Thursday, January 27, 2011

(Feels like) Stranger in My Own House Part 2


(Feels like) Stranger in My Own House Part 2

*** with translation

Arrr, Errrrr…

I begin the prayer awkwardly. I’ve never been in such a holy condition. So, I think, I’ll start with telling Him my problems. I don’t know how to begin a prayer anyway, so maybe I’ll try my best during this uncertain period of time.

“ Dear God,

I have a family that seemed so distant. Even in this house, I don’t feel the homey feeling anymore. I feel so lonely here. I wanted to go far away, but I know that something’s telling me to stay. I don’t know what that is, but maybe you can help me to figure it out.”

I stop praying. I don’t have enough words to express my feelings. Maybe I’m not good at it or maybe I haven’t getting used to it. I just sit there, not really sit still-sometimes moving my legs and arms while closing my eyes and try to listen.

Nothing happens. Only one or two mosquitoes pass by and say hi. They bite me a little here and there. More distractions come when I pray. But still, I have the courage and patient to sit still this time while I’m hitting the mosquitoes.

Then, after all is calm. I finished my prayer. Nothing has happened. I go back to sleep (or actually try to get a sleep).

If prayer could change a thing, it’s supposed to be done now or at least let me show somehow. But it didn’t.

So, I stop waiting. I go sleeping.

In the middle of the night, I wake up with such a thirsty feeling. I go the kitchen, take a glass of water and drink it directly.

Suddenly, when I got back to my room and try to get some more sleep. There’s a gentle voice inside of me whispering:

“ My child, I hear your prayer. Please listen to what I’ll say. Starting tomorrow, never bring your mobile phone during your dinner time and ask your family members to do so. Then you’ll see their reaction.”

I don’t know whether it’s God or not. But, somehow I know that it’s not a bad idea though. So I follow the instruction.

I ask my parents to leave their gadgets when we have dinner. And my siblings too. Of course I start it first. Then, awkwardly we try to do some conversation about our daily activities on that day. So hard to start it, but yet our effort seemed paid off.

At the end of the dinner, we go back to our room happily. With smile on our face, feel the bonding once again... Thing that has been lack in our family for the last 2 years, or 5 years? I don’t know. I just want to get the ‘home sweet home’ feeling. The longing to go back to my house. Not facing the strangers face, even though we’re family…

One day, two days…

One month, two months..

One year, two years…

We’ve been doing more conversations during dinner. Oh yes, we also have more on breakfast and weekends! Because we’re going out as family quite often. Not to mention the holiday together.
Finally, I’m getting what I want: not feeling like a stranger in my own house anymore.

And about the prayer?

Oh, I’m doing it more intense. My family does the same. We go to the church together and will have some meal afterwards.

Amazing, huh? :)

Well, it’s actually a grateful note to God-the One who has finally make my family reunited.

So, I feel at home. This is my home sweet home.

If you have the same problem and struggle hard about it now, don’t lose hope. Keep praying. Maybe the answer won’t come so quickly or instantly. But for whoever prays, they’ll see from different perspective and I’m sure God’s help will come in your way.

Ho Chi Minh City, 28.01.2011

-fon-

* not-really my personal experience, but I think it’s good to be reminded that we all long for a house that we can called our home. The beauty of the bonding of our family and presenting God in the middle of it.

* copy paste, forward, or share? Please attach the link or the author’s name. Thanks!

(Merasa Seperti) Orang Asing di Rumahku Sendiri Bagian Kedua

*** dengan terjemahan

Arrr, Errr….

Aku mulai berdoa diiringi perasaan aneh. Aku tak pernah berada dalam kondisi yang begitu kudusnya. Jadi, kupikir… Aku akan mulai dengan memberitahukan-Nya masalah-masalahku. Aku tak tahu bagaimana harus mulai berdoa, maka aku berusaha aku akan berusaha yang terbaik dalam situasi yang tak menentu semacam ini.

“ Tuhan…

Aku memiliki keluarga tetapi rasanya jarak itu begitu jauh di antara kami. Walaupun di dalam rumah, aku tak merasa punya keluarga. Aku merasa amat kesepian di sini. Aku ingin pergi jauh, tetapi aku sadar bahwa ada sesuatu di dalam diriku yang menyuruhku tetap tinggal. Aku tak tahu apa itu, mungkin Kau bisa membantuku menemukannya?”

Aku berhenti berdoa. Aku tak punya cukup kata-kata untuk menggambarkan perasaanku. Mungkin aku tak pintar berkata-kata atau juga mungkin aku belum terbiasa. Aku hanya duduk di situ, tak terlalu duduk diam sebetulnya--- sesekali kugerakkan kaki dan tanganku saat menutup mataku dan berusaha untuk mendengarkan.

Tak ada yang terjadi. Hanya satu-dua ekor nyamuk yang lewat dan menyalamiku. Mereka menggigitku sedikit di sana-sini. Lebih banyak gangguan lagi ketika aku berdoa. Tetapi, aku masih punya keberanian dan kesabaran untuk tetap duduk diam kali ini sambil juga berusaha menggeplak nyamuk-nyamuk itu…

Lalu, semuanya tenang. Aku selesai berdoa. Tak ada yang terjadi. Aku kembali tidur (atau tepatnya berusaha untuk tidur lagi).

Ketika doa bisa mengubah sesuatu, seharusnya itu terjadi saat ini atau setidaknya buatku melihat sesuatu. Tetapi, semua itu tak terjadi.

Jadi, aku berhenti menunggu. Aku tidur.

Di tengah malam, aku terbangun dengan rasa haus yang begitu besar. Aku pergi ke dapur, mengambil segelas air dan meminumnya segera.

Tiba-tiba, ketika aku kembali ke kamarku dan berusaha tidur lagi. Ada sebuah suara lembut di dalam diriku berbisik:

“ Anak-Ku, Aku mendengar doamu. Dengarkan apa yang akan Kukatakan. Mulai besok, jangan pernah lagi membawa ‘handphone’ saat makan malam dan mintalah juga kepada anggota keluargamu untuk melakukan hal yang sama. Kemudian, kau akan melihat reaksi mereka.”

