Thursday, December 31, 2009

Huyen



Perkenalkan, namaku Huyen (dibaca : Huin atau Huyin dalam Bahasa Indonesia). Asal Ho Chi Minh City, Vietnam.

Di usiaku yang ke-25 ini, aku masih menjomblo. Belum menikah. Sementara aku juga baru lulus kuliah jurusan perbankan di salah satu universitas di HCMC ini. Aku tak ingin memaksakan diri untuk menikah, seperti teman-temanku yang menikah di usia ke-20. Sehingga umur 25 sepertiku saat ini sudah dianggap perawan tua. Tapi apa mau dikata, memang pacar saja aku belum punya…

Selain itu, aku memang anak tunggal dari ayah dan ibuku. Ibuku berjualah pho, itu lho mie putih khas negaraku. Dia sudah berjualan selama 20 tahun sejak aku berumur 5 tahun.

Me, begitu aku menyebut ibuku, terlihat kuatir setiap kali dia bicara soal harusnya aku sudah menikah dan punya anak. Kujawab pelan, “ Bukan aku tak mau, Me! Tapi, aku mau mencari seseorang yang kucinta. Bukankah lebih baik aku menunda daripada terburu-buru menikah dengan siapa saja yang datang melamarku?”

Kalau aku menjawab seperti itu, ibuku hanya tersenyum kecut. Tak bisa membantah kebenaran ucapanku. Me, aku juga sedih kalau aku belum bisa membahagiakanmu dengan suami atau cucu penerus keturunanmu. Tapi, bukankah lebih baik aku membantumu saat ini? Daripada aku tak tentu arah menikah dengan siapa saja yang kau kenalkan kepadaku tanpa adanya cinta?

Me mulai memperhatikan penampilanku. Dibilangnya aku terlalu gemuk untuk ukuran orang Vietnam pada umumnya yang memang kecil mungil. Sehingga sebagai perempuan Vietnam, mungkin tubuhku terbilang raksasa. Walaupun bila dibandingkan dengan mereka yang tinggal di luar Vietnam semisal Amerika atau Australia, jelaslah ukuranku masih Medium size –nya mereka.

Aku sedih, Me. Aku juga ingin bantu-bantu Me dengan penghasilanku ketika aku bekerja nanti. Sementara ini yang kulakukan hanyalah memberikan les Bahasa Vietnam bagi muridku yang berasal dari negara lain. Untung Bahasa Inggrisku cukup baik, jika tidak? Mungkin penghasilan ini takkan kudapatkan juga.

Aku juga tak mau, Me… Seperti segelintir perempuan Vietnam lainnya yang membuat martabat perempuan Vietnam secara keseluruhan dipandang rendah. Karena kemiskinan, beberapa dari kami terpaksa setuju menikah dengan orang Singapura, Malaysia, Hongkong, Brunei, Taiwan, atau pria dari negara Asia lainnya. Di Singapura sendiri banyak agen yang mengurusi pernikahan dengan perempuan Vietnam seperti kami-kami ini. Nama keren kami ‘Vietnamese Bride’, dengan iming-iming ‘virginity’ kami. Keperawanan kami yang jadi daya tarik mereka. Tapi bukan itu tujuanku, Me… Aku tak mau karena aku kawin lalu aku dibayar. Walaupun ada di antara agen itu yang aku tahu, sampai mematok harga lima ribu dollar Singapura (SGD 5,000). Tapi aku tahu juga, hanya sebagian kecil yang masuk ke kantong keluarga kita kalau aku setuju menikah dengan mereka.

Aku tak tahu memang jodohku adalah orang mana. Apa Singapura, Amerika, Eropa, Jepang, atau Korea? Biarlah itu di tangan yang kuasa, Me. Tapi tidak dengan mengorbankan harga diriku, hanya untuk sekadar ‘laku’. Aku bukan barang dagangan, Me… Yang jelas, aku bukan souvenir Vietnam yang bisa dengan mudah dipindahtangankan. Aku masih punya harga diri!

Aku juga tak hendak menjajakan diri, Me. Banyak kulihat perempuan Vietnam memacari bule asalkan mendapat uang yang banyak. Bisa ke salon mahal, manicure-pedicure yang mewah dan pakai barang bermerek. Bagiku, biarlah bajuku hanya made in Vietnam. Beli di Saigon Square, toko-toko di Nguyen Trai atau di pasar tradisional semisal di China Town’ – Cho Lon (berarti: Pasar Besar). Aku tak peduli dengan merek mewah seharga puluhan juta Vietnam Dong, kalau itu hasilnya dari menjual kemolekan diri. Walaupun aku sadar, Me.. Mungkin ukuranku yang besar ini lebih cocok bagi mereka yang dari luar negeri ketimbang lelaki Vietnam yang kurus kecil. Aku lagi-lagi merasa bagaikan seorang raksasa di tengah-tengah negeri yang kecil mungil.

Yang penting, aku hidup benar, Me… Aku punya sikap tegas terhadap hidup… Dan mudah-mudahan, suatu saat…jodoh dan pekerjaan yang sesuai diberikan-Nya padaku. Aku tak mau merendahkan diriku sebegitu rupa, karena aku tak mau dihina, Me… Aku juga punya pendidikan. Aku juga bisa belajar hidup lebih baik lagi, tapi tidak dengan cara-cara yang tidak sesuai di hatiku….

Me, aku menangis menuliskan ini semua di catatan harianku… Aku ingin sekali berbagi beban ini denganmu, Me… Tapi, kukira semua itu tak mungkin kulakukan di saat ini… Aku hanya ingin jadi diri sendiri, Me… Dengan tenang menghabiskan setiap waktu di hidupku. Tak takut kalau sampai aku tak menikah… Yang mungkin akan mengecewakanmu, Me… Tapi aku tetap berpegang pada prinsipku, menunggu yang kucinta dan mencintaiku apa adanya… Bukan asal comot saja seperti beli baju di Pasar Ben Thanh. Beli baju pun harus memilih, bukan? Apalagi soal jodoh… Apalagi soal suami…

Tuhan, semoga ibuku mengerti. Bukan hari ini, tapi mungkin sebulan lagi. Tiga bulan lagi. Setahun lagi… Aku menunggu pengertian itu terjadi, sambil menunggu hadirnya suami yang mencintaiku…Sambil menunggu pekerjaan yang sesuai untukku. Dan banyak hal lainnya yang tetap kutunggu dari-Mu…

HCMC, 31 Desember 2009

-fon-

* Huyen bukan nama sebenarnya. Kisahnya adalah kisah nyata dari seseorang yang saya kenal di sini. Seseorang yang berprinsip. God bless you, friend! Walaupun saya yakin, kamu nggak ngerti tulisanku ini. But, I still can see your goodness inside.

sumber gambar:

http://media.photobucket.com/image/traditional%20vietnamese%20clothing/lethuypainter/Ao%20dai/ao-dai-1_9647.jpg

Apologize



*** Sebuah cerpen. Terinspirasi dari Lagu One Republic berjudul Apologize.

I'm holding on your rope,
Got me ten feet off the ground
I'm hearin’ what you say but I just can't make a sound
You tell me that you need me
Then you go and cut me down, but wait
You tell me that you're sorry
Didn't think I'd turn around, and say...

