Sunday, December 28, 2014

Pribadi Yang Tahu Diri

Hellow temen-temen semua...
Kali ini, di penghujung tahun ini, aku bakal menuliskan sesuatu yang sudah lama ingin kutuliskan.
Kalian tentunya pernah 'kan, melihat acara pencarian bakat semisal Indonesian Idol, American Idol, atau yang dulu-dulu pernah tahu AFI. 
Pastinya pada saat audisi, kita pernah 'tuh melihat beberapa peserta audisi yang merasa super PD (Percaya Diri) dengan kemampuan mereka.
Sehingga, bila tidak diterima oleh jurinya untuk lolos babak kualifikasi, mereka merasa marah.
" Gue 'kan bagus gini nyanyinya, koq bisa gak diterima? Itu juri pada salah kali kupingnya!"

Tak jarang, kita lihat mereka dengan mencak-mencak dan marah-marah, meninggalkan ruang audisi.
Dan, ketika diwawancara, ternyata mereka masih menyisakan sakit hati yang tak terselesaikan.
Terkadang  sambil memaki, marah, menangis, mereka berlalu dari kamera yang menyorot mereka.

                                                                        ***

Saat ini, saya koq terbayang lagi ya, tontonan waktu itu...
Akhir tahun, agaknya menjadi saat yang cukup tepat juga untuk kembali lagi merenungkan..
" Apakah saya sudah jadi pribadi yang tahu diri?"
Bisa menempatkan diri saya pada kemampuan saya sesungguhnya, bisa menerima kritik, dan bisa memaksimalkan talenta yang diberikan-Nya kepada saya?
Mungkin sulit. Mungkin jalan yang harus kita lalui berliku.
Untuk menerima kenyataan bahwa saya tidak sebaik yang saya kira, agaknya bukan pekerjaan mudah.
Terkadang pula, kita malah diliputi rasa minder, rasa tak bisa menerima diri, perasaan tak sebanding atau tak sebaik orang lain...

Ini adalah PR (Pekerjaan Rumah) buat saya pribadi.
Menjadi PR seumur hidup bagi saya yang sadar juga bahwa begitu sering saya berbangga untuk sedikit perbuatan baik yang saya lakukan. 
Sebaliknya, pura-pura lupa atau tak peduli pada perbuatan buruk yang pernah saya lakukan.
Begitu sering pula saya merasa diri begitu kecil, tidak layak, minder, dan sebagainya.
Untuk benar-benar menerima diri apa adanya, memang bukan pekerjaan yang langsung bisa kita lakukan.
Butuh perjuangan, butuh untuk terus-menerus mohon kasih Allah untuk mempu mengasihi diri sendiri dan tidak menyalahkan siapa-siapa atas keberadaan kita di dunia ini...
Karena keberadaan kita bukanlah kebetulan, itu atas rencana-Nya.
Sepantasnyalah kita mensyukuri keberadaan diri kita.
Berani pula melihat diri sendiri dengan obyektif (berusaha).
Jika memang ada bakat terpendam, bisa digali, untuk kemudian memberikan yang terbaik bagi sesama kita.
Jika memang tidak atau belum baik di suatu bidang tertentu, yang walaupun begitu kita sukai, tetap belajar untuk lebih baik... Namun, tetap pula melihat dengan obyektif, sampai di mana kemampuan kita.
Tidak memaksakan diri, tidak pula memaksakan orang lain untuk mengakui kehebatan kita.
Jika memang kita dinilai baik, bersyukurlah, bahwai itu adalah anugerah Yang Kuasa.

Di akhir tahun ini, sekaligus resolusi tahun baru nanti, saya pribadi ingin menjadi pribadi yang lebih tahu diri.
Tahu bersyukur, tahu berterima kasih.
Tahu pula kelemahan saya dan terus berusaha memperbaiki diri...
Tahu bahwa ketika banyak anugerah yang diberikan pada hidup saya, itu hanyalah karena kasih dan kebaikan-Nya semata...
Tahu dan sadar, bahwa tanpa Tuhan, saya bukan siapa-siapa.
Belajar untuk tidak Sok Tau, bahwa hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu.

Eh, gak terasa, tau-taunya kita udah mau taon baruan...
' Met menyambut lembaran tahun baru, dengan kesadaran diri yang lebih baik...
Dengan menjadi pribadi yang tahu diri...
Tahu bersyukur kepada Yang Ilahi.

29.12.2014
fon@sg

Sunday, November 16, 2014

Smile to the Beautiful Morning


Tidak setiap pagi menyenangkan…
Banyak kali, pagi itu adalah hari yang mengecewakan.
Sisa semalam, seminggu yang lalu, atau setahun kemarin….
Duka yang masih ada, luka yang masih menganga…

Ada kalanya rasa kantuk masih begitu membelenggu dan sukar untuk dilawan.
Seperti pagi itu.
Beautiful?
Halahhh
Sungguh iklan bakery itu benar-benar seolah mengejekku.
Tulisan itu berbunyi : “ Smile to the beautiful morning.”
Padahal, aku tahu.
Maksud mereka tentunya baik.
Lagian, siapa juga yang tidak ingin paginya indah?
Tidur nyenyak, mungkin mimpi bertemu pangeran pujaan hati bagi mereka yang jomblo, mimpi naik pangkat, punya mobil keren…
Dan, bangun pagi dengan kesegaran prima.
Maunya setiap hari seperti itu.
Maunya, sih
Nyatanya?
Seperti pagi itu…
Atau pagi-pagi yang lain…
Terkadang begitu sulit untuk mengucap syukur akan datangnya pagi.

