Saturday, October 30, 2010

Life is Too Short



Life is too short to worry

Life is too short to hate

Life is too short to be afraid

Life is too short to think small

Life is too short to live with regrets

Life is too short to be bitter

~Life is too short to be anything but happy~

Ho Chi Minh City, 30.10.2010

-fon-

source of picture:

tomclarkdds.com

Thursday, October 28, 2010

Merapi- Maridjan Love Story: Till Death Do Us Part



Kepandaian itu bernama logika. Menilai dan menghakimi dengan isi kepala yang dianggap luar biasa. Kisah cinta romantis dan setia, bisa dianggap kebodohan belaka. Bodoh karena harus bertahan dalam rumah tangga yang kurang membahagiakan. Atas dasar cinta. Senyum sinis di bibir mereka, sambil mencibir, “ Makan tuh, cinta!”

Satu sisi lainnya bernama ‘SETIA’. Karena dia tak melulu pakai logika. Logika walau ada, tetapi cinta dan ketulusan yang bertumbuh di sana. Rasa yang terakumulasi puluhan tahun lamanya. Setia, sampai maut pisahkan mereka. Mbah Maridjan dan Gunung Merapi jadi kisah nyata terindah. Pelajaran kesetiaan bagi yang bisa memahaminya.

Saigon, 28.10.2010

-fon-

sumber gambar:

nurdayat.wordpress.com

Wednesday, October 27, 2010

Thank God I Found You Part 21



*** Episode: Saling Setia


Previously on Thank God I Found You part 20 (Episode: Melintasi Fase Kehidupan).


Susi positif hamil. Kemudian, dia mengajak Ijah untuk ikut serta membantunya kelak. Ijah setuju, memesan taksi, lalu berkemas pergi. Mama Willem kemudian tahu kalau mereka kabur dari rumah dan mengejar mereka sampai PIK. Di Ruko Cordoba, taksi Susi dipepet oleh Mama Willem. Lalu, bagaimana pengejaran Mama Willem dan kelanjutan pertikaiannya dengan Susi? Juga Vita yang diminta scan sekali lagi oleh Dr. Ng, datang ke Singapura sendirian lalu berniat melakukannya. Terjadi perubahan sikap yang sangat signifikan, karena Vita merasa dia harus menanggung semua beban penyakitnya ini seorang diri. Dia merasa menyesal harus mengalami semua ini di awal pernikahannya dengan Jason. Merasa stress,lalu berubah sikap menjadi lebih emosional dan pemarah. Bagaimana pula kelanjutan perkembangan penyakitnya, juga hidup perkawinannya dengan Jason? Simak di episode berikut ini…


Episode: Saling Setia


Starbucks Tanglin Mall, tak jauh dari Gleneagles Hospital, Singapura.

Pagi itu kuaduk green tea creamy frappuccino-ku dengan tak bersemangat. Scan sudah kulakukan. Besok adalah hari pengambilan hasil, jadi kesabaranku harus diperpanjang satu hari lagi. SMS Jason sudah masuk untuk ke-5 kalinya dari pagi pukul 7 waktu Singapura. Sayangnya, tak satu pun sempat kubalas. Atau tepatnya, tak satu pun ingin kubalas. Jadi, kubiarkan saja. Upaya Jason untuk menelponku agaknya sia-sia juga, karena ‘handphone’ dengan sengaja kupilihkan posisi ‘silent’ karena aku memang sedang ingin sendiri-tak mau diganggu. Biarkan diriku tenggelam dalam setiap anganku, dalam setiap resahku, dalam setiap gundah yang tiba-tiba memenuhi kepalaku dan sesekali membuatku mual. Semakin bertambah pusing aku. Aku tak menyangka kalau tumor ini berakibat begitu parah. Bukan hanya pada kondisi fisikku, melainkan pada kondisi kejiwaanku!


Kulewati hari perlahan. Dari Tanglin Mall aku berjalan santai menuju Singapore Botanical Garden yang tak jauh dari RS Gleneagles. Kunikmati semua keindahan taman itu yang memang ditata rapi. Hari masih pagi, sehingga aku bebas menghabiskan waktuku perlahan. Aku menunggu bus yang membawaku ke daerah Bugis. Kunaiki bus no.7 yang merupakan rute cukup favorit. Melewati Orchard Road, menyaksikan setiap sudutnya. Dari yang paling ujung, sampai arah Plaza Singapura. Mal-mal berjejer. Isetan Scotts, Tang’s, Lucky Plaza, Paragon, di kiri jalan. Sementara Forum Shopping Mall, Wheelock Place yang terkenal dengan toko buku Borders itu, ION Orchard, Ngee Ann City dengan Takashimaya-nya, Wisma Atria di kanan jalan. Melewati mal-mal terbaru di Orchard, tepatnya di seberang Central Point ada Orchard Central dan Sommerset 313. Melewati Istana dan Plaza Singapura. Indah, pemandangan yang hampir sempurna. Rapi, tak bercela. Tetapi, hati…mengapa kau masih begitu gundah?

Lalu bus tak lama melalui jalan-jalan menuju City Hall MRT. Ada Bras Basah Road, dekat dengan lokasi museum-museum di Singapura, termasuk museum nasionalnya. Ada Raffles City yang jika masuk ke arah City Hall MRT-nya, akan menemui city link mall, menggabungkan enam mall sekaligus di sana. Benar-benar satu perencanaan yang matang. Terlepas dari apa kata orang tentang Singapura, bahwa Singapura memang ‘hanya’ sebuah kota kecil jika dibandingkan dengan Jakarta misalnya, tetapi dia mampu membuktikan diri lewat keteraturan dan kerapian yang dimilikinya. Walaupun, bagi segelintir orang lainnya, kerapian dan keteraturan itu hanyalah siksaan belaka. Karena mereka jadi tak bebas merokok dan melakukan hal lainnya sesuka hati mereka.