It's too late to apologize, it's too late
I said it's too late to apologize, it's too late

Aku gelisah. Terbaring sembari membolak-balikkan badanku di atas ranjang kecil di kamar sempitku. Hatiku tak tenang. Penghujung tahun yang biasanya ramai, penghujung tahun yang biasanya penuh keceriaan, kini tak kurasakan. Sementara banyak orang mempersiapkan diri mereka untuk pesta akhir tahun, sementara banyak keluarga mulai mempersiapkan ‘barbeque night’ di pekarangan rumah mereka, sementara banyak keluarga berencana atau malah tengah pergi ke luar kota bahkan keluar negeri, aku harus menelan pil pahit kesendirianku di akhir tahun ini. Mendung menaungi hatiku. Badai bermukim di sana. Sudah beberapa tahun hal ini kualami. Karena suatu masalah yang cukup pelik, hubunganku dengan orang tuaku mulai mengendor dan semakin menjauh. Jarak kami memang tak terlalu jauh. Apalah artinya jarak Jakarta-Surabaya. Dengan pesawat terbang, kereta, ataupun bus semua bisa. Tapi, ketika jarak di hati itu yang menjauhkan kami, itu yang sulit…

Papa dan Mama sempat bangga terhadap diriku. Sebagai anak tunggal dan kesayangan mereka, aku diharuskan memenuhi semua standar tinggi yang mereka berikan kepadaku. Dan dari pendidikan formal sampai pendidikan ekstrakurikuler, semua bisa kulakoni. Dari rapor di sekolah sampai rapor piano dan Bahasa Inggrisku semua prima. Mereka puas.

Sedangkan aku? Aku tak tahu pasti. Setidaknya aku mampu membahagiakan mereka. Aku pun bahagia. Tapi satu sisi, hatiku menjerit. Karena banyak kali, aku tak bisa memenuhi keinginanku. Hasrat terdalamku. Impianku. Banyak kali kukorbankan keinginanku, hobbyku, hanya demi mereka. Dan kali ini, rasanya sudah cukup. Aku hanya ingin menekuni apa yang kumau. Aku hanya ingin jadi diriku sendiri. Aku tak ingin masuk jurusan kedokteran seperti yang mereka inginkan. Aku tak pernah ingin jadi dokter. Aku hanya ingin jadi seorang penerjemah. Untuk itulah aku masuk jurusan Sastra Inggris. Karena aku pikir, aku juga suka sastra semacam Shakespeare dan sejenisnya. Aku juga suka membaca karya-karya sastra dalam Bahasa Inggris. Jadi Penerjemah? Mengapa tidak?

Sudah bertahun-tahun kuikuti keinginan mereka. Ini waktunya bagiku untuk berdiri tegar di atas impian hatiku. Walaupun dengan konsekuensi, tak ada lagi kiriman uang saku. Walaupun dengan kemungkinan takkan lagi aku dikirimi uang untuk pendidikanku. Tapi, biarlah, kali ini aku tak mau lagi disetir. Aku tak mau lagi jadi robot bagi keinginan mereka. Aku manusia yang punya hati. Aku mau jadi diriku sendiri.

Pa, Ma, izinkanlah sekali ini saja, aku mengikuti kata hatiku!

Yang kudapati hanyalah bantingan pintu kamar Mama dan tatapan kecewa Papa. Itu yang terakhir kalinya ketika aku meninggalkan Surabaya. Wajah yang kecewa, tangisan Mama, semua jadi satu dan membuat diriku kacau. Campur aduk. Tak menentu. Namun, tak ada pilihan lain, kecuali pergi bersama impianku. Walaupun itu berarti aku harus putus hubungan. Seperti kata Mama. Tak ada maaf bagiku.

Lagu itu mulai mengganggu pikiranku. Benarkah terlalu terlambat untuk meminta maaf? Benarkah?

Atau sebaliknya? Tiada kata terlambat bagi mereka yang mau meminta maaf? Bagi mereka yang mau berdamai?

‘Is too late to apologize? Or it’s not (never) too late to apologize?’ Hatiku masih terus berperang. Antara keyakinan berdasarkan lagu yang terus kuputar di kamarku versus keyakinan lain yang mulai menggerogoti hatiku… Bahwa inilah saatnya berdamai dengan mereka?

Kuambil telepon genggamku. Mungkin ini saatnya minta maaf kepada Papa dan Mama. Mungkin tahun baru ini menjadi berbeda, karena aku mau secara rendah hati mengalah kepada mereka. Tokh mereka adalah orang tua kandungku. Tokh mereka tak pernah bermaksud jahat kepadaku. Hanya memang kali ini pandangan kami berbeda. Tapi haruskah permusuhan itu menjadi melebar sampai bertahun-tahun begini?

Dengan ragu aku memutar nomor telepon rumahku. Nomor yang sudah empat tahun belakangan tak pernah kuputar sama sekali. Aku sudah lulus dari kuliahku. Aku sudah mengajar menjadi guru di salah satu kursus Bahasa Inggris ternama di Jakarta sekaligus berkarya sebagai penerjemah. Aku menikmatinya. Sekaligus sebenarnya ingin berbagi cerita dengan Mama dan Papa.

“ Halo, “ Suara tegas sedikit ketus, khas Mama di seberang sana.

Klik. Kututup sambungan telepon kami. Entah, hatiku masih amat ragu untuk memulai percakapan kali ini. Keberanianku belum terkumpul secara sempurna. Malas memulai lagi setelah sekian lama tidak bicara. Tapi, kali ini, demi hubungan kami?

Kuulangi panggilan sekali lagi. Kutarik nafas dalam-dalam dan berkata:

“ Halo, Ma. Apa kabar?”

Kudengar tangisan di ujung sana.

“ Meity, ke mana saja kamu, Nak?” Sedu sedan mengiringi ucapannya yang terbata.

“ Aku ada, Ma. Di Jakarta. Aku pulang, Ma, boleh? Malam ini aku coba cari pesawat, kalau tidak besok pagi.”

“ Boleh? Pertanyaan apa itu? Ini rumahmu, kami sudah lama menginginkan kedatanganmu kembali. Kau anak kami satu-satunya. Pulanglah!” Tak ada nada kesal atau marah lagi di suara Mama. Malahan kesungguhan kudapatkan di sana. Aku pulang, Ma! Aku pulang,Pa!

Dan kututup telepon dengan lega. Langsung bersiap ‘packing’ untuk keberangkatanku. Sambil kumatikan CD-ku. One Republic, kita tidak sependapat kali ini. It’s never too late to apologize :) Tak pernah ada kata terlambat untuk minta maaf. Untuk keinginan memperbaiki hubungan yang sudah rusak parah sekalipun, tak pernah ada kata terlambat.

Aku tersenyum bahagia. Keharuan menyelimuti hatiku. Aku mau pulangggg!

HCMC, 31 Desember 2009

-fon-

* mengingatkanku untuk tak pernah terlambat bagi hati yang mau meminta maaf. Kepada siapa pun. Selamat tahun baru!

Sumber gambar:

http://sisterskeepers.files.wordpress.com/2008/02/whitedandelion4.jpeg

Saturday, December 26, 2009

Being Mom: Imajinasi



Beberapa hari yang lalu ketika main dengan Odri, aku diingatkan kembali soal enaknya menjadi anak-anak. Bebas berimajinasi!

Odri: “ Eat this donut, Mama!” (sembari menyerahkan disk Tom and Jerry-nya)

Fon : “ Okay, Xie Xie, Odri!” (Terima kasih, Odri).

