Saturday, February 27, 2010

Ketika Gempa...


Ketika gempa, aku hanya bertanya apa ada Saudaraku yang kena?
Ketika gempa, aku hanya bertanya, apa nanti tsunaminya akan lewat sini?
Ketika gempa, yang kuingat koq hanya melulu keselamatan diriku dan keluargaku?
Apa aku pernah peduli dan memikirkan ribuan orang yang keselamatannya terancam?
Apa aku pernah memikirkan jutaan orang yang berpotensi terkena tsunami atau gempa susulan?

Ketika gempa, kusadari,

aku masih jauh dari mengerti.

Bahwa ada rencana di balik semua ini.
Ketika gempa, kusadari,

kalau aku dan hanya diriku,

masih jadi orang penting sejagad ini.

Sehingga aku tak lagi memikirkan orang lain yang tengah berduka dan menderita.

Ketika gempa, aku koq jadi mendadak malu lagi.

Dan tiba-tiba juga menjadi kasihan pada mereka yang sengsara dan menderita.

Tuhan, buang jauh egoisme kami…

Berilah kami hati yang mau memikirkan orang yang kesusahan dan menderita.

Terutama para korban gempa.

Kami tak pernah tahu, Tuhan.
Apa rencana-Mu di balik semua ini.

Yang aku tahu pasti,

semoga aku menjadi lebih peka dan sensitif akan penderitaan orang lain.

Dan semoga,

para manusia yang sering mengeksploitasi hidup tanpa memikirkan kelanjutan kehidupan itu sendiri disadarkan dan mendapatkan pengertian baru,

bahwa apa yang mereka lakukan tak benar dan tak pada tempatnya.

Ketika gempa,

ketika bencana tiba,

mudah-mudahan aku tak jadi orang yang hanya lari pada-Mu

hanya ketika kesulitan tiba, Tuhan.

Ajarku tetap setia.

Sampai akhir nanti,

apa pun yang terjadi.

HCMC, 27 February 2010

-fon-

* berita gempa di Chile dan susulan tsunami di banyak negara membuatku berpikir, apa aku (baca: kita) masih saja mementingkan diri sendiri. Ini saatnya untuk keluar dari diri, berdoa, membantu semampu kita, dan juga melestarikan apa yang seharusnya kita jaga-hadiah dari Tuhan berupa alam ini.

Mari, selagi masih ada waktu, kita bergandeng tangan menuju terwujudnya dunia yang semakin layak untuk dihidupi. Mulai dari diri kita sendiri hari ini.

Sumber gambar:
http://www.sciencephotogallery.com/image/1906-san-francisco-earthquake-damage_1041149.jpg

Friday, February 26, 2010

Lapar


Dikaisnya tempat sampah itu. Ternyata hari ini dia cukup beruntung. Di tempat sampah yang baunya menyengat itu, dia temukan sebungkus nasi. Tepatnya sisa nasi Padang yang sudah tinggal tak sampai separuh, kuah gulai yang berwarna kuning, plus sedikit cabai hijau. Tak lama, ketika dia mengais dan mengorek lebih dalam, ditemukannya beberapa lembar roti tawar. Hari ini mungkin nasib baik berpihak padanya. Karena tiga lembar roti tawar itu masih cukup baik, hanya sedikit yang berjamur. Tak seperti hari-hari sebelumnya. Rotinya bisa dia simpan buat sarapan. Sementara nasi Padang jadi menu makan malam ini. Dia menelan air liurnya. Terbayang sudah kelezatan nasi Padang itu di pikirannya. Sampai seseorang yang tak dia sangka-sangka datang dan merebut makanan lezatnya itu!

“ Jangan!” teriaknya spontan.

“ Kasih ke aku, Din!” suara itu garang dan mengancam. Sambil sudah menarik bungkusan itu dari tangan Didin.

“ Jangan, Mbak Puput! Didin sudah kelaparan setengah mati. Didin sudah berhari-hari tidak makan. Hanya minum air dan sisa biskuit dua hari yang lalu. Didin kelaparan! Jangan ambil!” Didin mulai menangis. Rasa lapar tak lagi mampu ditahannya. Didin, anak berumur tiga belas tahun itu, tak kuasa melawan Mbak Puput. Kepala pemulung di daerahnya yang lebih berkuasa, lebih berumur, dan lebih dewasa.

Sia-sia saja upaya Didin mempertahankan nasi bungkusnya. Mbak Puput merebutnya, menghabiskannya di hadapan matanya. Sementara Didin hanya gigit jari. Terpaksa lembaran roti tawar itu jadi makan malamnya. Sambil menangis kencang, ia merasa pelan-pelan ada satu perih tak terlukiskan di hatinya. Dia berjalan, duduk di sisi tong sampah besar, di daerah tempat tinggal pemulung yang terletak bersebelahan persis dengan tempat pembuangan sampah. Mbak Puput bergegas pergi, tak peduli. Menghampiri anak kecil lain bawahannya yang memiliki makanan hasil mengais dari tempat sampah juga. Mbak Puput memang tinggi besar, gemuk padat, dan selalu kelaparan. Perempuan berumur tiga puluhan itu selalu mampu mengambil jatah makanan anak-anaknya hari itu. Apalagi ketika mereka sedang tak beruntung kena inspeksi mendadak seperti nasib Didin.

Didin menangis, dia tak tahu harus makan apa dia besok?

***

Sementara di rumah tak jauh dari pembuangan sampah itu, di rumah bercat putih dan berpagar hitam yang tinggi menjulang, makan malam tengah terselenggara dengan sempurna.

Seluruh menu empat sehat lima sempurna telah terhidang di hadapannya. Namun, Sheila tak berselera. Udang goreng mentega, ayam bakar bumbu rujak, sayur brokoli cah saus tiram, nasi putih, sampai makanan penutup sudah tersedia rapi. Tiga orang pembantu di rumah itu membuat Sheila lebih dari cukup perhatian untuk semua kegiatannya di rumah.