Di Bugis Village, aku berhenti. Kumasuki keramaian yang selalu ada di jalan itu. Jalan yang menuju ke sebuah kelenteng yang selalu ramai dikunjungi, dikenal dengan nama Mandari She Ma Lu. Juga ada sebuah kuil Hindu yang ada di arah sana. Dalam jarak berjalan kaki, sebetulnya di arah belakang Raffles Hospital, ada sebuah mesjid juga. Dan gereja pun ada tak jauh dari sana, tepatnya di Ophir Road. Sungguh perpaduan keragaman yang melegakan hati, di mana kerukunan umat beragama dan kebebasan memilih suatu agama dipertahankan di sana. Aku terus menyusuri Bugis Village. Tanpa bermaksud membeli apa pun. Hanya mungkin kalau melihat oleh-oleh yang cukup menarik. Sedikit saja, karena aku tak berniat membeli terlalu banyak. Kulanjutkan putar-putar tanpa tujuan ini. Tujuan utamaku sebetulnya hanyalah melelahkan badanku, sehingga ketika pulang aku bisa langsung tidur tanpa perlu memikirkan kondisiku secara berlebihan. Tetapi, apa aku mampu? Aku tersenyum kecut. Kenyataan yang pahit memang sulit diterima. Apalagi dalam kesendirian dan takut akan kehilangan semua yang baru kunikmati!

***

Sementara itu, di rumah Susi di PIK sudah terjadi kegaduhan.

Susi memang menuju ke rumahnya, seperti rencananya semula. Dia tahu, tak lama kemudian Mama Willem pasti akan menyusulnya. Kali ini, dia tak berniat menghindarinya. Yang dia inginkan hanyalah penyelesaian masalah antara mereka.

Papa ada di rumah. Kebetulan. Jadi, Susi langsung menceritakan semuanya di hadapan Papa dan Tante Reni. Dia menceritakan singkatnya saja, bahwa ia hamil sementara ayah dari anaknya masih belum jelas. Willem pun sudah meninggal dan ibunya yang emosi tengah mengejarnya. Papa dan Tante Reni setengah tercengang, karena Susi tak pernah ada kabar berita, tiba-tiba pulang dengan kisah semacam ini. Tetapi, Papa Susi sungguh bertindak tegas dan langsung menerima anaknya kembali.


“ Apa pun yang terjadi, kamu tetap anak Papa. Asalkan kamu berjanji tidak mengulangi kesalahan kamu lagi, Nak. Dan mau memperbaiki diri demi jabang bayi yang ada dalam kandunganmu. Itu sudah cukup bagi Papa. Papa senang sekali jika itu terjadi di kemudian hari. Papa sendiri sudah sangat menunggu-nunggu seorang cucu.” Ungkap Papa dengan bijaksana.

Susi menyeka air matanya perlahan. Entah kehamilan ini yang menjadikannya sentimentil, entah memang dia sangat rindu sosok Papa yang dia dambakan selama ini. Papa yang selalu menerima dia, sejahat atau selicik apa pun dia, Papa tetap menerimanya. Tambah kuatlah keyakinan dalam hatinya untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik lagi.

Keharuan itu tidak berlangsung lama, karena seperti yang sudah diperkirakan, Mama Willem datang ke rumah Susi. Wajahnya berang, memancarkan amarah. Tampak sekali kalau dia tidak terima, walaupun memang tindakannnya menculik dan menyekap Susi di rumahnya tidak bisa dibenarkan. Namun, dia sendiri sudah kehilangan akalnya, harus bagaimana sepeninggal anak kesayangannya, Willem.

Mama Willem memasuki ruang tamu tanpa melepas sepatunya. Dihentakkannya kakinya dengan kesal, sambil berteriak:

“ Susi, keluar kamu! Sudahilah main kucing-kucingan ini. Tante sudah tidak mau lagi kejar-kejaran sama kamu.”

Ada apa ini, Bu? Datang-datang koq langsung teriak-teriak begitu? Tenang dulu, sabar dulu.” Papa Susi berusaha menenangkan Mama Willem. Tetapi agaknya upayanya percuma saja, karena malahan Mama Willem jadi semakin histeris dan berkata:

“ Tenang? Sabar? Bapak tahu tidak, kalau anak saya sudah meninggal. Dan Bapak suruh saya tenang?” Tiba-tiba diambilnya vas bunga yang cukup mahal di meja di ruang tamu itu dan dilemparnya ke lantai. Tangisan segera pecah dan membelah kesunyian rumah itu.

Susi terdiam. Baru dilihatnya betapa Mama Willem mengalami luka sekaligus duka yang teramat parah sepeninggal Willem. Memang, ditinggal orang yang dicintai tak pernah merupakan hal yang mudah untuk diterima, Susi sadar akan hal itu. Tetapi, dia tak menyangka efeknya bisa begitu dalam pada Mama Willem yang seolah begitu tegar-yang selama ini dia kenal.

Tiba-tiba Susi memeluk Mama Willem. Tanpa pernah menyangka bahwa orang yang selama ini dikejarnya dan dibencinya memeluk dirinya, Mama Willem berontak begitu kuatnya. Sehingga membuat Susi terhuyung-huyung dan kakinya terkena pecahan vas bunga yang dilempar tadi. Darah segar keluar dan perlahan, Mama Willem mulai sadar. Tangisannya masih ada, belum reda. Tetapi reaksinya sudah tidak sekeras tadi. Dia terdiam dan memohon maaf kepada Susi.

“ Maafkan Mama, Susi. Mama sudah terlanjur sakit hati, tetapi Mama sadar. Willem yang pergi itu takkan pernah kembali. Dan tak seharusnya Mama melampiaskan sakit hati Mama pada kamu. Walaupun mungkin kamu punya andil atas meninggalnya Willem, tetapi mungkin Tuhan sendiri yang mengambilnya dari Mama. “ Tangisannya berubah menjadi isakan perlahan dan sendu. Susi pun menangis. Dia tak ingin mertuanya berada pada kondisi semacam ini terus-menerus.


