwa dialah pengarang puisi terkenal itu.

Pengalaman Mary yang dituangkan dalam bentuk puisi sungguh berharga. Bagi saya, apa yang telah dialaminya betul-betul dia tumpahkan dalam bentuk karya yang luar biasa. Dengan iman yang kuat, Mary merasakan hadirat Tuhan dalam setiap jejak langkahnya. Walaupun dalam kesendirian dan kesepiannya, dia tetap berkomunikasi dengan Tuhan. Dari situlah dia mendapatkan pengertian baru bahwa Tuhan selalu menggendongnya dalam setiap jejak langkahnya.

Saat ini, mungkin ada di antara kita yang merasa sendirian. Kesepian. Terasing. Seolah hidup di planet Mars saja, padahal kita ada di bumi ini. Namun, dalam setiap detik yang bergulir, waktu yang berjalan, langkah yang tercipta, Tuhan ada di sana. Tuhan ada dalam setiap momen hidup kita. Tuhan selalu menopang kita walaupun kita tidak merasakannya. Biarlah kita meninggalkan jejak langkah yang berharga di bumi ini. Dan ayunan langkah kaki kita akan semakin berarti, ketika kita merasa ada teman yang bukan saja setia tetapi betul-betul ada dalam setiap saat, setiap waktu, dalam hidup kita. Tuhan sendiri.

Singapura, 29 Oktober 2009
-fon-


sumber gambar: http://images2.layoutsparks.com/1/251300/footprints-in-the-sand.jpg

Monday, October 26, 2009

Singapore, It’s a Wrap!


Saya ingat acara MTV beberapa tahun yang lalu, saat saya masih rajin mengikuti tangga lagu ‘Top 40’ yang ada di dunia, yang memperlihatkan pembuatan video clip artis ternama. Ada Britney Spears, Mariah Carey, Christina Aguilera, Pink, atau siapa saja yang tengah merekam video klip mereka dan diikuti oleh crew MTV dari awal hingga akhir proses pembuatannya. Menarik bagi saya untuk melihat dari awal hingga akhir suatu proses sampai melihat video klip yang sudah jadi dan kemudian diputar di MTV juga. Dan di akhir acara yang saya ingat, para artis itu akan berkata, “ It’s a wrap!” Yang artinya this is successfully completed (sumber: http://idioms.thefreedictionary.com/it's+a+wrap). Sudah selesai dengan sukses. Begitu kira-kira terjemahannya.

Melakukan kilas balik atas hari-hari saya di negeri jiran, Singapura, yang akan genap mencapai 3 tahun di bulan November nanti… Membuat saya mau tidak mau seolah melihat putaran video klip yang terekam selama saya berada di sini.

Sebentar lagi, dalam hitungan hari, saya pun akan meneriakkan, “ Singapore, it’s a wrap!”

Sudah hampir selesai petualangan saya di negeri ini, walaupun tidak pernah tertutup kemungkinan di suatu saat nanti (selama saya masih bernafas dan diberi kesempatan oleh Yang Kuasa mengecap hidup ini) untuk kembali ke sini. Who knows?

Jiwa melankolis saya kembali mendadak membawa saya ke memori tiga tahun lalu, ketika saya meninggalkan Jakarta. Meninggalkan begitu banyak sahabat baik, keluarga, pekerjaan saya sebagai foreign institutional dealer di satu perusahaan sekuritas BUMN di Jakarta, pelayanan di Jakarta (PDKK Ignatius, Seksi Kepemudaan BPK KAJ, band rohani yang dulu bernama the Worshipper). Teringat hari-hari bersama Reuters, Bloomberg, RTI Orientama system. Sistem untuk membaca dan menganalisa data saham plus untuk berkomunikasi dengan nasabah yang ada di Singapura dan Hongkong. Teringat…Dan teringat lagi…

Tiga tahun lalu, semua itu berubah menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda. Reuters dan Bloomberg, menjadi susu, ‘diapers’, dan termometer. Pelayanan gereja menjadi pelayanan di rumah bagi keluarga disertai masih melakukan kegiatan menulis. Kelas-kelas kebugaran menjadi olahraga dengan menggendong anak dan mengejar anak saat berjalan dan berlari.

Banjir dan macet yang tetap tidak mengurangi rasa kangen saya pada Jakarta tergantikan dengan keteraturan-kerapian-kebersihan-dan segala kualitas hidup yang prima yang dimiliki Singapura. Sekaligus menyisakan kecuekan, ketidakpedulian, ke’jutek’an, kurang ramahnya warga Singapura. Namun, tetap saya menemukan beberapa orang yang amat baik dan terbuka yang berbeda dengan gambaran individualistis di negara ini. Memutar ulang perjalanan di sekitar Orchard Road, China Town, Vivocity, Sentosa, Singapore Zoo, Jurong Bird Park, Bugis, Raffles City, Citylink Mall dan banyak tempat lainnya. Naik taksi, MRT, dan bus di sini. Suasana hijau dan asri yang mendominasi bumi Singapura ini…

Memandangi kembali apartemen yang menampung saya selama tiga tahun di sini. Dindingnya yang krem kecokelatan, kolam renang yang dikelilingi payung-payung berteduh dan kursi panjang untuk berjemur diri, kolam ikan yang juga ada kura-kuranya, dan pohon-pohon di sekitarnya…

Ah, selalu tidak mudah untuk mengucapkan salam perpisahan. Saya selalu lebih suka berkata sampai berjumpa kembali daripada selamat tinggal. Karena saya tetap meyakini, suatu saat, hidup akan mempertemukan saya kembali dengan beberapa teman dengan cara yang tak pernah disangka-sangka. Namun, untung juga saya berada di era di mana segala komunikasi via internet bisa terjadi dengan amat mudah. Sehingga di mana pun, di bagian dunia mana pun kita berada, masih memungkinkan kita untuk tetap berkomunikasi satu dengan lainnya.