Dalam 365 pagi, atau 366 pagi di tahun Kabisat…
Berapa persen sih, yang membuat senyum kita sumringah?
Atau, kalau sulit dihitung dengan persentase, berapa hari yang begitu sesuai dengan impian kita?
Mungkin pertengkaran dengan pasangan-entah suami atau istri- yang belum selesai semalam.
Mungkin anak yang tengah tidak enak badan, sehingga tidur kita pun tak nyenyak…
Mungkin tumpukan deadline pekerjaan di kantor yang bikin seolah diburu-buru tiap pagi…
Mungkin kemacetan Jakarta yang harus diperjuangkan untuk dilalui setiap hari…
Mungkin stres ujian bagi mahasiswa atau pelajar..
Berjuta kemungkinan yang bisa kita hadapi hari itu…
Berjuta kemungkinan yang seolah merenggut indahnya pagi dari diri kita…

Padahal, di bawah segala tekanan itu tadi, apakah jadinya pagi itu tidak indah?
Apa jadinya tidak ada sama sekali kebaikan atau keindahan di dalamnya?
Atau, apa kita yang seolah ‘tertutupi’ atau ‘terbutakan sementara’ akan indahnya pagi karena permasalahan yang mendera, sehingga membuat kita tak bisa mensyukuri kehadirannya?

Seburuk apapun, pagi ini kita masih bernafas.
Itu berarti masih ada harapan untuk menjadi lebih baik.
Seburuk apapun, pagi ini kita masih bisa menjalani peranan atau pekerjaan kita…
Mari usahakan yang terbaik yang kita bisa…
Seburuk apapun, masih ada keindahan yang patut disyukuri.
Sehingga, pagi ini dan pagi-pagi berikutnya yang masih dianugerahkan-Nya pada kita,  semoga senantiasa kita syukuri…
Tak lagi aku mengeluh.
Perlahan tapi pasti, senyuman mulai mengembang di sudut-sudut bibirku…

It is indeed a beautiful morning!
And there’s always a reason to smile.
As soon as I smile,  I can feel a wonderful shade of happiness gradually fills my heart.
Yes, I’m grateful for this beautiful morning.
Thanks be to God!

Seolah alam pun memancarkan keindahannya yang terbaik pagi itu.
Sesudah hujan, pelangi menghiasi langit biru.
:)



Singapore, 16.11.2014
fon@sg
*inspirasi dari iklan Breadt*lk  yang belakangan sering dipajang di outlet-outletnya…




Friday, November 7, 2014

Something About Love... (Cerpen)


“Ketika cinta memanggilmu, maka dekatilah ia walau jalannya terjal berliku.  Ketika cinta memelukmu, maka dekapilah ia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu.”― Khalil Gibran


Masih terngiang jelas di telingaku dan lekat dalam ingatanku akan tulisan Pujangga ternama-Khalil Gibran itu.
Cinta? Hmmm, aku tersenyum.
Sunggingan di bibirku itu tak terlalu manis, sedikit sinis.
Aku sejujurnya sudah tidak tahu lagi apa arti cinta sesungguhnya.
Ketika cinta itu begitu indah, berwarna, dan bermakna di awal perjumpaan kita...
Aku menikmati setiap detiknya, setiap hembusan nafasnya ke dalam hari-hari kita.
Kusyukuri itu semua...
Begitu membahagiakan dan membuat berbunga-bunga.
Jalan kita terbilang mulus di kala itu, tak banyak hambatan berarti.
Perkenalan-pertemuan-berpacaran-dan kemudian memutuskan untuk menikah.
Ya, tentu saja aku ingin menikah denganmu.
Menghabiskan masa tuaku bersamamu, jika Tuhan menghendaki kita berumur panjang, dan saling mengisi sampai akhir nanti...

                                                                           ***

Aku begitu bahagia ketika aku mengenakan pakaian pengantin wanita.
Kurasakan kebanggaan itu.
Aku merasakan kepenuhan diriku sebagai wanita...
Kita akan menikah...
Kita saling cinta...
Ah, indahnya!
Aku merasa bagaikan seorang Putri yang disunting Pangeran berkuda putih...
Meninggalkan kastil kejombloanku dan mengikuti kamu ke mana pun kamu pergi.

Tetapi, bahagia itu hanyalah sementara.
Bunga-bunga yang seolah bermekaran, suatu saat akan layu juga.
Perasaan yang berbunga-bunga di masa lalu, menjadi perasaan pilu di suatu waktu...
Saat kita tak lagi saling mengerti, saat kita tak lagi saling peduli.
Saat kita melihat begitu banyak perbedaan yang seolah baru kita sadari.
Padahal, yang menyatukan kita di awal relasi ini adalah seolah ada begitu banyak kesamaan dalam diri kita yang mempererat tali cinta kita...
Sekarang? Aku duduk termenung.
Meragu.
Dalam bimbangku aku hanya bisa membenamkan diri di bantalku-saat kamu tak ada di sisiku.
Juga, saat aku berada di toilet.
Kamar mandi seolah menjadi tempat yang paling ideal buat menumpahkan segala keresahan di hatiku.
Aku jadi sering berlama-lama di sana, bukan hanya melakukan kewajiban yang seharusnya, namun aku juga menumpahkan segala rasa.
Tangisku. Gelisahku.
Semua tertumpah di situ.