Aku tak tahu apakah itu suara Tuhan atau bukan. Tetapi, aku merasa bahwa itu ide yang cukup baik. Jadi, kulakukan saja instruksi itu.

Kuminta kepada orang tuaku untuk meninggalkan peralatan komunikasi mereka ketika makan malam. Begitu juga dengan kakak-kakakku. Tentu saja, aku memulainya terlebih dahulu. Kemudian dengan perasaan aneh yang menyergap, kami mulai melakukan percapakan tentang aktivitas kami hari itu. Begitu sulit untuk memulainya, tetapi sepertinya usaha kami terbayar…

Di akhir makan malam, kami kembali ke kamar kami masing-masing dengan gembira. Diiringi senyum di wajah kami, merasakan kedekatan itu sekali lagi… Hal yang kurang di dalam keluarga kami selama dua tahun terakhir, atau lima tahun terakhir? Entahlah. Aku hanya ingin merasakan betah di rumah. Rumah yang manis. Keinginan untuk kembali di rumahku. Bukannya menghadapi wajah-wajah asing, padahal mereka adalah keluargaku…

Satu hari, dua hari…

Satu bulan, dua bulan…

Satu tahu, dua tahun…

Kami melakukan lebih banyak percakapan selama makan malam. Oh ya, banyak kali percakapan itu bahkan terjadi di makan pagi kami dan akhir pekan! Karena kami sering keluar bersama sebagai satu keluarga. Juga yang tak kalah mengasyikkannya: liburan bersama.

Akhirnya, kudapatkan yang kuinginkan: tidak lagi merasa asing di rumahku sendiri.

Dan mengenai doa?

Oh, aku melakukannya lebih sering lagi. Keluargaku juga. Kami ke gereja bersama dan biasanya makan bersama sesudahnya.

Menakjubkan, bukan? :)

Sebetulnya ini adalah catatan terima kasih buat Tuhan --- Dia yang menyatukan keluargaku kembali.

Jadi, aku kerasan di rumah. Ini adalah rumah yang manis.

Kalau kamu juga punya masalah yang sama dan sedang berjuang keras mengatasinya sekarang, jangan putus harapan. Teruslah berdoa. Mungkin jawabannya takkan hadir sebegitu cepatnya atau sebegitu instannya. Tetapi, bagi siapa pun yang berdoa akan melihat dari perspektif yang berbeda dan aku yakin pertolongan Tuhan akan datang menyapamu.

Ho Chi Minh City, 28.01.2011

-fon-

*bukan pengalaman pribadi, tetapi aku merasa perlu untuk diingatkan bahwa kita semua merindukan rumah yang membuat kita betah, selalu membuat kita ingin pulang lagi. Keindahan akan hubungan yang erat di keluarga dengan menghadirkan Tuhan di tengah-tengahnya.

*copas, forward, share? Mohon sertakan sumbernya…

sumber gambar:

4interior-design.com



(Feels like) Stranger in My Own House Part 1


(Feels like) Stranger in My Own House Part 1

*** with translation

This is (supposed to be) my house.

My bedroom, my kitchen, my bed, my chair, my laptop, my wardrobe, my table…

But, why do I feel like a stranger? Is it because a house is not always a home? Why is the feeling suddenly changed so quickly? Is there something wrong inside of me?

I’m searching and searching for the right answer.

Couldn’t always find one-still haven’t found the right one until now…

Sometimes trying too hard and let myself cry to sleep.

Is it so bad to live in a what-so-called house without any intimacy involved in it?

My brother and sister…

Uh, they’re just seemed so far away from me. Even though the distance is just next door. I mean their rooms are only next to mine. But yet, we’re all too busy to talk. The maximum conversation we’ll have is only around 15 minutes during a quick dinner. Such a meaningless tradition to keep if its goal is to keep this family bonding together, well it failed I might say…

After those quick dinners, we’ll all run into our rooms and keep busy with our laptops, Ipad, and Blackberries. Sometimes, we even bring those Blackberries when we’re having dinner. And those 15 minutes minus the BBM and Yahoo Messenger will fly even faster. I’m still wondering though, why the technology must end up this way? This is supposed to be a good thing that will make us lead an easier life. Yes, it’s true. There’s no doubt about it. But why…oh why? They’re separating us even further? Or is it because we choose to? Or we’re just too busy finding the emptiness inside, those unhappy moments in our life, those lonely days, and try to change it with such gadgets? Or Korean Drama DVDs? Or chattings? Why it’s still so empty?

I’ve tried hard enough to find the answer. But, unexpectedly I found another answer instead.

This is going to be the same old story, if I myself don’t make any changes about it. It will be a-not-so-homey home after all, so why should I bother? It seems that my parent doesn’t do anything about it… So, why should I take the responsibility? As the youngest child in this family, I don’t feel that it’s my obligation anyway.

If anyone should be responsible, we can leave it to my mom, my dad, or even my elder brother and sister. Definitely, it’s not mine!

Then, what should I do? Will they listen to me if I said something? While most of the time, my voice has never been really heard anyway. Would they care to know what I feel, what I think? While most of the time they think that I’m a nobody- young kid who lives in my own world and doesn’t know anything. One thing that they’ve forgotten, I’m older now. Every year I get older-and hopefully get wiser, things that they don’t really bother. Oh, most people don’t! They’ve never really care about the fact that they’re supposed to gain more wisdom when they’re older. Time will pass by, we’ll all have to face the aging process anyway. Even we don’t want it, we want to stay young as long as we could. We put anti-aging cream, do some surgery or facelifts, botox, hair-coloring, just to reduce or minimize the aging…

I’ve found that I need to change, I need to speak up. I’m doing good for this family. It’s for our sake. But, I don’t know-once again I have a huge doubt about it- will I ever be succeed?

Finally, I don’t feel like eating. I don’t feel like browsing the internet. I lost interest in Blackberry and its chatting system. I have to tell you that I’m still lonely. The alienation inside my heart is getting stronger. I need help. But, I don’t know will my family member feel the same as well? Or they might think that I’m a bit lost of my mind?

Then, I begin to pray.

Something that I’ve never done for the last 5 years of my life. I begin to search God. The new connection is formed again. Last time it was there, but it was disconnected several times. Even though maybe God is trying hard to do the redial through His Love’s modem, but it seemed that I failed to connect due to several technical problems inside of me.