1 November 2009

Kalau tidak ada aral melintang dan seizin yang kuasa, kami akan pindah ke Ho Chi Minh City (HCMC) untuk memulai petualangan baru di sana. Sungguh satu negeri yang tidak saya ketahui terlalu banyak tentangnya. Kecuali dari apa yang saya baca lewat internet dan lihat lewat televisi, serta kunjungan singkat satu hari ke sana. Di sanalah kami akan tinggal selama setidaknya dua tahun ke depan. Di sana pulalah saya harus memulai kembali: mendapatkan teman baru, beradaptasi dengan negara yang mirip Indonesia dalam beberapa hal, belajar hidup kembali di negeri orang, dan tentu saja sekaligus ‘traveling.’

Ada sedikit terselip kekuatiran juga seperti saya tidak mengerti satu patah kata pun dalam Bahasa Vietnam. Sedangkan, di Saigon (nama lain dari HCMC), Bahasa Inggris tidak dipakai secara umum kecuali di perkantoran, perhotelan, ataupun sekolah internasional. Tetapi, lagi-lagi, bila ini memang merupakan jalan-Nya bagi saya… Saya merasa yakin bahwa Dia akan beri kekuatan dan buka jalan. Memang pasti akan ada saat di mana saya akan terpaksa menggunakan bahasa tubuh ketika orang yang saya ajak bicara tidak mengerti Bahasa Inggris, namun semoga Dia selalu menolong saya dalam situasi apa pun. Dan saya hanya bisa percaya akan hal itu. :)

Menjelang keberangkatan ini, banyak yang harus dikerjakan. Mulai dari pengepakan barang yang harus kami bawa, ditambah membawa seorang anak berumur 2 tahun lebih untuk pindah negara bukanlah sesuatu yang mudah. Namun, sekali lagi, biarlah kami jalani proses ini sebagai bagian tak terelakkan dari perjalanan hidup kami. Dan saya pribadi akan berusaha untuk menikmati perjalanan ini sebagai pengalaman untuk tinggal di negeri yang berbeda lagi.

Sekalian saya mohon pamit juga untuk teman-teman di Singapura yang sudah kenal dan menjadi teman saya selama ini. Terima kasih untuk waktu-waktu dan kebersamaan kita. Juga mungkin selama awal-awal di HCMC sana, saya juga tak bisa menulis terlalu sering karena harus mengurus rumah dan anak terlebih dahulu. Belum lagi sambungan internet juga belum ada, sehingga pasti memakan waktu.

Izinkan saya istirahat sebentar dari keseharian saya yang biasa. Saya mengusahakan untuk tetap menulis, walaupun ‘posting’-nya mungkin tidak bisa tiap hari. Dan untuk renungan harian saya, akan diusahakan dibuat beberapa hari sebelumnya untuk minggu depan.

Saat ini, di tengah kondisi ‘packing’ dan berbenah, saya pun menyadari bahwa memang hidup bukanlah milik saya. Bersama Tuhan, saya sudah diberi kesempatan menjelajah Singapura selama tiga tahun terakhir ini. Saya berterima kasih untuk itu, dalam segala pahit-manisnya hidup yang saya rasakan di sini. Dan saya pun percaya bahwa perlindungan Tuhan akan tetap sama di mana pun kita berada dan saya mohonkan doa dari teman-teman semua agar kepindahan kami berlangsung lancar. Dan.. saya akan menuliskan perjalanan hidup saya selanjutnya, dari Saigon.

Sekian, Fonny Jodikin melaporkan…

So, Singapore, it’s (almost) a wrap!

Singapura, 26 Oktober, 2009

-fon-

sumber gambar : http://www.voxel.net/blog/wp-content/uploads/2008/09/singnight1.jpg

Friday, October 23, 2009

Saya (Sempat) Ketagihan



*** Belajar dari Farmville

Bukan, saya bukan ketagihan narkoba. Bukan juga saya ketagihan zat-zat adiktif lainnya… : ).

Beberapa waktu yang lalu, saya baru ketagihan permainan yang ada di Facebook (FB). Mungkin agak terlambat bila dibandingkan mereka yang sudah mulai sejak lama, tapi akhirnya saya bergabung juga. Jumlah dan jenis permainannya memang banyak, tetapi sejujurnya saya tak pernah tertarik sebelumnya. Bukannya kenapa, karena saya di sini sendiri dan harus mengerjakan pekerjaan rumah plus mengasuh seorang putri di usia aktif mau tak mau membuat saya tak mau terbebani dengan permainan semacam itu. Nanti bisa-bisa saya hanya duduk terpaku di depan komputer dan semua pekerjaan saya terbengkalai. Tertunda karena saya memilih untuk menunda itu semua demi duduk di depan komputer semata. Dan itu sudah terjadi sebentar ketika saya main ‘ typing maniac’, permainan yang mengukur kecepatan mengetik ditambah sedikit strategi dengan menghentikan huruf, memperlambat, dan segala variasinya.