Pernah kucoba menonton drama Korea seperti saran beberapa sahabatku.
Aku menyukai beberapa pemerannya, terlarut di dalamnya...
Namun, kesedihan itu seolah kembali menghujam ketika aku rasa betapa cuek dan dinginnya sikapmu...
Kamu bukanlah Lee Min Ho yang berperan sebagai Kim Tan di serial 'The Heirs', yang rela melakukan apa saja demi Park Shin Hye yang berperan sebagai Cha Eun Sang.
Begitupun kamu bukanlah Do Min Joon yang mau melakukan apa saja, bisa datang kapan saja karena dia makhluk luar angkasa demi kekasihnya Cheon Song Yi dalam serial 'My Love From Another Star'.
Waktu berdua? Tak lagi ada.
Selalu alasanmu adalah pekerjaan dan pekerjaan senantiasa.
Belum lagi pertemuan dengan sahabat-sahabatmu. Golf-mu. Internet-mu. Gadget-mu.
Ah, sudahlah...
Terkadang ada rasa segan dan enggan untuk memikirkan hal ini.
Karena pada akhirnya hanya akan berujung sakit hati.

Beginikah cinta kita pada akhirnya?
Jalan yang berliku?
Ada pedang di sela-selanya?
Mungkin aku yang keliru...
Berharap terlalu banyak padamu...
Namun, sungguh karena cintaku (ya, sampai hari ini aku masih cinta padamu)...
Aku berani menjalani ini semua bersamamu...

Ini tahun kesepuluh pernikahan kita, sayangku.
Dan, jika anak yang menjadi alasanmu...
Kita memang belum dikaruniai-Nya, kita sudah cek ke mana-mana...
Tak ada yang salah kata mereka...
Namun, kenyataan berkata lain...
Kita masih belum punya buah hati yang konon akan melengkapi keceriaan rumah tangga kita.

Aku tak tahu, akankah hidup kita lebih bahagia dengan hadirnya anak-anak di dalamnya?
Mungkin iya, mungkin juga tidak...
Karena kupikir, jika kita tak sanggup bahagia di saat ini, apa kita sanggup bahagia di berbagai babakan kehidupan kita?
Tentunya, sebagai seorang wanita, aku sungguh mengharapkan setidaknya seorang buah hati lahir dari rahimku sendiri.
Bagiku, itulah kepenuhan diriku sebagai seorang wanita seutuhnya.
Merasakan seorang bayi tumbuh dan berkembang di dalam tubuhku...
Merasakan genggaman tangannya nanti saat dia lahir ...
Mendengarkan tangisan pertamanya saat dia membuka matanya ke dunia...
Sungguh, aku merindukan momen itu...
Sungguh ingin aku merasakan itu semua...

Jangan suruh aku berdoa!
Sudah kering air mataku saat memanjatkan seluruh keluh-kesah yang ada...
Sekarang tahapnya aku menerima (jika tidak kukatakan aku terpaksa menerimanya).
Karena jika tidak pun, hatiku semakin terasa teriris.
Kamu dan kesibukanmu.
Kamu dan kecuekanmu.
Aku dan kesepianku.
Aku dan kesendirianku...
Aku dan harapanku untuk jadi seorang Ibu...
Apa kamu pernah tahu segala kesedihan di hatiku?
Komunikasi kita sudah macet total seperti jalan tol yang tengah mengalami kecelakaan fatal.
Aku kecewa, sayangku...
Sungguh!

                                                                                 ***

Ketukan itu cukup keras dan berulang-ulang di pintu kamarku.
Kubuka pintu dengan sedikit kesal.
Tumben Si Mbak agak kurang ajar seperti ini pikirku.
Ketika kubuka, setengah tak percaya, kupandangi wajahmu dengan takjub.
" Da..niel..?"
Ujarku terbata-bata.
Kau diam saja, namun langsung memelukku.
Aku tak bisa menghalangi air mata yang jatuh membasahi pipiku.
Air mata haru bercampur kerinduan yang mendalam pada seorang Daniel-suamiku.

" Maafkan aku, Vy. Ini salahku. Aku tak seharusnya cuek padamu. Seharusnya aku membenahi persoalan yang mendera rumah tangga kita, bukannya malah menjauh dan lari darinya." Ucapnya dengan nada penuh keseriusan.

" Aku juga sa...lah, Daniel. Ma...ma..mafkan aku, ya..."
Ucapanku juga terbata-bata, diiringi tetesan air mata dan isak tangis bahagia.

Ini babak baru dalam relasi kami.
Persahabatan yang mengawali hubunganku dengan Daniel, kembali tercipta.
Ya, kami masih menunggu buah hati kiriman dari Yang Kuasa.
Namun, kami menjalani hari demi hari penuh bahagia.
Saling mengisi-saling mengerti.
Sebagaimana janji pernikahan kami dulu...
Setia dalam untung dan malang...
Dan mau mencintai dan menghormatinya.
Seumur hidupku.
Bintang di atas sana seolah berpijar dengan cahaya yang paling terang malam ini.
Seolah menerangi perjalanan episode kami kali ini.
Semoga terang-Mu terus membimbing kami, ya Tuhan.

the end.
@copyright Fonny Jodikin

07.11.2014
fon@sg

Tuesday, November 4, 2014

Daun-Daun Berguguran

Daun-daun berguguran.
Bukan, bukan di luar sana.
Melainkan di hatiku.
Cuaca di sini tetaplah hanya musim hujan dan kemarau.
Namun, entah mengapa, tanpamu, seolah diriku luruh.
Satu per satu...
Bak daun-daun yang menguning dan berjatuhan.
Terkadang kurasa sulit menghirup nafas dengan lega.