To be continued…

(Merasa Seperti) Orang Asing di Rumahku Sendiri Bagian Pertama

*** dengan terjemahan

Ini (seharusnya) adalah rumahku.

Kamarku, dapurku, tempat tidurku, kursiku, laptopku, lemari pakaianku, mejaku…

Tetapi, mengapa aku merasa seperti seorang asing? Apakah karena sebuah rumah bukanlah tempat di mana aku merasa kerasan/betah? Mengapa perasaan itu begitu mudah berubah? Apakah ada sesuatu yang salah dengan diriku?

Aku mencari dan terus mencari jawaban yang sesungguhnya.

Tidak selalu bisa menemukannya-masih belum menemukan jawaban yang tepat sampai saat ini.

Terkadang aku berusaha terlalu keras untuk itu sampai membiarkan diriku menangis sampai tertidur.

Apakah begitu buruknya tinggal di sebuah rumah tanpa keterlibatan yang intim di dalamnya?

Kakak lelaki dan perempuanku…

Ah, mereka kelihatannya terlalu jauh dariku. Walaupun jarak mereka sesungguhnya hanyalah di sebelahku saja. Maksudku, kamar mereka ada di sebelahku. Tetapi, kami semua terlalu sibuk untuk berbicara. Percakapan terlama yang kami lakukan hanyalah sekitar 15 menit selama makan malam yang terburu-buru. Tradisi yang amat tidak berarti jika tujuannya mempererat keluarga ini, tujuan itu takkan tercapai.

Setelah makan malam yang buru-buru, kami semua akan dengan tergesa-gesa lari ke kamar kami masing-masing dan akan sibuk dengan laptop, Ipad, serta Blackberry kami. Terkadang, bahkan kami membawa Blackberry tersebut saat kami sedang makan malam. Dan 15 menit minus BBM dan Yahoo Messenger akan terbang lebih cepat lagi. Aku terus bertanya-tanya sebetulnya, mengapa teknologi harus berakhir seperti ini? Bukankah dia bertujuan baik, yang seharusnya membawa kita ke kehidupan yang lebih mudah? Ya, benar. Tak ada keraguan akan fungsi tersebut.
Tetapi mengapa oh mengapa? Mereka malah memisahkan kita semakin jauh. Apakah karena kita memilih untuk itu? Atau kita terlalu sibuk untuk menemukan suatu kekosongan di dalam diri kita, saat-saat yang kurang membahagiakan, hari-hari sepi, dan berusaha menggantikannya dengan alat-alat komunikasi modern? Atau DVD drama Korea? Atau chatting? Lalu, mengapa di dalam diri masih begitu kosong perasaannya?

Aku sudah berusaha keras menemukan jawabnya. Tetapi, secara tak terduga, kutemukan jawaban yang lain sebagai gantinya.

Ini akan jadi cerita usang yang sama, ketika aku tak melakukan perubahan apa pun dalam situasi ini. Akan tetap jadi rumah yang tidak membuat anggotanya kerasan, jadi mengapa aku harus peduli? Kelihatannya orang tuaku tidak melakukan apa pun mengenai hal ini… Jadi, mengapa aku harus bertanggung jawab? Sebagai anak terkecil di keluarga ini, aku tidak merasa ini adalah kewajibanku.

Kalau ada yang harus bertanggung jawab, harusnya adalah mama, papa, atau kakak yang lebih tua dariku. Pastinya, bukan diriku!

Lalu, apa yang harus kulakukan? Akankah mereka mendengarkan aku kalau aku mengatakan sesuatu? Ketika banyak kali, suaraku tak pernah didengarkan juga. Akankah mereka peduli tentang perasaanku, tentang pikiranku? Ketika banyak kali mereka pikir aku bukanlah siapa-siapa--- hanya seorang anak kecil yang hidup dalam duniaku sendiri dan tidak tahu apa-apa. Satu hal yang mereka lupa, usiaku semakin bertambah. Setiap tahun aku tambah tua-dan semoga tambah bijaksana, hal yang tak pernah mereka pdulikan. Oh, begitu juga dengan banyak orang di luar sana! Mereka tak pernah betul-betul peduli bahwa mereka seharusnya lebih bijaksana ketika mereka bertambah usia. Waktu akan berlalu, kita semua akan mengalami proses penuaan juga pada akhirnya. Walaupun kita tak suka, kita ingin tetap muda selama yang kita bisa. Kita bisa mengoleskan krim anti penuaan, melakukan operasi plastik semisal facelift, suntikan botox, atau mewarnai rambut, hanya untuk mengurangi atau meminimisasi proses penuaan itu.

Kusadari bahwa aku harus berubah, aku harus bicara. Aku melakukan hal yang baik bagi keluarga ini. Ini untuk kebaikan kami bersama. Tetapi, aku tak tahu--- sekali lagi keraguan yang besar menyergapku---akankah aku berhasil?

Akhirnya, aku tak berselera makan. Aku tak kepengin main internet. Aku kehilangan minat main Blackberry dan chattingnya. Harus kuakui bahwa aku masih kesepian. Rasa terasing di dalam hatiku bertambah kuat. Aku butuh pertolongan. Aku tak tahu apa anggota keluargaku akan merasakan hal yang sama? Atau mereka pikir aku agak kurang waras???

Kemudian, aku mulai berdoa.

Suatu hal yang tak pernah kulakukan selama 5 tahun terakhir di hidupku. Aku mulai mencari Tuhan. Hubungan yang baru terbentuk lagi. Waktu yang lalu, hubungan itu sempat ada tetapi pernah putus-sambung beberapa kali. Walaupun Tuhan melalui modem cintanya berusaha keras melakukan ‘redial’, tetapi kelihatannya aku gagal ‘connect’ ke Tuhan karena beberapa masalah teknis di dalam diriku.