Saya tahu, saya tidak sendirian ketika ketagihan. Kelihatan dari teman-teman saya yang juga aktif dengan berbagai macam permainan di FB ini. Mulai dari Mafia Wars, Yoville, Farm Town. Sampai kepada menjadi juru masak di Café World. Ah, hidup memang menyenangkan, kalau saja memasak cuma sekadar klik ‘mouse’ saja. Potong bawang tinggal klik. Potong daging juga tinggal klik. Tunggu 4 menit, burger sudah jadi. Kenyataannya, karena harus memasak tiap hari, saya tahu harus menghabiskan waktu setidaknya lebih dari empat menit. Setengah jam sudah bagus dan termasuk cepat, kalau lebih rumit mungkin makan waktu satu jam bahkan lebih. Mungkin bagi yang lebih piawai masak daripada saya yang masih belajar ini bisa mengerjakannya dengan super cepat. Saya memang masih harus banyak latihan! :)

Typing maniac tidak berlangsung lama, karena saya ternyata cukup cepat merasa bosan dengan permainan ini. Atau memang pribadi saya yang cenderung pembosan dan kurang suka main ‘game’? Mungkin juga itu yang jadi alasannya. Tetapi permainan yang baru saya tekuni ini memang berbeda. ‘Farmville’ membuat saya betah berkebun di ladang milik saya. Betah menanam, melihat hasil, mengirimkan dan menerima hadiah, menerima penghargaan atas kerajinan saya berkebun di ladang saya berupa uang dan kenaikan tingkatan tertentu. ‘Level’ tertentu membuat saya mampu membeli jenis buah atau sayuran tertentu, alat bantu tertentu seperti traktor, dekorasi tertentu seperti pagar kayu atau pagar berwarna hijau, dan seterusnya. Dan saya pun merasa senang menerima bantuan dari tetangga ataupun teman lainnya dan merasa bahagia pula membantu ladang mereka dari gangguan macam-macam hewan pengganggu tanaman. Semakin lama, semakin asyik saya bermain di dalamnya. Sampai satu titik saya pun kembali tersadar (dan untungnya itu tidak terlalu lama) kira-kira satu minggu kemudian, saya mulai mengontrol permainan ini agar tidak membuat saya mabuk kepayang dan terlalu ketagihan. Akhirnya, kendali tetaplah ada di tangan saya. Bukan di tangan permainan itu sendiri. Saya sempat sedikit tergoda untuk bermain sebagai juru masak di ‘Café World’ namun karena harus ditunggui dan bila tidak ‘burger’ yang dimasak bakalan rusak dan tak bisa lagi dijual, akhirnya saya memutuskan untuk sementara ini tak hendak lagi bermain aktif. Cukup saya memandangi ladang saya saja dan itu sudah membuat saya bahagia. Sementara waktu saya masih bisa digunakan untuk bermain bersama anak, mengobrol bersama suami, membereskan urusan rumah tangga, dan… menulis!

Tapi di balik ketagihan yang agaknya cukup kuat mempengaruhi, bila masih dapat dikendalikan oleh diri kita, ‘Farmville’ masih menyisakan banyak hal positif yang patut saya angkat karena ternyata ‘Farmville’ sempat mengajarkan saya untuk :

· Bersabar menunggu hasil. Walaupun memang menanam di permainan ini terbilang cepat… Raspberry bisa tumbuh dalam waktu 2 jam dan siap dipanen dan strawberry tumbuh dalam waktu 4 jam siap panen. Kapas panen dalam 3 hari, sapi harus diperah susunya setiap hari. Sapi ada sapi biasa, sapi merah jambu, dan sapi cokelat. Belum lagi ternak lain seperti: bebek, kelinci, babi, kuda, kambing, sampai anak gajah. Setidaknya saya menantikan hasil dari apa yang saya tanam. Mengingatkan saya agar dalam hidup saya bisa menanam kebaikan dan tak terburu-buru menunggu hasil. Menanam kerja keras dan tidak terburu-buru ingin lihat hasilnya. Bersabar menunggu penggenapan setiap janji-Nya dalam hidup saya. Berusaha menerima proses menunggu sebagai sesuatu yang tidak menjemukan, tidak membosankan, karena saya belajar untuk menikmati waktu menunggu itu dan bersabar sampai waktu-Nya tiba bagi apa pun yang Dia ingin wujudkan dalam hidup saya.

· Berpikir taktis dalam strategi bercocok tanam. Menginvestasikan uang yang ada di kas saya dengan bijak. Mau beli apa, beli yang mana, semua dipertimbangkan. Memang untungnya resiko gagal terbilang kecil, misalnya buah yang tidak dipanen terlanjur busuk dan rusak. Tapi, setidaknya kita belajar berinvestasi dengan uang yang ada dan belajar mengatur keuangan dengan baik.

· Ringan tangan terhadap tetangga atau sesama pemain, membantu mereka yang membutuhkan bantuan. Dari membersihkan daun, menghalau rubah yang mengganggu tanaman, menghalau burung gagak, sampai kepada membersihkan tanaman liar yang mengganggu. Semua dikerjakan dengan rela, walaupun memang akan mendapatkan ‘reward’ atau penghargaan berupa uang, namun azas saling membantu yang lebih saya tekankan ketimbang uang yang tidak seberapa juga. Mengingatkan saya untuk tetap berusaha sedapat mungkin membantu orang lain yang tengah membutuhkan bantuan. Walaupun kondisi saya bukan dalam kondisi prima tanpa masalah, tetap berusaha menolong dalam setiap kesempatan semampu saya. Karena kita juga makhluk sosial yang tak mungkin hidup sendirian. Suatu saat pun, saya pasti membutuhkan bantuan orang lain, sama seperti suatu ketika akan ada seseorang yang butuh pertolongan kita.