Jarak.
Ya, dia memang telah memisahkan kita.
Bukan hanya jarak antarbenua.
Itu pernah kita taklukkan bersama...
Sekarang jarak kita tak lagi sejauh dulu.
Kita sudah sekota.
Namun, jarak di hati kita mengalahkan jarak antarbenua itu.
Berpuluh bahkan beratus kali lipat...


Daun-daun berguguran.
Bukan, bukan di luar sana.
Melainkan di hatiku.
Luruh satu per satu...
Seperti cinta kita yang pudar.
Seperti renggangnya tali rasa yang pernah terjalin.
Diiringi hujan air mata...
Saat harus berkata, " Cukup sampai di sini kisah kita."
(-fon-)


@copyright Fonny Jodikin November 2014

Friday, October 31, 2014

Kamu

Kamu.
Ya, kamu.
Yang mengisi hari-hariku dengan senyuman dan tawa.
Yang membuat seluruh harapku hanya tertuju padamu semata.
Yang membuat duniaku tak lagi kelam seperti biasa.

Kamu.
Ya, kamu.
Menceriakan. Menghidupkan.
Memberi warna yang tak mampu terkatakan.
Membangkitkan semangat hidup yang terkadang terlupakan.
Dilindas begitu banyak kekecewaan...

Kamu.
Ya, kamu.
Ketika kamu datang dan mengetuk pintu hatiku...
Duniaku menjadi penuh bunga bermekaran.
Dan mimpi-mimpi yang selama ini selalu kuabaikan...
Menjadi bunga yang indah di setiap tidurku.

Kamu.
Ya, kamu.
Denganmu aku berani merancang masa depan.
Walau kutahu akan banyak rintangan...
Di sepanjang jalan kehidupan.

Kamu.
Ya, kamu.
Ketika cinta kita tak lagi sama seperti masa lalu.
Ketika kau tak lagi sehangat yang dulu.
Aku masih terus menggenggam cinta lama itu.
Mengharapkan suatu saat kau akan kembali seperti itu.

Kamu.
Ya, kamu.
Denganmu aku belajar.
Begitu mudah rasa itu menguap dan pergi entah ke mana.
Namun, kasih ini selalu membuatku tetap tinggal.
Cinta kita tak lagi menggebu seperti dulu.
Tapi, selalu ada rasa nyaman itu saat bersamamu.

Kamu.
Ya, kamu.
Denganmu aku berbagi kehidupanku.
Memandang buah hati kita dengan rasa syukur tak terhingga.
Seluruh berkat Yang Kuasa.

Di tangisku, ada kamu.
Di tawaku, ada kamu.
Di galauku, ada kamu.
Di riangku, kamu di situ.

Kamu.
Ya, kamu. 
Terima kasih buat hadirmu.
Memberi berjuta warna.
Di hidupku.

31.10.2014
fon@sg

Sunday, October 5, 2014

The Children, Our Future (Anak-anak, Masa Depan Kita)

I believe the children are our are future
Teach them well and let them lead the way
Show them all the beauty they possess inside
Give them a sense of pride to make it easier
Let the children's laughter remind us how we used to be

(Greatest Love of All-Whitney Houston)


Lagu Whitney Houston ini merupakan salah satu lagu yang kerap saya nyanyikan dulu.
Liriknya mengingatkan, memang anak-anak adalah masa depan kita dan hendaknya kita mendidik mereka dengan baik.
Lagu ini teringat langsung di benak saya, ketika hendak menuliskan tentang 'Children's Day' di Singapura tahun ini yang jatuh tepat pada hari ini, 3 Oktober 2014.

Sebagai seorang Ibu yang mengasuh anak sepenuh waktu, saya sangat menyadari keterbatasan saya. Tidak selalu saya punya kesabaran dalam mengajar mereka, terlebih ketika saya tengah kelelahan. Tak jarang, mereka yang malah mengajar saya, entah itu melalui pelajaran di sekolah atau perilaku dalam sikap hidup sehari-hari.

Saya tidak punya pengalaman sebagai orangtua sebelumnya. Banyak kali, saya harus 'trial dan error' dulu. Banyak kali pula, saya melakukan kesalahan. Namun, itu semua tidak mengecilkan hati saya. Karena saya mempercayai, anak-anak adalah berkat dari Yang Kuasa yang seharusnya kita sayangi, kasihi, berikan perhatian sepenuhnya, sekaligus juga mendidik mereka menjadi pribadi-pribadi yang tangguh. Tentunya, dalam proses melalui ini semua bukanlah perkara mudah. Senantiasa kita mohonkan pula bimbingan-Nya untuk mengasuh anak sebaik-baiknya...

Minggu lalu, saya berkesempatan menghadiri pertemuan orangtua dan sekolah untuk persiapan anak kedua kami-Lala- masuk Nursery (kelompok bermain setahun di bawah TK-Kindergarten) di tahun depan. Sang Kepala Sekolah yang karismatik mengingatkan satu hal yang begitu penting: anak harus diajar untuk menerima perubahan sebagai bagian hidup. Jika nanti kelasnya diacak dan dia tidak sekelas dengan sahabatnya, hendaknya dia belajar menerima perubahan itu dengan ikhlas. Semakin bisa dia menerima, akan semakin baik. Karena suka atau tidak, manusia harus menerima perubahan sebagai bagian dari kehidupan ini. Ketika sebagai orangtua kita mencoba menekan sekecil mungkin perubahan demi kenyamanan Si Anak, itu tidak akan mengajarinya apa pun. Hanya menunda masalah karena nanti ketika dia menjadi dewasa tanpa bisa menerima perubahan, itu akan menjadi perkara besar ketika semua harus menuruti dia saja.

