Sunday, May 30, 2010

Sensi


Perasaanku gak enak banget. Udah berapa hari aku berusaha menepisnya, tapi tetep aja gak enak. Belum lagi tambahan kedutan di mata kiri yang katanya bakal bikin orang sedih. Huhuhu, aku tak mauuu….Maunya seneng aja, eh tapi apa bisa, ya? Hehe…

Perasaanku masih gak enak. Gak enaknya sampe bikin aku kacau sendiri. Lihat pembantu penginnya marah-marah, ngelihat tukang sampah yang mendekat ke pagar rumah bawaannya curiga. Suami pulang malam bawaannya mau berantem aja. Koq karena sensi jadinya duniaku gak enak betul ya? Adakah cara untuk mengatasinya?

Mungkin ini bawaan PMS- Pre Menstruation Syndrome. Itu lho, gejala-gejala perempuan yang datang setiap bulannya. Atau gejala ibu-ibu hamil yang di awal kehamilannya mengalami ‘mood swing’… Swing kanan-kiri seolah tanpa kendali. Eh, tapi terkadang apakah itu hanya dalih alias ‘excuse’ saja? Memang terjadi sih, tetapi bukankah sebetulnya tetaplah kendali di tangan kita?

Seringnya kesalahan itu ditimpakan kepada orang lain. Jangan bikin gw marah ya, gw lagi sensi nih! Atau ngeliat dia, gw koq jadi sensi ya, bawaannya emosi aja. Duh, kasihan ya korban-korban sensitivitas kita itu…

Belum lagi lihat orang kumpul-kumpul sambil matanya lirik-lirik gw, wuahhh pasti lagi ngomongin gw tuhhh! Haduhhh, ini pasti perpaduan sensi, ge-er, plus sedikit narsis…Kalo begini, payah deh euy! Padahal ‘kan belum tentu, aih jadi malyuuu…

Ada kalanya diri sendiri yang jadi korban: gw lagi sensi, gw berasa sendiri-tidak disayang orang, pacar gak ada-temen deket juga gak punya. Ah, mungkin gw orang termalang sedunia. Bawaannya jadi mengasihani diri sendiri.

Sensi…
Datang dan pergi tak diundang. Tetapi, ketika Si Sensi datang…Moga-moga kita bisa sesuaikan keadaan. Moga-moga hati bisa diajak temenan. Sehingga, gak marah-marah gak karuan atau jadi ‘self pity’ luar biasa. Sensi bikin kita lupa berterima kasih. Sensi bikin kita jadi emosi… Sensi, perasaan menguasai, jadi bikin kita curigaan, berasa ‘insecured’ alias gak nyaman ama diri sendiri atau minderan…

Sensi yang baik, kalo dikembangkan juga oke tuh!

Sensi kalo gw makan enak, sementara banyak orang yang kelaparan. Sensi kalo ngeliat orang yang berkekurangan dan menderita…Sensi yang gini mustinya dipelihara, bukan yang gak puas diri dan jadi duri ituuu…

Sensi, biar gimana pun ai (baca: saya) terima kasih yaaa… Karena pernah sensi negatif, trus berusaha berjuang mengatasinya (terbaik sih lewat bicara dari hati ke hati dengan-Nya-menurut pengalaman sih begitu yaa…:)). Syukur-syukur sensi yang positif dan bersimpati ato empati sama sesama itu yang dikembangkan. Semoga aja yaaaa…

HCMC, 30 Mei 2010

-fon-

* lagi pada sensi gakkkk? Hehehe…Hanya sekadar refleksi buat yang lagi pada sensi...

Sumber gambar:

http://img2.visualizeus.com/thumbs/07/12/01/face,b,w,girl,sad,female,portrait-a564348f6c82507aa544368633d06613_h.jpg

Rainbow


Rainbow

*** dengan terjemahan/with translation

It takes BOTH Rain and Sunshine to make a RAINBOW.

This was the sentence that captured my eyes when I was in Ho Chi Minh City Post Office – one of the tourist’s destinations here in Ho Chi Minh City yesterday. It was written in a calligraphic style as a wall decoration in the souvenir shop in Buu Dien Tan Pho (City Post Office). Suddenly, as I thought of it…More inspiration came and filled my heart plus my mind…

Rainbow is a wonderful thing. A beautiful and yet colorful thing that appears-usually after the rain. As soon as the sunshine comes after the rain, the rainbow will follow. That’s amazing! One of the most beautiful things as a gift from the nature, from the kindness of God.

Right now maybe you’re in rainy day of your life. Maybe you cried a lot (I try to compare it with the raindrops :)) maybe you’re in the midst of thunder-storm-hurricane of life that come together with the rain. You’re just kind of frustrated, you don’t know what to do, you just walk with your life while trying to keep the faith. You just try to be patient and trust God once more because His protection never fails you. And yes, you’ve got some moments of desperation. When things go crazy, it’s not really easy to cope…

Then, after waiting in faith…

After changing your attitude in this life… After some life changing experience and the lessons in it. You’ll finally see the sunshine of your life. You’ve been in the stormy days, you’ve been through the storm of life. You enjoy the sunshine but you prepare for the worst to come. Then, suddenly…You can see the colorful rainbow appears in your life.

Never scared of unpleasant things (in this I compared to rainy days, even rainy days in reality don’t really mean bad though-plants get water, the weather becomes fresh and not so hot, but I just compared this in the situation of life, to make it easier to comprehend).

Because if only we learn to put our trust in Him, we’ll finally get the chance to see the sunshine that will lead to the rainbow in our life.

Just remember that it takes both rainy day and sunshine to make a rainbow. It takes both good days and bad days to make us stay strong in this life. That’s when eventually we’ll become the rainbow of life. We’ll be looked beautiful in other’s eyes because we’ve been through all the good times and bad times with God’s love. Just wait patiently for the change, the metamorphosis of each stage, only to find that the rainbow is waiting there:)

HCMC, May 29 2010

-fon-

Pelangi

Perlu sekaligus kombinasi hujan dan sinar mentari untuk membuat pelangi.

Kalimat ini yang menarik perhatian saya ketika saya berada di Kantor Pos di Ho Chi Minh City (HCMC)--- salah satu dari tujuan wisata di sini kemarin. Kalimat itu tertulis dalam bentuk kaligrafi sebagai hiasan dinding di toko souvenir di Kantor Pos utama itu. Tiba-tiba, ketika saya memikirkannya lebih lanjut, inspirasi yang lebih mendalam datang dan memenuhi hati dan pikiran saya…

Pelangi adalah hal yang menakjubkan. Indah sekaligus berwarna-warni yang biasanya muncul setelah hujan. Setelah mentari muncul sesudah hujan, pelangi biasanya muncul kemudian. Suatu hal yang luar biasa! Salah satu dari hal yang terindah yang diberikan alam dari kebaikan Tuhan.

Saat ini mungkin engkau tengah berada dalam ‘musim hujan’ di hidupmu. Mungkin engkau banyak menangis (saya mencoba membandingkan tetesan air mata dengan tetesan air hujan J), mungkin engkau tengah berada di tengah guntur-badai-angin ribut di hidupmu yang datang bersamaan dengan hadirnya Sang Hujan. Engkau mungkin merasa frustrasi, tak tahu apa yang harus dilakukan, kau hanya berjalan dalam hidupmu sambil terus mempertahankan imanmu. Kau hanya berusaha untuk bersabar dan percaya pada Tuhan sekali lagi karena perlindungan-Nya tak pernah mengecewakanmu. Dan ya, engkau sempat merasakan beberapa momen keputusasaan. Ketika hal-hal tidak berjalan secara baik, sungguh tidak mudah menjalaninya.