· Belajar menata ladang saya sesuai keinginan saya. Dengan dekorasi yang indah sampai bertemakan ‘Halloween’, semua ada pada pilihan masing-masing. Dengan warna-warni jerami, kolam, pagar, tempat piknik ataupun tempat barbeque, semua ditata. Dekor-nya sesuai keinginan saya. Membuat saya berpikir, sudah saatnya bagi saya untuk lagi-lagi menata kehidupan saya dengan lebih baik. Untuk hal-hal yang kurang baik, kurang teratur, kurang disiplin, saya mau merapikan kembali hidup saya. Dengan tetap jadi diri sendiri, sesuai diri saya. Hidup yang tertata lebih baik, mudah-mudahan akan membawa perubahan diri atau transformasi yang lebih baik pula.

· Belajar menampung ‘lonely pink cow’ ataupun ‘brown cow’ yang tidak punya teman. Sapi merah jambu dan sapi cokelat itu saya tampung dan saya tawarkan kepada teman-teman saya. Adakah yang mau menerima mereka? Saya pun menampung sedikit-sedikit sapi dari teman saya. Moga-moga saya mau menampung jiwa-jiwa yang kesepian di dunia ini. Mereka yang hidup dengan kekuatiran tingkat tinggi, mereka yang saya kenal, mereka yang mencurahkan dan mempercayakan permasalahannya kepada saya. Karena dunia ini penuh juga dengan orang yang kurang kasih. Penuh dengan orang-orang yang semakin cuek dan individualistis, sehingga mungkin kesepian yang melanda orang terdekat kita pun tak terdeteksi. Saya pun tidak selalu mampu mengetahui kesepian semacam itu yang terjadi pada orang-orang di dekat saya, di sekitar saya. Namun, saya akan berusaha…

· Melihat tetangga yang berhasil tanpa menjadi iri. Belajar dari mereka yang sudah memulai permainan ini jauh sebelum saya, tanpa menjadi iri. Karena mereka sudah meluangkan waktu begitu banyak demi permainan ini. Dan kalau saya ingin maju, saya pun harus rajin. Dalam hidup, sama saja saya kira. Tidak iri pada mereka yang berhasil. Bertanya kepada mereka supaya kita bisa berhasil juga. Dan bekerja ekstra keras. Dengan giat berusaha, suatu saat keberhasilan akan jadi milik kita.

‘Farmville’ sudah mengajarkan saya hal-hal baik yang bisa saya terapkan pula dalam hidup ini. Untungnya saya tidak ketagihan. Dan saya tidak mau ketagihan sampai saya tak mau melakukan hal-hal lain yang lebih penting: bercengkerama bersama keluarga. Orang-orang yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari kita daripada Facebook, internet, ataupun Blackberry (bagi pemakainya). Setidaknya, hari ini saya belajar hal-hal yang bisa pula diterapkan dalam hidup dari permainan ini.

Singapura, 24 Oktober 2009

-fon-


sumber gambar:

http://bachelorettefiles.files.wordpress.com/2009/09/farmville-jason-king.jpg

Thursday, October 22, 2009

Tentang Hidup dan Kehidupan


Satu minggu yang lalu…

Satu hari yang penuh kebosanan dan rutinitas berlalu. Sepertinya tidak ada yang spektakuler yang dialami di hari ini. Semuanya sama. Cenderung monoton. Seolah kehilangan percikan kejutan yang membahagiakan.

Melakukan hal yang sama: aktivitas yang sama, pekerjaan yang sama, naik bus yang sama, naik kereta yang sama, bertemu dengan orang-orang yang lagi-lagi sama. Katanya hidup itu menyenangkan… Katanya hidup itu indah. Tapi, koq hanya sebatas ini saja?

Mana keindahan yang pernah menyentuhku dan diam berlama-lama di hatiku? Aku rindu kedatanganmu, aku rindukan hadirmu. Karena saat ini aku tak mampu menatap kemolekanmu… Ayo, tunjukkan paras cantikmu padaku hari ini, esok, atau beberapa waktu ke depan! Aku tetap mengingingkan sapaanmu yang ramah. Senyuman yang semringah. Indahnya hidup yang pernah kurasa. Nyaris tak bersisa.

Tiga hari yang lalu…

Hari yang tidak terlalu membosankan, walaupun berjalan pelan. Hari yang cukup membahagiakan. Tak ada keluhan berarti, semua lancar dan baik-baik saja. Sampai di sore hari, kudengar kabar yang tidak mengenakkan. Seorang kerabat menderita sakit parah.
Lagi-lagi hidup menyapaku dengan salam yang kurang ramah. Dan terpikir, bukankah beberapa hari yang lalu kuinginkan kejutan itu? Bukankah aku yang menanti-nantikan adanya satu keindahan dalam bentuk kabar yang membahagiakan? Akhirnya, hidup memberikanku kejutan. Bukan kejutan manis seperti yang kuinginkan. Bukan kado terindah diiringi senyuman. Namun, berita yang membuatku berdiam diri, bersembunyi sekali lagi di balik perisai yang masih tersisa. Perisai diri menghadapi gejolak tak menentu dari Sang Hidup dan kehidupan itu sendiri.

Hidup memang tak pernah mudah. Tak pernah mulus. Kalau hidup itu mulus dan hanya penuh keceriaan, malahan hidup akan jadi monoton dan tak lagi menyisakan seni kehidupan itu sendiri. Karena dia tak tertebak, tak bisa dikira-kira akan berjalan ke arah mana, membuat hidup itu menjadi dinamis, lincah, dan berbeda. Berbeda dari skenario yang ada di kepala dan penuh tantangan dan kejutan pula di tiap episodenya.