Namun, dia tak nafsu makan. Hilang semua seleranya, ketika baru saja Papi menelpon dan bilang tak akan makan di rumah karena tiba-tiba ada ‘meeting’ mendadak dengan para pemegang saham. Sementara Mami yang tengah sibuk dengan kegiatan sosialnya, berkunjung ke luar kota dengan kelompoknya karena mereka mau mengunjungi panti asuhan di sana. Dan setelah pulang di hari Minggu, Seninnya Mami harus berangkat lagi. Kali ini ke Hongkong, kalau tidak salah mendapatkan salah satu penghargaan atas kegiatan sosialnya untuk tingkat Asia. Entahlah, Sheila tak mengerti kegiatan Mami yang bejibun itu. Dia hanya duduk diam termenung, tak bisa menyuapkan satu sendok makanan pun ke mulutnya. Tiba-tiba dia merasa kenyang!

Langsung ditujunya saja internetnya, tempat ia mencari hiburan atas kesepiannya. Mulai dari situs pertemanan, chatting, sampai musik online. Dan tak lupa, Sheila juga merambah situs-situs terlarang guna mencari kepuasan batin dan setelah itu dia mencari pacar yang diharapkan mampu mengisi kekosongan hatinya. Namun, tak juga ditemukannya yang sejati. Dia hanya terus jatuh dan jatuh lagi. Dari pelukan lelaki yang satu ke pelukan lelaki yang lain. Guna memuaskan rasa lapar dan dahaganya akan cinta.

Dan berharap suatu saat nanti, dia akan menemukan bahagianya.

***

Sheila dan Didin adalah gambaran yang nyata akan rasa lapar di sekitar kita. Ada kalanya lapar itu berarti harafiah: perut yang tak terisi dan terpaksa puasa sekian hari karena kemiskinan yang membelit dan tak mau pergi. Sehingga inflasi dan kenaikan harga makanan tak lagi mampu diimbangi dengan daya beli. Tak lagi mampu makan nasi, terpaksa diencerkan: makan bubur. Tak lagi mampu makan beras, terpaksa makan tiwul. Tak lagi mampu makan sehari sekali, terpaksa makan dua hari sekali.

Banyak sekali yang masih kelaparan di dunia ini. Di sekitar kita. Tetangga kita. Di jalanan di lampu merah, di sudut-sudut kumuh yang jauh dari gemerlapnya metropolitan dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Lapar, menahan perut yang lapar, bisa membuat orang ganas. Dan bukan tak mungkin, hanya karena setengah nasi bungkus yang diperebutkan, terjadi bakuhantam dan nyawa bisa begitu entengnya melayang.

Tak kalah gawatnya adalah kondisi kurang kasih sayang. Lapar akan cinta, lapar akan kasih yang sejati. Yang tak pernah didapat dari keluarga. Tak dimiliki dari rumah, walaupun mungkin berlimpah harta dan hidup berkecukupan. Ketika orang tua tak lagi punya waktu yang cukup bagi anaknya. Ketika kesibukan cari uang, kesibukan cari popularitas dan kesibukan yang begitu menggoda di luar sana membuat ayah dan ibu terlena seketika bahkan lupa akan anak-anaknya di rumah. Mereka mencari dan merindukan kasih itu. Sampai kapan pun, akan selalu ada perasaan hampa. Sebanyak apa harta yang diberikan orang tua tak lagi bermakna. Sebanyak apa kegiatan yang diharapkan bisa menjadi alat pemuas kelaparan kasih dalam dirinya tak juga bisa memuaskan dahaganya. Sheila masih mencari. Dan masih banyak Sheila-Sheila lainnya dalam hidup ini yang masih terus mengais tong sampah kekosongan dalam hatinya dan berharap menemukan makanan bagi jiwanya.

Di sekitar kita, bahkan di rumah kita mungkin ada Sheila. Di lingkungan kita mungkin ada Didin. Mungkin kitalah Sheila itu sendiri. Mungkin Didin itu anak tetangga kita yang kita kenal. Mungkin dan mungkin….

Dunia ini penuh kelaparan. Mari kita yang tengah atau sudah lebih kenyang, berbagi kepada mereka yang menangis kelaparan. Kita bisa menjadikan dunia ini lebih baik. Setidaknya, dengan mulai membagikan apa yang kita miliki dan bersimpati dengan mereka yang kekurangan. Saling berbagi, semoga jadi kunci menuju dunia yang semakin penuh kasih. Semoga harapan ini bisa kita sama-sama wujudkan. Itu doa saya.

HCMC, 27 February 2010

-fon-

Sumber gambar:

http://www.istockphoto.com/file_thumbview_approve/5205956/2/istockphoto_5205956-hungry-for-love.jpg

Wednesday, February 24, 2010

Jangan Dikira…



Jangan kira di balik foto penuh senyum di fesbuk, YM, atau friendster seseorang berarti dia orang yang suka senyum selalu. Ada kalanya manusia bisa marah, kesal, kecewa. Ada kalanya dia jatuh, gagal, terpuruk. Ada kalanya dia berusaha bangkit dengan susah payah, sesudah mampu berdiri malah terjatuh lagi. Lebih dalam terjerembap dan lebih menyakitkan.

Jangan dikira di balik kebisuan seseorang dalam diamnya, dia tak pernah mengeluh. Justru dalam doanya ditumpahkanlah semuanya: keluh-kesah, amarah, dan bahkan tawa. Di balik sikap introvertnya, dia punya sisi ekstrovert juga. Dengan-Nya ketika berbicara dan berdoa, dia merasa nyaman untuk bicara apa saja. Dia bisa jadi dirinya sendiri.

Jangan dikira seseorang adalah orang yang hebat, selalu sukses dan penuh semangat. Justru dalam buku hariannya ternyata mencatat begitu banyak kesulitan yang harus dihadapi dan tak jarang berbuah kemunduran semangat. Bahkan patahnya motivasi!

Jangan dikira di balik kemilau semua kemapanan, kekayaan, keuangan ataupun popularitas membuat seseorang terbebas dari masalah. Oh, itu yang banyak disangka oleh orang-orang yang belum mencapainya. Dengan harapan kalau suatu saat mereka ternama, mereka akan bahagia. Ketika mereka punya uang miliaran, rumah semegah vila plus kolam renang, ketika mereka mencapai gelar kesarjanaan tertentu, akan membuat mereka menjadi bahagia dan bebas dari masalah. Malah pada kenyataannya, mereka juga menderita dengan gelimang popularitas bahkan uangnya.