Kemudian setelah menunggu di dalam iman…
Setelah mengubah sikapmu dalam hidup ini. Setelah melewati pengalaman yang mengubahkan hidupmu serta menemukan pembelajaran di dalamnya. Engkau akhirnya mampu melihat sinar mentari dalam hidupmu. Engkau pernah berada dalam hari penuh badai, engkau telah lalui badai kehidupan. Engkau menikmati sinar mentari tetapi engkau mempersiapkan diri ketika yang terburuk datang. Dan tiba-tiba saja, engkau mampu melihat warna-warni pelangi yang muncul dalam hidupmu.

Jangan pernah takut akan hal-hal yang tidak menyenangkan (dalam tulisan ini saya bandingkan dengan hari-hari di musim hujan, walaupun dalam kenyataannya hari-hari itu tak selalu berarti buruk- tanaman menantikan air, cuaca menjadi segar dan tidak terlalu panas, tetapi saya hanya membandingkan hal ini dalam kehidupan, untuk lebih mudah dimengerti). Karena bila hanya kita belajar mengimani Tuhan, akhirnya kita berkesempatan melihat mentari yang akan membawa kita kepada pelangi kehidupan kita.

Tetaplah ingat bahwa perlu kombinasi hari-hari hujan dan sinar mentari untuk membuat pelangi. Membutuhkan hari-hari yang menyenangkan dan hari-hari yang menyedihkan untuk membuat kita jadi kuat dalam hidup ini. Itulah waktunya ketika kita menjadi pelangi dalam kehidupan. Kita akan terlihat indah di pandangan sesama karena kita telah melewati kombinasi semua hari yang indah dan hari yang sulit bersama kasih-Nya. Tunggulah dengan sabar perubahan itu, metamorfosis setiap keadaan, hanya untuk menemukan bahwa pelangi akan menunggu di sana:).

HCMC, 29 Mei 2010

-fon-


Source of picture:
http://media.photobucket.com/image/rainbow%20of%20life/completeoneness13/NEW%204%20MYSPACE/_TASTE_THE_RAINBOW__by_homigl14.jpg

Saturday, May 29, 2010

Thank God I Found You Part 9



*** Episode: Rencana Tinggal Rencana…

Previously on Thank God I Found You 8 (Episode: Chaos (Kacau))…

Pria yang ditemui Vita di Bandung ternyata adalah Joko, mantan kekasihnya yang menghilang sejak kecelakaan motor. Joko terdampar di frateran dan kini membantu di Susteran Hati Suci. Vita masih ingin mencari tahu soal Joko, namun tertunda sementara karena mereka harus masuk kamar di biara itu. Di kamar dia bercerita kepada Santi, sementara Santi mendapat telepon dari rumah Vita. Vita mengecek handphonenya, ada banyak missed calls dan sms, terakhir Vino bahkan bilang akan lapor polisi jika Vita tak jua ada jawabannya. Akhirnya, Vita mengirim sms kepada Vino dan Jason, hanya untuk bilang dia di Bandung dan akan kembali beberapa hari berikutnya. Sementara di CITOS, Bakerzin, Susi dan Willem tengah merayakan kebahagiaan mereka karena berhasil mengacaukan Vita dan Jason. Di tengah kegembiraan itu, Jason tiba-tiba muncul dan mengetahui persekongkolan mereka. Bagaimanakah kelanjutan ceritanya? Simak di episode berikut ini…

Episode: Rencana Tinggal Rencana…

Biara Hati Suci- Bandung, Minggu Pagi…

Pukul delapan pagi. Setelah sarapan dan doa pagi, aku dan Santi ikut rombongan Suster dan beberapa awam yang ingin terlibat kegiatan ini, masuk ke gang sempit tak jauh dari biara. Di gang sempit itu ternyata banyak sekali rumah penduduk. Rumah kayu, rumah bedeng, yang berdempet amat rapat satu dengan lainnya. Dua lantai diisi dua keluarga. Sementara satu keluarga menempati areal sekitar dua meter persegi. Diisi ayah, ibu, tiga anak kecil, plus seorang bayi yang baru lahir. Diriku tercenung pagi ini, kalau aku tak jua bisa memandang hidupku dengan penuh syukur, apa jadinya orang-orang yang lebih berkekurangan seperti ini? Atau mungkin malah mereka ironisnya lebih bisa mensyukuri hidup apa adanya? Jujurnya, dalam fokus akan diriku dan kehidupanku sendiri, serta permasalahan percintaanku, membuat aku melupakan banyak hal yang enak yang sudah kunikmati. Aku tak pernah kesulitan makan, aku punya keluarga yang mencintaiku, kamarku cukup nyaman. Rumah kami lumayan luas ketimbang yang ditempati keluarga-keluarga ini. Kami sekeluarga punya mobil, bisa naik taksi. Sementara keluarga-keluarga ini, ayahnya rata-rata berprofesi sebagai buruh harian: tukang bangunan, tukang becak, tukang ojek. Sementara istri tak bekerja atau kerja jadi pembantu harian pula. Mereka memang harus bergulat melawan kemiskinan. Belum lagi tatapan polos anak-anak mereka yang entah nantinya bisa sekolah atau tidak. Kalau mengandalkan orang tua mereka, tentunya sulit. Untuk itulah, biara membuka bantuan bagi pendidikan mereka. Jika mereka mau tentunya, karena tak pernah ada paksaan dari pihak biara untuk memaksakan mereka untuk mengganti kepercayaan mereka walaupun seringnya dicurigai. Ketulusan biara memang sulit diterima orang banyak, namun itu yang menjadi tujuan mereka sampai saat ini.

Keharuan demi keharuan membungkus diriku. Melapisi tiap bagian hatiku dengan kehangatan baru, karena aku sudah terlanjur lupa kata syukur akhir-akhir ini. Perjalanan semacam ini membukakan mataku sekali lagi, bahwa aku memang sepatutnya bersyukur untuk apa yang kumiliki.

Joko tidak ikutan dalam rombongan ini karena dia harus bersih-bersih di biara. Aku sempat memikirkan bagaimana kelanjutan hubungan kami semalam. Sudah kuputuskan, ketika Joko memutuskan untuk berpisah mungkin itulah jalan yang terbaik bagi kami berdua. Biarlah Joko dalam ketenangannya di hidup ini yang ditemukannya di biara ini. Biarlah aku kembali ke pangkuan Jason atau juga mungkin tidak lagi, ketika segala sesuatunya sudah terlanjur seperti ini.

Kami pulang ke biara untuk mempersiapkan diri mengajar anak-anak yang datang pagi itu. Aku ikut sebagai asisten Suster Anna dalam mengajar pagi ini. Santi juga. Jam sudah menunjukkan pukul 10.30 ketika biara dibuka dan anak-anak gang sempit membanjirinya dengan penuh sukacita. Aku jarang melihat kegembiraan semacam itu, di tengah teman-temanku kata syukur pun seolah hal yang sulit diucapkan. Mungkin, kami memang harus terus belajar…

***

Makan siang selesai pukul 12.45. Sedikit lebih terlambat dari biasa, karena mereka juga menyediakan sedikit kudapan ringan buat anak-anak kecil itu. Yang menyambut pisang goreng, keripik kentang dan teh manis dengan sukacita. Kembali menampar diriku, betapa aku kesulitan untuk berterima kasih untuk ayam goreng, empal, dan nasi uduk yang menghiasi hariku? Syukur…Ajarilah aku hidup di dalammu…

Aku dan Santi bergegas meninggalkan biara. Pamit pada Suster Anna, Suster Paula. Dan terakhir: Joko…

“ Joko, aku pulang, ya. Kamu baik-baik di sini. Terima kasih karena kita berjumpa lagi dan masalah kita yang dulu sempat tertunda selesai juga. Tak ada dendam, tetap jadi teman, ya…” Kuulurkan tanganku dan kutatap matanya dengan tulus.