Mungkin, hidup harus dihadapi dengan sikap hidup yang berbeda?

Hari ini…

Life is difficult. This is the great truth, one of the greatest truths—it is a great truth because once we see this truth, we transcend it. Once we truly know that life is difficult – once we truly understand and accept it – then life is no longer difficult. Because once it is accepted, the fact that life is difficult no longer matters. (Sumber 1 : The Road Less Travelled – M. Scott Peck).

Kata Scott Peck, hanya dengan menyadari bahwa hidup itu sulit, maka saat itulah hidup takkan jadi sulit lagi. Karena dengan menerima kenyataan yang ada, tidak lagi mengingkarinya, hidup jadi tidak terlalu sulit. Hidup memang sudah sulit, koq :)

Masalahnya manusia terlalu sering berharap banyak pada hidup. Berharap bahwa bakal ada kegembiraan senantiasa. Jangan berakhir. Jangan berubah. Jangan pernah ada duka, kecewa, dan putus asa. Dan itu yang membuat orang menjadi tambah frustrasi. Karena hidup tak lagi ramah, tak lagi penuh senyuman, namun berisi satu problem ke problem lainnya.

Agama Buddha memiliki pandangan yang tepat dengan mengatakan hidup adalah dukkha. Sekumpulan permasalahan yang berisi ketidaksesuaian kenyataan dengan angan-angan. Itu berarti berpisah dengan orang yang dikasihi, bertemu senantiasa dengan orang yang dibenci, adalah bagian dari dukkha itu sendiri.

Sedangkan bagi pemeluk Kristiani, kitalah yang membuat hidup itu sulit. Sulit bagi kita dan sesama. Yesus membuka rahasia kerajaan-Nya bagi anak-anak kecil yang diyakini tidak mempersulit hidup mereka sendiri, malahan mereka begitu senang dan suka cita di tiap hari mereka. Walaupun mereka bisa menangis, bermusuhan, namun itu tak berlangsung lama karena mereka bisa berbaikan kembali dengan cepat. (Sumber 2)

Hidup itu penuh kesulitan. Jadi, kesulitan hidup bukan suatu hal yang mengerikan. Itu adalah kenyataan yang tak pernah dapat dipungkiri. Sekaligus tidak juga menjadikannya penuh ketakutan. Mentang-mentang penuh kesulitan, apa kita harus menghadapi hidup dalam debaran jantung yang takut senantiasa?

Tidak juga… Karena kita tahu, kita punya tempat bergantung di saat kita tak mampu melakukan apa pun. Di saat doa sudah tak mampu mengeluarkan kata-kata indah. Dan yang ada hanyalah tetesan air mata.

Di saat seluruh teman terdekat tak ada di sisi, di saat seluruh anggota keluarga memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Di saat hidup seolah tak bersahabat sama sekali.

Di saat itu rasanya aku sungguh sendirian. Dan di saat itu pulalah, dalam kesendirianku, kucari Dia. Kutemukan kembali wajah-Nya yang ramah. Senyumnya yang ceria. Senyum yang menguatkanku dan membangkitkanku kembali.

Hidup tidak menjadi ceria. Hidup masih sama dengan segala permasalahannya yang kadang tak pernah bisa terpikir oleh keterbatasan otak manusia.

Namun, ada kekuatan baru dalam diri untuk menghadapi hidup hari ini dan seterusnya. Karena tak lagi merasa sendirian. Karena ada satu figur yang memampukan kita semua untuk bertahan, berjalan dalam suka cita meskipun dalam topan badai sekalipun.

Bukan hal yang mudah untuk tetap tersenyum dalam segala tumpukan permasalahan yang selalu membuat sesak dada ini. Namun, bersama Sang Empunya hidup itu sendiri yang sedang berjalan bersama-sama kita, apakah kita perlu takut? Bersama genggaman tangan-Nya dan senyum damai-Nya, aku tak lagi merasa sendirian.
Indahnya hidup kurasakan bukan karena keindahan yang tak pernah pergi, tak pernah sirna, tak pernah berakhir.

Namun, ketika keindahan itu pergi, aku masih bersama Si Pemilik Keindahan Sejati yang menciptakan semuanya ini. Dia menemaniku. Saat ini dan selamanya.

Singapura, 23 Oktober 2009,

-fon-

* Sumber

1. buku Scott Peck, The Road Less Travelled

2. Website : http://livinghour.org/blog/daily_motivationals/life-is-not-difficult/


Sumber gambar :

http://chrisaltrock.com/wp-content/uploads/2009/08/side.jpg

Tuesday, October 20, 2009

Pembuktian Diri


Suatu ketika di masa lalu…

Seorang pemuda jatuh cinta setengah mati pada seorang gadis.

Tidak ada yang salah pada cinta. Tidak ada yang salah pada rasa yang berkembang tanpa diundang itu. Hanya saja, memang status mereka terlalu berbeda.

Si Pemuda miskin adalah anak dari rantau yang tinggal di kos saja, jatuh cinta pada seorang gadis putri orang terkaya di kota tersebut. Sebetulnya Si Gadis pun jatuh cinta pada kesederhanaan Si Pemuda yang amat berbeda dari segala kelimpahan yang selalu berada di sekelilingnya. Namun, cinta mereka dihalangi orang tua Si Gadis. Orang tuanya yang punya kuasa dan uang menghalalkan segala cara untuk memisahkan mereka berdua. Akhirnya, Si Pemuda didatangi oleh ayah Si Gadis. Sang Ayah menghinanya dengan selalu mengungkit kemiskinannya. Dan terus mengatakan bahwa Si Pemuda tak bakal pantas bersanding dengan putri kesayangannya yang bukan saja cantik dan kaya namun berperilaku santun dan bertutur kata halus.