Jangan dikira orang yang kelihatannya rohani, rajin berdoa bahkan beribadah selalu mampu menghadapi kendala. Tak jarang, mereka malah memakai kedok rohani buat menutupi belangnya. Walau tak jarang dijumpai mereka yang tulus tanpa kedok, apa yang ada di luar memang terpancar dari hati yang tulus. Namun, pernah juga kita jumpai orang-orang yang bertopeng kemunafikan hanya untuk terlihat baik.

Atau sebaliknya!

Jangan dikira orang yang bertampang penjahat dan bertingkah laku seperti pencuri adalah maling yang kejam. Tak jarang, merekalah Sang Pahlawan kehidupan!

Jangan dikira ketika Tuhan seolah lari dan tak mau memberikan pertolongan berarti Tuhan tak peduli lagi padamu. Di saat kaupikir Dia menjauh, ironisnya, Dia sedang amat dekat denganmu. Masalahnya hanya engkau tak menyadarinya. Engkau tak mengerti kehadiran-Nya. Apalagi rencana-Nya.

Apa yang kita kira, sering kali bukanlah apa yang sesungguhnya terjadi. Terlalu sering persepsi, asumsi dan perspektif kita menjadikan kita hakim-hakim yang handal. Sedangkan pada kenyataannya? Bukanlah selalu demikian.

Jangan-jangan ilmu kira-kira itu yang menjadi andalan kita…

Jangan dikira kita sendiri tak tahu. Atau pura-pura tak tahu?
Jangan mengira semua itu tak tercatat dalam buku kehidupanmu, lho :)

Masih mau main hakim atau jadi hakim sendiri? Mudah-mudahan tidak:)

HCMC, 25 Februari 2010

-fon-

* buat mengingatkan diri sendiri, bahwa asumsi-persepsi-perspektif tak selamanya benar. Dan berusaha untuk mengurangi jadi hakim bagi orang lain, juga hakim yang kejam bagi diri sendiri.

Sumber gambar:

http://farm4.static.flickr.com/3037/3005779402_db9255a40a.jpg

Serial Anak Kampung di Rantau (Bagian ke-5)



Kemarin seorang teman dari Jakarta datang. Si Jeng dan temannya datang memberikan kabarnya kepadaku. Dan kami janji bertemu di pagi hari. Di Pho 2000, pasar Ben Thahn. Dan akhirnya, jadilah aku ‘guide’ dadakan. Tanpa pengalaman berarti, tanpa banyak pergi sana-sini karena baru sekitar empat bulan mendiami tempat ini. Langsung… Belajar di tempat:)

Untungnya HCMC memusatkan tempat wisatanya di seputaran ‘district 1’. Tentunya kalau ada bagian yang cukup jauh yang ingin dihampiri adalah seputaran ‘Mekong Delta’ atau ‘Cu Chi Tunnel’ yang terletak di luar kota. Sementara aku sendiri belum pernah ke luar kota hehe…Karena pertimbangan membawa anak balita naik perahu kayu di sungai yang konon mirip seperti Sungai Musi di Palembang, pastinya bikin kami deg-degan juga.

Setelah puas berjalan-jalan seharian ke Kantor Pos, Balai kota (city hall), mencicipi pho dan makan siang ala Vietnam di satu restoran di jalan Pasteur, kemudian ke obyek wisata Reunification atau Independence Palace. Kami mampir ke Tax Center dan diakhiri makan es krim Bach dang yang ciri khasnya es krimnya di dalam kelapa. Asik dan segar. Namun, waktu juga yang memisahkan aku dan Si Jeng, karena anakku sudah hampir selesai sekolahnya. Dia sudah harus kujemput. Dan kami berpisah. Bye-bye, Jeng! Sampai jumpa di episode selanjutnya! Dan selamat melanjutkan perjalanan ke Hanoi ya, Jeng!

Hari-hari berjalan pelan. Atau cepat ya? Entah, kadang terasa cepat walaupun ada kalanya terasa pelan. Aku menikmati hari-hari dan aktivitas di sini. Oh iya, laporan seputar les bahasa Vietnamku, belum banyak mengalami kemajuan berarti. Kecuali angka-angka yang sudah mulai lancar dan memberikan ‘direction’ pada sopir taksi. Juga sedikit kalimat ketika ditanyai oleh para penjual barang di pasar Ben Thahn misalnya. Seringnya disangka orang Korea…Ciyeee… Dan langsung mengaku: toi la nguoi Indonesia… (Saya orang Indonesia:)). Kadang-kadang berasa grogi juga, kalau dihantam deretan kata-kata dalam Bahasa Vietnam. Seperti baru belajar Bahasa Inggris dan langsung ketemu bule dari British atau American, pastinya langsung gugup plus keringat dingin. Wong alfabet Vietnam aja masih belum hafal :) Pelan-pelan, belajar mengerti. Kalau masih belum ngerti juga, yaaaa…apa boleh buat…. Harap maklum, kan baru belajarnya total 2 bulan (kepotong pulang kampung dan libur anak sekolah)…:)

Kadang banyak orang bilang, “ Enak ya tinggal di Singapur!” (Itu yang sering kudengar ketika tinggal di sana beberapa waktu lamanya). Atau ada kalanya yang bilang, “ Enak banget ya, pindah negara lagi, bisa jalan-jalan!”

Satu sisi, memang ada benarnya. Namun di sisi yang lain, tentunya ada permasalahan yang tak terelakkan yang harus dihadapi. Semisal menghadapi rasa sepi. Mengatasi adaptasi tak kunjung henti. Dan hidup ‘ kan bukan melulu shopping di Orchard Road? Juga bukan melulu makan di restoran di hotel mewah di district 1 di HCMC? Kalau beli paket happy meal dari satu gerai makanan cepat saji, pastinya dapat French fries, burger, dan mainan. Nah, ini juga paket yang harus saya terima: jalan-jalan, pengalaman hidup di negeri orang, plus kesulitan yang harus dihadapi. Bukan membuat saya patah semangat sih, tapi seharusnya memang realistis. Hidup bukan melulu ‘Vivo City’. Hidup bukan melulu belanja di ‘Parkson’ di Le Thahn Ton ‘street’ di HCMC.