Hari ini saya dan anak-anak makan bersama di luar. Bukan tempat yang mahal, tetapi yang mereka suka. Lalu, kembali ke rumah dan bermain bersama. Terkadang, melihat kelucuan mereka, saya pun tertawa terbahak-bahak. Sungguh senang dan berwarna kehidupan mereka. Terkadang polos, juga berani tampil. Misalnya menari dan menyanyi tanpa ragu dan malu meskipun gerakan tak sempurna. Sementara kita, semakin dewasa semakin takut mencoba karena takut gagal. Takut dikritik, dan sebagainya...
Beberapa hal yang baik yang hendaknya kita pertahankan, sebagai bagian dari 'anak kecil' yang selalu ada di dalam diri setiap orang. Tertawa lepas, berpikir positif, tidak lama-lama mendendam (terkadang anak-anaknya sudah berdamai, ortunya yang masih berantem hahaha)...

Kita pun bisa belajar dari mereka:)
Bukan melulu mereka yang belajar pada kita.
Anak-anak, adalah masa depan kita...
Bagaimana kita mendidik mereka hari ini, akan mewariskan sikap dan keteguhan, syukur-syukur integritas yang semakin dibutuhkan di tengah masyarakat yang korup dan semakin cinta uang.
Juga pentingnya mengajarkan mereka 'manajemen keuangan' kecil-kecilan.
Bukan melulu seperti teks di buku-buku kuliah...
Namun, mereka hendaknya diberitahu pentingnya mengatur uang.
Uang bukan untuk dihamburkan, namun untuk ditabung...
Dan belajar juga untuk berbagi dengan mereka yang berkekurangan, jika kebetulan keluarga kita cukup...

Setiap hari adalah pelajaran baru bagi saya dalam menjalani peranan saya sebagai ibu.
Tiap hari bisa menjadi hari anak, selama para orangtua belajar mencintai mereka apa adanya (perlunya saya pun belajar keras untuk terus melakukan hal ini)...
Membiarkan mereka berkembang dalam potensi maksimal mereka, bukan seperti yang saya inginkan...
Melihat minat mereka, bukan apa yang dulu tidak berhasil saya jalani, sehingga saya paksakan kepada mereka...
Mengasihi dengan sepenuh hati...
Belajar memaafkan terus dan terus, meskipun terkadang mereka melukai hati...
Karena para orangtua pun bisa berbuat salah terhadap mereka..


Mari ciptakan lingkungan yang membahagiakan buat anak-anak kita...
Bahagia, sekali lagi, bukan dinilai berdasarkan uang belaka.
Betapa kita ingat, banyak orang yang berlimpah uang, malah menderita di dalam batinnya...
Sekaligus berefleksi akan sikap kita, anak-anak bisa mencontoh diri kita...

Dalam diam, terselip doa dan harapan...
Tuhan, lindungilah anak-anakku...
Juga anak-anak sahabat dan kerabatku...
Dan anak-anak yang tak pernah kukenal sebelumnya...
Kasihanilah mereka, dekaplah mereka erat dalam pelukan kasih-Mu...
Dunia semakin parah, namun kami tak henti berharap kepada-Mu...
Semoga kami bisa membimbing anak-anak kami tetap di jalan-Mu...

fon@sg
03.10.2014




Tuesday, September 16, 2014

Being Mom - Cooking With Love



Selamat malam semuanya.
Udah lama juga, aku gak nulis soal Being Mom.
Ada keinginan, kadang terlewatkan lagi.
Terkadang sempat menunda atau tertunda karena urusan rumah dan mengurus dua krucil.
Yes, akhir-akhir ini lagi suka masak dan coba-coba resep.
Dulu, sebagai anak kos yang cukup lama, emang masak itu gak hobi dan gak pengen sama sekali.
Cuma setelah married, barulah ada penyesalan, hiksss...Kenapa gak belajar masak dari dulu hahaha...?
Karena memang 'mood' itu datangnya terlambat.
Dulu sih bukan karena suka, tetapi karena terpaksa.
Harus buat anak.
Baruuuu aja akhir-akhir ini seolah tersengat lebah (duh lebay kaliiii hahaha), mendadak langsung pengen belajar masak.
Dengan pertolongan Oom Google dan informasi bertaburan di internet bak bintang-bintang yang jumlahnya tak terhitung, mulailah mencari-cari juga resep buat variasi makanan keluarga.
Si Kecil pun sudah bisa minta, pengen makan ini dan itu... Pengen bawa bekal ini atau itu ke sekolah...
So, mulailah perburuan itu dimulai untuk kemudian diuji coba di Dapur Fonny (istilahnya kagak nahan nih hahahaha...).



Resep-resep andalan dari Mama ataupun Mertua pun coba dilihat. Awalnya ada rasa enggan, malas untuk keluar dari 'comfort zone'. Melabeli diri, " Kan, gue nggak hobi masak."
Sekarang, bukan masalah hobi ato nggak.
Bukan juga suka ato nggak. Kalo suka ya, syukurlah...
Tapi, buat aku belum nyampe tahap suka sampai bertahun-tahun sesudah menikah...
Kalau nonton Master Chef sih ya suka, keren gitu... Tapi, kalo bikin sendiri? Repot gak yah? Ah, nanti dulu aja...
Tahun demi tahun berlalu...
Di tahun ini, lonjakan minat terhadap masak-memasak naik pesat. Seolah Indeks Harga Saham Gabungan(IHSG) yang terpengaruh karena ada berita-berita penting. Misalnya hasil PEMILU.
*ini bawaan dealer di masa silam, tiba-tiba menyeruak minta disuarakan, yuk mareee hahaha...