Drama di rumah Susi yang baru terjadi, membawa kesadaran yang positif juga bagi Mama Willem. Apalagi jika dia tahu, dia akan jadi seorang nenek. Hanya saja, Susi dan Papa sepakat untuk tidak memberitahukannya terlebih dahulu. Takut kalau dia kecewa, siapa tahu anak itu bukan anak Willem, melainkan anak Vic?

***

Setelah puas menangis semalam (pssttt, ternyata tindakan membuat capek diri sendiri dengan berjalan-jalan tak membuahkan hasil, karena pulangnya pun aku masih melamun sampai hampir pagi dan tak bisa tidur), aku pun bangun. Karena ini harinya. This is the day. Hari di mana aku akan mendengar hasil dari Dr. Ng. Kepalaku masih pusing dan pandanganku masih berkunang-kunang. Hari sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Kulangkahkan kaki ke kamar mandi di apartemen yang kusewa per hari, sengaja kucari yang murah- tak jauh dari Novena. Dan harganya pun tidak bikin sakit kepala. Aku mandi seadanya, memoles sedikit ‘lipstick’ warna pink supaya wajahku tak begitu pucat. Mengenakan celana jeans selutut dan kaos warna biru muda kesukaanku. Mengikat rambutku dan bersiap pergi ke Gleneagles.

Keluar dari apartemen. Kulihat wajah itu. Jason, ngapain kamu di sini?

“ Vit, aku datang pagi ini.” Katanya…

“ Jason, ngapain kamu ke sini? ‘Kan besok siang aku juga pulang.” Tanyaku.

“ Kamu tak menjawab sms-ku sama sekali. Begitu pula teleponku. Tak satu pun kamu angkat. Aku kerja pun tidak konsen, Vit. Kamu tahu, kamu begitu egois kali ini. Kamu terlalu tenggelam dalam masalahmu, tanpa mau berbagi padaku. Padahal aku adalah suamimu. “ Ungkap Jason kesal. Terlihat kalau dia sungguh cemas karena aku tak menggubris kontaknya sama sekali.

Tiba-tiba aku menangis tanpa aku bisa mengendalikan tetesan air mataku. Aku tak menyangka juga kalau Jason akan datang ke sini. Kupikir, paling-paling dia akan memarahiku sepulang dari sini besok.


Jason menghapus air mataku perlahan.

“ Kehidupan pernikahan kita sudah dimulai saat kita berjanji saling setia, Vit. Itu janji terindah yang pernah aku ucapkan hanya buat kamu. Tidak baik bagi kamu menyimpan semua bebanmu sendirian. Aku takkan kepusingan oleh masalahmu. Malah jika aku tak tahu apa-apa tentangmu seperti kemarin dan beberapa minggu yang lalu di mana kau seolah sembunyi dariku, aku malah cemas luar biasa. Bebanmu adalah beban kita bersama. Masalahmu adalah masalah kita bersama. Apa pun itu, akan kita hadapi berdua. Tak perlu kauragu untuk membagi kesusahanmu padaku. Jangan berpikir bahwa itu akan merepotkanku. Kayak tamu kamu kalau begitu.”


Aku tersenyum. Di sela-sela derai air mata yang masih mengalir, bibirku terbuka lebar. Jason mengucek rambut di kepalaku dengan penuh sayang. Ah, terima kasih Tuhan. Aku belajar sesuatu yang penting hari ini. Bahwa hidup perkawinan bukanlah biduk yang harus dinahkodai sendirian. Tetapi, kami berdua yang akan menjalaninya bersama. Pahit, manis. Susah, senang. For better, for worse. In sickness or health… Kami akan lalui semuanya berdua. Saling setia, sampai maut pisahkan kita!


Tiba-tiba aku merasa amat ringan. Bebanku berkurang separuh. Setidaknya ada dukungan dari Jason, membuatku merasa lebih tegar. Dan kami akan melangkah ke RS Gleneagles bersama. Apa pun hasilnya!


Bersambung…

Ho Chi Minh City, 28.10.2010

-fon-

Tuesday, October 26, 2010

Laporan Pandangan Mata Hati : Jakarta Menangis



Saya yang sudah lebih dari setahun tidak pulang kampung, benar-benar merindukan hal itu. Pulang. Kampung yang saya tuju, bukanlah tempat kelahiran saya, melainkan kota yang pernah saya diami belasan tahun lamanya dari saat saya duduk di bangku universitas dan bekerja. Jakarta, ibukota kita. Sempat saya tuangkan rasa itu ke dalam bentuk puisi berjudul Kangen yang saya tulis di Ho Chi Minh City, Vietnam tanggal 11 Juli 2010 yang lalu, berikut bait pertamanya:

Kangen

---rindu kampung halaman

rindu memilin tepian hati

merenda cinta bersemi indah

ribuan kilo jarak terpisah

nada di jiwa tetap sebati*

* sebati: bersatu padu; sangat mesra; sesuai

Tetapi, apa daya, saya harus menghadapi kekecewaan ketika saya pulang ke Jakarta. Bukan pada teman-temannya, bukan pada kondisi yang kurang fit saat selama berada di sana, melainkan salah satu yang terutama adalah kondisi lalu lintasnya. Macet!

Mungkin bagi rekan-rekan di Jakarta, sudah terbiasa menghadapinya hari lepas hari. Walaupun mungkin kesal, tetapi karena itu sudah jadi makanan sehari-hari, pastinya lebih tertempa, ya:) Saya ingat ketika saya pulang ke Jakarta sekitar pertengahan tahun 2009, saya belum merasakan macet yang sedemikian parahnya. Pernah terjadi di kepulangan saya Agustus 2010 ini, saya harus berada di taksi selama 2 jam untuk jarak tempuh Kuningan-Cengkareng karena itu bertepatan dengan waktu berbuka puasa. Padahal itu jadwal control dokter saya dan kondisi saya tengah mual berat dan lemas. Saya merasa cukup ‘kapok’ ketika itu dan memutuskan untuk pindah ke RS yang lebih dekat dengan rumah. Terbayang juga bila ibu-ibu harus melahirkan secara normal dan harus melintasi macet (plus banjir mungkin?), bisa-bisa keburu lahir di jalan…. Ampunnnn…. Atau mereka yang tiba-tiba terkena serangan suatu penyakit dan ambulansnya harus beradu dengan begitu banyak kendaraan yang memadati ibukota, agaknya bukan perjuangan yang mudah!