Ada hari-hari di mana rasanya komunikasi juga sulit di sini. Ketika aku harus membuat foto ukuran paspor, kami bertanya kepada resepsionis apartemen sampai kepada resepsionis kantor suami. Perlu waktu sekitar 15 menit buat mereka menyadari bahwa yang kami tanya BUKAN FOTOKOPI, melainkan cetak foto buat paspor…

Yah, begitulah, kadang-kadang pengalaman jaka sembung naik ojek alias nggak nyambung, Jek… juga terjadi di sini. Bahkan di Singapura yang notabene lebih mudah berkomunikasi karena pakai Bahasa Endonesa juga bisa ‘survive’ karena mereka mengerti Bahasa Melayu, di situ pun salah komunikasi bisa terjadi. Yang pasti memang tidak separah di HCMC…

Tapi, plus minus ada aja sih, di mana-mana juga ada susahnya ada senangnya. Dan semuanya itu memperkaya aku secara pribadi karena berkesempatan menikmati ini semua. Suka-duka, manis-pahitnya tinggal di rantau….

Sekian dulu episode kali ini. Sampai jumpa di episode berikutnya!

HCMC, 25 Februari 2010

-fon-

Sumber gambar:

http://farm1.static.flickr.com/60/167645967_6a4fbc813d.jpg

Memori




Kulirik wajahnya yang ramah, berkali-kali. Padahal aku tengah di gereja. Aku tahu, tak seharusnya kulakukan hal ini. Apalagi ini tengah misa. Tapi, apa boleh buat, aku terpana melihatnya. Lagi. Karena wajahnya yang rasanya pernah kukenal di masa lalu itu muncul lagi. Kuingat-ingat kembali lembar demi lembar memori di masa lalu. Adakah terselip wajah itu?

Semakin kuamati, semakin yakin aku. Dialah orangnya. Dengan tubuh mungil, kaca mata dan senyum ramahnya, bagaimana mungkin aku bisa lupa? Dengan wajah yang tak terlalu lekang dimakan usia, di balik jubah susternya, dia masih kukenang dengan indah.

Sehabis misa.

Kuhampiri dia dan kutanyakan padanya:

“ Apa betul, Suster adalah Suster M? Kepala sekolah SD X tahun 19zz?”

“ Iya, betul. Siapa, ya? Lulus tahun berapa?” Tanyanya ramah sambil senyum itu tak lepas dari bibirnya.

“ Saya Fonny, suster, masuk tahun 19zz.” Jawabku cepat.

“ Setelah itu, masuk SMA Y di tahun sekian sekian juga?” tanyanya lagi.

“ Iya, Suster. Lho, memangnya Suster ada di situ juga?” Rupanya memoriku akan SD lebih bagus daripada memoriku di SMU.

“ Iya, Suster ada di situ. Dan sekarang, Suster sudah pensiun. Paling mengajar agama, membagikan komuni, dan mencangkul di sekitar tempat tinggal Suster.” Jelasnya.

Aku hanya menatapnya, kagum. Di usianya yang ke-72, dia masih gagah. Kuat dan sehat. Belum lagi tubuhnya yang mungil itu tetap sama seperti yang kukenang lebih dari dua puluh tahun lalu.

Sementara kami ngobrol, banyak orang berdatangan. Hanya untuk menanyakan sesuatu kepadanya, mengucapkan salam padanya, atau sebaliknya dia yang mengucapkan selamat hari raya Imlek bagi yang merayakannya. Obrolan terhenti karena hari sudah menjelang malam, karena aku misa sore hari itu. Dan Suster bilang nanti ketika Rabu Abu, dia akan datang di misa pagi, kalau aku mau aku bisa datang di misa pagi dan bertemu dengannya.

Rabu pagi. Rabu abu.

Kutemui dia lagi di pagi itu. Tambahannya ada mamaku dan ibu guru SD-ku yang wajahnya juga tak berubah dan konon kabarnya masih lajang. Aku senang bernostalgia di gereja yang juga menjadi tempatku bersekolah SMP dulu. Sekolahku terletak di belakang gerejanya. Jadi, dulu semasa bersekolah, ini adalah tempat di mana aku sering bercengkerama bersama teman-teman atau berlari mengitari sekelilingnya ketika pelajaran olahraga.

Percakapan itu singkat. Namun, kesannya mendalam. Aku bahkan masih ingat bahwa ada satu huruf yaitu huruf ‘t’ yang diulang dua kali di nama Suster tersebut. Dia memang ramah. Tidak semua biarawati memang punya keramahan yang sama. Tapi, anggaplah aku beruntung menemukannya dalam dirinya. Yang sampai hari tuanya tetap tak mau tersentuh teknologi. Tak punya handphone, tak mau punya email, fesbuk, atau yang lainnya. Mungkin bagi sebagian orang aneh, tapi bagi dia…Dia tetap ingin punya ketenangan hidup yang tak tergoyahkan. Karena terkadang teknologi membuat sibuk para penggunanya, tanpa memedulikan sesama-sekitar-bahkan keluarga. Apalagi yang menderita. Terlalu sering teknologi itu mendekatkan yang jauh dan ironisnya menjauhkan yang dekat. Suami/istri/ anak di depan mata, tapi sibuk dengan tuts BB-nya.

Aku berjalan pulang dengan Mamaku. Menuju ke salah satu pasar tradisional untuk berbelanja. Hari masih pagi, sekitar pukul 07.45.

Hatiku diliputi kehangatan, keharuan.

Ah, pulang kampung memang selalu membangkitkan banyak memori yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Aku berdoa buat Suster dan Guru-guruku, semoga kalian diberi kesehatan selalu. Tak terlupakan kebaikan kalian, tak terlupakan perjuangan kalian dalam mendidik kami. ‘Kan kubawa sampai akhir nanti. Terima kasih.

HCMC, 24 Februari 2010

-fon-

* catatan pulang kampung pas Imlek lalu.