Tidak berhenti sampai di situ, dia membayangkan disk itu juga adalah pizza. Dan kami pun pura-pura melahapnya, sambil minum air mineral atau ‘iced lemon tea’ imajiner pula. Slurppp! Segarnya :P

Belum lagi ketika malam tiba, di tempat tidur kami, dia bermain perosotan dan ‘skate board’ dengan bantal guling dan bantal kepala kami plus tambahan selimut tentunya. Imajinasinya juga timbul ketika bermain jual-jualan es krim dan pura-pura memakannya. Rasa es krim favoritnya masih ‘strawberry’, walaupun kami juga pura-pura makan es krim imajiner rasa coklat dan vanila. Pokoknya, dari segala barang yang ada, bisa diimajinasikan sebagai mainan dan permainan.

Terkadang dia juga suka jual-jual barang mulai dari buku, celengan, minyak telon dan bedaknya, sampai salep miliknya. Semua ditransaksikan dengan pertanyaan, “ How much, Mama!” Karena kebiasaan kami di Singapura dulu, saya selalu menjawab, “ Two dollars (dua dollar)”

Itulah permainan yang tengah kami mainkan saat ini. Di saat umurnya mendekati tiga tahun dalam beberapa bulan ke depan. Saya menikmatinya dan saya bersyukur untuk tiap detik yang ada bagi saya untuk menyaksikan perkembangannya. Memang capek, memang meletihkan, tapi ada sisi lain yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Kepuasan batin seorang ibu. Terlepas dari tangisan ataupun ‘grumpy’ nya ketika kurang tidur, lapar ataupun ketika keinginannya dilarang tetapi dia masih ngotot (itu sisi lain yang tak terelakkan juga). Itulah suka-dukanya menjadi ibu…:)

Imajinasi dan kreativitas…

Imajinasi yang dimulai di saat kita masih kanak-kanak, terkadang menemui benturan-benturan yang menyakitkan ketika kita beranjak dewasa. Dalam hidup-suka atau tidak- kita harus menghadapi kegagalan, kita harus menghadapi kekecewaan karena kenyataan tidak sesuai harapan. Dan tanpa sadar, pelan-pelan keinginan untuk berimajinasi ditunda, ditinggalkan dan imajinasi terkadang harus mati/layu sebelum berkembang. Tentunya ada pula imajinasi yang tidak sesuai atau tidak pada tempatnya, seperti fantasi seksual yang berlebihan dan cenderung aneh. Atau imajinasi yang terlalu tinggi dan tak teraih, semisal jatuh cinta pada seorang artis ternama dan menginginkannya menjadi kekasih. Ketika tak berbalas, terkadang membuat orang yang pribadinya kurang seimbang menjadi nekad dan melakukan tindakan kriminal seperti pembunuhan terhadap beberapa artis oleh penggemarnya atau mengancam dengan tindakan kekerasan. Tentu saja, bukan imajinasi semacam ini yang harus dipupuk.

Aku hanya membayangkan misalkan mereka yang diharuskan dipenuhi imajinasi dalam pekerjaannya. Sebut saja pelukis, penulis, pencipta lagu, koreografer, sutradara (atau penulis naskah film), mereka yang bergerak di bidang iklan yang harus menciptakan iklan atau ‘jingle’ iklan yang pesannya mudah dicerna dalam waktu 30 detik dan masuk ke dalam ‘otak’ dan hati masyarakat. Untuk mereka-mereka yang tugasnya seperti itu, tentunya mencari ide-ide segar adalah kebutuhan setiap saat. Akan baik bagi mereka, ketika keran-keran ide mengucur seperti air yang mengalir ketika keran itu diputar. Tetapi ada kalanya keran itu mandeg, tak mengalir, berhenti begitu saja. Ada waktu-waktu di mana ‘mood’ sedang tak ramah dan serasa jauh dari ide dan inspirasi. Dan mereka dituntut untuk rileks sejenak dan kembali dengan ide-ide segar. ‘Fresh from the brain and heart.’

Imajinasi dan kreativitas juga dituntut bagi siapa saja. Bagi karyawan di kantor, bila mereka kreatif, biasanya bisa mendapatkan perhatian dari atasan dan memperoleh kenaikan gaji bila ide yang diungkapkan memperoleh masukan positif. Sebagai ibu rumah tangga misalnya, juga diharapkan kreativitas dalam pengelolaan keuangan, dalam memilih menu masakan harian sehingga tidak menyajikan menu yang itu-itu saja setiap harinya. Tukang taksi yang memiliki ‘handphone’ bisa memanfaatkan teknologi untuk menerima pesanan secara langsung dari para penumpang yang merasa senang dengan pelayanannya mengemudi dengan baik misalnya. Kreativitas diperlukan di mana saja, kapan saja. Dan berpikir kreatif, hendaknya menjadi suatu kebiasaan. Ketika satu masalah muncul, kemampuan seseorang berpikir kreatif bisa menjadikan hal tersebut sebagai peluang baru dan bukan melulu ancaman.

Imajinasi dan kreativitas anakku membawaku kepada permenungan, bahwa apa pun keadaan kita, apa pun profesi kita, apa pun panggilan kita di saat ini, membutuhkan kreativitas tersendiri. Aku sering memohon kepada Yang Kuasa untuk menuntunku menuju ke arah kreativitas. Karena aku percaya, kreativitas sejati yang berasal dari-Nya tak akan berhenti sampai kapan pun. ‘I can do all things through God who strengthens me’. Tuhan menguatkan aku untuk melakukan banyak hal, sekaligus untuk melalui banyak permasalahan secara kreatif. Ketika suatu tantangan kelihatan begitu besar, itulah saatnya untuk berpikir kreatif dan mohon kepada-Nya agar kreativitas diperluas serta ditambahkan kepada kita.

Imajinasi tetap ada, di mana saja, kapan saja. Masalahnya, terkadang kita sendiri yang memblokir dan menghalanginya untuk berkembang karena stres, depresi, dan kegagalan masa lalu. ‘Think creatively!’ Dan meminjam istilah yang terus didengungkan oleh mentor saya di dunia menulis, ‘think outside the box’.

HCMC, 28 December 2009

-fon-

* trims to Odri untuk ide penulisan ini buat Mama. You’re my source of inspiration. Love you :). Juga buat Lini untuk ‘think outside the box-nya.’ Ma acih ya :)

sumber gambar:

http://www.archann.net/html/illustration/IMAGINATION_by_archanN.jpg

Thursday, December 24, 2009

Catatan Akhir Tahun 2009



Akhir tahun kembali tiba, menyapa dengan ciri khasnya. Seiring desiran angin dan hujan yang sering mampir, entah itu di Jakarta dan di Singapura, tapi tidak terlalu sering terjadi di Saigon, saya ingin sekadar merekapitulasi apa yang telah terjadi sepanjang tahun ini. Sebagai ikhtisar, sebagai rangkuman, untuk pembelajaran bagi diri saya sendiri. Dan semoga juga bermanfaat bagi teman-teman yang membacanya.