“ Baik, Vit. Aku juga mungkin ingin menjadi seorang yang mengabdikan diri sampai nanti di biara ini. Aku tak tahu akankah aku jadi frater atau tidak. Yang pasti di sini kutemukan damai yang selalu kucari itu. Selamat untuk hidupmu selanjutnya. Kita tetap teman. Terima kasih, Vit,” dia menyambut uluran tanganku. Tatapan matanya tak kalah tulus.

Joko…‘Friends will be friends.’

Kulambaikan tangan kepada Suster Anna dan Suster Paula, serta Joko yang mengantar kami sampai gerbang biara. Lain kali, kalau Santi mau datang lagi, aku sudah pasti mau ikutan. Entah kapan, mungkin setelah semua drama di hidupku ini selesai? Iya, aku mau datang kembali ke sini….Tuhan, semoga bisa ya…:)

Bandara Internasional Cengkareng, Minggu pukul 14.00

Willem mematung. Memandangi Susi yang sudah menyelesaikan ‘check in’ pesawat Singapore Airlines yang akan membawanya ke Singapura. Keputusan untuk terbang siang ini, diambil secara mendadak karena mereka sudah ketahuan oleh Jason kemarin. Rencana Susi selanjutnya adalah berada di Singapura dulu untuk menenangkan dirinya. Lagi. Seperti beberapa tahun lalu. Karena segalanya seolah sudah mentok untuk saat ini. Mungkin dia terlalu cepat menyerah kali ini, tetapi Susi rasa ini yang terbaik sementara mereka tak bisa melakukan apa pun lebih baik dia menyingkir perlahan sambil berpikir strategi selanjutnya dan sekaligus menenangkan dirinya.

Ada rasa tak rela ketika Willem mengantar Susi ke bandara siang ini. Rasa yang sudah begitu akrab dengannya, wajah yang begitu cantik yang sudah jadi bagian hidupnya. Dia tak rela.

Sebelum memasuki pintu yang memisahkan mereka, Susi melambaikan tangannya. Bersiap untuk masuk ke imigrasi dan ‘gate’ penerbangannya. Willem masih mematung, diam. Tak bisa mengucapkan apa-apa. Hanya membalas lambaian singkat. Waktu seolah berhenti baginya saat itu. Hatinya sakit luar biasa, terpisah dari Susi. Hal yang tak pernah disangka-sangka olehnya.

Dia perlahan berjalan menuju mobilnya. Pak Sopir sudah menunggu dan mereka bergegas pulang. Dalam BMW hitamnya, Willem tak kuasa menahan tetesan air matanya. Dia yang tengah emosional, kembali merasakan ketidakseimbangan jiwanya ketika harus berpisah dari Susi. Dia menyuruh Pak Sopir mengantarnya ke apartemen tempat dia bertemu dengan Susi beberapa waktu yang lalu. Di Kuningan. Dan di situlah dia mulai melamun, membayangkan Susi dan dirinya dalam impian yang tak jelas tentang masa depan mereka.

“ Aku pergi tak lama, Will. Kamu yang penting sabar menanti. Lagian, Jakarta-Singapura ‘kan dekat. Kamu bisa kunjungi aku kapan saja,” ujar Susi.

Willem masih tercenung. Diam. Perlahan, diambilnya obat penenangnya yang memang setiap hari masih diminumnya untuk mengobati depresi yang dia derita. Entah mengapa, hari itu obat-obatan penenang itu melambai-lambaikan tangan mereka. Willem menyambut ramah, memasukkan mereka ke mulutnya. Masalahnya, itu dosis untuk dua minggu. Masuk sekaligus ke perutnya. Overdosis. Tetapi Willem tak peduli. Dia ingin tenang dan (mungkin) bisa membuat Susi pulang lebih cepat dan tak lagi meninggalkannya?

Willem diam. Mematung. Duduk di sofa, mendengarkan lagu klasik dari ‘Inspirational Moments’ kegemarannya. Tak lama dia tidur. Mungkin, untuk selamanya…

***

SMS yang masuk ke handphoneku sebagian dari Jason. Dengan nada gembira, Jason mengabarkan bahwa Susi dan Willem ternyata bersengkongkol dan sudah ditemuinya di Citos. Jason bahkan bilang dia sudah pastikan ingin menikahiku. SMS terakhirnya: “ Vita pulanglah. Kita rencanakan pernikahan kita, yuk!”

Aku tersenyum. Bahagia. Kukabarkan berita itu kepada Santi yang juga melonjak girang di kursi setirnya. Bahkan dia sejenak bertepuk tangan untuk meluapkan kegembiraannya bagiku.

“ San, ati-ati loe!” Begitu ujarku.

“ Santai, Vit…Santai, aku ‘kan jagoan nyetir. Hahaha.” Tawanya lagi. Sumringah dan lepas seperti biasa.

Tak lama, sebuah truk melaju dengan cepat dari belakang kami. Kami yang di posisi kiri jalan tol Bandung-Jakarta ini, dilibasnya. Truk besar bermuatan banyak kotak itu menabrak Jazz hitam Santi. Dalam tawa kami, dalam ceria kami, kami jadi lengah. Akhirnya, celaka!

Santi pingsan tak sadarkan diri, terjepit di kursi sopir. Sementara diriku terluka. Kepalaku mengeluarkan darah. Kami harus cari bantuan, tapi bagaimana?

Kuraih handphoneku, kutelepon Jason seketika mumpung aku masih bisa. Mumpung aku masih sadar.

“Jason, aku dan Santi kecelakaan di tol Bandung-Jakarta. Tolong hubungi keluargaku dan hubungi polisi. “

Tak kudengar lagi jawaban Jason, karena aku juga pingsan.

Bersambung…

HCMC, 29 Mei 2010

-fon-

sumber gambar:

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj579r_d1y9lEC2V_RO1VLFKT9-Q-Y3eh-VP8q485Iz31D3QhlCAkEqX0uT1DDNGOXuX1r9xL6w2m7hCxtyHb165h8NhskkqUdGp4PCiz8knawCR1Mk_mIoeeoGHmuRtR9e6HW7haEV5aud/s1600/Thank+God+I+found+You.jpg

Friday, May 28, 2010

The Accused



Duduk di kursi terdakwa sebagai tersangka utama.

Atas segala tuduhan, tudingan, fitnahan yang dilontarkan kepadaku. Bukan oleh satu pihak, bahkan oleh berbagai pihak. Satu sisi, aku tak hendak bela diri. Ketika semua tudingan sudah mengarah kepadaku, masih adakah gunanya aku bela diriku? Hanya satu orang, yaitu diriku dibandingkan seribu yang menuduhku? Dari satu mulut yang ungkap kenyataan palsu, segalanya menyebar secepat virus flu. Satu ngomong, yang lain ngoceh. Sambung menyambung, menjadi satu. Satu gosip yang seolah menjadi kebenaran. Satu isu yang dianggap kenyataan.

Aku diam. Bukan berarti aku menerima.