Ya, akhirnya (or awalnya?) Saya bisa memasak dengan sukacita.
Bukan melulu merupakan rutinitas belaka, namun merupakan sesuatu yang ingin saya lakukan.
Demi? Demi Moore, halahhh plesetan lagiii hahaha...
Demi cinta (klise banget sih ya), tapi hanya itu yang membuat saya ingin melakukan yang terbaik bagi suami dan anak-anak...
Termasuk memasak makanan kesukaan mereka walaupun saya tidak suka.
Dengan memberikan diri bagi orang lain, terutama orang-orang terkasih di rumah, saya merasa 'diperkaya'.
Dengan berusaha memberikan yang terbaik, saya merasa hmmm apa ya??? Sulit diungkapkan dengan kata-kata memang... Namun, saya merasa 'fulfilled' as a mom inside of me...

Of course lah, saya masih jauh dari 'perfect'. Masakan juga masih bisa dihitung dengan jari...
Tapi, saya menemukan suatu kesukacitaan. Suatu excitement yang gak terbilang ketika mencoba resep.
Kadang berhasil, kadang gagal.
Berhasil pun, belum tentu dimakan sampai habis..
(Untung ada tetangga yang bersedia dibagi hihihi).
But, I'm happy.
Memasak sebagaimana layaknya menulis... Musti mikir juga inspirasi alias ide, mau masak apa hari ini?
Seperti mau nulis apa sih kali ini?

Di akhir tulisan singkat ini, saya hanya mau bilang, tiap kegiatan yang dilaksanakan sepenuh hati dengan sukacita akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa pula.
Waktunya? Beda-beda...
Tergantung waktu-Nya juga kali ya...

Sekarang, jangan heran kalau temen-temen Fesbuk bakal nemuin postingan masakan cukup banyak.
Namanya juga belajar...:)
Seperti baru-baru bisa nulis dan PeDe ngirim-ngirim ke temen-temen mungkin sekitar tahun 2002, yah tanpa terasa udah 12 taon yah nulis2 kayak gini hehehe...
Eniwei, buswei, kali ini ejaannya kacau balau dahhh...
Biarkan tanganku mengetikkan kata-kata yang keluar dari hatiku dengan sukacita...

So, mommies and even daddies, kalo mau masak, silakan...
Teruslah memasak.
Jia you!
Gambatte...
Tuker-tuker resep yah sama eike hahaha...

September 09, 2014
fon@sg

Friday, August 22, 2014

Utopia



Ketika haus, saya hanya butuh air putih.
Sesederhana itu.
Lalu perkembangan zaman, tren, gaya hidup membawa saya mencari yang lainnya...
Mungkin itu juice, mungkin itu teh pake susu  yang dikenal dengan nama tea latte, kopi, minuman bersoda yang beragam jenis dan warnanya...
Harga pun beda.
Dari kaki lima, jika itu masuk hotel bintang lima, pasti jadi berlipat ganda...


Ketika lapar, saya hanya butuh nasi.
Mungkin pakai sedikit sayuran dan lauk.
Tidak perlu disajikan seperti di restoran apalagi seperti di kerajaan.
Yang saya butuh hanya makan dan perut kenyang.
Lagi-lagi, keinginan membawa saya lebih jauh.
Ingin makan ini dan itu...

Sehingga harga yang awalnya murah, menjadi ekstra mahal juga.
Lagi-lagi ketika dikemas dengan 'packaging' yang indah, ada harga yang harus dibayar pula...

Sama halnya seperti baju, sepatu, tas, mobil, rumah...
Awalnya hanya kebutuhan.
Ketika itu menjadi keinginan ...
Ketika itu menjadi ajang unjuk gigi...
Ketika gengsi mengolok-ngolok saya untuk ikut-ikutan orang lain...
Jadinya baju, sepatu, tas, mobil, dan rumah pun ikut imbasnya.
Fungsi sama, tapi menempatkan kita di strata sosial yang berbeda.

Padahal?
Yang pakai tak bermerek, belum tentu miskin.
Yang pakai merek, jujurnya, belum tentu juga orang kaya.
Ironis memang...
Seorang sahabat yang bekerja di perbankan di Singapura pernah mengemukakan pengalamannya...
Banyak yang justru punya uang puluhan juta Singapore Dollar (SGD), yang naik kendaraan umum semisal MRT dan bus, atau taksi. Mereka pun cenderung rendah hati, 'low profile' sekali.
Sementara yang uangnya 'baru' jutaan dollar, gayanya selangit.
Sudah wajar katanya.
Saya hanya tersenyum ketika mendengarnya:)

Pernah saya baca juga, pemilik 'department store' di negeri Singa ini malahan sukanya pakai baju murah.
Tinggal juga di tempat yang sederhana.

Padahal beliau mampu untuk membeli yang lebih dari itu.

Sedangkan yang terlihat hebat dan fantastis penampilannya?
Walaupun tidak semua dan tanpa bermaksud menghakimi, saya pun pernah mendengar dan melihat juga, bahwa ada yang memaksakan diri pakai barang bermerek untuk tampil, untuk bisa diterima di kalangan sosial/pergaulan tertentu.
Terkadang dengan menghalalkan segala cara, termasuk cicil, pinjam, dan hutang.
Asal aku pakai barang mewah.