Pada dasarnya saya tidak suka mengeluhkan suatu kondisi secara berlebihan. Saya cinta Jakarta. Titik. Tanpa embel-embel. Tetapi, ketika kemarin melihat betapa banjir dan macet sudah membuat Jakarta porak-poranda, mau tidak mau, suara hati saya bilang: ini saatnya menulis tentang Jakarta. Tetesan hujan yang tak henti itu seolah menyuarakan kepedihan Jakarta dan warganya. Jakarta butuh suatu perencanaan matang, perubahan total, apabila ingin bebas dari permasalahan banjir dan macet ini. Bukan saja tugas seorang Gubernur atau Wakilnya semata (karena memang mereka sudah seharusnya bertanggung jawab untuk itu), karena konon katanya : ‘kan Jakarta bukan seperti kerak telor, tetapi perlu upaya dari semua pihak. Jujur, perlu pula kerja keras dari yang berwenang bekerjasama dengan warganya. Tata kota yang lebih baik memang diperlukan, tetapi tanpa peningkatan disiplin ataupun ‘good attitude’ dari warganya, agaknya sulit juga mencapai semuanya. Saya tidak lagi tinggal di Jakarta, tetapi saya prihatin akan hal ini. Dulu (mungkin) saya masih memimpikan suatu saat akan kembali ke Indonesia dan mendiami kota Jakarta. Namun, juiurnya setelah kejadian beruntun macet ditambah banjir kemarin yang menjadikan Jakarta seperti kota Venesia di Italia yang terkenal dengan gondolanya, hmmm… saya koq jadi pikir-pikir , ya… Mungkin saya akan memilih alternatif kota lain yang masih di Indonesia juga kalau Jakarta makin hari makin parah.

Jangan sampai karena kesalahan-kesalahan penataan kota dengan hanya mementingkan proyek-proyek prestigius, mengakibatkan Jakarta yang jadi korbannya. Kemudian pastinya merembet: warga dan masyarakatnya. Kalau begitu, lagu yang keluar adalah koor tangisan semata: Ke Jakarta ku(tak) akan kembaliiiii….. Karena kalau yang ada hanya kepusingan, keribetan, dan kekacauan, maukah orang berbondong-bondong ke sana, walaupun penghasilan menjanjikan?

Sebetulnya, Jakarta bukannya tidak punya hal positif. Banyak kebaikan malah! Setelah mendapatkan kesempatan untuk tinggal di dua negara di luar Indonesia, saya merasa bahwa Jakarta pun enak dan asyik sebetulnya. Ditambah lagi, tidak ada kendala bahasa, jika saya berada di sana, saya betul-betul merasa ‘at home’. Tetapi, tentunya Jakarta dan warganya juga harus berbenah diri. Untuk menghapus air mata yang sudah tertumpah dan tertampung di wastafel bernama Batavia, perlu upaya keras dari semuanya. Pemerintahan yang jujur dan memperhatikan kepentingan warganya, menata kota dengan bantuan ahli-ahli dari dalam maupun luar negeri jika memang dibutuhkan, serta belajar dari tata kota beberapa kota besar yang berhasil mengatasi permasalahan ini. Bukan hal yang mustahil, Jakarta bisa kembali seperti sedia kala, bahkan lebih baik lagi.

Deretan mobil yang menyemut, mungkin juga bisa diupayakan penanggulangannya. Misalnya seperti di luar negeri, sampai batas waktu tahun tertentu, mobil sudah tidak boleh dikendarai lagi. Walaupun memang kasihan juga, misalnya belum ada kemampuan untuk membeli lagi, tetapi setidaknya upaya pendisiplinan ini bisa mengurangi lalu lalangnya mobil di jalan.

MRT, seperti yang sudah ada di Singapura, apabila benar-benar ingin ditiru konsepnya… Harus diyakini juga, MRT akan dibuat seaman dan senyaman mungkin. Sehingga para pengendara mobil pun rela meninggalkan mobil atau motornya untuk kemudian naik MRT. Kalau ternyata MRT tidak ditunjang oleh faktor keamanan, kebersihan, maupun kerapiannya, malah mungkin terjadi MRT tetap kosong, sementara mobil tetap macet berjubel sehingga permasalahan tak terselesaikan.

Anda punya banyak ide buat Jakarta? Harusnya ada wadah pula dari pemerintah untuk menerima ide masyarakatnya dan memperhatikannya. Siapa tahu, dari ide-ide itu muncul inspirasi cemerlang untuk benar-benar membuat Jakarta berhenti menangis.

Ah, hati saya pun sebetulnya menangis semalam. Memikirkan banyak sahabat yang harus menghabiskan 2-6 jam di jalan-jalan dan menembus banjir di Jakarta. Memikirkan banyak orang yang rumahnya terendam dan tak mampu harus berbuat apa, padahal itu adalah satu-satunya rumah yang dimilikinya…

Andai saja, semua bisa bersatu padu…. Semua berhenti atau setidaknya mengurangi memikirkan kepentingannya untuk jadi kaya tanpa peduli lingkungan. Bukan cuma proyek yang utama, tetapi nasib warga dan anak-cucu mereka nanti…….Mungkin Jakarta takkan menangis sesedih ini… Jakarta butuh orang-orang yang peduli, yang bukan cuma mengumbar janji. Tetapi penanganannya memang membutuhkan tindakan nyata.

