Sunday, December 22, 2013

Sebelum Lelap Tidurku

Sebelum lelap tidurku...
Izinkan aku mengucap syukur atas hadirmu di hidupku...
Terima kasih, Tuhan...
Karunia-Mu dalam bentuk anak-anak yang Kaupercayakan kepadaku.

Melihat wajah mereka yang polos saat tidur...
Aku bahagia...
Walaupun terkadang perjuangan untuk jadi Ibu dan terus membimbing mereka bukanlah perkara gampang...
Tapi, aku syukuri peranan ini...

Kelelahan bercampur keceriaan...
Derai tawa bercampur isak tangisan...
Adalah hal-hal yang semuanya menjadikanku dewasa...
Menyadari tanggung jawab dan panggilan sebagai seorang Ibu yang sungguh mulia...

Sebelum lelap tidurku...
Izinkan aku berdoa, Tuhanku...
Jagai selalu anak-anakku...
Biarkan mereka tumbuh selalu dalam bimbingan-Mu...
Jadi tegar dan berjalan dalam kebenaran-Mu...

23.12.2013. Dini hari.
fon@sg
* hari Ibu sudah usai, namun perjuangan Ibu terus memenuhi setiap hari, setiap hati yang bersungguh dengan panggilan yang indah ini.

Tuesday, December 17, 2013

Year 2013 in Review

Hari ini baru melihat di Facebook, ada feature yang ngasih tau, apa sih biggest moments di tahun 2013.
Well, kalo dikilas balik, pastinya ada yang big, not so big, or small. 
Mungkin juga flat. Lho, koq?
'Kan gak setiap tahun dipenuhi gegap gempita.
Ada tahun-tahun juga yang seolah berjalan di tempat. Atau berjalan di treadmill.
Tetapi, percayalah, bak 'puzzle' kehidupan, ini semua akan ada maksudnya.

Sukses yang sudah atau akan dicapai nantinya, adalah kumpulan dari proses yang sudah terlewati.
Mungkin menguras tenaga dan air mata.
Mungkin juga membuat begitu sakit kepala.
Mungkin makan waktu bertahun-tahun.
Dan mungkin juga kita sudah kehabisan kesabaran menunggu waktu sukses itu tiba.

Ukuran sukses pun beda-beda.
Yang dunia ukurkan sebagai kesuksesan adalah jabatan, kekayaan, rumah, mobil mewah, jalan-jalan ke luar negeri, hidup mapan, enak, dan nyaman.
Jarang, orang dianggap sukses, jika hanya jadi orang biasa dan baik-baik saja.
Itu terkadang dianggap tidak cukup.
Padahal, bagi saya pribadi, justru nilai kesuksesan yang hakiki, bukan hanya melulu yang berbau materi.
Walaupun tidak memungkiri bahwa uang adalah hal yang penting, tetapi, saya ogah diperintah olehnya. Apalagi mendewakannya, sampai mau melakukan apa saja demi dirinya.
OGAH.
Bukan munafik.
Tetapi, sekali lagi agaknya kita perlu menarik garis yang jelas akan materialisme dan diri kita ini.

IMHO (In My Humble Opinion), seiring berjalannya waktu dan pendewasaan yang terjadi pada diri saya (psssttt, jangan dibaca tua, yah, karena maunya 'forever young' -setidaknya berjiwa muda- hahaha)...
Kesuksesan sebagai anak-anak-Nya berarti kita hidup selaras dengan rencana-Nya.
Mengasihi Tuhan, sesama, dan juga diri kita.
Care pada keluarga kita, walaupun mungkin banyak bentrokan dalam keluarga.
Sejelek-jeleknya, mereka adalah bagian dari hidup kita.
Mampu setidaknya peduli pada orang yang berkesusahan.
Juga bergembira melihat mereka yang bahagia.
Jauhkan diri dari rasa iri, penuhi hati dengan rasa syukur.
Mau memberi, berbagi.
Mau bekerja keras mengejar apa yang menjadi impian terdalam di hati kita, sementara hasilnya kita percayakan kepada Yang Kuasa.
Hidup berdamai dengan orang lain, terutama berusaha terus berdamai dengan diri sendiri.
Dengan demikian, kita bisa membagikan damai itu kepada sekitar kita,syukur-syukur pada dunia.
Dimulai dari hal kecil.
Selangkah demi selangkah.
Lalu, mulai menyebar ke sekitar kita...