Apa saya anti barang mewah?
Jujurnya tidak.
Itu sih terserah Anda. Anda yang paling mengetahui kondisi finansial Anda.

Jika mampu dan mau, silakan saja.
Namun, saya hanya membayangkan, betapa indahnya jika uang yang dipakai buat pembelian barang-barang yang terlalu mewah dalam jumlah yang super banyak itu bisa disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan.
Mereka yang tak bisa sekolah.
Mereka yang tak punya uang untuk membayar biaya pengobatan...
Mereka yang tak punya cukup uang untuk makan tiga kali sehari...

Ah, pikiran utopia itu kembali hadir tanpa bisa saya cegah...
Betapa indahnya, jika Si Kaya mau berbagi...
Sehingga, yang kurang beruntung pun bisa merasakan sepercik kasih dan kehangatan...
Mungkin ada kekuatiran jika yang berkekurangan terus dibantu, mereka tak terbiasa mandiri.
Mereka jadi tergantung dengan bantuan, tanpa mau berusaha.
Tentunya, akan sangat baik jika dipikirkan mereka juga diberikan kail, bukan ikannya saja.
Namun, ada saatnya mereka memang butuh pertolongan dan itu sangat urgen, tak lagi bisa menunggu.
Maukah kita membantu mereka di saat itu?

Gaya hidup tiap orang berbeda. Yang bikin 'gak enak' adalah ketika Anda mulai menghakimi orang yang gaya hidupnya berbeda dengan Anda.
Dihakimi tak pernah enak, menganggap diri lebih baik dari orang lain bagi saya adalah pertanda kesombongan.
Jujur, saya pernah juga melakukannya, dan itu menjadikan saya malu hati.
Saya pun pernah terbuai ingin ini, ingin itu, namun kembali tersadarkan...
Buat apa yah semuanya itu?
Bisakah saya berkata cukup?
Bisakah saya bersyukur dengan apa yang saya miliki untuk kemudian mau berbagi kepada mereka yang berkekurangan?

Kita lakukan semampu kita...
Kata Bunda Teresa, do small things with love...
Hari ini ketika kehausan dan tidak membawa botol minum, saya terpaku pada kata-kata message in a bottle.
Air minum dari gerai baju-sepatu bermerek 'Cotton On' ini membuat saya teringat untuk berbagi. Salut buat karya-karya mereka di Uganda. 
Masih dari botol minum yang sama, saya diingatkan...
It's little things that make a difference...
Hal-hal kecil itulah yang bisa membuat perbedaan.
That's so sweet!

Epilog

Utopia ini mungkin takkan pernah menjelma nyata...
Biarlah ia tetap dalam imaji saja...
Sambil setiap hari, mari melangkah di dalam tindakan nyata...
Dalam kasih, untuk senantiasa berbagi bagi sesama...
Mereka yang menderita, menjerit dalam duka, tanpa tahu harus berbuat apa.
Semoga.

was written and was inside my blog's draft since few months ago...
edited and finalised today 22.08.2014
fon@sg


* catatan : Utopia, dalam arti luas dan umumnya, menunjuk ke sebuah masyarakat hipotetis sempurna. Dia juga digunakan untuk menggambarkan komunitas nyata yang didirikan dalam usaha menciptakan masyarakat di atas. Kata sifat utopis digunakan untuk merujuk ke sebuah proposal yang baik namun (secara fisiksosialekonomi, atau politik) tidak mungkin terjadi, atau paling tidak merupakan sesuatu yang sulit dilaksanakan. (sumber: Wikipedia)

Thursday, August 14, 2014

Bersama


Begitu indahnya saat kita bersama.
Menjalin cerita, kisah yang ada…
Begitu indah, saat kutemukan dirimu.
Satu yang berbeda di antara begitu banyaknya penduduk bumi….
Denganmu, aku bisa berbagi segalanya.
Ya, segalanya.

Namun, seiring berjalannya waktu…
Hari-hari kita bersama tak lagi seceria dulu…
Terlalu banyak pertengkaran yang mengisi waktu kita…
Bukankah seharusnya kita bahagia?
And they live happily ever after seperti kata film-film Hollywood itu?
Lalu, mengapa kisah cinta kita kini dipenuhi tetesan air mata…???

Pertengkaran demi pertengkaran…
Perselisihan demi perselisihan…
Berujung pada ego yang saling dinaikkan…
Tak ada lagi tenggang rasa…
Toleransi…
Atau apalah namanya…
Cinta?
Makanan apa pula itu?
Apa kita pernah mengecapnya?
Mengapa begitu sedih hari-hari yang harus kulalui?
Apa ini juga karena cinta?
Ah, persetan dengan CINTA!

Cinta yang dulu pernah merekatkan kita..
Menguap entah ke mana…
Sebatas itu sajakah namanya Cinta?
Mengapa cinta lamamu dulu,  malah membawamu berlabuh?
Mengapa cinta yang dulu kuagungkan sebagai yang indah dan mulia, malah berhenti sampai di detik ini saja?
M-E-N-G-A-P-A?