Aku diam karena aku tahu, apa yang mereka tudingkan salah. Mereka kena imbas fitnah dari satu orang yang kemudian menyebar secepat kilat. Tanpa aku tahu harus berbuat apa. Jadi, hanya diam- itu yang kulakukan. Aku pernah melakukan pembelaan tentunya, sayangnya hanya dianggap lelucon dan jadi bahan cemoohan mereka.

Kursi terdakwa kududuki beberapa saat lamanya. Bukan dalam penjara. Hanya dalam kehidupan biasa. Tetapi yang namanya kena fitnah itu tak pernah enak, tak pernah bikin tidur nyenyak. Malam-malam penuh cucuran air mata dan doa yang kupanjatkan pada-Nya…Membawaku tetap sadar bahwa Dia ada di saat-saat terluka parah sekalipun…

Apa boleh buat, terpaksa semua harus kuterima. Tatapan sinis, senyuman palsu. Pisau-pisau yang ditancapkan di belakangku, menjadi sesuatu yang harus kuterima. Suka atau tidak suka. Akhirnya, di antara seribu, ada juga satu yang melihat sisi baikku. Karena selama ini sudah terlanjur tertutup kenyataan palsu. Akhirnya dari satu yang melihat, perlahan tapi pasti: kebenaran terkuak. Si Pemalsu akhirnya ketahuan juga, malah mereka yang tadinya pro akhirnya berbalik memusuhinya atau tidak lagi menyukainya. Tidak sekuat permusuhan yang dia sebarkan untuk membenciku, tetapi akhirnya dunia pun tahu kalau apa yang dia tonjolkan selama ini: adalah juga merupakan tipu daya atau muslihat belaka. Hanya untuk terlihat baik, sementara dalam hatinya? Seringnya mengadu domba.

Akhirnya kursi terdakwa tak lagi kududuki. Aku berhasil berdiri tegar mengatasi semuanya bersama Dia karena Dia yang tahu hatiku. Dan pengalaman berharga itu mengajarkanku untuk setidaknya tidak lagi hendak terburu nafsu menuduh, mendakwa, menuding, apalagi memfitnah seseorang serta mendudukkannya di kursi tersangka tanpa tahu kejelasan sebelumnya.

Aku pernah jadi korban, setidaknya itu menjadikanku belajar untuk meminimalisasi menghakimi seseorang atau segala sesuatunya sebelum tahu permasalahan sesungguhnya. Jujurnya, adalah hal yang sulit karena kita semua punya pemikiran, informasi dari orang lain, asumsi, persepsi, ataupun perasaan yang terkadang mempengaruhi penilaian kita terhadap seseorang. Namun ternyata bila di akhir cerita aku yang keliru telah mendakwa, telah menjadikan orang tersebut sebagai ‘The Accused’, ada rasa tidak enak hati. Merasa malu. Merasa sok jadi hakim yang seolah adil, padahal diri sendiri masih jauh dari benar.

Ketika aku yang duduk di kursi terdakwa, hatiku sakit tetapi aku berjalan di dalam iman. Bahwa kebenaran, tetaplah kebenaran. Akan terungkap suatu saat, walau ku ’tak tahu kapan. Tinggal waktu yang membuktikannya.

Ketika aku mendudukkan seseorang sebagai ‘The Accused’, aku koq tiba-tiba lupa sakitnya-perihnya-luka yang mungkin ditimbulkannya….

Manusia, oh manusia… Hanya ingat diri belaka.

Jauhkahlah diri kami dari kaca mata penghakiman yang merasa diri selalu benar, dengan gampang menuduh tanpa tahu kenyataan sesungguhnya. Jadikanlah kami lebih bijaksana, Tuhan. Amin.

HCMC, 28 Mei 2010

-fon-

* pengalaman beberapa tahun lalu pernah membawaku duduk di kursi terdakwa, mudah-mudahan diriku tak mudah memojokkan orang ke kursi tersangka. Tak mau lagi aku terlalu cepat menuduh, karena jadi ‘The Accused’ itu tak pernah mudah…

PS: buat Si Pemalsu: aku memaafkanmu… Rahmat Tuhan memampukanku mengampunimu.

Sumber gambar:

http://www.koranbanten.com/isi/uploads/palu-hakim-300x251.jpg

Wednesday, May 26, 2010

Andai


“ Suamiku,” bisik Susan lembut di telinga suaminya yang sedang tidur…

“ Andai saja kamu seganteng Brad Pitt, bertubuh rupawan bak Hugh Jackman, dan punya senyum semanis Ari Wibowo…

Andai saja kamu sekaya Bill Gates, berwibawa seperti Barrack Obama, sepandai Einstein…

Andai kamu mencintaiku lebih dari Romeo kepada Juliet…

Pasti aku akan lebih bahagia…”

Tiba-tiba nuraninya ikut sumbang suara:

“ San, San…Kalau dia seperti yang kamu andai-andaikan, pastinya dia akan mencari istri yang lebih segala-galanya daripada kamu!” Deg, suara itu menyentak dirinya. Perlahan tapi pasti, menyadarkan dirinya bahwa Tommy adalah yang terbaik untuknya…

Andai…

Ah, andai diri ini tak usah terlalu sering berandai-andai…Pasti hidup ini lebih bahagia! Menerima dan mensyukuri apa yang ada, berusaha tetap jadi yang terbaik yang diri ini bisa…Tanpa perlu iri atau merasa perlu jadi orang lain. Atau sebaliknya merasa perlu suami, anak atau keluarga harus seperti Si A, Si B, atau Si C….

Susan masuk ke selimutnya, menutup seluruh wajahnya secara tiba-tiba. Malu berat.

San, San…

Hanya untuk terima apa adanya, begitu sulitkah?

HCMC, 26 Mei 2010

-fon-

* Susan bisa berarti setiap dari kita. Pria ataupun wanita yang tak puas dengan pasangan kita. Tak puas dengan keluarga kita. Tak pernah mensyukuri apa pun yang kita miliki malahan selalu mengeluh saja…Seperti pertanyaan ke Susan:

hanya untuk terima apa adanya, begitu sulitkah?

sumber gambar:

http://dayzofelijah.files.wordpress.com/2009/06/husband-and-wife-pic-on-beach.jpg


Simon Cowell: I’m Gonna Miss You…



The two finalists have already performed their best on the finale tonight. Tomorrow, American Idol will crown the new winner. Winner of Season 9. Either Lee or Crystal, both have done their best… Of course eventually the person who gets more votes will be the winner. But being in the final itself has already been something BIG. So, both of them are winners…J

Sadly, this is also the last season of Simon Cowell as a judge there. Year after year watching him- well, at first I think he’s kind of arrogant and fierce. Can’t say good or positive words, mostly negative or complaints only. But after quite some time, I realized that he’s just being honest. He will praise the contestants if they’re good or outstanding. And the other way around, he’ll complain about them if they’re not. He’s just being realistic by telling the truth. And it’s sometimes painful to know the truth, right?

Few days ago, I found a news regarding Simon. Yes, his wedding is coming soon. But, another big thing is: his confession to Oprah about his depression and his failure in the past. Imagining that he’s one of the richest person in the industry right now, it’s kind of hard to believe that once upon a time-around 20 years ago- he was broke (he lost his car, his job, his house and needed to stay with his parents). Somehow, he’s the role model of how to deal with failure and becomes successful. Your past doesn’t define your future, like what Bo Sanchez usually said….He has shown me that he’s a winner of life.

LOS ANGELES - Simon Cowell showed Americans his softer side on Thursday, telling Oprah Winfrey he suffered from depression and that he had made "some absolutely horrific mistakes" in the past.