Lalu, apa sih yang sudah dipercayakan-Nya pada saya di tahun ini?
Keluarga yang baik dan sehat. Juga saya pun dikaruniai kesehatan. Thank God!
Terima kasih, Tuhan untuk suami dan anak-anakku yang Kaukirimkan kepadaku.
Juga untuk orangtua, mertua, adik-kakak dan iparku.
Juga sahabat-sahabatku-baik di dunia maya ataupun di dunia nyata.
Terima kasih juga untuk kepercayaan-Mu menjadi Editor di tahun ini.
Hal yang tak terbayangkan bisa kulakukan.
Ada rasa ragu: apa bisa, Tuhan?
Perlahan, keraguan itu bergeser, setelah kepercayaaan diri itu datang karena kesempatan yang Kauberikan.
Jadi Juri di lomba novelet yang diadakan oleh Peri Pernulis, memberikan komentar bagi tulisan-tulisan yang indah, menghibur, dan cukup bermutu.
Lalu, melangkah ke editing renungan harian tahunan Treasuring Womanhood 2014 yang ditulis oleh para perempuan dan dipersembahkan untuk para perempuan.

Terima kasih juga untuk dua buku keroyokan yang mana aku bisa ikut serta.
Kutemukan Kasih Tanpa Syarat (KKTS) terbitan OBOR bersama teman-teman perantau Katolik dari milis Komunitas Perantau Katolik.
Di akhir tahun, ada ajakan dari Peri Penulis untuk bersama-sama bergabung di Project Natal mereka, Noel D'Amour. Di buku ini, aku menyumbangkan satu cerpen.
Royalti dari kedua buku ini untuk tujuan sosial, KKTS untuk pendidikan, sementara Noel untuk panti asuhan.

Really, I couldn't ask for more.
I'm so happy, God that I've come this far.
It's only by Your Grace I can experience this.
Kupercaya itu semua karena-Mu.
Selanjutnya, kupercayakan masa depanku kepada-Mu.
Apapun yang bisa terwujud, kuyakin itu karena campur tangan-Mu.

Izinkan aku melangkah di jalan-Mu.
Tetap setia, walaupun mungkin aku pernah kecewa.
Karena kusadar, aku tidak selalu mengerti rencana-Mu.
Namun, Kau selalu tahu yang terbagik bagiku (bagi kami, anak-anak-Mu).

17.12.2013
fon@sg

Wednesday, December 11, 2013

Welcoming New Chapters

December 2013.

Sudah akhir tahun lagi.
Rasanya, begitu cepat waktu bergulir.
Di awal tahun, rasanya baru saja saya mengantar anak kedua kami, Lala masuk sekolah pertama kalinya.
Sekarang sudah selesai kelas playgroup-nya dan tahun depan, siap-siap melangkah ke sekolah baru.
Demikian juga, tanpa terasa, sudah setahun setengah kami kembali lagi di Singapura.
Dan tahun depan, agaknya menjadi babakan baru pula bagi anak pertama kami Odri, sekaligus kami sebagai orangtua, karena Odri akan melangkahkan kakinya menuju 'Primary School' alias Sekolah Dasar.

Akhir tahun. Senantiasa dipenuhi harapan dan syukur untuk tahun depan.
Juga apa yang sudah dialami di dalam kehidupan ini. 
Senang, sedih, suka dan duka kita persembahkan kepada Yang Kuasa.
Minggu lalu di sebuah Misa di St. Ignatius Church, sebuah khotbah yang sangat inspiratif dari seorang Pastor muda cukup menggugah saya.
Beliau mengungkapkan bahwa akhir tahun adalah saat yang tepat untuk 'pause', berhenti sejenak dari seluruh kesibukan kita. Jam-jam 'rush hours' yang selalu saja kita jalani.
Setelah 'pause', lalu 'rewind'...
Saat untuk merenungkan tahun ini...
Kilas balik kejadian sepanjang tahun ini...
Apa yang sudah dialami...
Segala yang baik, kita persembahkan kepada Tuhan...
Yang kurang baik, kita benahi, dan kita pun belajar untuk rendah hati...
Bukan rencana kita yang selalu terjadi...
Namun, rencana-Nya yang pegang kendali.
Terlalu sering kita disibukkan ini dan itu.
Minta ini-itu kepada Tuhan.
Menjadi kecewa bahkan marah jika tidak dikabulkan...
Terlalu sering kita memandang Tuhan sebagai asisten yang harus memenuhi seluruh keinginan kita.
Ini pula yang menjadi renungan saya pribadi...
Bahwa ada beberapa rencana yang tidak terealisasi.
Saya pun kecewa.
Namun, di balik itu, mari berusaha sebaik-baiknya untuk percaya kepada Allah.
Bahwa semua itu ada maksudnya...
Bagian saya hanya sabar, tawakal, dan percaya...