Bersambung…

sumber gambar:

4interior-design.com


Monday, January 24, 2011

Elastis Seperti Karet Gelang



Karet gelang itu berwarna kuning. Kecil. Kupakai untuk membungkus sisa makanan yang kubeli tadi. Roti Vietnam itu (atau bahn mi dalam Bahasa Vietnam), biasa dibungkus dengan kertas dan ditarik karet gelang untuk mengencangkannya. Mataku tertuju padanya. Kecil tetapi bisa membesar di kala diperlukan. Elastis. Fleksibel. Sepertinya dia mengingatkan diriku akan elastisitas yang juga dibutuhkan dalam kehidupan ini…

Adaptasi…

Ada hal-hal tertentu yang tidak bisa diganggu-gugat. Hal-hal prinsip dalam hidup semisal kebaikan, kepercayaan yang dipegang, ataupun norma-norma lainnya yang memang tetap dipertahankan. Tentunya, setiap orang punya standar dan pemikiran yang berbeda. Amatlah tergantung di mana atau bagaimana dia dibesarkan, lingkungannya, atau kejadian-kejadian apa yang terjadi di hidupnya sehingga menjadikan dia seperti hari ini atau memilih hal-hal tertentu yang dia yakini.

Saya menyadari, dari kecil saya sudah diberikan contoh oleh orang tua saya bagaimana seharusnya untuk hidup. Beberapa contoh itu adalah contoh baik dan harus dipertahankan semisal kejujuran, kerendah-hatian, simpati dan empati, mengasihi. Walau dalam hidup, saya tidak memungkiri, saya pun pernah bersalah, berdosa, ataupun lalai. Namun, saya percaya pada kebaikan yang berasal dari-Nya. Karena Dialah sumber kebaikan, jadi setidaknya saya punya acuan mana yang baik dan tidak (bukan subyektif melulu menurut saya).

Hidup membawa setiap orang pada proses adaptasi. Dari bayi menjadi balita, remaja, kemudian kuliah, bekerja, menikah. Peran dari anak, orangtua, lalu jadi kakek/nenek. Pindah sekolah, pindah kota, pindah negara. Selalu kita hadapi proses adaptasi ini. Kalau kita keukeuh mempertahankan sesuatu, misalnya: aku kan masih kecil, jadi aku tak bisa pergi kuliah sendiri. Masih terus mengganggap diri bayi, sementara umur melaju terus tentunya tidak sesuai juga, ya…

Fleksibilitas dan elastisitas…

Adaptasi yang terakhir-terakhir ini saya jalani adalah pindah negara. Dari Indonesia- karena tugas suami-kami sudah berpindah ke dua negara. Jujur tiap kali pindah, ada ‘comfort zone’ yang diporak-porandakan… Karena segala sesuatu harus mulai lagi. Cari tempat tinggal, cari teman, membiasakan diri dengan kota/negara tersebut termasuk sistem transportasi, perbankan, shopping, bahkan berbelanja ke pasar. Banyak hal juga yang bisa dipelajari sebagai bagian dari adaptasi itu sendiri. Pertama pasti sulit, tetapi menyenangkan karena ada tantangan di dalamnya. Tetapi setelah sekian lama, jadi terbiasa dengan alur kehidupan di negara itu dan segala sesuatunya.

Saya belajar elastis. Dulu pastinya saya orang yang malas pindah-pindah. Boro-boro pindah rumah, pindah kamar kos saja gak pengin:) Saya suka keteraturan dalam jadwal keseharian saya, sementara kalau pindah-pindah, saya harus mulai dari awal lagi. Beda siklus lagi. Tetapi sekarang saya menikmatinya…

Karet gelang itu masih di sana. Teregang rapi di bungkus roti. Di sana saya melihat hidup terkadang harus fleksibel dalam beberapa hal. Tentunya bukan fleksibel terhadap hal-hal yang buruk (misalnya lihat orang mencuri lalu aku fleksibel ikutan atau lihat orang berprofesi pengedar narkoba juga tertarik untuk memulai)… Tetapi, ketika perubahan itu selalu ada di sana: baik sisi peran ataupun segala pernik kehidupannya… Rasanya, sikap yang elastis, bisa beradaptasi dengan baik di mana pun ditempatkan, perlu juga diterapkan.

Karet gelang mengingatkan saya akan hidup yang elastis tetapi tetap terarah dalam Tuhan. Sehingga kita tidak jadi orang-orang yang kaku atau merasa diri selalu benar, tetapi lebih terbuka terhadap banyak perubahan. Terutama perubahan untuk menuju diri sendiri yang makin baik, makin mengasihi sesama, sebagai anak-anak Allah yang seharusnya selalu mencirikan citra-Nya di mana pun kita berada.

Ho Chi Minh City, 25 Januari 2011

-fon-

* copas, forward, share? Mohon sertakan sumbernya
sumber gambar:
chem-is-try.org

Ah, Tuhan...


Ah, Tuhan…

Baru tanggal 1 sudah kuatir tanggal 31…

Baru tahun baru, sudah kepikiran akhir tahun…

Baru Januari, sudah cemas akan Desember…

Baru lahir bayi, sudah gelisah memikirkan kuliahnya…


Tipikal manusia yang penuh kecemasan, kekuatiran, kegelisahan, dan ketakutan. Tak ada salahnya berencana, namun ketika sudah begitu menghantui kepala dan bikin diri tak lagi fokus pada masa sekarang. Introspeksi diri agaknya diperlukan. Dengan melakukan hal-hal itu, hari ini jadi berlalu dengan gerutu… Seolah kehilangan mutu, padahal alunan musikal simfoni ‘present moment’ ini masih amatlah merdu.


Lihat teman naik motor sementara aku jalan kaki, kepengin…

Lihat teman naik mobil sementara aku naik motor, iri hati…

Lihat teman naik pesawat bisnis class sementara aku tak pernah ke luar negeri, cemburu…

Ah, gejala apa itu?


Gejala yang selalu sama di tiap waktu. Sulit bersyukur untuk apa yang dimiliki, dililit rasa iri dan cemburu terhadap apa yang dimiliki orang lain. Beberapa orang menganggap, tindakan bersyukur terkadang identik dengan kemalasan (tidak mau melakukan apa-apa, nrimo saja). Padahal, tentu saja yang diharapkan adalah terus berjuang tanpa henti… Walaupun sulit, walaupun banyak halangan menghadang… Tidak mudah putus asa. Malah terus maju dalam karya. Sambil melakukan hal itu, biarlah sikap syukur akan apa yang dimiliki tetap dipertahankan. Ada kalanya memang baik melihat ke atas, sehingga kita tidak mudah berpuas diri dan stagnan-tak melakukan apa pun lagi. Tetapi, tak ada salahnya pula untuk sesekali melihat ke bawah, mensyukuri bahwa begitu banyak hal yang sudah kita nikmati… Sementara bagi sebagian orang lainnya, itu adalah kelimpahan. Itu adalah kemewahan.