Sumber gambar:
http://th08.deviantart.net/fs7/300W/i/2005/206/a/4/I_m_Falling_Into_Memories____by_smashmethod.jpg

Sunday, February 21, 2010

Gila Musik


Dari lahir sampe hari ini, rasanya musik memenuhi hidupku. Mulai dari kecil, lagu anak-anak sampe lagu Bang Rhoma, halah! (Dengan malu hati, aku mengakui kalo ternyata pernah nyanyiin lagu-lagu Bang Rhoma dengan fasih ketika masih di usia 18 bulan kata Mama dan kakakku, padahal sekarang udah meluap entah ke mana hehe…).

Dan hari-hari berganti dengan cepat. Mulai dari setia mendengar radio bersama kakakku yang beda tujuh tahun di atasku. Dia senang mendengar lagu dari saluran radio yang menyiarkan siarannya secara lokal, tanpa iklan, dan kami malah bersahabat dengan penyiarnya yang siaran dari rumah gitu deh. Senangnya! Lagu-lagu cinta, of course mendominasi. Seperti zaman-zamannya ‘ Nothing’s gonaa change my love for you’, Careless Whispers, That’s what friends are for. Bukan lagu baru yang dikenal anak-anak ABG sekarang, tapi waktu aku jadi ABG, lagu-lagu seperti inilah yang mengisi hari-hariku. Tambahannya tentunya lagu-lagu Mandarin kegemaran bokap, karena bokap dulunya vokalis band. Jadi dari mana kegilaan akan musik ini muncul di diriku, sudah tertebak pastinya:)

Lagu Endonesa zaman baheula, pasti tahu donk. Dari Deddy Dores, Obbie Mesakh, Pance Pondaag, Christine Panjaitan, Dian Pisesha, Koes Plus, wuahhh…bukan penggemar mereka sih, tapi tahulah…Kan dulu acara TV belum banyak, sehingga nontonnya paling S-A-F-A-R-I SAFARIIII itu dan Selekta Pop…Hihihi…Ketauan deh, ABG di tahun berapa gw ini wkwkwk….

Aku lupa kapan tepatnya, tapi Rio Febrian, Marcel, Reza, dan Glenn Fredly mulai mengisi hari-hariku. Dan yang paling kusuka, Glenn donk! Sampe pernah nonton konsernya segala. Lagu-lagu Endonesa berirama R n B menjadi kesukaanku. Asiknya! Belum lagi kreativitas yang muncul dari Project P aka Project Pop, Pandhyangan, dan Seriues, juga menjadi pilihan untuk didengar. Karena kreatif sih!:) Oh iya, aku juga suka Iwan Fals, Ungu, Peter Pan,Slank, tapi gak semua lagunya, hanya beberapa saja sih… Tapi masih bisalah ngikutin sedikit-sedikit…

Sementara bermunculan juga idola-idola baru. Dari Mandarin, masih bisalah nyambung dengan F4, Jay Chou, David Tao, Wang Lee Hom, setelah sebelumnya didominasi oleh Alex To, Aaron Kwok, Jacky Cheung, Leon Lai (Li Ming), dan Andy Lau. Group-group baru juga sementara diikuti perkembangannya ketika di Singapura. SHE misalnya. Ato penyanyi dari negeri Singa tapi ngetop di Asia khususnya Taiwan dan Hongkong. Stefanie Sun (Sun Yen Ce) dan JJ Lin. Ada juga penyanyi asal Malaysia yang terkenal emosional karena pernah nonjok orang, Gary Cao. Di antara mereka semua, yang paling mempengaruhi aku sebagaimana Glenn di Indonesia, adalah Jay Chou. Si genius yang mulai latihan piano di umur 3 tahun (konon kabarnya begitu), betul-betul memberikan warna di hari-hariku. Mungkin buat penggemar Teresa Teng misalnya, lagu-lagu Jay Chou akan seperti lagu yang kumur-kumur, bergumam tanpa kejelasan lafal yang pasti. Diiringi ‘rap’ sedikit, piano yang memukau, wahhh…jadi keren:)

Kalau dari Amrik, teteplah dulunya ngikutin top 40. Apa aja yang ada di MTV ato channel V. Dan salah satu yang gw suka, Alicia Keys. Cool banget dan cucok musiknya ama aku. Sekarang karena kesibukan jaga anak dan berkurangnya kesempatan buat ngikutin musik-musik itu, masihlah beberapa nama menghiasi pikiranku dan hatiku. Dulu sih Boyband semisal Take That, Backstreet boys ato malah NKOTB (New Kids on the Block) jadul itu, tetap jadi favorite. Setelah itu ada deretan semisal Maroon Five, Pink, Bon Jovi, ato mungkin Michael Bubble yang beberapa lagunya jadi favorite. Usher ato mungkin group acapella Neri per Caso juga kusuka (itu sih dari jaman dulu punya ya…). Pokoknya yang unik, menarik, dan soulful. Itu jadi pilihanku. Dan deretan itu juga bertambah dengan Black Eyed Peas, Gwen Stefani, Beyonce ato groupnya dulu Destiny’s Child.

Kalo tiap tahun ngikutin American idol, pastinya suka dengan beberapa di antaranya. Seperti Ruben Studdart (tipe lagunya aja ya, sayangnya doski gak ngetop lagi hehe). Bo Bice, David Cook dan of course Adam Lambert! Sekarang, biarpun belum mulai, hati saya telah jatuh tuh tuh…pada Andrew Garcia… Kalo aja gw bisa voting, pasti gw pilih deh elo, bro!

Kalo di Indo, sukanya Mike Mohede. Soulful geto deh…

Sekarang deretan itu bertambah dengan group Korea. Tapi pengetahuanku terbatas sekali kalo soal perkoreaan. Dulu cuma suka Shinhwa dan sedikit lagu BoA. Tambahan sedikit setelahnya: Super Junior dan Wonder Girls. Kalo Jepang juga kurang ngikutin, cuman kayak Takuya Kimura and his bands aja. Yang pasti, seneng-seneng aja, hepi-hepi aja. Asalkan soulful, kreatif ato beda, dan dengan vokal yang bagus, rasanya aku selalu suka hehe…

Musik selalu mempengaruhiku. Dulu belajar juga sambil denger musik. Kakakku sampe bingung, gimana masuk ke otak kalo belajarnya berisik gitu? Anehnya, aku malah lebih bisa masuk otak kalo sambil nyanyi-nyanyi kecil. Kalo gak ada musik malah rasanya aneh sekali. Gak enak geto lho…:) Sekarang kalo nulis juga banyakan sambil denger musik, dan tak jarang lagu bisa jadi inspirasi penulisanku (seperti juga yang banyak dialami rekan-rekan yang suka menulis juga pastinya).