Tissue pun tak mampu menenangkan isak tangisnya lagi. Dia perlu banyak usaha, upaya, pembenahan, untuk kembali jadi ibu kota yang ‘ngangenin’ dan membanggakan…

Ho Chi Minh City, 26.10.2010

-fon-

* I left my heart in Jakarta, that’s why I’m writing this article…Dan pada saat saya menuliskan hal ini, simpatiku untuk korban gempa Mentawai, korban meletusnya Gunung Merapi. Sungguh, hatiku menangis bersama Indonesia. Mungkin judul artikel berikutnya yang cocok adalah: Indonesia Menangis, tapi aku tak berhenti berdoa: God Bless Indonesia!

sumber gambar:

swaberita.com

Monday, October 25, 2010

TODAY



This is a beginning of a new day

Of love, of life, of something good

Dare to seek every new challenge in this adventure

And try to enjoy the very best of it

Yes, I believe that there’s a new hope in this very day and in everyday of our life!


Ho Chi Minh City, 25.10.2010

-fon-

* hope and goodness in contagious! Let’s enjoy and celebrate this new day that He has made!

source of picture:

alllayedout.com

Sunday, October 24, 2010

Maafkan Mama, Nak…



Mama tak pernah membencimu. Tak pernah, Nak!

Sedetikpun pikiran itu tak pernah menyergap Mama. Hanya saja, memang kauhadir di saat kondisi yang kurang tepat. Gangguan relasi Mama dengan Papamu sudah mencapai puncaknya. Hubungan pernikahan kami yang sudah sebelas tahun itu memang bukan perkawinan sempurna. Namun, Mama sadar, perkawinan yang nampaknya sempurna sekali pun memiliki ketidaksempurnaan di dalamnya. Justru ketidaksempurnaan itu yang menyempurnakannya, bukan? Itu kata orang-orang. Tetapi, di perkawinan Mama dan Papa, ketidaksempurnaan itulah yang jadi duri-yang kian hari kian menusuk-melukai kami semua, terutama Mama, Nak.

Masalah lainnya, Mama tidak tahan tertusuk onak dan kesakitan. Siapa juga yang tahan sakit? Tiada orang yang tahan sebetulnya, bukan? Keadaanlah yang menempa orang-orang tabah dan tegar itu, untuk kemudian menjadikan mereka kuat. Mama akui, Mama memang lemah. Mama lemah oleh cinta yang ditawarkan Papamu di awal pernikahan kami. Cinta-yang Mama kira-adalah ketulusan, kelembutan, dan kebaikan yang tiada tara. Ternyata, Mama keliru, Nak! Sampai perkawinan kami menginjak hari ulang tahunnya yang ke sebelas, cinta Papamu masih ditawarkannya pada wanita-wanita lain. Bukan sekali Mama memergoki perselingkuhan Papamu. Bukan hanya dengan wanita berkelas dan berpendidikan, namun dengan sembarang wanita yang dia sewa hanya untuk semalam. Kakak-kakakmu lahir, di tengah seluruh kegalauan Mama akan cinta Papa-akan keutuhan perkawinan kami. Tiga orang kakakmu telah memenuhi rumah tangga Papa dan Mama selama ini.

Namun, ketika kau mendiami rahim Mama, Nak…

Mama sudah tidak tahan lagi dengan tingkah Papamu. Yang kali ini secara keterlaluan mencoba mendekati keponakan Mama yang masih ABG. Anak Oom-mu, jika kamu lahir nanti, Nak! Dirayunya melalui media online dan gadget: Facebook, YM, BBM. Mama sudah tak tahan, Nak!

Karena itulah, ketika kalap, Mama langsung memutuskan untuk pergi ke dokter yang bisa dan biasa melakukan aborsi, Nak. Segera Mama lakukan, tanpa pikir panjang. Tetapi dalam hati, Mama menyesal, Nak. Biar bagaimana pun Mama-lagi-lagi Mama ulangi kalimat ini: Mama tak pernah membencimu. Yang ada hanyalah rasa kecewa dan amarah terhadap tingkah genit Papamu yang semakin lama semakin tak tahu diri. Maka, ketika Mama memutuskan dalam keadaan emosi, kamulah yang jadi korban. Herannya, setelah segalanya usai, Mama bukannya lega. Malahan, Mama dihantui rasa bersalah yang begitu berat menimpa dada ini. Seolah truk berisi ribuan ton batu menghimpit rongga hati Mama, Nak! Mohon ampun kepada Tuhan, karena Mama sudah jadi pembunuh. Pembunuh buah hati Mama sendiri. Karena Mama tak pernah berpikir untuk menambah anak lagi. Hanya saja, ketika Papamu pulang malam itu, Mama pun menyerah lagi seperti biasa dan mengakibatkan hadirnya dirimu. Mama tahu, Mama keliru. Namun, Mama pun tak bisa menampik rasa cinta yang begitu besar yang ada di hati Mama terhadap Papamu. Mama terlalu lemah, Nak. Mama sungguh sadar akan hal itu.

Kalau saja waktu bisa diputar kembali, Mama sangat sangat ingin, Nak… Membuat keputusan yang lebih benar, yaitu mempertahankan dirimu. Di tengah semua kondisi yang ada, kehadiran seorang anak yang seolah salah pun sebetulnya tak pernah salah. KAU TIDAK SALAH, NAK! Mama yang salah. Papa juga salah, tetapi kau tidak!