Kini yang ada hanya lara.
Penyesalan karena memilih jalan bersamamu…
Untuk kemudian kau tinggalkan begitu saja.
Cintakah? Atau nafsu belaka…
Aku sudah tak tahu…
Aku tak lagi pandai membedakan apa perasaan yang kurasakan saat ini…
Yang pasti, kurasakan kehancuran…
Luruh duniaku…
Hancur berkeping-keping hatiku …

Sejujurnya, tak ada sesal yang terlalu…
Saat aku sudah memberikan yang terbaik bagimu…
Di waktu itu, kaulah yang terbaik yang muncul di hadapanku…
Tak pernah sedetik pun aku menyesali bahwa aku jatuh cinta padamu…
Namun,  harus kuakui : perpisahan ini memang menyakitkan…
The thought that we could be together forever.
The thought that you will love me in my bad times and good times…
The thought that we’re going to grow old together…
Semua menjadi semacam pisau….
Yang mencabik-cabik seluruh hati dan perasaanku…

Apakah sebegitu sulitnya untuk kita bersama?
Ketika kini kau malah bersama CLBK-mu?
Cinta lamamu?
Bagaimana dengan kisah kita?
Apa tidak sedikit pun dia memiliki arti di hatimu?
Sebagaimana dia adalah denyutan jantungku…
Sebagaimana aku menyebut namamu dalam setiap hembusan nafasku?

Tidak ada yang ingin pisah ketika baru merajut cerita…
Namun, waktu terkadang tidak berpihak pada kita…
Apa mau dikata…
Kisah ini tidak bisa kita akhiri bersama…

Dan di malam-malam sepiku…
Terkadang air mata mengalir deras lagi…
Aku masih rindu.
Aku masih ingin bertemu.
Aku ingin kita kembali bersatu.
Tetapi, itu hanya inginku…
Yang tak pernah bersambut (lagi) denganmu…

Derita ini kubawa berlari…
Menembusi malam yang dingin dan sepi…
Berharap di ujung jalan nanti…
Kau akan hadir kembali.

Dari aku, yang masih mencintaimu.

15 Agustus 2014
fon@sg

·         Inspirasi dari kisah-kisah nyata di sekitar kita. Doaku agar yang telah punya pasangan tetap setia. Aminnnn…

Wednesday, August 6, 2014

Rasa Syukur




Tidak setiap hari dipenuhi rasa syukur.
Setidaknya itu yang terjadi pada diri saya. Entahlah dengan Anda :)
Saya berusaha untuk selalu bersyukur, namun nyatanya sering juga menemui kegagalan.
Setiap hari, ada saja hal-hal yang seolah menghalangi saya untuk bersyukur.
(Hmmm, mulai excuse neh, kayaknya hahaha…)
Halangan terbesar itu ada di dalam diri.
Terkait dengan Si Iri Hati yang mendadak sering muncul tanpa diundang…
Juga rasa sakit hati yang terkadang menarik-narik diri saya untuk kembali berkubang di masa silam.
Belum lagi, rasa mengasihani diri sendiri (buat cewek yang melo ini mungkin sering terjadi)…
Kesian deh gue, kurang cantik, kurang tinggi, kurang putih, kurang mulus kulitnya, dan lain-lain, dan sebagainya…

Padahal….
Mari kita telaah…
Di luar segala kemudahan dunia di zaman modern sekarang ini.
Gadget, perjalanan yang makin mudah karena alat transportasi makin canggih…
Masih banyak insan yang terkepung dan terkurung dalam kesendirian.
Kesepian dalam hati yang tak terucapkan.
Pilu, menelan kebisuan Sang Sepi yang selalu muncul dan muncul kembali….
Rasa syukur seolah menjadi barang langka.
Apakah kelangkaan itu benar adanya?

Apakah begitu sulit mensyukuri rahmat Sang Pencipta?
Apakah kesehatan yang kita nikmati hari ini, bisa bangun tidur dan bernafas lancar, bukanlah merupakan anugerah-Nya?
Bagaimana dengan liburan, yang meskipun tidak sehebat sahabat kita-Miss Seleb- yang ke Italia misalnya, namun kita bisa berlibur dengan keluarga tercinta ke Yogyakarta atau Bali?
Yang penting kebersamaan atau gengsi?
Mungkin pada mulanya saya mensyukuri tas yang dibelikan oleh suami. Harganya mungkin hanya  Rp.200.000,- Lalu, mendadak minder ketika diperhatikan oleh seorang yang tidak terlalu saya kenal, tetapi memakai tas ‘Hermes’ seharga di atas seratus juta itu?

Mungkin, awalnya mudah untuk bersyukur.
Lalu, karena orang-orang sekitar dan pergaulan, mendadak rasa syukur itu begitu mudah meluap di udara.
Kemudian hilang tak bersisa.
Berganti keluh-kesah dan rasa mengasihani diri semata.

Di siang yang sejuk ini, saat hujan turun rintik-rintik…
Kusyukuri hujan ini, menghapus ‘gerah’ yang ada di sepanjang hari…
Kusyukuri kehadiran anak-anak yang memberi warna tersendiri…
Kusyukuri suami dan keluargaku, sanak-saudaraku…
Kusyukuri masih bisa makan tiga kali sehari…
Kusyukuri masih bisa beraktivitas dengan baik…
Kusyukuri kesehatan yang begitu mahal harganya…
Kusyukuri satu hari lagi yang Dia berikan kepadaku, kepadamu, kepada kita…
Kusyukuri semua kejadian satu per satu di hidupku, semua itu terjadi pasti ada maksud dari-Mu…

Hmmm, ternyata mengungkapkan rasa syukur itu tak sesulit yang kukira.
Yang perlu kulakukan hanya memulainya saja.
Rasa iri dan sakit hati, semoga bisa kukendalikan…
Kuserahkan kepada Yang Kuasa…
Yang mampu sembuhkan segala luka…

Kunikmati hari lepas hari…
Terima kasih, Tuhan, dari lubuk hati.

7 Agustus 2014
fon@sg