Hmmm, di luar itu semua, ada juga deretan musik rohani yang kusuka. Mulai dari Viona Paays, Giving My Best, Trueworshippers, Hillsongs. Yang paling mempengaruhiku adalah Sidney Mohede donk pastinya… Belum lagi band-band rohani lainnya yang kusuka. Deretan itu bertambah dengan siapa saja yang berani ‘out of the box’ sambil tetap mempersembahkan musiknya bagi kemuliaan Tuhan. Terakhir, tambahan dari seorang teman: Toby Mac, keren:). Juga Dewayne Woods. Dan tambahan lain dari seorang teman lainnya: sebuah website tempat lagu rohani berkumpul, ini juga so cool… http://www.spiritandsong.com/. Mungkin karena aku baru kenal musik rohani setelah tahun 2000, deretannya pun tak terlalu banyak. Tapi aku juga gembira dan bahagia, kenal musik rohani… Senang mendengar orang-orang yang mempersembahkan talentanya bagi kemuliaan nama-Nya:)

Kalo serial musical, sekarang ini lagu suka-sukaaa banget sama Glee. Yang baru Season 1. Di Starworld. Asik deh nontonnya. Kalo High School Musical suka juga, tapi Glee lebih banyak memberi arti ya:) bukan cuman keren-kerenan semasa SMA aza tentunya….

Di masa depan, aku juga gak tau ya, lagu-lagu ato musisi apa yang bakal jadi fave-ku. Mungkin aja seperti Andrew Garcia kontestan American Idol itu ato Jennifer Chung yang setia memposting videonya di Youtube dan emang keren banget dan langsung mendapat tempat di hatiku. Abis, mereka itu talented banget. Ato bisa jadi seperti Afgan yang muncul dan langsung kurasa cucok seleraku mendengarnya. It could be anyone. Any group. Any serial or movies yang tentang musik pastinya…

Yang pasti: enak didengar, cocok di hati, dan ‘out of the box’. Soulful juga jadi pilihanku. Yah, itulah sekilas info dari apa yang kurasakan selama ini. Musik memenenuhi hidupku. Musik memenuhi hatiku. Gimana dengan kamu? Apa kamu juga (gila) musik???:)

HCMC, 22 Februari 2010

-fon-

* ditulis dengan EYG. Ejaaan Yang Gue mau wkwkwk…:P Pisss:)

sumber gambar:

http://www.electrofreakz.com/wp-content/uploads/2009/05/free_music_online.jpg

Bintang



Sinar itu…

Kerlip itu…

Pernah menyala,

pernah membara,

pernah redup,

namun kembali benderang.


Binar itu,

bak bintang di malam kelam

yang menyinari hatiku.


Bintang itu, punya kamu.

Mata itu, milikmu.

Damai itu, ada di dadaku.

Saat kau kembali menatapku,

dengan bintang kembar penuh kelembutan itu.


Kupeluk dirimu,

kubisikkan kata cintaku.

Izinkan aku berenang

di kejora matamu.


HCMC, 21 Februari 2010

-fon-

* ada hari-hari di mana romantisme melanda. Cihuy:)

Sumber gambar:

http://www2.umszki.hu/leczb/Graphics/Backgrounds/night_sky_large_02.jpg

Friday, February 19, 2010

Si Pengemudi


Si Pengemudi

“ Anak saya empat orang, Ce (dia memanggil saya Ce, suatu sebutan hormat walaupun saya lebih muda dari dia),” begitu dia memulai kisahnya.

“ Oh, ya? Yang tertua dan terkecil umur berapa?” Tanya saya antusias.

“ Yang terkecil berumur tiga tahun lebih. Sementara yang tertua umur 18 tahun dan baru meninggal dua bulan yang lalu. Di bulan Desember tahun lalu.” Ujarnya sendu.

Deg! Hati saya langsung merasa kasihan. Dia berumur empat puluhan. Selama perjalanan pulang kampung ke kota kelahiran saya, dialah yang mengantar kami ke mana-mana. Entah bagaimana ceritanya, dia pun begitu terbuka kepada saya dan suami saya. Saya pelan-pelan menangis dalam hati. Sungguh, tidak mudah bebanmu, Pak! Sungguh hidup ini memang terkadang sulit dipahami.

“ Pastinya sulit menerima ya, Pak. Apalagi sebagai orang tua, melihat kematian anak yang menjadi harapan keluarga. Melihat yang lebih muda terlanjur pergi terlebih dahulu, pasti bukan hal yang mudah.” Lanjut saya mencoba memecah situasi ‘kagok’ yang terjadi. Salah tingkah takut salah ucap karena ini memang masalah sensitif.

“ Istri saya sampai hari ini masih menangis. Tiap ingat anak kami, dia menangis. Dia mencoba menguatkan diri dengan banyak sembahyang. “ Sambungnya lagi.

“ Mengapa bisa meninggal, Pak?” Tanya saya.

“ Gantung diri di kamar mandi, Ce.” Jawabnya lirih.

Hati saya seolah ditimpa batu karang yang berat. Sukar bernafas. Hidup memang tak mudah, ya… Tapi, apa bunuh diri adalah jalan keluar yang terbaik? Kita semua tahu jawabannya, ‘kan?

“ Masalahnya apa? Apa Bapak tahu?” Saya bertanya pelan.

“ Tidak tahu. Rasanya dengan keluarga tidak ada masalah. Dengan pekerjaan ataupun lingkungan juga tidak. Jadi, kami duga masalahnya adalah dengan pacarnya.” Si Pengemudi menjawab sambil tetap konsentrasi pada jalanan kota empek-empek yang sedikit macet di beberapa bagian.