Mama sadar, Mama pun bukanlah sosok ibu yang sempurna. Mama hanya bisa menjalani kehidupan Mama dengan sebaik-baiknya, berusaha bangkit dan menegarkan diri di antara semua harapan yang pupus. Cinta yang tersakiti berulang kali. Lagi dan lagi, seolah tanpa henti. Dalam seluruh luka dan kesakitan itu, Mama yang sudah jatuh harus berusaha bangkit lagi. Dengan segenap luka, nanah, ataupun lecet yang masih tersisa. Mama berusaha tawarkan cinta kepada anak-anak Mama. Yang tentunya juga masih merasakan efek dari luka itu sendiri karena Mama belum sanggup mengatasi semuanya saat ini. Mama mengerti sekali, bahwa kalian pun butuh kasih yang tulus dari seorang Mama. Yang mungkin belum pernah kalian dapatkan secara sempurna dari Mama. Mungkin banyak kali yang kakak-kakakmu lihat, Mama terlalu sibuk dengan kesedihan Mama sendiri. Berkubang di dalamnya, seolah tenggelam dan tak tahu harus berbuat apa kecuali menangisi hidup dan menyesali nasib. Tetapi, kepergianmu kali ini juga membulatkan tekad di hati Mama… Kalau Mama ingin memperbaiki diri bagi kakak-kakakmu, karena pengorbananmu.

Mungkin Mama takkan pernah mampu memaafkan diri Mama sendiri, Nak. Seumur hidup tindakan ‘pembunuhan’ ini akan menghantui Mama. Mama menyesal. TERAMAT SANGAT. Berdoa pun rasanya tak mampu Mama lakukan lagi. Akankah Tuhan mengampuni Mama atas penghilangan nyawa anak Mama sendiri? Mama tidak tahu, Nak. Seharusnya Dia yang Maha Pengampun itu akan mengampuni setiap kesalahan manusia. Hanya saja, Mama tidak mau melakukan tindakan pembenaran diri atas kesalahan yang sudah Mama buat. Mama tidak mau, pernyataan bahwa Dia selalu mengampuni manusia menjadi justifikasi atas tindakan kalap Mama ketika mengaborsimu. Mama hanya bisa berjanji, Mama akan berusaha hidup benar, tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Juga menjaga kakak-kakakmu dengan baik. Papamu? Entahlah, Nak. Mama hanya berharap, suatu saat dia bisa sadar. Mama tak hendak menceraikannya, karena Mama terlalu mencintainya. Tetapi untuk terus hidup bersamanya, Mama juga tak sanggup. Jadi, sementara biarlah kami pisah rumah, walaupun suatu saat Mama masih menantikan dia bertobat dan pulang kembali sebagai Papa yang baik.

Maafkan Mama, Nak. Sungguh, Mama mohon ampunan darimu.

Dari yang tidak sempurna,

Mama.

Highlands Coffee-HCMC, 25 Oktober 2010

-fon-

* cerminan rasa bersalah yang menghinggapi seorang Ibu seusai dia melakukan aborsi. Sayangi nyawa mereka, hargai mereka, walaupun mereka nampaknya ‘hanya sekadar’ janin. Mereka punya hak untuk menikmati hidup.

* Special thanks to Suster Amanda di Yogya yang memberikan ide penulisan kali ini. GBU, Sus:) Edisinya masih dalam bahasa Indonesia. Nanti, kalau sempat saya terjemahkan ke Bahasa Inggris:)

Sumber gambar:

deviantart.com


Thursday, October 21, 2010

You’ve Got the Talent (s)!



Setelah menikmati acara-acara di televisi Indonesia: Indonesia Mencari Bakat (IMB) di Trans TV, Indonesia’s Got Talent di Indosiar, saya koq jadi suka dengan beberapa di antaranya. Hudson misalnya. Pria yang bisa bernyanyi dan berperan ganda: Hudson dan Jessica. Bolak-balik kiri-kanan, dandanan langsung beda. Wah, keren, dah! Langsung malas menonton lagi, ketika Hudson dieliminasi. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya pada kontestan lainnya yang juga berbakat seperti Klanthink, Putri Ayu atau Brandon, maaf saya tetap suka Hudson:)

Di Indonesia’s Got Talent, saya memang belum menyaksikan semuanya. Karena nontonnya pun sepotong-sepotong. Namun, ada seorang yang menyanyi klasik keren, juga ada Young Boys: memainkan alat musik berbeda, pernah mengerubuti satu piano ber-4 dan menghasilkan nada-nada cemerlang. Keren!

Dan terakhir, saya paling senang melihat semangat dari pemenang China’s Got Talent 2010. Armless pianist – Liu Wei. Sekali dia mengeluarkan suaranya dan bernyanyi sembari main piano, saya langsung speechless! Video ini saya tonton dengan sedikit berkaca-kaca sekitar seminggu yang lalu atas rekomendasi suami saya. Liu Wei sangat-sangat-sangat memberikan saya semangat. Di kala mereka yang patah semangat, kehilangan motivasi dan tengah ‘down’ melihat video ini, pastinya akan mendapatkan kekuatan baru. Bahwa Liu Wei yang tidak sempurna secara fisik itu, mempunyai keindahan luar biasa bahkan melalui jari kakinya!

Tidak ada orang yang tidak punya talenta. Meskipun orang yang tidak sempurna fisiknya sekalipun contohnya Liu Wei, Nick Vujicic, atau ‘Lazy Legs’ salah satu anggota penari yang masuk America’s Got Talent pun memilikinya. Terlalu sering kita berpikir kita ini tidak ada talenta apa-apa. Yang ada hanya hobby tidur, nonton televisi, ataupun menghabiskan waktu dengan makan dan makan. Jadi, talentaku apa ya?

Gali terus di dalam diri. Pasti ada sesuatu hal yang bisa dilakukan dengan baik. Pasti ada satu, dua atau tiga talenta bahkan lebih yang Tuhan titipkan di diri kita. Hanya pertanyaannya: sudahkah kita kembangkan dengan baik demi kemuliaan nama-Nya? Atau talenta itu kita kubur dengan rapi atau kita simpan di dalam laci? Atau…Mungkin kita belum begitu percaya diri untuk meyakini bahwa ada suatu kekuatan yang diberikan-Nya kepada kita lewat talenta-talenta itu?