Si Pemuda mundur dengan luka karena tertolak cintanya. Luka itu masih menganga, terbuka, dan terus berdarah dalam dirinya. Dia tak mengizinkannya untuk sembuh. Dia hanya ingin membuktikan bahwa dia sanggup jadi orang kaya. Untuk membuktikan kepada ayah Si Gadis, Si Gadis itu, dirinya sendiri, dan seluruh dunia, dia bekerja keras.

Sangat keras sampai di suatu hari nanti dia berhasil berdiri tegar di atas kedua kakinya sendiri. Dan ia menanti-nantikan tibanya saat itu.

Setelah menikmati suksesnya, bertahun-tahun kemudian…

Si Pemuda tersenyum dan tertawa, ketika menikmati kesuksesannya. Akhirnya, impiannya tercapai juga. Setelah itu, tak lama dia malah menderita sakit keras. Ironis sepertinya? Memang begitulah kenyataannya.

Ketika dia sukses, dia tak mampu mengecapnya secara sempurna karena sakit yang menderanya. Dalam kondisi terbaring di rumah sakit, dia melakukan kilas balik hidupnya. Akhirnya dia sukses juga. Akhirnya dia jadi orang kaya juga. Dan akhirnya keluarga Si Gadis juga tahu bahwa dia berhasil jadi orang kaya. Setelah mereka semua tahu, setelah seluruh dunia tahu, lalu apa hasilnya?

Dia merasa lelah. Lelah fisik dan mental. Lelah, ketika dia sangat terpacu untuk membuktikan dirinya sendiri kepada dunia. To show the world that he is somebody. Seseorang yang harus diperhitungkan dan tidak boleh dianggap remeh. Akhirnya, dia keletihan luar biasa. Dan saat itu pulalah, dia tersadar. Dalam sakitnya, setelah segala pencapaiannya yang luar biasa, dia menerima pengertian yang baru. Hari itu barulah dia tahu, dia tak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun. Karena bila dia berusaha dengan giat, dia betul-betul berjuang keras, suatu saat kesuksesan akan menjadi miliknya. Tanpa perlu dendam yang terus mengucurkan darah dan menguras habis emosinya. Memang diakuinya pula, dendam itu membawa dia berjuang lebih keras dan lebih serius. Namun setelah dia sukses, dia merasa itu semua tak perlu. Dendam lagi-lagi hanyalah membawa kesakitan ekstra. Tambahan kesakitan yang semakin membebaninya semata. Kesakitan memang terkadang diperlukan untuk membangkitkan semangat yang patah agar maju mencapai tujuan. Namun, tidak dengan berkubang dalam duka yang tak kunjung habis. Dengan melulu menatap dan meratapi duka tanpa henti ketika berjalan dalam hidup ini, membawa dirinya lemah-letih-lelah-lunglai. Dan rasa itu membuatnya ambruk.

Berkaca dari cerita Si Pemuda itu tadi…

Mungkinkah kita pernah mengalaminya? Dengan kapasitas yang kurang dari Si Pemuda, lebih, atau sama dengannya?

Kita pernah merasa dihina, terhina, ataupun diremehkan. Lalu, kita bersemangat bangkit kembali untuk menunjukkan kepada dunia. “ Ini, lho! Gue…(baca: Saya).

Sang ego yang tersentil, ingin menunjukkan diri. Sang ego mencari pengakuan. Diri ini perlu dibuktikan bahwa mampu berprestasi dan sukses. Tidak seperti kata orang-orang tentang kita yang terkesan meremehkan.

Sebetulnya, lagi-lagi, terusiknya diri dan terpacu ingin menjadi lebih baik bukanlah sesuatu yang jelek. Yang rasanya agak mengganggu adalah motivasi awal untuk sukses menjadi kabur oleh luka, dendam, dan kemarahan yang tak kunjung selesai.

Apa pun luka masa lalu kita, kita hadapi dengan besar hati dan kita terima. Bahwa, memang dulu kita seperti itu, namun dengan berjalannya waktu plus kerja keras, inilah diri kita di hari ini.

Setelah kita berdamai dengan masa lalu kita, bagian kesakitan yang sangat menusuk tajam relung hati kita itu tadi, membuat kita mampu menatap hari ini dan hari depan dengan senyuman. Senyuman yang tulus dari dasar hati karena sadar bahwa diri kita berarti. Bahwa diri kita dikasihi oleh Tuhan. Diri kita diizinkan mengalami banyak hal yang tidak mengenakkan dan menyakitkan hanya sebagai proses untuk menjadi lebih baik. Terbukti, kita menjadi lebih baik dalam beberapa hal setelah kita mengalami masalah dan kekecewaan. Setidaknya ada sesuatu yang kita pelajari dari kegagalan itu dan kita mencatat pengalaman itu sebagai sebuah proses pembelajaran.

Epilog

Si Pemuda merasa pasti bahwa dia tak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun. Sakit hatinya dia akui, dia bawa ke hadapan Sang Pencipta, yang mampu menyembuhkan segala luka. Tuhan sendiri.