The normally abrasive "American Idol" judge said during an appearance on "The Oprah Winfrey Show" that he was prone to dark moods.

"I get very, very down," Cowell said "Pretty much depression. what I always say is, 'You're taking yourself too seriously, so stop it.' At the same time, you should never put a painted smile on. When you're feeling down, you're feeling down."

Cowell, 50, who also has his own record label and created the TV shows "America's Got Talent" and "The X-Factor," said he sometimes felt drained by the demands of his work.

"You just become aware that a lot of people depend on you, rely on you, or you're not giving people the time you should be giving them. It's almost like a guilt thing, and that does drain me," he said.

Often seen as arrogant because of his stinging put-downs to aspiring singers, Cowell admitted that he had a strong ego.

But life hasn't always been kind. He recalled the time 20 years ago when he lost his job, car and home and had to move back to live with his parents in Britain when a business deal went wrong.

"I made some absolutely horrific mistakes. I believed my own ego, believed my own hype, believed my own abilities, and lots of times it came crashing down," he said. "I thought I was absolutely untouchable."

Cowell's interview with Winfrey was broadcast a week before the May 26 finale of "American Idol", which will mark the end of his eight year association with the most-watched TV show in the United States. (Reuters republished in Yahoo).

I think I’m going to miss Simon: his comments, his honesty, his realistic statements while he’s judging the contestants in American Idol (AI). Not the kind of feeling when Paula Abdul left last season. Because honestly for me, Paula has been playing a very good role: never complains, always see the positive sides, but sometimes we need to hear the truth even though it’s not easy to take, but it will definitely become a constructive criticism for the contestants to move forward. To be better.

Simon has taught me how to be a winner in this life by dealing very well with his failure and move forward. And stick to honesty even though it’s not a sweet thing to hear? Oh yeah, I’ve learned some of them…or lots of them for the last seven years with him…(I’ve been watching the AI since season 2…).

Bye, Simon…Good luck with your plans…And I’m sure: me and a lot more than you think will going to miss you and your comments in American Idol…Or should I say AI will never be the same without you? Hmmm, time will tell…J

HCMC, May 26 2010

-fon-

* Lee or Crystal? They’re both are winnersJ And Simon? He’s more than a winner in this life:)

Sumber gambar:

http://thejournalista.files.wordpress.com/2009/03/simon_cowell.jpg


Tuesday, May 25, 2010

Being Mom: Precious Memories



Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat di salah satu milis yang saya ikuti melemparkan sebuah pertanyaan:

Hayooo..siapa yang masih inget kenangan TERINDAH atau PUJIAN yang membuat
loe ingetttt teruss di waktu kecil.... ( in between umur 0 - 13 tahun dech…).

Pertanyaan ini menarik bagi saya karena beberapa hal. Banyak kali setelah kita menjadi dewasa, kita seakan lupa atau melupakan masa kanak-kanak yang indah itu. Beberapa dari kita ingat, beberapa dari kita lupa atau berusaha melupakannya. Mungkin masa-masa itu adalah masa-masa terpahit dalam hidupnya, sehingga inginnya dilupakan saja. Atau, banyak kali jawaban yang muncul adalah: ‘koq gw cuma ingetnya yang sedih-sedih aja, ya?’

Menghadapi pertanyaan ini yang mengajak kita kembali ke masa-masa kecil kita…Masa-masa yang entah indah atau tidak dalam keseluruhan gambarannya di diri kita, setidaknya kita memiliki sesuatu yang indah juga yang kita kenang. Setelah menjawab pertanyaan sahabat saya itu, kemudian saya sendiri merenungkan: apa yang bagi saya terindah di masa kecil dulu?

Bagi saya setelah saya melakukan kilas balik, ternyata yang terindah adalah saat-saat di mana kami sekeluarga: Papa, Mama, dan anak-anaknya bersama-sama duduk di ruang tamu menonton televisi atau video bersama. Itu bisa berupa pertandingan bulu tangkis Piala Uber,Piala Thomas dan siaran olahraga lainnya. Atau bisa jadi nonton bareng video serian seperti film Hongkong, Singapore, atau sekadar cerita silat. Yang penting: sama-sama:)

Zaman dulu, televisi hanya satu. Maksimal dua. Di keluarga kami punya satu buat kami sekeluarga, satu lagi buat yang bekerja (Si Mbak) di rumah kami. Kami menikmati milik kami yang hanya satu itu. Bersama-sama bergembira ketika Indonesia memenangkan satu partai pertandingan atau memenangkan salah satu atau kedua piala tersebut. Kerap pula terjadi, sebagian membela grup yang berbeda. Misalkan contohnya: Denmark melawan Cina. Sebagian dari kami pro kepada grup Denmark, sebagian grup lawannya (Cina). Di ruang tamu sekaligus ruang keluarga yang tidak seberapa besar itu, semua menjadi satu: berbeda pendapat tetapi tetap satu. Satu di dalam keluarga. Terkadang, kami pun berteriak serentak ketika film seri yang kami tonton mengeluarkan tulisan ‘BERSAMBUNG’ atau ‘to be continued’ di saat tengah tegang-tegangnya. Penonton kecewa, “ Huuu…” :) Pokoknya, seru aja!:)

Kesempatan nonton bersama itu berkembang menjadi nonton bioskop sekeluarga sesekali dan itu menjadi sesuatu yang juga saya tunggu. Kebersamaan itu menumbuhkan kebahagiaan. Sekarang, hal itu semakin sulit tercipta karena satu rumah punya beberapa TV. Papa nonton sepak bola, Mama nonton drama, anak nonton film kartun via DVD player. Tiga televisi karena memiliki kemampuan untuk membelinya. Belum lagi kesibukan dengan laptop, dengan alat-alat gadget canggih semisal Blackberry, membuat para penghuni rumah sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Precious memories itu sekarang kembali lagi ke hadiran saya. Cukup kuat. Sekuat keinginan saya untuk membagikannya kepada anak kami. Saya pun sadar, saya tidak bisa 100% selalu bisa membagikan ‘precious memories’ kepadanya. Kenang-kenangan yang berharga itu terkadang harus berbagi dengan kesibukan di rumah mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengerjakan tugas-tugas menulis yang menjadi ‘deadline’ saya, dan seterusnya. Bagi mereka yang bekerja, tentunya menghadirkan ‘quality time’ buat Si Anak tanpa terganggu keinginan pribadi seperti ‘chatting’ dengan teman dst., juga menjadi satu tantangan tersendiri. Sementara yang Si Anak ingat ketika beranjak besar nanti adalah bagaimana dia diperlakukan di masa kecil, kegiatan-kegiatan sederhana apa saja yang melibatkan dirinya dan pihak orang tua (ayah-ibunya) yang menanamkan kesan mendalam di hatinya. Mungkin itu hanya main ‘puzzle’ bersama, mungkin pula itu hanya berjalan-jalan dalam pelukan orang tua ketika naik motor mengitari kompleks bersama. Sesederhana itu yang dia butuhkan untuk membuatnya mengingat itu semua sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dirinya, masa lalunya dan kebersamaan dalam keluarganya ketika dia besar nanti.

Ah, memang jadi orang tua tak pernah mudah, ya?:) Tentunya ini jadi tantangan setiap kita, setiap orang tua guna menjejakkan suatu kenangan yang berharga-kenangan yang akan terpatri dalam lubuk hati anak kita ketika dia kelak dewasa.