Natal dan ‘Circle of friends’…

Secara geografis, memang saya telah berpindah negara. ‘Again’. Lagi. Hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, namun menjelma nyata. Ini perayaan Natal saya ke-empat di luar Indonesia. Dari tahun 2006, 2007, dan 2008, saya menikmati suasana Natal yang berbeda di Singapura. Dan tahun ini, di Ho Chi Minh City (HCMC). Rasanya tiap kali tentu saja berbeda. Karena tiap tahun di negeri orang, berisi adaptasi yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Misalnya tahun 2006, ketika baru saja sebulan di Singapura, tentunya daftar teman, kegiatan, atau apa pun di sana masih amat minim saya mengikuti misa Natal pertama saya di negeri Singa. Sama halnya dengan apa yang saya alami saat ini di Saigon. Bedanya kalau di Singapura, orang Indonesia banyak… Dengan mudah saya menemukan mereka di komunitas-komunitas di Singapura. Tetapi di Vietnam, jumlahnya tentu tidak sebanyak di Singapura dan walaupun sudah mendapatkan info dari teman saya soal ini, kami belum bertemu muka dengan anggota komunitas Indonesia di sini. Karena akhir tahun, masih banyak yang berlibur atau pulang kampung.

Intinya, perbedaan itu terasa. Kehangatan persahabatan juga masih redup karena saya belum kenal banyak orang di sini. Namun, saat-saat dalam adaptasi dan penyesuaian macam ini adalah waktu bagi saya untuk kembali mendekatkan diri kepada-Nya. Kembali sadar, bahwa tanpa Dia, saya tidak bisa apa-apa dan bukan siapa-siapa.

Banyak kali, saya dipertemukan dengan teman yang akhirnya menjadi akrab, tanpa terkira sebelumnya. Seolah tanpa disengaja. Padahal itu adalah rencana-Nya bagi kehidupan saya. Bagi kehidupan Anda rasanya juga begitu. Hey, don’t you think that the circle of friends that He has given to us is within His Perfect Plans as well?

Saya bersyukur untuk teman-teman yang saya jumpai. Entah di Singapura, entah di Vietnam yang baru berapa gelintir, dan banyak pribadi yang dekat di hati yang saya rindukan di Indonesia.

Catatan pertambahan teman ini juga saya dapati bahkan dari dunia maya. Lewat internet, lewat Facebook yang sementara ini masih dilarang di sini, lewat surat elektronik. Saya mendapatkan tambahan teman, yang tidak saya kenal sebelumnya, namun bersedia membaca dan mengomentari secara positif tulisan saya. Serta menyambut baik ide-ide yang saya tuangkan di dokumen ‘Word’ saya. Terima kasih, Anda juga sahabat saya. Walaupun kita belum pernah bertemu, namun saya merasakan ketulusan teman-teman semacam ini. Mereka yang mau berterima kasih kepada orang yang sepertinya kurang kerjaan, menulis tiap hari :) Tidak dikenal lagi :) Anda sungguh berperan besar sebagai motivator saya untuk tetap menulis.

Menulis dan tetap setia menulis…

Kembali ke soal menulis. Boleh saya katakan, ini adalah tahun terobosan dunia tulis-menulis bagi saya. Sebagai seorang ‘foreign institutional dealer’ (dealer saham untuk nasabah dari luar negeri) -posisi terakhir saya- setelah malang melintang dalam kurun waktu sepuluh tahun di perusahaan sekuritas, tak pernah terbayangkan pada akhirnya saya menjadi Ibu Rumah Tangga di negeri orang dan meluangkan waktu untuk menulis untuk pengisi kegiatan harian saya. Tetapi itulah yang terjadi dan harus saya akui, malah saya senang dengan kondisi sekarang ini. Karena ternyata saya menemukan bahwa menulis adalah ‘passion’ saya. Sesuai dengan kata hati saya. Walaupun belum ada buku yang diterbitkan secara solo karir. Tapi, puji Tuhan sudah ada satu buku bersama Domus Cordis (DC), berupa renungan harian wanita (RHW) ‘Treasuring Womanhood’ keroyokan bersama sembilan penulis wanita luar biasa yang bersama-sama berani mewujudkan impian kami. Kepada perempuan-perempuan dalam RHW: Mbak Avi, Angel, Annast, Ika, Lia Ariefano, Zhenny, Mungky, Suster Amanda, dan Yurika… Trimakasih sudah mengajakku bergabung dan tak lupa terima kasih juga buat Riko yang juga selalu mendukungku dari awal ‘Literature Ministry’ di Seksi Kepemudaan BPK KAJ sampai detik ini. God bless you always.

Dan satu buku sedang ‘on the way’ bersama kepala suku saya di satu blog penulis pemula. Saya bersyukur untuk terobosan ini. Mungkin belum spektakuler, tapi saya yakin, Tuhan memberkati benih-benih ‘passion’ di hati saya dan menjadikannya nyata. Thank God!

Dan satu catatan bagi saya pribadi yang amat penting bahwa kenaikan produktivitas penulisan saya yang cukup menggembirakan. Di blog saya ‘ Chapters of Life’ (http://fjodikin.blogspot.com/), sepanjang tahun 2009 sampai sebelum tulisan ini dimuat di sana, telah terdaftar sejumlah 130 tulisan sepanjang tahun ini. Dibandingkan dengan 7 tulisan di tahun 2006 (karena blog dimulai di akhir tahun), 32 tulisan di tahun 2007, 28 tulisan di tahun 2008, saya harus katakan ini satu pencapaian tersendiri bagi saya pribadi.

Semua ini dimungkinkan karena adanya motivator yang mempengaruhi saya. Blog Yuk Nulis, milis Yuk Nulis, Fan Page Yuk Nulis di Facebook, teman-teman Nulisers di tempat kos milik Bu Kos Genevieve Lini Hanafiah. Saya berterima kasih untuk semua kebersamaan kita lewat dunia maya yang amat membantu saya menulis lebih baik lagi. Dikomentari secara positif, diterima, diberi masukan yang amat berharga berupa sadar tanda baca dan EYD serta berusaha menggunakan bahasa kita yaitu Bahasa Indonesia dengan lebih baik lagi, merupakan satu babakan baru di dunia penulisan saya. Tanpa kalian, saya juga tak bisa membayangkan bahwa berkelana di dunia penulisan macam ini, bisa jadi sangat menyenangkan. Sangat ‘adventerous’. Trims sekali lagi buat Lini, Femi, Angel, Cie Grace, Mbak Henny, Mas Pam, Imel, Cie Hanna, Martina (Mbak Tina), dan semua nulisers yang tidak sempat saya sebut satu per satu di sini, yang membuat hidup saya semakin hidup dan heboh. Berselancar di dunia penulisan, jadi ‘exciting’. Gabungan antara menyenangkan dan menantang. Karena kami ditantang untuk lebih baik lagi. Mempersiapkan diri untuk menuliskan sesuatu yang layak baca dan dibacanya tidak sakit mata karena tanda baca yang teratur. Menulis lebih detil, karena menulis adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk menggambarkan kepada para pembaca apa yang ada di pikiran dan imajinasi. Lalu, menuangkannya dalam bentuk kata-kata. Dan bercanda serta bersenda gurau bersama. ‘Ngelawak’ dan ‘ngakak’ bareng. Trims untuk itu semua! Jauh dari kalian pun tak terasa jauh, koq.. (Lebay mode on wakakak…). Love u full :)

Di akhir tahun ini, saya hanya ingin menikmati pencapaian yang mungkin bagi sebagian orang biasa saja ini. Bagi saya pribadi, pencapaian sekecil apa pun adalah pencapaian juga. Saya bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan. Dan saya hendak menikmatinya sejenak, lalu bekerja lebih keras dan belajar lebih baik lagi di tahun depan. Tak pernah terpikirkan bahwa hidup dalam apa yang diimpikan, hidup dalam apa yang dicintai secara tulus, hidup dalam menuruti kata hati yang terdalam, akan jadi begitu menyenangkan. Sekaligus butuh komitmen, keseriusan, dan kemauan untuk menjadi lebih baik. Lewat dunia penulisan, saya menemukannya. Dan saya yakin, Anda pun bisa menemukannya. Apa yang Anda rindukan, di mana Anda menaruh hati Anda di situ, dan berdoa kepada Yang Kuasa untuk bukakan jalan bila itu sesuai dengan kehendak-Nya.