You’ve got talent. Or could be more: you’ve got talents! Jadi, carilah apa yang menjadi kerinduan terdalam di dirimu. Yang membuat ‘passion’ di hati bergelora setiap kali memikirkan hal itu. Tak pernah berhenti walaupun mata terpejam, kau sungguh ingin mewujudkannya suatu saat nanti. Terlepas dari apa pekerjaanmu saat ini. I’m sure, you’ll find it

Dan setelah itu, luangkan waktu untuk betul-betul mengembangkannya. Be the best you… Kembangkan talentamu bagi dirimu, sesama, dan yang terpenting bagi kemuliaan-Nya!

HCMC, 21 October 2010

-fon-

Wednesday, October 20, 2010

Thank God I Found You Part 20


*** Episode: Melintasi Fase Kehidupan

Previously on Thank God I Found You part 19 (Episode: Jadi, Bagaimana?)…

Vita dan Jason kembali ke Jakarta dengan kondisi yang kurang mengenakkan. Tumor di kepala Vita terdeteksi berdiameter 3 cm. Vita pun mengalami perubahan sikap disertai penyesalan, mengapa ia harus menikah dengan Jason kemudian mengalami semua keadaan yang berubah begitu cepatnya. Dia tak pernah menduga kalau ini semua terjadi di awal pernikahannya. Bagaimana Vita menghadapi semua ini lalu bagaimana kelanjutan penyakit yang dideritanya serta hubungannya dengan mertua yang satu rumah dengannya (Mama Jason)? Dan, bagaimana hasil test-pack Susi? Apa dia betul-betul hamil? Simak di semuanya di episode berikut ini…


Episode: Melintasi Fase Kehidupan


Susi masih menunggu di toilet. Tak lama perubahan warna terlihat. Dua strip, artinya dia positif hamil! Disekanya air mata haru yang turun perlahan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasakan perubahan itu. Janin di dalam perutnya telah mengubahnya. Dia yang licik dan sangat mementingkan diri sendiri selama ini, tiba-tiba merasakan keinginan yang kuat untuk berbagi. Berbagi kehidupan dengan seorang yang memang adalah darah dagingnya-terlepas dari siapa ayah sesungguhnya dari bayi ini. Suatu kali dalam hidupmu, mungkin kau bisa tersentak dengan kenyataan yang ada. Mungkin kenyataan itu membawamu ke arah perubahan yang positif. Setelah sekian lama ‘tersesat’ tak tentu arah, hanya hidup semaunya saja. Hari ini, dia merasakan niat yang kuat untuk melanjutkan hidup dengan benar. Untuk anaknya, dia akan lakukan hal itu: perubahan menjadi Susi yang lebih baik lagi.


Ijah kembali membuka pintu kamar. Susi jadi nekad dan berkata: “ Jah, kamu mau tolongin aku. Panggilkan taksi, Jah. Aku hamil, aku tak bisa tinggal di sini terus. Kalau kamu mau, kamu bisa pergi sama aku. Nanti kamu yang bantu aku karena… aku positif hamil…”

Ijah terdiam. Tetapi, naluri kewanitaannya yang bicara. Tak perlu waktu terlalu lama, dia menyetujui permintaan Susi. Dikemasnya barang seadanya, sambil menelpon taksi. Mereka harus gerak cepat, karena tidak tahu berapa lama lagi Mama Willem akan kembali dari salon langganannya.

***

Aku berusaha agar semua aktivitas berjalan biasa. Normal, apa adanya. Aku pergi ke kantor seperti biasa, walau aku tahu hatiku masih belum normal, emosiku masih labil. Tetapi, daripada aku terus di rumah bersama ibu mertuaku dan meratapi nasibku, bukankah sebaiknya aku bekerja dan bertemu teman-temanku seperti biasa? Mereka tak melihat perbedaanku. Aku pun tak merasa perlu menceritakan semuanya kepada semua orang. Paling, beberapa sahabat dekatku di kantor nanti akan kuceritakan perihal tumorku ini. Tanpa kusadari, aku jadi gampang emosi. Dalam menangani hal-hal kecil yang seharusnya adalah masalah yang mudah, malah menjadi hal yang seolah berbelit-belit. Itu dikatakan oleh teman-teman kantorku yang melihat perubahanku seminggu setelah aku kembali dari bulan maduku. Beberapa dari mereka bahkan heran, mengapa perubahan itu terjadi begitu cepat? Padahal, aku ‘kan baru saja menikah, seharusnya aku melewati masa-masa indah. Manis dan tak terlupakan. Bukan dengan tingkah laku penuh kekejaman semacam ini!


Aku tak tahu harus bagaimana. Yang pasti, sejujurnya aku tak siap dengan berita ini. Di rumah pun, aku harus adaptasi dengan mertua. Yang sebetulnya baik, sih. Dia memperhatikanku. Memasakkan makanan bagi kami- aku dan Jason. Berusaha menyenangkan kami dengan kondisi kesehatannya yang tak lagi prima. Namun, apa daya aku yang sedang berjuang mengatasi rasa yang hilang di hati. Rasa yang hilang terhadap Jason, terhadap hidup, dan terutama terhadap diriku sendiri. Aku tak lagi punya semangat hidup, separuh jiwaku terasa mati. Tumor ini terlanjur melumpuhkan aku. Aku tahu, aku harus berjuang keras mengatasi ini semua. Tak baik aku menyimpan sesal terhadap semua yang telah terjadi. Bukankah segala sesuatu terjadi pasti juga ada rencana Sang Pencipta di baliknya? Hanya saja, ketika tengah berada dalam keterombang-ambingan dalam ketidakjelasan semacam ini. Rasanya sulit bagiku untuk memikirkan bagian besar dari rencana-Nya. Yang kulakukan hanya meratapi nasib, menangis, menenggelamkan wajahku di balik bantal ketika Jason tak ada. Di hadapan Jason, setengah diriku bersandiwara. Aku berlaku bak seorang robot yang seolah ceria di hadapannya-juga di hadapan ibu mertuaku, dengan harapan mereka tak kuatir. Mungkin salahku juga, tak mau terlihat lemah, tak mau jujur di hadapan mereka. Tapi, aku sendiri masih terlalu sibuk untuk mengatasi semua yang tengah terjadi. Aku merasa amat sangat sendiri!