Mari, para orang tua sekalian, sama-sama kita perbaiki diri kita jika kita belum memberikan kenangan berharga itu. Mohon bimbingan-Nya untuk menjadi orang tua yang lebih arif dan bijaksana karena memang peran ini tidaklah mudah. Namun, ketika Tuhan berikan kesempatan itu, semoga kita semua juga disadarkan untuk mempergunakannya sebaik mungkin. Itu harapan saya:)

HCMC, 25 Mei 2010

-fon-

* ‘special thanks’ buat Yovita Wijaya. Topik email yang menarik itu menjadikan aku terinspirasi menuliskan hal ini buat tulisan ‘parenting’ dalam serial Being Mom. Thanks a lot, Yo:) for bringing back precious memories, precious moments in me dan menuliskannya kali ini… Untuk terus mengingatkan aku juga akan pentingnya peran orang tua sebagai bagian dari memories dalam kenangan anak-anaknya…

Sumber gambar:

http://www.imagesbypp.com/portfolio-kids/images/Precious%20memories-gaby.jpg

Sunday, May 23, 2010

Terjepit in the Morning



Terburu-buru membuka lemari pagi ini, mengakibatkan jari kakiku terjepit. Secepat kilat aku langsung berteriak, “ Aduh, sakittt!”

Memang sakit, ketika tanpa sengaja terjepit. Peristiwa ini sebetulnya bukanlah yang pertama kali terjadi dalam hidupku, tetapi hari ini ‘koq dia berbicara lebih daripada biasanya, ya?:)

Masalah jepit-menjepit ini, sebetulnya jauh lebih kompleks ketimbang jepitan rambut atau jepitan jemuran tentunya. Apalagi bila disandingkan dengan kondisi, keadaan, permasalahan, atau problematika yang seringnya menjepit serta menghimpit manusia. Rasanya sesak, menyakitkan, dan pengin juga teriak: “ Sakitttt, Tuhan! Dada ini sesak, hati ini seolah ketimpa batu yang bujubune beratnya! Duhhh, Gustiii!”

Terjepit, bukanlah suatu kondisi yang enak. Bukanlah suatu kondisi yang diharapkan. Terhimpit juga: sama, sami mawon, idem, ditto. Kalau bisa ya, tetap lapang, tetap lega, tapi berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Betul begitu? :)

TETAPI, saudara-saudara sekaliannn, ternyata di balik peristiwa yang seolah menghimpit, menjepit, dan menyakitkan itulah biasanya proses pembelajaran diri yang signifikan (baca: penting) sedang terjadi. Keluar dari zona kenyamanan a.k.a ‘comfort zone’ kita dan merasakan tidak enaknya hidup, biasanya membuat kita-kita ini berpikir kreatif, melakukan sesuatu yang berbeda dengan keluar dari kotak pemikiran yang ‘inside the box’ menjadi ‘think outside the box’. (Tentunya setelah mengalami pula proses kecewa, pernah putus asa, pernah hampir menyerah, untuk kemudian memutuskan untuk menghadapi itu semua dengan tegar:)). Tak jarang pula, hasilnya pun di luar kemampuan pikir kita: manusia yang terbatas ini. Di saat itulah kita dilatih untuk lebih sabar, lebih menerima apa yang menjadi rencana-Nya, lebih mempersiapkan diri untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih baik dari apa yang kita pikirkan- yang sudah disediakan-Nya bagi kita.

Tuhan bekerja dengan cara-Nya. Cara-Nya itu terkadang ajaib, tak terselami pemikiran manusia yang sempit seperti kita-kita ini. Di saat terjepit, terhimpit, terdesak, terpojok itulah sebetulnya saat-saat yang terbaik buat terus ingat bahwa kita ini bukan siapa-siapa dan ‘gak ada apa-apanya dibandingkan DIA Sang Empunya kehidupan ini. Sekaligus tetap percaya bahwa setiap himpitan masalah, setiap kondisi yang menjepit dan menyakitkan ini, akan membawa kita lebih dekat kepada-Nya asalkan kita dengan iman penuh terus percaya bahwa Tuhan lebih besar dari setiap masalah yang mungkin menghantam kita.

Selamat siang, Fonny dan peristiwa terjepit ‘in the morning’ undur diri. Pembelajaran luar biasa dari sesuatu yang sederhana. Semoga kita semua tak lupa, kondisi terjepit pun bisa jadi anugerah asal kita percaya pada-Nya.

HCMC, 24 Mei 2010

-fon-

* untungnya terjepitnya tidak terlalu parah:) Thank God buat pembelajaran di balik terjepitnya saya pagi ini…

Sumber gambar:
http://www.beaux-artz.com/admin/images/agung_yuwono,terjepit,180x130cm,2007.jpg

Saturday, May 22, 2010

Panas


Panas

Cuaca di luar memang panas. Kalaupun hujan turun, hanya sebentar saja dan tidak sempat menghapus panas serta debu yang jauh lebih banyak ketimbang siraman hujan yang tak seberapa itu.

Panas, membawa orang menjadi gerah. Membuat orang menjadi sering merasa tidak nyaman dan cepat marah.

Mengatasi panas di masa kini sebetulnya jauh lebih enak. Bisa pakai topi atau pakai payung. Masih bisa diatasi dengan pasang AC, makan es krim, minum air es, atau berenang. Malah banyak ide juga untuk ke mal atau tempat ber-AC lainnya hanya buat nongkrong, minum sedikit. Pulang ketika sore atau malam saat sudah tidak sepanas siang yang terik.Walaupun begitu, tak bisa ditampik bahwa panas pun membawa beberapa kebaikan juga: jemuran kering misalnya. Apalagi yang punya bayi, tak perlu pusing popok tak kering. Panas setidaknya menjanjikan ‘NO BANJIR THIS TIME.’ Panas, di wilayah yang sering kebanjiran, agaknya merupakan sesuatu yang dirindukan. Mending panas daripada tergenang air dan harus mengungsi.

Bagaimana dengan panas yang ada di hati? Panas yang sering naik ke kepala saat ada hal-hal yang salah dan tidak sesuai dengan rencana atau keingingan? Panas yang seolah disebabkan oleh pihak-pihak yang ‘interest’ atau kepentingannya berseberangan dengan kita? Panas hati, menjadi hal yang mudah muncul dengan berbagai dalih dan alasan. ‘Memang tuh dia tukang cari gara-gara, sama dia selalu bawaannya emosiii aja! Panasss aja!’ (ini mungkin berlaku pada bawahan, pembantu, sopir, mungkin juga anak kita sendiri dan orang-orang yang seringnya berinteraksi bersama kita setiap hari). Padahal, kalau kita tanyakan dalam hati kita sendiri secara jujur: panas itu kita bisa kendalikan atau tidak??? Panas itu kita sendiri yang buat atau orang lain yang bertanggung jawab??? Sering kali kita menuding pihak lain yang salah, sementara sebetulnya banyak kali kita akhirnya sadari: kesalahan juga ada di pihak kita sendiri. Kondisi di luar bisa jadi pemicu, tetapi bagaimana reaksi kita: itu yang terpenting, bukan?

Panas di luar, masih bisa kita carikan solusinya. Pasang AC, makan es krim, minum jus dingin, dan sebagainya yang sudah saya sebutkan di atas tadi. Bagaimana panas dalam hati? Adakah cara juga untuk menyejukkannya?