“ Apa dia meninggalkan pesan?” Tanya suami saya.

“ Tidak.” Jawabnya singkat.

Meninggal di usia 18 tahun. Tanpa pesan. (Mungkin) karena ada masalah dengan pacar. Lulusan STM. Selalu ranking satu. Tak pernah ada masalah dengan keluarga. Anak yang baik, sopan, hemat, dan tidak pernah menyusahkan orang tua. Ketika meninggal ironisnya, anak ini mendapat panggilan ‘interview’ di satu perusahaan yang tak pernah dia kirimi ‘resume’. Hanya perusahaan itu percaya karena dia direkomendasikan oleh gurunya. Tentunya menyisakan tanda tanya besar bagi keluarganya. Bagi bapak-ibunya. Bagi adik-adiknya yang masih melewatkan waktu terakhir bersama kakak lelaki mereka bermain Nintendo bersama, sebelum akhirnya masuk kamar mandi dan mengakhiri segalanya. Mengakhiri dengan caranya. Cara yang dianggapnya terbaik karena dia amat tertutup, tak pernah cerita apa-apa.

Hati saya masih berkecamuk. Satu sisi mendoakan agar Tuhan mengampuni dosa-dosanya. Juga mendoakan agar keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan. Sisi yang lain juga dilanda sedikit tanda tanya, apa yang sebetulnya terjadi. Apa memang kematian itu memang misteri, sehingga caranya pun tak pernah sama bagi setiap orang? Tetapi kali ini, sedemikian misteriusnya, sehingga dia pergi tanpa pesan. Dengan mengakhiri menurut kehendak pribadinya.

Si Pengemudi masih berusaha menegarkan hati. Terus mengemudikan mobil dengan baik dan bertutur penuh sopan-santun terhadap kami. Sementara saya berdoa kepada Pengemudi kehidupan seluruh manusia yang ada di atas sana. Tuhan, berkati keluarga ini, Si Pengemudi ini, dan sekali lagi…ampunilah dosa-dosa anak lelakinya.

Si Pengemudi masih menembus jalan-jalan di kota Palembang. Sampai menjelang malam. Dan bukankah kita semua mengemudikan hidup kita sebaik yang kita bisa? Sambil tetap percaya penuh kepada Sang Pengemudi utama kehidupan ini, yaitu Tuhan sendiri.

Satu sisi saya merasa terhormat, Si Pengemudi telah berbagi cerita kepada saya. Membagikan hidup dan kesedihannya kepada kami. Setiap orang punya duka, setiap orang punya luka. Mau pengemudi, pengusaha, atau tukang becak. Mau sarjana S3, lulusan SD, atau tamatan SMEA. Bukankah hidup dengan kumpulan suka-dukanya itu menjadikan kehidupan itu lebih berarti? Dan di dalamnya, penting bagi kita untuk menyadari, masih ada asa di esok hari. Sehingga tak lagi putus harapan dan berbuat nekad untuk mengakhiri. Harap itu tak pernah pergi. Adalah pilihan kita untuk mau melihat atau membutakan diri dari secercah asa di hidup ini. Life is beautiful if only we can see it with hope. Don’t lose hope!

HCMC, 19 Februari 2010

-fon-

* ucapan terima kasih buat Si Pengemudi dan ‘curhat’-nya serta kepercayaannya kepada kami. Semoga Tuhan berikan kekuatan, Pak! Amin.


Sumber gambar:
http://jennifertobler.files.wordpress.com/2008/05/rear-view-mirror.jpg

Thursday, February 11, 2010

Elegi Menjelang Pagi



Pagi yang tak cerah. Tak seperti biasanya. Kudapati wajahnya suram, muram, dan kelam. Mungkin itu juga pantulan wajahku yang tak sempat kupandangi di cermin pagi ini. Sama-sama, kami telah saling melukai. Sama-sama, kami telah saling menyakiti. Dan kini, ketika dia berkata cukup sampai di sini, mengapa hatiku berdarah dan tertusuk duri?

Ketika kami putuskan menikah atas nama cinta…Bukan begini kenyataan yang ada di kepala. Harusnya kami bahagia sekaligus gembira, mendapatkan apa yang selama ini kami damba. Namun, nyatanya? Setelah berpacaran lima tahun, bertunangan, dan dilanjutkan dengan jenjang pernikahan. Malah cinta kami semakin memudar.

Hari-hari awal perkawinan, masih biasa saja. Tak ada gejolak berarti, seolah ini rutinitas belaka. Hari-hari selanjutnya penuh dengan argumentasi, pertentangan, kemarahan. Dan terkadang kekerasan memasuki teritori cinta kami. Ke mana cinta kami yang dulu mekar berseri? Ke mana cinta yang telah kami pupuk dan kami bina setengah mati? Hilang? Lenyap? Raib?

Dan hari ini, ketika dia kembali mengucapkan kata-kata itu, hatiku terluka parah.

Cukup sampai di sini? Kaupikir masalah kita bisa selesai dengan berpisah?

Tapi, tak lagi kucari jawab itu di matanya. Karena aku pun sudah menyerah. Aku kehilangan dirinya. Kehilangan kelembutan dan senyum manisnya. Yang tiba-tiba berubah menjadi monster yang menakutkan. Yang seringnya berubah menjadi binatang buas yang siap menerkam. Tak lagi kurasakan perhatiannya, tak lagi kurasakan kenyamanan ketika bersamanya. Kalau perkawinan hanya jadi pertarungan ego tak terselesaikan macam ini, kurasa aku menyerah.

Dengan malu, aku harus menerima. Bahwa semua masa pacaran-tunangan-sampai menikah yang mencapai enam tahun itu, ternyata harus berakhir ketika perkawinan ini belum sampai setahun. Dengan lirih, kutanya hati, “ Apa gerangan yang terjadi?”

Hatiku senyap. Diam. Dalam linangan air mata kesedihan dia berkata, “ Elegi tak berkesudahan telah dimulai di pagi ini.”

Apa masih ada kesempatan bagi kami berdua? Aku tak berani berharap. Karena sesudah dia berkata begitu, dia tak lagi menatapku. Dia telah mempersiapkan kopernya dan pergi dari rumah kami. Pergi dari hatiku. Pergi bersama cinta kami yang pernah bersemi. Dan (tampaknya) takkan kembali.