***

Taksi bernomor SK 2980 itu telah terparkir di halaman rumah Mama Willem. Berwarna biru, taksi langganan banyak orang di Jakarta. Bergegas Susi dan Ijah masuk ke taksi itu. Susi tak punya tujuan lain, selain pulang ke rumah. Rumah yang dulu selalu dibencinya. Rumah yang selama ini seolah adalah neraka setelah kehadiran ibu tirinya-Tante Reni-selingkuhan Papa yang sedikit banyak mempengaruhi kesehatan Mama Susi dan berakhir dengan kematiannya. Kini, tiba-tiba dia ingin berdamai dengan Tante Reni. Kata ‘Mama’ yang seolah selalu terpaksa dia ucapkan, ingin diucapkannya dengan sepenuh hati. Semoga papa dan mama menerima dirinya, plus Ijah, plus jabang bayi yang sekitar delapan bulan lagi akan memenuhi rumah itu dengan tawa. Atau, demi alasan keamanan agar terhindar dari Mama Willem dan keluarganya, Susi juga terpikir untuk tinggal di salah satu apartemen milik papanya yang terletak di berbagai wilayah di Jakarta. Mungkin, untuk praktisnya, dia akan tinggal dekat Pantai Indah Kapuk, rumahnya selama ini.

Taksi mulai bergerak perlahan keluar kompleks. Dan di saat yang bersamaan, mobil sedan BMW milik keluarga Willem yang baru dibeli beberapa bulan yang lalu masuk ke jalan yang sama. Berpapasan, tanpa Mama Willem tahu ada siapa di dalam taksi. Susi menunduk sedikit, untuk menghindari pandangan Mama Willem ataupun sopirnya. Lolos! Mereka tak dikenali. Taksi pun kembali berjalan perlahan, membelah Kota Jakarta dan kemacetannya yang semakin tak kenal waktu. Menuju rumah papa dan Mama Reni di Pantai Indah Kapuk.


***

Karena masih tanpa semangat mencari dokter lainnya di Jakarta, kuputuskan untuk kembali cek ke Dr. Ng saja. Aku tak minta ditemani Jason. Alasannya, ‘kan kami baru cuti dan bulan madu. Biar aku pergi sendiri saja ke Singapura, sambil menenangkan hatiku. Kupilih pesawat murah, mumpung ada Air Asia seharga Rp. 199.000 belum termasuk pajak, makanan, dll. Lumayanlah. Lagian, penerbangannya ‘kan singkat saja. Apa pun jadilah, asal sampai dengan selamat…


Glen Eagles Hospital, siang hari.

Kumasuki ruang praktik Dr. Ng tanpa semangat, hanya senyum simpatiknya yang memberikan angin segar di antara semua keletihan ini.

How are you doing?” Tanyanya sumringah.

Fine, Doctor. Thanks.” Jawabku.

Kembali Dr. Ng menyarankan untuk scan ulang. Untuk setidaknya melihat efek obat yang sudah diberikannya sekitar dua bulan yang lalu. Aku mengangguk. Tanda setuju (atau malah pasrah karena tidak tahu apa yang harus kulakukan). Aku hanya menurut saja.


***

Mama Willem memasuki rumah dengan perlahan. Dilihatnya Si Mbok yang sudah ikut mereka selama dua puluh tahun berteriak panik di ruang tamu.

Ada apa, Mbok?” tanyanya.

“ I…i…itu, Bu… Si Ijah dan Non Susi kabur.” Tukasnya.

“ Hah? Kabur? Cepat panggil sopir, siapkan mobil. Jangan-jangan taksi yang tadi papasan sama ibu di depan. Ayo, cepat!”

Mama Willem langsung masuk ke BMW silver milik keluarganya. Pak Sopir dengan sigap juga langsung berujar,

“ Ke mana, Bu?”

“ Ke mana, ya?” Mama Willem membatin. Tetapi, bisikan di hatinya mengatakan kalau kemungkinan Susi akan kembali ke rumah orang tuanya di PIK. Tak ada salahnya dicoba.

“ Pantai Indah Kapuk, rumah besan saya, Pak.” Jawabnya yakin.


***

Susi sempat berhenti sebentar untuk membeli air putih di sebuah mini market dekat rumahnya. Sudah memasuki daerah PIK juga. Namun, karena pemberhentian itulah, mereka jadinya lebih terlambat sampai ke rumah. Sementara BMW Silver Mama Willem dibawa sopirnya dengan kecepatan tinggi. Tak jauh dari Ruko Cordoba di PIK, mobil BMW dan taksi itu berpapasan. Persis kejadian di film-film ‘action’ di mana mobilnya menyalip taksi yang ditumpangi Susi.

“ Turun kamu!” Seru Mama Willem.

Susi hanya membuka jendela.


“ Buat apa saya turun? Lagian saya tidak salah, Mama yang telah menculik saya dan membekap saya di dalam rumah. Kalau memang Mama mau bicara baik-baik, saya mau dengarkan. Tetapi tidak di sini. Mama buka jalan, saya undang Mama ke rumah orang tua saya. Tetapi, kalau tujuan Mama masih juga melampiaskan dendam terhadap kematian Willem, mending Mama urungkan niat Mama karena dendam itu takkan ada habisnya, Ma.” Ucap Susi tegas tetapi pelan.


Mama Willem termenung. Dalam dirinya ada pergolakan. Sementara dia terdiam, Susi memberi aba-aba pada pengemudi taksi untuk putar balik dan ambil arah yang tak terhalangi. Lalu, tancap gas! Meninggalkan Mama Willem yang masih terbengong sejenak, lalu bergegas masuk ke dalam mobil. Pengejaran dimulai lagi!


Bersambung…


HCMC, 21 Oktober 2010

-fon-