Banyak orang yang menjerit kelaparan,

Banyak pula yang tak punya rumah kediaman,

Banyak orang tak sempat mengenyam pendidikan,

Banyak pula yang hanya punya satu baju yang menempel di badan…


Lalu mengapa aku tak bisa mensyukuri apa yang ada? Lalu mengapa harus kucemas senantiasa? Bukankah burung pipit di udara pun Dia pelihara? Tak perlu kutakut akan kesusahan. Karena setiap hari akan ada kesusahan sendiri-sendiri, sekaligus ada jalan keluar juga dari-Nya. Asalkan ku tetap berusaha, bersyukur, serahkan kuatirku…

Ah, Tuhan… Engkau tak sebegitu jauh seperti pikirku…

Engkau sesungguhnya teramat dekat di hatiku…


Biarkan aku nikmati hari ini dengan senyuman,

Biarkan aku rasakan cinta dan kasih-Mu yang penuh kelembutan,

Biarkan aku kecap betapa besarnya kebaikan,

Yang selalu sertaiku yang berasal dari-Mu, Tuhan.


Ho Chi Minh City, 24 Januari 2011

-fon-

* copas, forward, share? Mohon sertakan sumbernya. Trims.

Wednesday, January 19, 2011

Trapped


Trapped

Cermin itu tak bisa bohong.
Wajah itu- wajah ‘macho’ seorang pria. Dengan kaca mata minusnya. Dengan ketampanan yang jadi idola gadis-gadis sekitarnya-yang walaupun hanya melihat foto-foto profile picture Facebook-nya sudah bikin mereka mengejar-ngejarnya. Mereka add him as a friend, memenuhi wall-nya dengan puji-pujian bahkan rayuan mesra, lalu menuliskan komentar-komentar di bawah fotonya. Bahkan beberapa yang lebih berani, menulis di inbox-nya…

Surat cinta, ajakan makan siang atau makan malam, sampai maaf-undangan menghabiskan malam di hotel terkemuka… Tak satu pun digubrisnya.

Tak banyak yang tahu, kecuali mereka yang betul-betul dekat dengannya, bahwa dalam dirinya terluka. Luka yang tak pernah sembuh. Pernah sedikit sembuh, tersenggol lagi… Berdarah bahkan bernanah…

Luka itu sedari masa kecilnya.

Dipakainya bando untuk mengangkat sedikit poni yang ada di rambutnya. Dibukanya susu pembersih wajah yang sudah jadi makanan sehari-harinya. Beberapa yang baru mengenalnya akan jelas-jelas menganggapnya pria metroseksual yang tidak risih akan facial, cream bath, dan rekan-rekannya. Sama fasihnya dia dengan fitness atau golf yang selama ini jadi kegemarannya. Dibersihkannya wajahnya beberapa kali dengan kapas putih bersih yang lalu ternoda kotoran di wajahnya yang putih mulus dan masih sempurna.

Ah, kapas yang ternoda… Hidupku sama sepertimu yang awalnya putih bersih namun ternoda kotor dan teramat parah…

Tiba-tiba kisah hidupnya bermain seperti film yang flashback di kepalanya… Lalu menuturkan cerita:

Dia anak ketiga dari tiga bersaudara. Ya, dia bungsu. Semua saudaranya laki-laki pula. Jadi tiga jagoan itulah yang memenuhi hari-hari kehidupan keluarganya. Namun, pengalamannya sama sekali berbeda. Ayah dan ibunya begitu menginginkan dirinya jadi wanita. Sejak bayi, mereka sudah siapkan nama wanita. Bahkan ibunya sudah membeli beberapa pakaian bayi perempuan baginya. Namun, ketika dia lahir pria, semua kecewa. Zaman dulu belum lazim USG begitu rupa. Jadi, orang tuanya memilih untuk tidak tahu jenis kelaminnya sampai hari dia dilahirkan. Sambil terus berharap, setelah dua jagoan, mungkin ini puteri mahkota mereka…

Dia lahir.

Bayi lelaki yang tampan. Terganteng di antara tiga anak mereka.

Namun, karena terlanjur kecewa… Orangtuanya meneruskannya… Memberikannya mainan wanita, memperlakukannya bak seorang bayi perempuan mungil. Memenuhi hari-harinya dengan hal-hal keperempuanan. Memasak, make-up. Walaupun zaman sekarang, pria memasak juga bukan hal yang aneh. Begitu pun penata rambut atau ahli tata rias bukan profesi aneh bagi seorang pria… Namun yang tak disadari orangtuanya-dan baru belakangan dia pun menyadarinya- bahwa dia sudah terjebak dalam tubuh seorang lelaki dewasa yang macho dan ganteng luar biasa… Sementara dalam jiwanya, dia adalah seorang perempuan seutuhnya…

Aneh tapi nyata. Ketika malam-malam dia sendirian setelah mencuci bersih wajahnya serta bercukur sebersih-bersihnya…

Dia memoles lagi bibirnya dengan pulasan warna merah muda. Merias wajahnya dengan eye shadow senada dengan gaun tidurnya yang berbahan sutera. Bermotif indah dan berbentuk gaun yang tak terlalu panjang. Terkadang dia ingin memakai pakaian dalam wanita-yang secara curi-curi dia beli di mal terkemuka- dengan alasan diberikan buat kekasih tercinta.

Dibolak-baliknya tubuhnya yang gelisah di atas peraduannya. Betapa dia kecewa bahwa ini kenyataan yang terus dihadapinya. Dia tak tahu harus salahkan siapa. Mungkin Tuhan? Mungkin orangtuanya? Yang pasti dia sering menyalahkan dirinya sendiri, mengapa harus terlahir di dunia. Ah, entahhh…

Dia bangkit dari tempat tidurnya. Menuju meja kerja di kamarnya.