Selamat Natal dan Tahun baru. Semoga di tahun baru mendatang, di tahun 2010, menjadi tahun yang lebih baik bagi kita semua. Menjadi tahun penuh pembelajaran untuk menjadi diri sendiri yang terbaik. Semoga tangan kasih Tuhan selalu menuntun kita semua, di mana pun kita berada. Amin.

HCMC, 24 Desember 2009

-fon-

* buat Lini dan temen-temen nulisers, sebenernya pengen nulis nama lengkapnya bu kos, tapi gak enak hati, ntar seluruh dunia tau…wkwkwkwk…Lop u pul :P


Foto: 'Cover' renungan harian wanita 'Treasuring Womanhood'


Monday, December 21, 2009

Mama…



*** Persembahan buat Mamaku

Ho Chi Minh City, 22 Desember 2009

Hari Ibu

Ma,

Apa kabar? Sudah lama tidak mengirim surat seperti ini. Aku baik-baik saja, Ma. Aku ingat, surat-surat seperti ini adalah surat yang biasa Mama kirimkan ketika aku kuliah di Jakarta. Dengan setia, Mama mengirim kerupuk dan kemplang Palembang kesukaanku, dan beberapa barang kebutuhan lainnya yang tampaknya sepele alias kurang perlu, tapi Mama selalu mengingatnya sebagai kebutuhanku di rantau. Kali ini, aku ingin membalas surat-surat Mama itu ke dalam surat elektronik untuk menuangkan perasaanku.

Ma,

Mungkin Mama tak pernah tahu, bahwa tangan Mama yang sekarang mulai berkerut dan berkeriput itu, dari dulu amat membantuku. Teringat ketika aku terjatuh ketika mencoba meraih ring tempat bergelantungan seperti ‘monkey bars’ di zaman sekarang ini, Ma. Dan sebelum sempat meraih bulatan itu, aku terlanjur jatuh. Kakiku sakit dan kondisinya parah. Berminggu-minggu aku terbaring di rumah. Sudah dipanggil tukang urut langganan ke rumah, sudah ke sin she, tapi belum juga sembuh. Kupikir aku akan pincang, atau kakiku takkan kembali seperti semula. Akhirnya, Mama yang tiap malam mengurut kakiku dengan campuran ramuan yang ada beras kencurnya. Aku tidak ingat sisanya campuran itu apa saja, tapi yang pasti Mama dengan setia setiap malam membalurkan sekujur kakiku. Sampai sakit itu hilang, sampai sakit itu tergantikan dengan setiap kelembutan usapan Mama yang kurasakan. Aku sembuh!

Ma,

Waktu aku mau kuliah ke Jakarta, aku ingat, aku sangat sedih. Mama juga sama sedihnya. Dasar kita sama-sama perasa dan mudah meneteskan air mata ya, Ma…Kita menangis tak kunjung henti. Tapi, aku tahu, hidup berjalan. Aku harus pergi untuk melanjutkan kuliah. Walaupun waktu itu aku amat memikirkan Mama. Siapa yang bakal bantu Mama ‘mixer’ kue bolu kukus yang Mama titipkan di pasar? Karena semenjak Papa jatuh sakit dan hampir tak bisa kerja keras, Mama yang turun tangan membantu keluarga kami. Aku harus katakan, aku mengagumi ketegaran Mama. Di balik keibuan dan bagi sebagian orang ‘kelemahan’ karena terkesan lembut, Mama tetap ‘perkasa’ di mataku. Perkasa, karena sepeninggal Papa, Mama tak pernah berpikir untuk kawin lagi. Padahal ada beberapa pria yang mencoba mendekati Mama. Mama setia untuk menyediakan waktu sepenuhnya bagi anak-cucunya. Aku terharu dan berterima kasih.

Ma,

Mungkin Mama tak pernah tahu, sampai hari ini, di mana segala yang Mama lakukan sudah menjadi ‘slow motion’. Karena usia, karena kecepatan yang semakin menurun, karena kondisi yang tak seprima dulu. Oh, Mama masih kuat, itu betul, tapi dengan berjalannya waktu, Mama semakin hati-hati dalam melakukan segalanya. Aku tetap berterima kasih, untuk waktu yang Mama sediakan bagi kami. Membesarkan kami, merawat kami, sampai kami jadi seperti hari ini.

Belum lagi, ketika tangan yang sama, memandikan anakku. Mencuci popoknya. Terima kasih, Ma. Sungguh dari hatiku yang terdalam. Terima kasih untuk semua waktu yang masih bisa kita nikmati bersama. Terima kasih untuk semua cinta dan perhatian tanpa pamrih yang Mama berikan. Melihat apa yang sudah Mama kerjakan bagi kami, malu rasanya bagiku untuk menyebut diriku Ibu yang ideal, karena bagiku yang ideal sudah menjadi contoh selama hidupku. Tentu Mama tidak sempurna, tapi bagiku Mama hampir sempurna. Mama tak pernah menuntut lebih, Mama sangat menerima, Mama sangat baik.

Maafkan aku, Ma…Kalau aku terkadang pernah melontarkan kata-kata yang menyakiti Mama. Disengaja maupun tidak. Yang pasti, dalam hatiku, tak pernah kumaksudkan kata-kata itu untuk melukai Mama. Aku tidak selalu bisa mengontrol mulutku, tapi aku sadar, bahwa Mama mampu melakukannya.

Terima kasih untuk setiap contoh yang Mama berikan. Kesaksian hidup Mama, jauh lebih berarti dari apa pun teori tentang ‘motherhood’ atau ‘parenthood’ yang pernah kubaca atau kudengar.

Selamat Hari Ibu, Ma! Juga buat seluruh ibu di seluruh dunia. Kita tak bisa selalu bisa meninggalkan harta berlimpah kepada anak kita, tapi semoga kita bisa meninggalkan kesan mendalam lewat tingkah laku sehari-hari. Seperti yang Mama lakukan. Seperti yang Mama goreskan dalam hidupku.

‘I’m proud to be your daughter’. Aku bangga punya Mama seperti Mama!

Salam penuh cinta dari anakmu,

-fon-

* Selamat Hari Ibu untuk semua Mama di seluruh dunia. Terberkatilah Ibu dan doaku semoga diberi kekuatan baru menghadapi hari-hari mendatang…

Sumber Gambar:

http://www.irvinehousingblog.com/images/uploads/20095early/mothers_day_03.jpg

Sunday, December 20, 2009

Damai di Bumi



*** Cerpen Natal

Sebagai seorang ibu dari seorang anak yang bersekolah di sekolah internasional, aku terkadang suka pusing. Bukannya kenapa, karena ekonomi kami sebetulnya pas-pasan. Rizky bisa masuk ke sekolah itu karena pertolongan dari kepala sekolahnya yang memberikan keringanan berupa bea siswa, karena tahu keluarga kami bukan tergolong mampu. Sisi lain yang terasa sulit bagi kami untuk beradaptasi adalah gaya hidup para murid dan orang tua di sekolah tersebut. Sekolah yang bernama ‘Star International School’ dan berlokasi tak jauh dari rumah kami di daerah Tangerang, memang menjadi pilihan bagi banyak anak selebriti, orang kaya dan tak jarang beberapa konglomerat katanya. Aku tak tahu pasti, tapi yang aku tahu pasti, kami sering kewalahan ketika mendapat undangan untuk pergi ke pesta ultah teman Rizky. Paling tidak di restoran cepat saji dan dihadiri oleh ratusan orang. Kalau tidak, ini yang lebih parah yang pernah kami terima, di hotel berbintang empat atau lima.