Dan dia mulai merasakan luapan kasih yang tak terhingga. Kasih yang tak bersyarat. Unconditional love. Dia tetap dikasihi, dia tetap dicintai, tanpa perlu membuktikan apa pun. Hanya dengan jadi dirinya sendiri. Seluruh keberadaan dirinya bukanlah suatu kesalahan. Yang bisa dia lakukan hanyalah menerima kasih itu, merasakan segenap kehangatan di tiap sudut relung hatinya, untuk kemudian merasa lebih kuat dalam menjalani hidup.

Kenyataan serta kesadaran bahwa dia dicintai walaupun dia miskin membawa dia kepada rasa terima kasih yang tak kunjung putus. Luapan rasa syukur menyebar dalam sanubarinya… Cinta Tuhan memampukannya untuk hidup walaupun pernah sakit hati, walaupun pernah benci, walaupun pernah marah dan kecewa luar biasa. Cinta Tuhan ingin selalu dia bawa dalam hari-harinya di masa yang akan datang. Setiap hari baru adalah hadiah terindah dari-Nya. Dengan segala permasalahannya, dengan segala problematikanya. Hari itu tetap anugerah. Karena kenyataan yang tak dapat dipungkiri telah merasuki hatinya: dia dikasihi, dia dicintai. Apa adanya.

Selamat jalan dendam yang membara! Si Pemuda memutuskan untuk terus hidup dalam kesadaran akan kasih-Nya. Dan kasih itu cukup. Bahkan berlimpah ruah. Walaupun terkadang tidak dirasakannya. Namun kasih itu tak terukur, baik panjang-lebar-ataupun dalamnya.

Dia tersenyum. Pembuktian diri itu sudah selesai. Dia hanya ingin berusaha giat, termotivasi, tanpa menghamburkan energi negatif yang terus menyetirnya selama ini.

Singapura, 21 Oktober 2009

-fon-

* Si Pemuda berharap, kita pun bisa melakukan hal yang sama… Setidaknya berproses menuju ke arah sana

sumber gambar:

Saturday, October 17, 2009

Facelift dan Heartlift


Selamat datang di dunia plastik!

Saya bukan bicara mengenai ember, baskom, gayung, tempat sikat gigi, gelas, piring, sendok, atau apa saja yang terbuat dari plastik. Namun, sekali ini yang ingin saya kedepankan adalah operasi plastik. Yang sering pula diungkapkan dengan istilah face lifts. Bukan wajah yang mirip lift lho, namun menurut free online dictionary, facelift berarti:

plastic surgery to remove wrinkles and other signs of aging from your face; an incision is made near the hair line and skin is pulled back and excess tissue is excised; "some actresses have more than one face lift"

(operasi plastik yang bertujuan untuk menghilangkan keriput dan tanda-tanda penuaan

lainnya dari wajah seseorang. Di mana insisi atau sayatan dibuat dekat dengan garis rambut dan kulit ditarik dan kelebihan jaringan dipotong).

Banyak selebriti melakukan hal ini. Tidak kurang pula jumlahnya, orang biasa yang tidak terkenal pun melakukannya. Dan yang lebih menghebohkan lagi, dalam kurun waktu seminggu terakhir, saya membaca bahwa di Hungaria, diadakan pemilihan ratu kecantikan plastik ini. Di malam itu, semua kecantikan yang tidak natural, tidak alami, dipamerkan. Mulai dari implan payudara, memancungkan hidung, dan facelifts menjadi bintang utamanya.

By PABLO GORONDI,Associated Press Writer - Saturday, October 10

BUDAPEST, Hungary – It was a night for unnatural beauties. Contestants showed off breast implants, nose jobs and face lifts as Miss Plastic Hungary 2009 strove to promote the benefits of plastic surgery in a country where artificial enhancements are viewed mostly with a wary eye.

"I think this competition is long overdue," said photographer Marton Szipal, one of the pageant judges. "Hungarians used to laugh about plastic surgery but it's time for Hungarian women to care more about their appearance. They are the most beautiful in Europe."

Plastic surgeon Dr. Tamas Rozsos said the pageant also meant to show that cosmetic corrections did not necessarily have to be about oversized breasts, bulbous lips and skin stretched to near tearing point.

"This about restoring harmony ... eliminating asymmetries and giving women the opportunity to have normal features," Rozsos said. "Plastic surgery has a bad reputation in Hungary but its mostly due to the exaggerations."

Despite Hungary having been hit hard by the global economic crisis with the government forced to scale back spending on health services, Rozsos said that the number of surgeries had been rising year by year.

"People for whom this is important always find the money," Rozsos said.

To qualify for the pageant, the 18 Hungarian residents had to prove they'd gone fully under the knife _ mere Botox or collagen injections did not count. Nearly all the contestants showed off augmented breasts, with reshaped noses also popular. One finalist had surgically adjusted toes.

Organizers claimed contestants were expected to show "a perfect harmony of body and soul," but the three-part pageant concentrated almost exclusively on the women's physical attributes and the usually conspicuous wishes for world peace went missing.

Miss Plastic candidates were at least 18 years old and included a former rhythmic gymnast, a firefighter married to a police officer, a mother of three and several strippers. There was a special category for women over 30.

Pageant queen Reka Urban, a 22-year-old hostess, won an apartment in Budapest, first runner-up Edina Kulcsar was given a new car and second runner-up Alexandra Horvath took home diamond jewelry worth 2 million forints ($10,800). The winners' plastic surgeons also received awards.

Tujuan diadakannya kontes ini menurut artikel di atas adalah untuk menggiatkan masyarakat Hungaria untuk menyadari kecantikan mereka kembali. Karena mereka adalah yang tercantik di Eropa, itu menurut salah satu dewan juri. Agak membingungkan sebetulnya, kalau iya memang yang tercantik di seluruh Eropa, buat apa juga operasi plastik segala? Bukankah alami yang lebih baik? Bukankah yang sesuai dengan apa yang diberikan Tuhan adalah yang terbaik?