Dibukanya kembali laptop-nya. Dilihatnya ajakan kencan dan makan malam kembali memenuhi Facebook-nya.

Ah, andai para perempuan itu tahu betapa sulitnya keadaan yang harus dihadapinya sehari-hari. Betapa dia juga ingin dicinta dan mencinta, namun dia terus membatasi dirinya… Takut terluka, juga takut melukai orang lain… Itu terjadi sampai usianya yang ke-42 ini…

Dilepaskannya pakaian sutera itu. Digantinya dengan kaos putih dan celana pendek motif hati dengan dasar warna putih dan hati warna merah muda. Lalu dihapusnya kembali make up ringan di wajahnya dengan susu pembersih itu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30. Hari sepi ini akan kembali berakhir. Entah kapan hidup yang mendua seperti ini akan ada akhirnya? Dipandangi BB(Blackberry)-nya dengan tak berselera. Ada beberapa yang mengajaknya bertemu juga. Namun, hanya satu yang menarik hatinya… Rekan satu fitnes yang tak kalah machonya. Alexander, dia suka padanya, mungkin menjurus ke arah cinta?

Dijebak gelisah. Dirayu keinginan menggelora untuk mencinta dan dicintai apa adanya. Putus asa karena tahu itu semua takkan pernah jadi nyata.

Ditenggaknya pil tidur yang selalu jadi temannya tahunan lamanya. Namun kali ini terlalu banyak dosisnya. Untuk dua minggu, dia minum sekali saja…Sekali teguk, habislah sudah…

Dua puluh menit kemudian..

Pintu kamarnya dibuka, kakak sulungnya mau mengambil buku yang tertinggal di kamarnya. Melihat busa di bibirnya, dia terkejut luar biasa.

Menelpon ambulans di tengah malam, yang tak lama segera tiba. Jeritan dan raungan ambulans seolah menyuarakan keperihan hatinya…

Dalam hati, dia ingin mati, jangan pernah selamatkan dirinya… Tetapi, dia bukan dewa, Tuhanlah yang menentukan jalan hidup dan mati setiap orang, bukan?

“ Maafkan, Mama, Nak… Maafkan Mama! Ini semua salah Mama…” Isak tangis Mama mengiringi perjalanan dirinya ke ruang ICU RS ternama itu…

Antara hidup dan mati. Antara sadar dan tidak… Dia berusaha ucapkan doa-hal yang hampir tak pernah dilakukannya.

“ Tuhan, apakah aku salah terlahir di dunia? Tuhan, mengapa jeratan dan perangkap ini tak jua usai? Sampai kapan aku harus alami ini semua? Tak dapatkah aku hidup normal? Tak dapatkah aku dikasihi sebagaimana apa adanya?” Tanya dan doa penuhi hatinya….

Dia selamat.

Mamanya membawanya ke seorang Pastor yang ahli kejiwaan. Juga mereka membawanya ke psikolog guna mempercepat proses kesembuhannya.

Kini? Dia masih sama macho-nya. Masih kadang-kadang melirik pada pria yang tampan seperti dirinya. Tetapi dia sudah punya seorang gadis yang cukup dia suka. Dan gadis itu begitu cinta padanya. Gadis itu berambut pendek, sedikit tomboi, tetapi amat manis.

(Dan mungkin mereka akan menikah!).

Sepuluh tahun kemudian…

Dia sudah punya dua orang anak. Dan kehidupan normal sudah dijalaninya. Begitu sulit untuk bangun dari kubangan luka. Dari rasa ‘trapped’ yang sudah begitu menjebaknya… Tetapi, selalu ada kesempatan kedua bagi mereka yang mau sembuh dan berbalik ke jalan yang benar. Apalagi begitu banyak dukungan dari keluarga tercinta… Puji dan syukur hanya kepada Sang Pencipta yang memungkinkan segalanya terjadi sampai sekarang ini…

Hidupnya? Mungkin penuh luka dan nanah. Tetapi, dengan kasih-Nya semua itu dibasuh secara perlahan namun prima…

At this moment, he’s not trapped in the body of a man anymore, because now he’s a man inside out…

He has realized that he’s only trapped in God’s love that showered to him in everyday of his life.

And He wants to spend the rest of his life with full gratitude and thanks to God.

Ho Chi Minh City, 19 Januari 2011

-fon-

* berusaha menggambarkan perasaan orang yang tidak diinginkan oleh keluarganya untuk kemudian mendapatkan kesempatan kedua dan hidup lebih baik lagi dalam kasih-Nya.

* copas, forward, share? Harap sertakan sumbernya. Trims.

sumber gambar:

rainbow-carnage.deviantart.com

Sunday, January 16, 2011

Being Mom: Permata


*** Catatan seorang Ibu bagi permata hatinya…


Anakku…

bukannya Mama tak suka emas-permata

tetapi, jika harus kupilih

akan kuberikan kesempatan untuk miliki itu semua

untuk biaya pendidikan dan masa depanmu


Anakku…

bukannya Mama tak senang pesta-pora meriah senantiasa

tetapi, jika harus kupilih

kurelakan itu semua

bagi dirimu asal kupunya banyak waktu bersamamu


harta berlimpah atau kekayaan semata

takkan sanggup gantikan cinta

kebersamaan dalam keluarga

lebih berharga dari emas-perak

bahkan permata


kulakukan itu semua…

dengan hati sepenuh cinta…

sadari bahwa setiap detik ini adalah berharga

karena kupunya kau yang dititipkan-Nya

oh, Permataku tercinta…


Ho Chi Minh City, 17 Januari 2011

-fon-

*copas, forward, share? Harap sertakan sumbernya. Trims.

sumber gambar:

garysuttonshow.com

Tuesday, January 11, 2011

Menulis dan Terus Menulis



Dulu…

Ketika tepatnya 4 tahun lebih yang lalu, saya mencoba memulai menulis secara lebih serius… Mungkin saya mengawalinya sebagai kegiatan yang sekadar berjudul ‘killing time’. Menanti kehadiran anak pertama, pindah negara ikut suami yang bertugas, dan harus di rumah sementara telah terbiasa bekerja dan aktif di Jakarta.