Biasanya kami hanya memberi kartu ucapan selamat dan itu pun diberikan kepada anak yang berulang tahun, sehari sesudahnya. Karena Rizky tak pernah kami ajak ke sana. Sebelumnya pernah satu dua kali kami hadir, kalau itu di restoran cepat saji. Tapi sering kali kami harus menahan diri dari kekesalan akibat dilecehkan oleh orang-orang berduit yang berlabel pengusaha yang sering menghina Rizky dan aku sebagai ibunya. Kami bisa menulikan telinga kami, tapi terkadang beberapa kata itu sudah terlanjur masuk ke hati, dan melukainya. Kalau hanya aku yang dilukai, masih tak mengapa. Tapi Rizky? Anak berumur sepuluh tahun itu rasanya masih terlalu muda untuk mengerti kejamnya dunia. Awalnya, kami sadar, bahwa ini yang akan terjadi. Namun, kami tak menyangka efeknya akan jadi begitu besar. Walaupun saya menyadari, tidak semua orang kaya sombong, dan tidak semua orang miskin rendah hati, tapi apa yang saya alami di sekolah internasional ini setidaknya membuka mata saya sekali lagi. Lebar-lebar.

Liburan kali ini, Rizky bilang, seluruh temannya sudah berlomba-lomba cerita tentang liburan ke Disneyland. Beberapa akan ke Hongkong, beberapa akan ke Jepang, dan beberapa akan ke Amerika Serikat. Bagi Rizky dan aku yang hanya ibu rumah tangga dan bersuamikan bapaknya Rizky yang hanya pegawai rendahan di perusahaan sekaligus pabrik kecap ternama di Indonesia, kami sadar sesadar-sadarnya bahwa liburan Natal bagi kami hanyalah tinggal di rumah saja. Tahun baru juga nonton televisi lokal tanpa fasilitas TV kabel, karena memang kami tak punya. Rizky hanya diam saja, sama seperti ibunya yang sering kebingungan kalau melihat kecanggihan para orang tua itu bertutur kata ketika pertemuan orang tua murid dan guru. Belum lagi dandanan mereka yang jet set, tas seharga puluhan juta, baju-baju keren bak artis sinetron dan rambut yang selalu rapi karena habis ‘blow’ di salon. Terkadang membuat diriku yang sudah merasa kecil, semakin minder dengan keadaanku. Bersandal sepatu warna hitam yang kubeli di toko di pasar, tas murah yang mudah-mudahan tak terkesan murahan warna hitam pula, lipstick warna merah muda dan polesan bedak ringan di kulitku, hanya itu yang kulakukan. Sementara rambut panjangku yang menyentuh pinggangku, kukepang kecil-kecil dan kubentuk sanggul. ‘Home made’, kreativitas sendiri, tanpa salon.

Jangan pernah berpikir bahwa kami tak pernah mempertimbangkan agar Rizky keluar dari sekolah itu. Beban mentalnya terlalu berat bagi kami, belum lagi Rizky. Namun, setelah dua kali kami menyatakan kepada Kepala Sekolah ‘Star International’ bahwa Rizky akan berhenti, tiap kali Kepala Sekolah pun memberikan dukungan berupa bea siswa sampai selesai O Level nantinya. Semakin pusing kami dibuatnya. Akhirnya kami teruskan, walaupun hati setengah bimbang. Bea siswa itu ditawarkan bukannya tanpa alasan, karena dari sejak masuk sampai hari ini Rizky selalu menduduki ranking pertama dari berapa pun kelas yang ada. Dia juara umum. Terima kasih kepada Tuhan, dalam kesederhanaan kami, Tuhan beri kepercayaan mendidik seorang anak pintar yang sebetulnya sangat penurut pada orang tua. Tapi tidak belakangan ini…

Terpengaruh suasana Natal yang ditampilkan di sekolah, omongan teman-temannya, dan iklan-iklan di TV, Rizky pun merengek pada kami untuk pergi ke luar negeri. Minimal Singapura katanya. Naik pesawat murah pun tak mengapa kata Rizky, tokh sekarang sudah tak perlu bayar fiskal kalau sudah punya NPWP (entah dari mana Rizky tahu, tapi dia bisa mengulangi hal ini kepada Bapaknya). Karena dia terus dihina teman sekelasnya yang bilang satu-satunya orang yang paling kuper di kelas dan tak pernah ke luar negeri adalah Rizky.

“ Nak, Ibu saja belum pernah ke luar negeri sampai hari ini. Bukannya Ibu tak mau, tapi Ibu tahu diri, karena gaji Bapak hanya cukup buat makan kita sekeluarga dan sedikit tabungan kita. Ibu mau sekali pergi sama kamu dan Bapak, tapi kita masih belum mampu, Nak…” Dengan sedih kuungkapkan kalimat-kalimat itu. Mengharapkan anakku mengerti. Bahwa kami cukup walaupun kami tak pernah ke luar negeri. Kami cukup, walaupun kami tak bisa merayakan ulang tahun Rizky di hotel berbintang empat atau lima. Kami cukup. Kami jauh lebih baik daripada mereka yang tak mampu makan tiga kali sehari, dari mereka yang harus mengais makanan dari tempat sampah guna menyambung hidupnya hari itu. Kami cukup.

Hatiku sedih sekaligus bahagia. Bahagia karena sadar, keadaan kami tidak terlalu buruk dibandingkan mereka yang lebih sulit daripada kami. Sedih, karena orang tua mana yang tak ingin memenuhi keinginan anaknya? Tapi kami memang belum mampu. Mau bilang apa…

Rizky memandangku dengan sedih. Dia amat kecewa, tapi dia berusaha tegar dan menerima.

“ Baiklah, bu… Kalau begitu, Rizky mau belajar yang pintar, biar dapat bea siswa ke luar negeri. Ke Singapura atau ke Inggris, Rizky mau lihat dunia!”

“ Gitu dong, anak ibu! Jempol!”

Aku senang melihat semangatnya yang bangkit lagi seperti itu. Aku senang bahwa dia tidak terpuruk dalam dukanya, malah melihatnya sebagai motivasi untuk berusaha lebih keras. Semoga Tuhan bukakan jalan untukmu, Nak… Semoga Tuhan juga melindungi setiap langkahmu di lingkungan keras seperti itu yang harus kaujalani tiap hari…

Seminggu sebelum Natal

Libur telah tiba. Aku dan Rizky tak ke mana-mana. Paling ke supermarket dekat rumah kami. Berbelanja sedikit, sesuai kantong kami. Kalau berbelanja banyak-banyak, uang dari mana? Rizky cukup senang hati ketika kubelikan cokelat Natal kecil. Dan kami pun membeli beberapa bungkus permen untuk diisi di dalam stoples. Bukankah suasana keceriaan tak harus mahal? Bukankah kami tetap berhak menikmati sedikitnya keceriaan itu walaupun tak mampu ke luar kota ataupun ke luar negeri?