Namun, memang untuk beberapa kasus seperti bibir sumbing, korban kebakaran yang menderita luka bakar parah di wajahnya sehingga tak mampu dikenali lagi, operasi plastik dibutuhkan dan memang boleh dilakukan. Karena berguna bagi penyembuhan baik secara fisik maupun mental si penderita. Tetapi bila berhadapan dengan operasi plastik untuk memperbesar ukuran dadanya, memancungkan hidung, ataupun upaya untuk tetap awet muda biarpun umur tetap melaju, apa pandangan kita mengenai hal itu?

Mungkin jawaban kita bervariasi.

Mulai dari: “ Ah, itu kan biasa. Semua selebriti dan orang biasa saja melakukannya. Sudah bukan barang baru hare gene geto lho. “ Atau: “ Yah, itu sih terserah pada diri masing-masing. Bertanya pada diri masing-masing, bila perlu ya dilakukan.. Bila tidak ya tidak mengapa.”

Atau bagi yang ekstrim, “ Itu kan tindakan yang tidak menghargai karya Tuhan. Dengan mencampuri karya Tuhan pada diri kita dan tidak menerima kenyataan bahwa kita akan bertambah tua, itu sih namanya upaya pengingkaran diri.”

Bagi saya pribadi, saya tidak mau ah, menambahi wajah saya dengan ornamen plastik. Saya tidak mau ada sendok plastik di wajah saya hihihi…Lha, koq? Ehm, serius nih, saya tidak berminat sampai saat ini untuk melakukan operasi plastik. Dan mungkin juga karena saya bukan seorang selebriti yang harus selalu terlihat sempurna ketika tampak depan, tampak samping, atau tampak belakang sekalipun, jadi saya tidak pusing-pusing memikirkan operasi-operasi plastik yang harus saya lakukan. Paling yang saya pusingkan masih saja seputar peralatan dapur dan rumah tangga terbuat dari plastik yang rusak dan perlu membeli yang baru. Hushh! Gak nyambung yah? Wuahahaha…

Intinya sih, bagi saya pribadi, orang mau operasi plastik atau tidak itu terserah mereka. Kalaupun menurut agama dilarang seperti operasi kelamin, tokh masih saja dilakukan. Walaupun saya mencoba mengerti alasan bahwa banyak orang yang merasa terperangkap di tubuh yang salah. Perempuan terperangkap di tubuh laki-laki dan sebaliknya laki-laki yang terperangkap di tubuh perempuan sehingga merasa perlu untuk menyamakan perasaan itu dengan kondisi tubuhnya, makan dilakukanlah operasi kelamin. Yang lagi-lagi, maaf… bila tidak sesuai dengan pemikiran Anda. Namun, di agama Katolik yang saya anut, pertukaran semacam ini tidak diakui.

Ah, daripada pusing-pusing mikirin operasi plastik, facelift, proses memancungkan hidung dan sebagainya… Mendingan juga menjaga hati, menerima diri, dan melihat segala sesuatu dengan rasa syukur. Rasanya hal-hal semacam itu akan membuat kecantikan di dalam merekah. Dan tidak jarang bagi mereka yang awet muda, ketika ditanya apa rahasianya, mereka menjawab : “ Kecantikan dari dalam akan memancar ke luar. “
Dannn… Saya percaya akan hal itu! Saya percaya bahwa senyuman akan menjadi ‘facelift’ yang sempurna, ketimbang mulut cantik yang monyong akibat manyun oleh rasa cemburu. Saya percaya bahwa mata yang memandangi sesamanya dengan teduh dan penuh kasih akan jauh lebih berarti daripada mata yang telah dioperasi plastik dan amat cantik namun selalu memandangi orang lain dengan penuh penghakiman. Menghakimi apa yang dipakai, merek apa, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Saya percaya bahwa hidung yang tampak seperti jambu air yang nongkrong dengan tidak sempurnanya di wajah seseorang namun berfungsi baik akan lebih berarti ketimbang hidung yang dioperasi berkali-kali sampai kehilangan fungsi asalnya, tak mampu membaui (mencium) bau atau wangi lagi!

Saya percaya, apa yang alami, yang diterima apa adanya dengan ucapan syukur (syukur bahwa saya sempurna, tidak cacat) jauh lebih bernilai daripada operasi plastik secanggih apa pun.

Dan untuk mengakhiri tulisan saya, saya mengajak kita semua dengan bangga mengikuti kontes Miss/ Mr. Natural Beauty 2009. Tanpa perlu operasi plastik, menjadi orang yang menerima diri sendiri, apa pun bagian wajah yang alami yang sudah diberikan Tuhan kepada kita. Dan mari kita menjadi pribadi-pribadi yang tulus, rendah hati, daripada wajah yang dioperasi plastik dan cantik/tampan sempurna namun mengeluarkan tatapan sinis atau senyuman palsu.

Selamat datang diriku yang tidak sempurna, aku menerimamu apa adanya! Kalau perlu operasi plastik dilakukan bagi hati-hati yang iri, cemburu, penyebar fitnah, gosip… Buat hati-hati semacam itulah diperlukan heartlift…semacam facelift buat hati, sehingga menjadi hati yang semakin sempurna dari hari lepas hari… Semoga…

Singapore, 17 Oktober 2009

-fon-

Sumber gambar:

http://www.thegioiwallpaper.com/wallpaper/Blue-Heart-With-Wings/