Menulis pada saat itu lebih merupakan upaya uji-coba. Daripada tidak ada kerjaan, sedangkan ‘blogging’ sedang mulai ‘in’, tak ada salahnya mencoba. Setelah menulis sekian lama, ada tanggapan yang lebih positif dari beberapa teman, berkenalan dengan teman-teman penulis dari pemula sampai yang lebih senior dan berbagi semangat saling mendukung untuk terus menulis… Menulis menjadi satu kegiatan yang harus ada. Seolah tanpa cabai, makanan jadi tak sedap. Tak menulis sehari, rasanya ada sesuatu yang kurang. Jadilah menulis merupakan kegiatan harian yang saya tunggu-tunggu. Menyalurkan hobby sekaligus berbagi cerita bersama sahabat, teman penulis, dan pembaca yang budimanJ

Menulis, di kali lainnya menjadi sebuah terapi bagi jiwa saya. Dengan menulis tanpa sadar, seringkali banyak masalah pribadi yang merupakan pertanyaan saya akan kehidupan ini terpecahkan. Menulis juga menjadi terapi ketika saya sedang dilanda kecewa, stres, mungkin depresi. Atau luka yang mendalam. Dengan menuliskannya entah dalam bentuk sharing pribadi atau dalam bentuk cerpen, ada sesuatu yang dipulihkan… Ada kecewa yang tersalurkan, ada beban yang terangkat… Dan itu juga yang membuat saya ketagihan menulis…

Mungkin pernah di satu masa, menulis menjadi sebuah ajang untuk mencari dan menemukan eksistensi diri. Untuk jadi terkenal, untuk dikagumi, untuk menginspirasi orang lain… Tetapi, akhirnya saya sadari setelah sekian lama menulis… Bahwa tujuan-tujuan itu bagi saya pribadi, tidak akan membawa saya ke arah yang positif. Ketika saya berpikir untuk menjadi terkenal, itu berarti kalau saya tidak terkenal, saya berhenti menulis? Atau ketika tulisan saya tidaklah dikagumi malahan dicaci-maki misalnya, akankah membuat saya tidak lagi mau menuliskan segala sesuatunya? Motivasi diri saya sendiri juga mengalam pemurnian… Bahwa pada akhirnya, tujuan saya menulis akanlah tetap sebagaimana saya bertujuan di saat awal saya menulis: berbagi (sharing), juga sebagai bentuk ungkapan syukur atas talenta yang Tuhan berikan kepada saya.

Pernahkah saya capek atau bosan menulis? Sebagaimana layaknya seorang juru masak yang harus masak tiap hari, pasti pernah dihinggapi kebosanan. Tetapi, tentunya mereka punya cara buat mengatasinya. Bagi saya pribadi, karena cenderung sedikit pembosan, saya berusaha bereksperimen dengan kata-kata dan bentuk-bentuk tulisan. Itu bisa berarti essay, artikel, curahan hati, cerpen/cerber, puisi, renungan atau refleksi… Di kali lain, mungkin saya ingin menulis dalam Bahasa Inggris, tergantung suasana hati. Satu yang pasti: konsistensi penulis tetap harus saya jaga. Karena ada beberapa rubrik yang secara rutin saya tuliskan setiap harinya. Seperti renungan harian ‘Thought of the Day’ misalnya… Tetap saya tuliskan, berusaha dengan setia dalam kondisi apa pun… Entah saya yang sakit, atau anak yang sedang rewel.. Sejenak, saya membaca dan merenungkan firman Tuhan lalu menuangkannya dalam bentuk renungan singkat.

Apa pernah saya merasa hebat karena saya menuliskan standar yang begitu tinggi dari apa yang saya baca dari Kitab Suci misalnya? Tak pernah sedikit pun saya merasa lebih jago, apalagi lebih hebat. Saya, sama-sama dengan Anda, adalah bagian dari manusia-manusia yang juga bergumul dengan banyak masalah di dalam diri saya. Tetapi saya berusaha mencari kekuatan dari-Nya dan berusaha menuangkan dalam bentuk tulisan untuk kemudian memotivasi saya. Syukur-syukur, bila dianggap baik, sobat-sobat sekalian juga bisa mendapatkan sedikit pencerahan dari apa yang tersalurkan lewat tulisan saya. Saya selalu menganggap bahwa adalah Tuhan yang hendak menyampaikannya, tetapi lewat tangan saya, Dia ungkapkan itu semua. Biarlah semua pujian kembali kepada-Nya.

Ketika Utada Hikaru, penyanyi asal Jepang yang terkenal dengan lagu ‘First Love’-nya mengumumkan pengunduran dirinya beberapa saat yang lalu, di usianya yang ke-27 untuk kemudian berkonsentrasi di bidang kehidupannya yang lain… Saya sempat berpikir, sampai kapan saya akan terus menulis?

Jika menulis malah memperkaya kehidupan saya (dan syukur-syukur juga pembacanya), jika menulis memberikan begitu banyak kelegaan sekaligus terapi jiwa bagi saya… Saat menulis memberikan begitu banyak harapan bagi kehidupan saya pribadi karena saya menjadi termotivasi untuk melihat begitu banyak kebaikan dalam kesederhanaan walaupun di tengah dunia yang semakin kacau atau bobrok sekalipun, apa kemudian saya harus berhenti?

Saya hanya berusaha untuk menulis dan terus menulis dengan setia. Apa pun yang terjadi, semoga saya tetap bisa meluangkan waktu untuk menulis dengan penuh cinta, dari hati yang terdalam. Karena tulisan yang berasal dari hati juga mampu menjangkau setiap hati pembacanya di luar sana…
Menulis bagi saya tetaplah merupakan ungkapan syukur karena saya masih diberikan kehidupan yang luar bisa oleh Sang Pencipta-dalam suka-dukanya- saya percaya bahwa inilah yang terbaik bagi diri saya.