Sepulang dari supermarket, di depan gang, kami jumpai beberapa anak kecil anak Bu Dullah, tetangga kami. Mereka saling berebut permen. Permen yang hanya dua butir, diperebutkan oleh empat anak Bu Dullah. Melihat hal itu, Rizky otomatis menjulurkan sekantong permen yang dipegangnya. Permen yang kami beli tadi. Sehingga mereka tak lagi ribut, malahan tersenyum dan berterima kasih pada Rizky. Lucu melihat gigi mereka yang sebagian ompong, tapi masih menyeringaikan senyum kepada kami. Sebungkus permen seharga lima ribu rupiah itu kami sumbangkan. Dengan rela. Karena kondisi Pak dan Bu Dullah lebih parah dari kami. Pak Dullah penjual sate ayam keliling dan Bu Dullah sesekali menerima jahitan baju. Walaupun dia hampir tak ada waktu menjahit sebetulnya karena masih harus mengurusi empat anak yang masih kecil-kecil. Yang tertua tujuh tahun, yang terkecil satu tahun setengah.

Rizky tersenyum. Aku pun bahagia. Rizky tahu artinya berbagi.

Di rumah, kembali aku puji dia, “ Nah, begitu dong, anak baik… Lihat, masih banyak yang lebih susah dari kita, Rizky. Mereka sekolah saja sulit, belum tentu bisa tamat. Rizky bisa sekolah di ‘Star’ itu sudah bagus.”

“ Betul, Bu.. Sekarang Rizky tambah sadar…Bahwa omongan Ibu memang benar. Rizky harus bersyukur.”

Tak lama kemudian kami menyalakan televisi. Kali ini ada berita kurang menyenangkan, sebuah pesawat internasional yang membawa dua ratus penumpang dan sepuluh awak pesawat, dinyatakan hilang. Dan pesawat itu bertujuan ke Hongkong. Rizky terkejut luar biasa, karena dia tahu, beberapa temannya sudah bicara padanya akan berangkat seminggu sebelum Natal ke Hongkong Disneyland. Dan karena penerbangan di akhir tahun selalu penuh, mereka sudah memesannya jauh-jauh hari dan Rizky tahu pula mereka naik pesawat apa dan jam berapa. Rizky tercengang. Tak mampu berkata-kata…

“ Rizky, kita doa, yuk… Doakan teman-teman kamu dan keluarganya yang ada di pesawat itu.” Kami pun masuk ke kamar dan berdoa sejenak.

Tak lama, nama-nama penumpang pun terpampang jelas. Rizky benar, setidaknya ada lima keluarga teman Rizky yang masuk di pesawat itu. Kami tertegun. Menghela nafas. Tuhan, berikan mereka pengampunan. Dan berikan keluarga yang ditinggalkan kekuatan untuk melangkah.

Rizky masih tertegun dan wajahnya masih ‘shock’. Masih terkejut. Namun, aku sadar, hari ini dia belajar sesuatu. Bahwa Natal tak selalu identik dengan pesta pora, bahwa Natal tak selalu sama dengan liburan mewah ke luar negeri, bahwa Natal tak selalu harus memberi hadiah mahal yang dianggap murah karena dibeli waktu ‘sale’ di mal ternama. Bukan hanya karena kami tak mampu menikmati semuanya itu. Memang kami belum mampu, tapi apakah esensi Natal hanya sebegitu dangkalnya? Bukankah Natal juga berarti berarti mendoakan mereka yang kurang beruntung. Natal kali ini berarti mendoakan mereka yang mendapat musibah. Natal berarti berbagi kepada mereka yang berkekurangan seperti keluarga Bu Dullah. Natal berarti mampu mensyukuri apa yang ada dan tidak mengeluhkan apa yang nampaknya selalu kurang saja di mata ini. Natal berarti mengingat kembali bahwa Sang Juru Damai datang untuk membawa damai-Nya dan kasih-Nya ke dunia yang penuh luka ini.

Damai dari surga pelan-pelan menyebar ke hati kami. Di rumah kontrakan kami yang sederhana, berdinding kayu dan berpagar hitam yang sudah sedikit berkarat, damai itu kami rasakan. Dan semoga keluarga yang ditinggalkan dari para korban kecelakaan pesawat tadi, walaupun amat sangat pedih, bisa pelan-pelan dipulihkan oleh kasih-Nya. Semoga damai-Nya tetap terasa di mana pun kita berada. Semoga damai-Nya meliputi setiap hati di bumi senantiasa. Hidup sering membawa kita kepada kejutan yang menyenangkan ataupun menyedihkan. Namun, damai-Nya semoga tetap menaungi hati kita, dalam apa pun yang terjadi. Pahit atau manisnya hidup ini, damai Tuhan selalu sertamu.

Selamat Natal, selamat berbagi kasih dan bersyukur untuk apa yang dimiliki, bukan apa yang tak dipunyai…

HCMC, Desember 21, 2009

-fon-

* let’s coming back to the essence of Christmas, God so loved the world, that He gave His only Son…. Peace be with you. Selamat Natal!

Sumber gambar:

http://www.thewayncc.org/images/Peace%20On%20Earth%20Hands.jpg

Serial Anak Kampung di Rantau (Bagian ke-4)


Setelah agak tertunda sekitar beberapa minggu, serial ini balik lagi. Mungkin ke depannya, setidaknya saya usahakan untuk menuliskannya sebulan sekali. Moga-moga bisa konsisten :) Inilah pengalaman saya di negeri orang…

Ben Thanh Market (Cho Ben Thanh) di sore hari…

Setelah bagian dalam pasar tutup, sekitar pukul 6 sore, saya melihat para pedagang sibuk dengan gerobak kayu yang ada roda di bawahnya dan bersiap membawa tenda-tenda, kardus kayu atau kotak plastik, untuk mempersiapkan restoran mereka di malam hari. Mereka bekerja keras, gesit, dan amat cepat. Dalam sekejap, siaplah tenda-tenda itu lengkap dengan meja kursinya, dan kami pun bisa memesan makanan di sana. Saya agak kasihan sebetulnya mereka berlari-lari tergopoh-gopoh untuk segera mempersiapkan tenda rumah makannya. Namun, suami saya berujar, ‘ life is tough’. Hal yang mungkin terlupakan bagi banyak orang termasuk saya di saat itu, hidup memang tak selalu mudah. Hidup memang perlu perjuangan.

Anggaplah kondisinya sedikit banyak mengingatkan saya pada daerah Pecenongan di Jakarta Pusat, di mana para pedagang buka setelah toko di dalamnya tutup. Dan makan di pinggir jalan di Ben Thanh di malam hari memang membawa suasana berbeda.