Banyak yang bisa dilakukan juga sebetulnya. Tergantung pribadi orang yang satu dengan lainnya yang terkadang berbeda caranya. Ada yang memilih relaksasi musik, spa, atau ‘cream bath’. Ada yang memilih olahraga sampai letih untuk melampiaskan emosinya dan sebagainya. Di antara semua cara yang baik itu, rasanya tetap ada satu penyejuk jiwa yang paling efektif, ibarat larutan penyegar yang menyejukkan ketika panas dalam yang menyebabkan sariawan yaitu: berdoa. Berdoa, menyendiri sebentar, berbicara dengan-Nya akan membuat panas di hati menguap. Sering kali, walaupun mengawali doa dengan kekesalan karena panas dan marah, tetap saja berakhir dengan adem-sejuk-dan damai. Si Panas sudah diterjang air es kasih-Nya sehingga menguap pergi, lumer tak bersisa.

Dalam kondisi hati yang panas, bisa membuat kita melakukan hal-hal yang mengerikan. Berapa banyak kasus yang kita baca, lihat atau alami sendiri diakibatkan oleh panas hati ini. Pembunuhan, penganiayaan, perkelahian, kerusuhan, perkosaan, perang, dan banyak kejahatan lain berakar dari hati yang terbakar emosi negatif, hati yang panas.

Di hari Minggu yang cerah dan (agak) panas di Ho Chi Minh ini, saya menghimbau kita semua…. Mari belajar untuk me-manage panasnya hati. Di luar boleh panas, mungkin sampai 38 derajad Celcius. Semoga hati kita tidak ikut-ikutan panas yang negatif. Panas yang positif, yang membakar kita untuk bersemangat dan menjadi lebih baik dalam melakukan seluruh kegiatan kita, itu yang diharapkan. Panas negatif? Hati panas penuh emosi? Semoga bisa kita kendalikan dengan baik. Setidaknya kita tahu caranya: panas itu bisa disejukkan dengan doa, dalam kasih-Nya yang selalu tersedia untuk menyirami hati kita dan memberikan rasa ‘adem’ yang tak terhingga.

HCMC, 23 Mei 2010

-fon-

* catatan hari-hari panas di HCMC yang kalau di siang hari mungkin di atas 35 derajad Celcius…

Sumber gambar:

http://images.pingmag.jp/images/title/summertitle.jpg

Thank God I Found You Part 8



*** Episode: Chaos (Kacau)

Previously on Thank God I Found You 7 (Episode: Someone from the Past)…

Setelah memastikan rumahnya aman dan waktunya tepat bagi Vita untuk minggat, akhirnya dia pergi juga. Ke apartemen Santi, dia menuju. Santi pun keesokan harinya memiliki rencana untuk bakti sosial ke Bandung. Bersama Santi, Vita pun ikut serta. Tak dipedulikannya telepon yang masuk dari Jason dan keluarganya, malahan dia memasang ‘handphone’-nya dalam ‘silent mode’ agar tidak mengganggu keheningan yang ingin dicari jiwanya. Sesampainya di Bandung, Vita terkejut mendapati seseorang yang begitu familiar: wajah dan suaranya. Hanya memang kakinya cacat dan wajahnya ada bekas luka. Tak lama berselang, dia pun mengenalinya sebagai: Joko. Seseorang dari bagian masa lalunya yang sempat menghilang begitu saja. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Simak di episode berikut ini…

Episode: Chaos (Kacau)

Biara Hati Suci- Bandung, Sabtu Siang…

“ Joko, jangan lari lagi. Mengapa harus kauhindari aku?” Tanyaku setelah berhadapan langsung dengannya.

“ Aku … aku… Aaaku sudah berusaha meluapakan semua tentang kita, Vit. Aku sudah hampir sempurna berdiri di atas kakiku sendiri, walaupun kakiku cacat. Aku sudah hampir tenang, Vit. Sampai kau datang pagi ini dan membuat porak-poranda hatiku lagi,” ucapnya terbata-bata dengan suara amat pelan.

“ Aku hanya ingin tahu, apa kabarmu? Kamu hilang begitu saja semenjak kecelakaan itu. Kau tak pernah tahu betapa tersiksanya aku ketika itu,” jawabku.

“ Aku juga tersiksa, Vita! Aku juga sulit melewati hari-hariku, tapi aku memaksakan diri untuk menjauh. Karena dengan kondisi begini, apa kau masih mau bersamaku? Kita pun sudah hadapi begitu banyak permasalahan. Beda agama, beda suku, beda strata sosial. Aku rasa kecelakaan itu adalah akhir hubungan kita.” Ujarnya lirih.

“ Akhir hubungan kita? Yang kuanggap akhir adalah ketika kau pergi tanpa berita, Joko! Tapi, entahlah…Mungkin itu juga jalan untuk memisahkan kita? Aku masih tak mengerti…” Aku bergumam lirih…Betul-betul tak mengerti semua ini. Setelah melupakan Joko dan menggantikannya dengan beberapa pacar lainnya plus Jason yang sekarang mengisi hatiku, aku masih merasa tidak siap ketika mantanku ini kembali di hadapanku.

“ Selamat siang, Mbak Vita. Mbak Vita ini temannya Mbak Santi, ya? Selamat datang di biara kami. Perkenalkan, saya Suster Anna.” Suara renyah itu seketika bergema di telingaku, aku jadi salah tingkah karena kepergok bicara dengan Joko, tetapi aku berusaha menenangkan diri.

“ Selamat siang, Suster. Saya Vita,” kuulurkan tanganku mengajaknya bersalaman.

“ Terima kasih, Suster mau menerima kami untuk bergabung dengan bakti sosial Suster. Saya sangat ingin melihat dari dekat apa yang suster-suster di sini lakukan.” Sambungku lagi.

“ Silakan. Kami sangat senang kalau ada yang mau ikut, seperti Mbak Santi ini… Eh, ini yang baru bulan ini membantu kami, Joko. Selama ini Joko tugas di frateran, sekitar satu kilometer dari sini. Baru pindah ke sini karena di frateran sudah ada yang membantu. Sementara di tempat kami, yang membantu cuti melahirkan sekitar tiga bulan. Joko, tolong bantu di ruang makan, sebentar lagi akan makan siang. “ Ucapan itu sedikit memperjelas mengapa Joko sampai ada di sini.

Joko pun berlalu dari hadapan kami.

“ Silakan ke kamar yang sudah disediakan, Mbak. Mbak Santi sudah menunggu di depan, tadi dia juga lagi asyik berbincang-bincang dengan Suster Paula, sampai lupa waktu katanya…” Senyum ramah tak henti keluar dari bibirnya.

Pantas dari tadi Santi tak kulihat lagi. Sesudah sampai di gerbang, ternyata aku yang terlalu sibuk mengejar Joko, sementara Santi sudah keburu masuk ke ruang tamu biara dan berbincang asyik dengan Suster Paula.

“ Eh, dari mana, elo Vit?” tanya Santi.

“ Ntar aku baru cerita, San…” Bisikku pelan. “ Yuk, ke kamar dulu, yuk…” Ajakku lagi.

“ Ok, yuk! Gue udah nungguin elo dari tadi,” jawabnya lagi.

Di kamar biara…

Kamar ini tidak terlalu luas, tetapi cukup rapi. Ada ranjang bertingkat buat kami berdua. Meja tulis, kaca kecil untuk bercermin saat menyisir dan rak plastik untuk menyimpan pakaian kami atau barang yang kami bawa.

Setelah meletakkan barang dan merapikan sedikit, aku mulai bercerita pada Santi.

“ Tadi itu yang negor kita di pintu, kamu ngenalin siapa, ‘gak San?” Tanyaku.

“ Enggak. Emangnya dia siapa? Orang baru sih pastinya, karena bulan lalu pas gue ke sini, orang itu belum ada,” ujar Santi.