Di akhir tahun ini, saya belajar menerima kegagalan ataupun kesedihan yang pernah dialami.
Belajar sabar menerima itu semua sebagai bagian rencana-Nya yang tak terselami pikiran manusiawi.
Saya pun belajar mengharga segala hal yang baik yang ada di kehidupan ini.
Keluarga, tempat berteduh, masih bisa makan tiga kali sehari, masih sehat, anak-anak bisa sekolah, semuanya menjadi bagian kebahagiaan yang patut disyukuri.
Jika terus melihat ke atas, kita akan lupa bahwa masih begitu banyak orang yang teriak kelaparan, tak bisa sekolah, atau saat ini terbaring di Rumah Sakit tanpa daya.
Kita sering menganggap remeh hal yang biasa, baru pada saat kita tak lagi bisa menikmatinya, penyesalan itu datang mendera.
Mari, kita syukuri segala yang ada.
Berjanji untuk lebih baik mengasihi semuanya.
Tetap fokus pada tujuan dan impian yang Tuhan tanamkan di hati kita.
Melakukan yang terbaik yang kita bisa.
Jangan menyerah pada keadaan.
Jangan pula putus asa seolah hidup berhenti pada titik ini saja.
Mari tetap beriman kepada Tuhan.

And welcoming new chapters of life in 2014 with great excitement. 
For knowing that God will be there and guide us.
Through every moment of life.

12.12.2013
fon@sg




Thursday, November 14, 2013

A Perfect Marriage



… There’s no such a perfect marriage…
If there is, that must be a marriage that tolerates, forgives, and loves one another as a couple…
And most of all, put God as the centre of it.

… Tidak ada pernikahan yang sempurna…
Jika ada, tentunya merupakan sebuah pernikahan yang dipenuhi toleransi, pengampunan, dan kasih antara pasangan suami- istri…
Dan di atas itu semua, menempatkan Tuhan sebagai pusat dari pernikahan itu sendiri.

(-fon-)

4 November 2013. Suntec City Mall-Singapore.

Hari itu kami sekeluarga ke Suntec City Mall di pusat kota Singapura.
Di tengah mengurusi berbagai keperluan di sana, mata saya tertuju pada kata-kata  “A Perfect Wedding” yang menjadi slogan pameran pernikahan di atrium mal tersebut.
Ada beberapa pakaian pengantin ditata rapi, juga ada beberapa semacam EO (Event Organizer) dan tempat resepsi pernikahan yang melakukan promosi.

Kata-kata itu terus bergema.
A Perfect Wedding.
Sebuah pernikahan yang sempurna.
Pestanya, perayaannya, pakaiannya, makanan yang disajikannya, juga sah secara agama dan sipil tentunya.
Rasanya, hal itu sangat mungkin terjadi.
Karena dua orang yang saling mengasihi, yang hendak berjanji setia, pasti akan memberikan yang terbaik sesuai kemampuannya.
Ada pesta yang sederhana, namun khusyuk.
Ada pesta yang mewah dan sangat meriah…
Semua sesuai kemampuan dan kondisi keuangan masing-masing tentunya.

Acara ‘wedding’ itu sendiri hanyalah sesuatu yang singkat.
Maksimal hanya sehari saja. Atau jika ada acara lanjutan, mungkin seminggu.
Namun, kehidupan sesudahnya adalah bagaimana menjalani tahun demi tahun pernikahan itu sendiri dengan tulus hati.