Kami mampir di restoran yang menjual ikan bakar, udang dan teman-temannya. Untuk kedua kalinya, kami makan udang rebus yang disusun rapi di atas kelapa muda. Menarik juga ya! Entah ada tidak cara penyajian serupa di Indonesia. Sambil berusaha meningat-ingat, udang dan ikan sudah masuk ke perut. Nyam-nyam…! Di restoran ini, setidaknya saya bisa makan tanpa sakit kepala. Harga yang terjangkau dan rasa yang enak. Memang sih pinggir jalan, but who cares? Lagian saya penikmat kuliner biarpun di pinggir jalan. Itu seninya :)

Setelah puas berbelanja di pasar malam Ben Thanh, kami pun pulang. Setelah sebelumnya membeli kue-kue semacam getuk tapi dengan parutan kelapa. Enak sih, tapi sepertinya penjual memainkan harga. Ketika dipikir kami orang Vietnam, dia jelas-jelas mengatakan, “ Nam nghin” yang berarti lima ribu dong per bungkus Tetapi ketika kami membayar, dia minta sepuluh ribu dong per bungkus. Dengan hati sedikit kesal, kami bayar pula dan berlalu. Tapi, ya resiko, tak bisa bicara dalam bahasa Vietnam. Kondisi ini amat berbeda, ketika saya pergi ke pasar di dekat rumah. Pedagang yang masih jujur dan polos, memberikan saya harga-harga yang sama dengan yang dijual kepada orang lokal. Walaupun mereka tahu, saya masih kesulitan untuk bicara dalam bahasa mereka. Namun, setidaknya saya mulai memakai angka-angka dalam bahasa Vietnam. Walaupun masih bengong dan sulit mengerti kalau mereka bicara terlalu cepat. Tapi setidaknya saya berusaha.

Saigon Notre-Dame Basilica (Vietnamese: Vương cung thánh đường Đc Bà Sài Gòn or Nhà th Đc Bà Sài Gòn)

Ketika bicara dengan beberapa sopir taksi yang tidak berbahasa Inggris, mereka bingung jika saya bilang Saigon Notre-Dame Basilica. Beberapa kali akhirnya saya mengucapkan ‘Duc Ba’, dan kata ini lebih dimengerti. Walaupun terkadang mereka bingung, akhirnya saya memperjelas dengan ‘Nha tho Duc Ba’ yang berarti Gereja Duc Ba. Eniwei, buswei, di sanalah saya misa selama beberapa minggu terakhir. Misa 09.30 di hari Minggu adalah Misa Berbahasa Inggris. Saya sempat datang pukul delapan pagi dan berada di tengah-tengah misa Bahasa Vietnam di sana. Itu dikarenakan saya mencari satu gereja lain di Ton Dhuc Thang yang menurut info dari tetangga di apartemen juga memiliki misa berbahasa Inggris, tapi ternyata tidak ada misa pukul delapan pagi, jadi saya meneruskan perjalanan ke Duc Ba.

Duc Ba dipenuhi para turis yang sibuk menjepretkan kameranya dan merekam dengan ‘handycam’ pula. Duc Ba memang cukup indah. Terutama bagian depannya, arsitektur yang unik ini menjadi tempat foto ‘wedding’ terkemuka di sini. Terlihat dari tiap minggu ada banyak pasangan berbaju pengantin yang difoto di seputar gereja. Sang ‘Cameraman’ sampai seru juga jongkok di pinggir jalan, agak melupakan kondisi lalu lintas yang simpang siur di Vietnam ini…

Bel gereja pagi ini saya lihat berhiaskan hiasan natal berwarna perak dan emas. Dililit pita semacam pita Natal dari bawah sampai ke atas. Yang menarik bagi saya, di dalam Duc Ba, terletak banyak Santa/Santo yang disediakan tempat berdoa plus meletakkan lilin. Di sekeliling bagian dalam gereja, penuh dengan Santa/ Santo. Termasuk Bunda Maria, Santo Petrus, Malaikat Mikael, Santa Anna, dan banyak lagi yang saya tak ingat satu per satu. Di depan gereja sendiri, patung Bunda Maria yang besar mendominasi pekarangan yang dihiasi tanaman. Tempat banyak orang berdoa dan berdevosi kepada Bunda.

Banyak turis yang duduk ikut misa, sehingga ketika misa berlangsung banyak yang tidak menerima komuni. Sementara antrian komuni tidak serapi di Singapura atau Indonesia, cukup berantakan. Saya hari ini juga mengalami kebingungan kapan harus maju untuk komuni. Akhirnya maju bersama sebelah saya dan diselak oleh orang-orang yang kami selak, bingung? Iya, belum biasa seh…

Selesai misa kembali jepretan kamera dan rekaman ‘handycam’ memenuhi Duc Ba kembali. Ini memang salah satu tempat wisata di HCMC.

Saigon Central Post Office (Vietnamese: Bưu đin Thành ph H Chí Min)

Kantor Pos Pusat Saigon, juga menjadi pusat atraksi dan pariwisata di sini. Karena bangunan ini juga sudah berdiri cukup lama, awal abad ke-20 menurut Wikipedia. Dan lokasinya yang di pusat kota, berseberangan dengan Saigon Notre-Dame Basilica menjadikannya mudah dijangkau. Di kiri kanan sebelah dalam Kantor Pos ini, tersedia souvenir. Sementara foto ‘Uncle Ho’ ( Ho Chi Minh) terpampang lebar-lebar di bagian tengah kantor pos ini.

Dari pintu masuk menghadap ke dalam, sebelah kirinya penuh deretan telepon umum semacam kamar-kamar wartel yang berisikan telepon, satu kursi dan meja kecil. Ruangan wartel yang sejuk ber-AC sering dimanfaatkan anak kami untuk bermain dan ‘mengadem’ sejenak…

Setelah ke gereja, pastinya mampir ke kantor pos bagi para turis adalah hal yang biasa. Satu paket sepertinya…

Suasana Natal di HCMC

Suasana natal sudah mulai mendominasi banyak jalan di HCMC. Bahkan di apartemen kami, sudah dipasang Santa dengan keretanya plus rusa-rusa. Ada pula rumah kecil terbuat dari styrofoam. Dan di banyak tempat, termasuk di dalam Tax Center di pusat kota, sudah berdiri beberapa pohon natal di dalam mal dan di luar penuh hiasan Santa dan sebagainya. Memang suasana yang dihadirkan amat berbeda dengan Singapura. Yang kinclong habis luar biasa, yang memang indah dan mewah. Namun, dalam kesederhanaan HCMC, saya bisa melihat kehangatan di sini. Kebahagiaan warga yang sederhana karena hiasan Natal yang sederhana saja, bisa memperlihatkan kepada saya bahwa negara ini penduduknya lugu, belum terlalu terkontaminasi materialisme tingkat tinggi. Sehingga kemampuan mereka mensyukuri apa yang ada, biarpun itu sederhana, membuat saya terharu dan belajar dari mereka. Bersyukur dalam kesederhanaan sekali pun. Tentu saja, beberapa apartemen mewah, mal mahal, juga terkesan ‘wah’. Tapi di luar itu semua, kesederhanaan kota ini secara keseluruhan, mengingatkan saya akan kenangan di kota Palembang, kampung halaman. Dan mengingatkan saya pula untuk mensyukuri sekecil apa pun berkat dari yang di atas.

Natal ini, akan jadi Natal pertama kami sekeluarga di Ho Chi Minh City. Segala sesuatu sungguh di luar perkiraan. Namun, memang Tuhan bekerja di luar akal manusia, bukan?

Kunikmati kehidupan di negeri asing yang tak terlalu jauh dari Indonesia. Dengan bahasa yang masih cukup asing, suasana keramahan yang hangat, dan hati yang terbuka terhadap perubahan yang Tuhan berikan kepadaku…

HCMC, I’m ready to celebrate Christmas and New Year this year!

HCMC, 20 December 2009

-fon-

* wishing you all: Merry Xmas and Happy New Year!

sumber gambar:

http://du-lich.chudu24.com/f/d/090402/duc-ba-sai-gon.jpg