“ Joko, San. Joko! Elo ingetkan dia mantan gue yang ke-3?” Tanyaku.

“ Iya, inget donk… Tapi, Joko ‘kan beda agama ama elo, Vit, koq sekarang bisa-bisanya dia di biara?” tanya Santi lagi.

“ Iya, itu yang gue juga bingung. Yang pasti, setelah kecelakaan yang dia alami, dia ninggalin gw, elo ingetkan? Elo juga yang nemenin gw melewati hari-hari itu dan menjadikan gw kuat lagi. Gw bingung aja, koq bisa nemuin dia di sini? Padahal gw juga pengin relaks dan damai. Eh, malah ketemu mantan di sini…’ Gak ngerti juga, apa maksud Tuhan di balik ini semua? Bingung gw…” Jawabku lagi.

“ Ya udah, elo tenang aja. Lagian, emangnya sekarang elo masih ada rasa ama Joko? Enggak ‘kan?” Tanya Santi.

“ Ya, enggaklah, San. Gw udah lupain dia, walaupun ada bagian dari hati gw yang pengin tahu kejelasan kenapa dia ninggalin gw begitu aja. Gw tetep suka Jason, walaupun sudah kayak gini kondisi hubungan gw….” Ucapku pelan.

“ Ya, udah. Elo gak usah pusing lagi kalau gitu. Yang penting elo istirahat dan tenang-tenang dulu. Jam 12 teng, kita ke ruang makan. Jamnya makan bareng. Elo baring-baring bentar juga boleh, Vit,” kata Santi lagi.

“ Okay, “ jawabku. Bergegas menempati bagian atas dari tempat tidur bertingkat itu.

Kuambil handphoneku, kulihat ada 20 missed calls. Bervariasi: Jason, Vino, rumahku. Ada 13 sms. Jason dan Vino. Banyakan Jasonnya. Tetapi yang terakhir dari Vino berbunyi:

“ Kalau elo gak pulang juga atau gak ada kabarnya hari ini, Vit. Gue dan bonyok bakal lapor polisi. So, kita tunggu sampai jam 11 malam. “

Wah, serius neh? Lapor polisi? Langsung kubalas SMS Vino:

“ Aku di Bandung, Vin. Kamu dan papa-mama tenang aja, aku baik-baik aja. Aku akan pulang hari Senin atau Selasa. Aku butuh waktu buat tenang.”

Sementara aku juga mengirimkan SMS ke Jason:

“ Aku di Bandung, Jason. Butuh waktu sendiri dulu. Tapi aku baik-baik aja. Setelah aku pulang ke Jakarta, aku akan hubungi kamu lagi. Thx.”

Kukirimkan segera dua SMS itu. Lalu memejamkan mataku. Masih ada setengah jam lagi sebelum makan siang. Istirahat sebentar lah…

***

Cilandak Town Square (CITOS), Jakarta

Susi dan Willem tertawa gembira. Duduk di Bakerzin dengan segelas ‘iced mocha’, secangkir ‘flat white’ coffee, dan sepotong tiramisu yang mereka lahap berdua, mereka seolah merayakan kekacauan yang sudah mereka perbuat atas hidup Jason dan Vita.

“ Vita sudah minggat, Sus! Hahaha…Itu berita yang kudapat dari ibunya yang kebingungan mencarinya, “ ujar Willem.

“ Bagus… Bagus…! Kamu memang hebat, Will!” Ujar Susi lagi.

“ Eh, tapi, Vita minggat kamu ‘gak merasa kehilangan?” Tanya Susi dengan suara manja yang memang ketahuan sekali kalau dibuat-buat.

“ Kehilangan? Sebetulnya ada sih, Susiku cantik. Tetapi, apalah artinya rasa itu dibandingkan dengan indahnya saat duduk berdua memandangi wajah cantikmu, “ Willem menatap wajah Susi yang tersenyum manis.

Willem mengalami kegoncangan jiwa ringan setelah ditolak Vita. Apa yang dia impikan sekian lama, setelah mengalami penolakan itu membuat hatinya sakit luar biasa dan dia jadi tidak tentu arah. Kadang sering menangis sendiri, depresi tampaknya. Namun, dia merasa lebih bahagia sekarang karena menemukan cinta baru dalam diri Susi. Walaupun seolah dia mengalami disorientasi dari tujuannya semula, tetapi dia merasa bersemangat lagi. Untuk menghadapi Susi, dia pun lebih berhati-hati. Karena dia tahu yang dia hadapi bukan perempuan sembarangan, tetapi perempuan cantik, licik dan lihai yang mampu menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Dia sendiri mulai terbuai dengan kata-kata manis Susi yang entah benar-entah tidak (karena masih sulit diterima oleh otaknya yang depresi itu), mulai mewarnai hatinya dengan bunga-bunga cinta yang bermekaran. Willem masih mengandalkan obat-obatan penenang untuk membuat tidurnya nyenyak. Kalau tidak, dia tak sanggup tidur, insomnia terus tiap malam.

Tiba-tiba renyah tawa mereka berdua dikejutkan oleh sebuah suara yang sering mereka berdua dengar…

“ Oh, jadi begini caranya? Dari apa yang aku lihat di rumah sakit, itu semua sandiwara belaka? Heh, gila kamu Susi! Dan kini kamu dapat partner yang seimbang. Sama gilanya sama kamu. Willem memang cocok mengimbangi kamu. Sama-sama psikopat!!!” Geram Jason.

Susi dan Willem bertatapan dalam bingung, tak menyangka pertemuan mereka kali ini bisa diketahui Jason secara tak sengaja.

“ Hai, Jason. Koq kamu bisa di sini, tumben. ‘ Gak biasanya main ke Selatan. Biasanya di Barattt melulu,” Susi masih berusaha basa-basi menetralisir suasana yang sudah keruh itu.

“ Apa urusanmu? Mau gw ke Selatan keq, Utara keq, Timur keq gak ada urusannya ama elo! Yang pasti, hari ini aku ke sini bikin aku ngelihat bahwa kamu memang perempuan licik luar biasa…. Ck ck ck…” Jawab Jason sinis….

“ Emang kalau aku sama Willem, kenapa? Gak cocok? Lebih cocok dia yang jadi pacarku daripada kamu, tahu! Dia ganteng, kaya, dan cinta padaku. Sedangkan kamu? Sudah miskin, tak begitu ganteng lagi…Apa kata dunia kalau aku pacaran sama kamu?” Susi setengah berteriak secara sengaja guna memancing karyawan Bakerzin menghampiri mereka.

“ Maaf, Mas. Jangan ribut-ribut di sini. Banyak pengunjung kami jadinya gak betah lho, Mas. Maaf, Mas, silakan keluar aja. Jangan bikin onar di sini.” Kata karyawan Bakerzin itu.

“ Baik, Mas. Maaf kalau saya mengganggu, saya pergi dulu. Susi, Willem, jangan pikir ini selesai. Kalian yang bikin semuanya kacau, siap-siap juga kalau nanti kekacauan hidup juga berbalik menyerang kalian!” Jason memandang garang, lalu membalikkan badan dan pergi…

Bersambung…

HCMC, 22 Mei 2010

-fon-

Sumber gambar:

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeZKiCpQSa9SnUpVXocS95KHB8RQOnd-VYi5n49U6PpN_3zIOa-TSrALMpD4b8l3_7TBI7LbKt6kutPteFIi0O9KJHM3oQRvHqXe3iknXd7_xNlux2XGlgepxSrYwT79Gj3g3LU5MtABIq/s1600/Thank+God+I+found+You.jpg