Beberapa sahabat yang sudah menjalani pernikahan, agaknya setuju bahwa tidak ada kisah ‘live happily ever after’, tanpa menyertakan toleransi, pengampunan dan kasih.
Serta menempatkan Tuhan sebagai pusat dari pernikahan itu sendiri.
Kekecewaan mungkin timbul.
Si Dia yang dulu rasanya ‘ngebelain gue banget’ koq sekarang jadi seperti itu saja?
Cuma segitu doang.
Belum lagi permasalahan tambah pelik dengan adanya perluasan anggota keluarga karena pernikahan.
Mertua, ipar, yang dulunya bukan siapa-siapa, sekarang mendadak jadi anggota keluarga yang tentunya butuh adaptasi juga.
Belum selesai adaptasi antarpribadi yang menikah, harus pula adaptasi dengan mertua dan ipar.
Tak jarang konflik pun terjadi, apalagi jika tinggal berdekatan atau serumah.

Jika hanya mengandalkan perasaan dan harapan untuk tidak pernah kecewa, agaknya pernikahan akan berakhir begitu cepatnya.
Tak aneh pula jika kita dengar di sekitar kita, sahabat kita yang baru saja melangsungkan pernikahan di hotel mewah dan megah, hanya dalam hitungan bulan sudah di ambang perceraian.
Belum lagi berita-berita infotainment dari selebriti yang kawin-cerai semudah beli baju, membuat lagi-lagi orang mempertanyakan: apakah masih ada kesetiaan dalam pernikahan?
Apakah lembaga ini menjadi begitu sulit dipertahankan?

Dalam sudut pandang saya pribadi, setelah menjalani pernikahan itu sendiri, saya sungguh sadar bahwa untuk tetap setia pada pasangan kita di zaman sekarang ini bukanlah hal gampang.
Begitu banyak godaan untuk lari dari kesetiaan itu sendiri.
Begitu banyak alasan yang seolah mengajak kita untuk mengingkari janji setia dengan pasangan kita.
Jika hanya mengandalkan kekuatan saya sendiri, agaknya sulit untuk mempertahankan ini semua.
Namun, itu semua menjadi MUNGKIN bahkan menjadi sesuatu yang harus DIPERJUANGKAN secara maksimal bersama Tuhan.

Bersama Tuhan, Dia akan hapuskan luka dan air mata kecewa.
Aku pernah dikecewakan pasanganku, sambil introspeksi diri juga, pasti aku pernah mengecewakan dia.
Tidak pernah aku melulu yang benar dan dia salah, tetapi pasti juga pernah aku yang salah dan harusnya aku minta maaf.
Salah paham, salah pengertian, pertengkaran, mungkin diam-diaman satu sama lain adalah hal yang pasti pernah terjadi di pernikahan.
Namun, bagaimana kita menyelesaikan perkara itu untuk kemudian menjalin suatu pengertian yang baru antar pasutri akan menjadi bekal yang memperkuat pernikahan itu sendiri di kemudian hari.

Apakah seolah begitu gampangnya dengan menyertakan Tuhan, segala sesuatu akan beres?
Saya percaya, kita semua sadari, tidak ada yang mudah di hidup ini.
Semua butuh proses dan perjuangan, dan itu yang menjadikan kita bertumbuh dewasa dalam iman, di dalam kebijaksanaan.
Bersama Tuhan, dengan keinginan luhur untuk mempertahankan kesetiaan pernikahan itu sendiri, saling memberikan diri yang terbaik bagi pasangan dan anak-anak yang dipercayakan-Nya, menjadi sesuatu yang mungkin.

Tetap setia kepada pasangan kita, tentunya merupakan hal yang harus diperjuangkan.

Tidak ada orang yang sempurna.
Dia tidak, saya pun tidak.
Hanya dengan berusaha saling memahami satu sama lain, saling menerima, lalu berdoa kepada Tuhan untuk dibukakan pintu maaf dan saling mengasihi, pernikahan itu semoga langgeng.
Dijauhkan dari segala bentuk perselingkuhan ataupun pengkhianatan. Perselingkuhan seolah merupakan obat yang pas bagi pasangan yang tengah bermasalah.
Padahal, perselingkuhan selalu membawa permasalahan baru.
Melukai pasangan, diri sendiri, anak-anak kita, dan kemungkinan anak-anak yang dihasilkan dari perselingkuhan itu nantinya…
Ini yang mungkin kurang disadari.