Dia telah pergi. Dari hidupku. Dari hatiku. Aku tak rela, tapi aku tahu mungkin ini yang terbaik bagi kami berdua.

Elegi itu masih mengalun. Pedih, perih, bercampur alunan penuh nestapa.

Lalu, kubawa pergi. Berharap suatu hari nanti akan kudapati cinta yang mampu membuatku tergugah dan kembali membuka hati.

Sampai kapan kuharus menanti? Aku tak pernah tahu pasti…
Aku hanya berjalan, merayapi dinding kehidupan yang kelam saat ini.

Sambil berharap suatu saat nanti, cinta sejati hadir kembali.

HCMC, 12 Februari 2010

-fon-

* Elegi menurut kamus Bahasa Indonesia ‘online’:

ele·gi /élégi/ n syair atau nyanyian yg mengandung ratapan dan ungkapan dukacita.


sumber gambar:

Tuesday, February 9, 2010

M-A-L-U


M-A-L-U

Pernahkah ini terjadi padamu?

Dulu waktu masih punya segala sesuatu dalam kecukupan,

bahkan kelimpahan.

Dulu ketika masalah tak banyak beterbangan.

Dulu ketika segalanya lancar dan seolah baik-baik selalu.

Membantu orang lain rasanya mudah, tulus, dan ikhlas.


Namun…

Setelah masalah bertubi-tubi datang.
Setelah segala kenyamanan ditarik.

Dan yang tinggal hanya kesedihan dan keterbatasan dalam hidup.

Tak lagi mampu melihat terang.
Bahkan menolong orang terasa beban.

Bukankah aku tengah berduka?

Bukankah aku tengah kecewa?
Bukankah aku tengah resah dan gelisah?

Jadi, buat apa kutolong orang lain?

Mereka saja tak peduli padaku.

Apa aku harus peduli pada mereka?
Sementara hari-hariku isinya hanyalah keluh kesah.

Menyesali dan mengasihani diri.


Tiba-tiba di suatu ketika…

Mataku terbuka sekali lagi…

Aku lihat orang yang jauh lebih susah mau membantu sesama.

Aku lihat orang yang lebih miskin,

memberikan makanan jatahnya hari itu kepada temannya.

Aku lihat orang yang tengah dirundung sakit dan malang,

malahan memberikan senyum tulus suka cita.


Aku tertunduk.

Malu.

MALU.

M-A-L-U.

Malu hati.

Malu pada diriku.
Malu pada semesta.

Malu pada sesama.

Malu pada Tuhan.


Namun,

Aku mau.

MAU.

M-A-U.

Membenahi diri dan berjanji

Untuk membantu dengan tulus hati.

Tak peduli apa saja yang tengah kualami.

Sesulit apa pun keadaannya.

Semoga aku masih bisa berbagi.


Aku malu.

M-A-L-U.

Sekaligus aku mau.

M-A-U.

Berbagi.

Berbenah diri.

Menyongsong pagi.

Harapkan mentari.


Secercah sinar di dalam hati.

Menyala kembali.

Harapan bersemi.

Untuk jadi lebih baik lagi.

Mulai detik ini.


HCMC, 9 Februari 2010

-fon-

Sumber gambar:

http://farm4.static.flickr.com/3402/3588832812_c3e7d0e412.jpg

Monday, February 8, 2010

Janji Kita


Janji Kita

SMS-mu datang:

“ Jangan lupa, Hari Sabtu, pukul tujuh!
Langsung ketemu di situ.”

Aku tersenyum.

Sedikit malu.
Sedikit rindu.

Sudah tahu.

Itu tempat janji kita bertemu.


Hari Sabtu, pukul 18.30.

Kuterobos macet daerah ‘District 1’,

kucoba arungi kepungan motor,

dalam taksi yang membawaku,

untuk jumpa denganmu.

Kau ada di situ,

duduk di tempat kesukaanmu.

Minum teh hangat kegemaranmu.

Di café tak jauh dari Saigon ‘Notre Dame Basilica Cathedral’ itu,

kau duduk menungguku.


Itu dulu,

dua tahun yang lalu.

Kini hanya kupandangi ‘handphone-ku’

Tanpa SMS-mu.

Tanpa berita darimu.

Bahkan tanpa nomormu,

Karena sudah kuhapus dari memori teleponku

Herannya, tak mampu juga kuhapus dari memori di kepalaku.

Sayang, mengapa sesulit itu?


Kisah cinta beda benua terjadi di Saigon ini,

Setahun,

tak lebih,

sependek itulah kita menjalin cinta.

‘Au revoir, mon amour’

Selamat tinggal cintaku.

Kusimpan perih dan terus melewati

setiap sudut café di ‘district’ 1 ini,

Namun kau tak jua kembali.

Kutahu, kau harus pergi dan tak kembali.

Sementara di Paris sudah menanti,

Tunanganmu dari masa kecilmu.

Sementara aku hanya selinganmu,

pengisi sepi selama kau tugas di sini.


Kuhentikan langkahku.

Masuk kembali ke café itu.

Suasana memang berbeda.

Sendiri. Tanpamu.

Minum kopi kesukaanku.

Memandangi orang yang lalu lalang

Yang melintasi jalan di depan café.

Barisan motor yang berjejer tak rapi.

Trotoar yang sesekali dinaiki mobil.

Ah, sulitnya menepis rasa rindu.
Sayang, masihkah kau ingat aku?

Atau memang tak pernah ada tempat di hatimu untukku?


Kuhirup kopiku.
Habis.

Tak bersisa.

Seperti kisah cinta kita yang juga habis…

Meluap pergi

Entah ke mana.


HCMC, 8 Februari 2010

-fon-

* masih secangkir kopi dan cinta. Tapi kali ini ‘broken hearted’. Turut simpati atas seseorang yang curhat dan sedang patah hati. Juga bagi mereka yang tengah patah hati saat ini, ‘life goes on’. You will survive:).

Sumber gambar:

http://th00.deviantart.net/fs28/300W/f/2008/088/5/9/Goodbye_my_lover_by_aphostol.jpg