Mohon doanya:) Salam dari rantau…

Ho Chi Minh City, 12 Januari 2011

-fon-

sumber gambar:

abt.com

Saturday, January 8, 2011

I Do Believe in Magic


*** love note to my dear hubby on our Anniversary

long time ago…

I’ve been wondering…

and I’ve been searching…

for the kind of magical love

that will last forever


I haven’t found any

until the day I met you

until the moment God showed me

the true love from you


now, I know…

I do believe in magic

in this little- but yet greatest thing- called love

its magic in simplicity

really amazed me


it is such a magical thing

to see your peaceful eyes

it is such a magical thing

to see the smile of our children

it is such a magical thing

to see God’s love being showered everyday into our family


through thick and thin,

for better or worse,

in ups and downs of our life,

I do believe that God’s magical love

will see us through


not with our strength,

but with His love and guidance,

as long as we stay faithful,

we’ll see more magical moments

of love in our life.


Ho Chi Minh City, 6th of January 2011

-fon-

* happy anniversary, dear Hubby. Thank God I Found you!

* copy paste, forward, share? Please attach the source. Thanks.

Wednesday, January 5, 2011

Ruin is a Gift.



Ruin is a gift. Ruin is the road to transformation.

(Eat Pray Love – Julia Roberts as Liz Gilbert)

Saya sempat tercenung sejenak ketika mendengar perkataan Julia Roberts di Film Eat Pray Love tersebut. Terjemahan bebasnya mungkin sebagai berikut:

Kejatuhan/ keruntuhan adalah suatu anugerah. Keruntuhan adalah jalan menuju transformasi/perubahan.

Benarkah demikian? Saat kejatuhan tiba, kita melihatnya sebagai berkat yang terselubung dalam bungkusan anugerah? Atau malah sebaliknya? Kita melihatnya sebagai malapetaka tanpa akhir yang menghancur-leburkan kehidupan kita? Sekali lagi, penting bagi kita untuk memilih perspektif yang mana ketika berhadapan dengan kegagalan, kejatuhan, ataupun keruntuhan. Akan ke mana kita bawa puing-puing reruntuhan kehidupan kita tersebut, memang agaknya merupakan pilihan kita.

Anggaplah kita adalah orang-orang positif, sebagaimana layaknya Liz (Elizabeth) Gilbert- Sang Penulis yang mampu melihatnya sebagai berkat. Tentunya, dari kejatuhan kita belajar untuk bangkit kembali. Menganalisa setiap kesalahan yang terjadi dan mencoba meminimasinya untuk kemudian tidak mengulanginya lagi di kemudian hari. Tidak tertutup kemungkinan walaupun mencoba melihatnya secara positif, tetap saja perasaan hancur-kecewa- putus asa itu pernah singgah. Lagi-lagi, orang-orang positif- para pemenang kehidupan itu memilih untuk tidak menyerah kalah terhadap perasaan yang timbul ataupun kenyataan yang ada. Malahan mereka berjuang lagi, mencoba memunguti sebagian puing terpenting yang tersisa untuk kemudian bangkit lagi sebagai manusia baru.

Pernah juga kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, keruntuhan itu malah menjadikan orang yang bersangkutan terpuruk. Malah cenderung menyesali hidup. Tak jarang, kejatuhan itu membawa orang-orang ke arah putus asa untuk kemudian memilih jalan pintas seperti bunuh diri. Tentunya, bukan hal yang terpuji dan tidak didukung oleh ajaran agama mana pun… Tetapi, seolah kejatuhan itu adalah akhir segalanya bagi dirinya dan memilih untuk mengakhiri dengan caranya. Sayang sekali sebetulnya… Kalau saja dia bertahan satu, dua hari lagi… Kalau saja dia bertahan satu, dua, tiga tahun lagi…Keadaan pasti berubah, asalkan ada usaha juga dari diri sendiri untuk menggapai perubahan itu pula.

Kita pun pernah menyaksikan saat orang-orang yang terpuruk dan merasa kalah itu memenuhi dirinya dengan amarah karena terluka. Dendam, lalu melakukan tindakan kejahatan. Tentunya, amatlah disayangkan perbuatan-perbuatan semacam ini. Walaupun kita sadari, adalah sulit juga untuk tetap berpikir jernih, ketika kepala terlalu ditimbuni masalah. Kalau saja mereka masih punya harapan, kalau saja mereka punya iman… Percaya bahwa masih ada kebaikan di tengah seluruh reruntuhan, mungkin keadaan tidak jadi begini…

Di saat-saat seperti ini, sebagaimana yang dialami Liz, dia mencoba mencarinya melalui makanan di Italia. Untuk menemukan kembali cita rasa sedapnya makanan yang sempat dikecapnya, lalu hilang meluap begitu saja. Lalu, dia pun mencarinya lewat doa. Hubungan yang lebih dekat dengan Sang Pencipta. Adalah hal yang wajar ketika berbeban berat, seseorang akan lari menuju penciptanya. Tetapi, tentu saja kita mengharapkan bahwa kita ingat Tuhan bukan melulu di saat hancur, namun juga di saat senang. Walaupun harus diakui, di saat-saat hati jadi berkeping-keping itulah, hubungan yang amat dekat bisa dirasakan oleh orang yang sungguh-sungguh menyadari keterbatasannya walaupun sudah melakukan yang maksimal. Dan sadar bahwa tanpa Tuhan, dia bukan siapa-siapa.

Ruin is a gift. Ruin is the road to transformation.

Inilah yang sikap yang kita harapkan dalam menghadapi kehidupan ini. Dalam kaca mata iman, kita bisa berkata: kehancuran adalah anugerah. Ini adalah saatnya untuk perubahan. Dan kita percaya, apa pun yang terjadi dalam hidup ini, Tuhan tak pernah lepas tangan. Dia punya rencana yang indah buat kita. Hancur di mata kita, belum tentu sebetulnya hancur secara keseluruhan. Tak jarang, kehancuran itu malahan membuahkan kebaikan dalam kehidupan kita di masa yang akan datang.

Apa pun yang terjadi, kita percaya bahwa Tuhan selalu serta kita. Itu yang terpenting. Persembahkan semua suka-duka kehidupan kita kepada-Nya tanpa menjadi terlalu berputus asa, karena kita punya iman…Kita punya Tuhan.

Ho Chi Minh City, 5 Januari 2011

-fon-

* copas, forward, share? Harap sertakan sumbernya. Trims.