Hari ini, saya mengajak para pasangan suami istri untuk mengupayakan suatu pernikahan yang terbaik yang kita bisa.
Cintai pasangan kita, hargai mereka.
Kasihi mereka dengan kasih Tuhan.
Maafkan mereka, sebagaimana kita pun butuh dimaafkan jika kita berbuat salah.
Tetaplah setia.
Pernikahan yang sempurna hanya akan terjadi dengan menyertakan Tuhan yang sempurna itu ke dalamnya.
Semoga kita terus berpegang kepada-Nya.

14.11.2013

fon@sg

Tuesday, October 22, 2013

Renggang


Pernah frustrasi dengan sebuah hubungan-entah itu persahabatan atau hubungan di keluarga-menjadi renggang?
Agaknya kita semua pernah mengalaminya.
Tak selamanya hubungan yang dibina dengan susah-payah sekalipun akan selalu erat, baik,  atau tanpa masalah.
Tak jarang, malahan masalah itu sendiri yang nantinya malah mempererat pihak-pihak yang ingin memperjuangkan relasi itu sendiri.

Siapa yang tidak pernah kesal dengan orangtua, suami/istri, atau anak?
Siapa juga yang tak pernah kecewa dengan saudara, teman, atau rekan kerja?
Agaknya dalam setiap relasi, hendaknya kita memiliki sebuah ‘ruang’ untuk kecewa dan menyadari bahwa suatu saat hubungan yang sebagaimana manisnya pun akan menjadi renggang.
Masalahnya, akan teruskah kita berada pada jarak yang kita ciptakan?
Atau sebaliknya, mau mengupayakan membuka pintu maaf, mohon maaf, untuk kemudian memperbaiki hubungan yang terguncang itu?

***
Ketika ingat masa pacaran yang begitu indah, rasanya tak percaya juga bila memasuki bahtera pernikahan, mengapa Si Dia yang begitu kita bangga-banggakan dan yakini akan menjadi yang terbaik bagi kita ternyata cuma ‘segitu aja’.
Betapa mudahnya kita kecewa dengan kejadian-kejadian kecil atau sederhana, seolah Si Dia tak lagi peduli pada kita…
Seolah kita tak lagi menempati ruang utama di hatinya?

Sama seperti persahabatan yang terpecah…
Mungkin dulu dia adalah sobat sejati kita, nomor satu…
Namun, setelah banyak kejadian, bukannya malah memperteguh persahabatan kita, malahan menjadikannya hancur berantakan…

Tak ubahnya seperti semua relasi, kita pun punya relasi dengan Tuhan…
Dan sama seperti semua relasi, mungkin kita pun pernah merasakan keindahan yang luar biasa saat pertama kali Dia menyentuh hidup kita…
Segera sesudah begitu banyak doa dan keinginan kita tak terkabulkan, mungkin kita menjadi kecewa dan diam-diam menyimpan kepahitan dalam hati kepada-Nya.
Kalau Tuhan Maha Tahu, mengapa Dia tak memedulikan keinginanku yang terdalam?
Kalau Tuhan Maha Kuasa, mengapa Dia tidak bertindak saat ini juga?

Tak jarang, Tuhan malah menjadi tersangka, ketika banyak hal yang berjalan di luar jalur-jauh dari harapan kita…
Kita menuduh Tuhan tak lagi sayang atau peduli pada kita…
Tuduhan itu semakin menjadi-jadi, karena Tuhan seolah diam…
Tak bersuara, tak juga bertindak…
Why, God? WHY???

Apa yang terjadi jika hubungan tengah renggang?
Dengan keluarga, mungkin kita mendiamkan…
Dengan teman, mungkin kita jaga jarak lalu tak lagi seakrab dulu…
Dengan Tuhan?
Mungkin kita jadi jarang berdoa, jarang ke gereja, dan tak pernah baca Alkitab…

Setiap hubungan yang renggang, pasti sedikit banyak memiliki konsekuensi tindakan yang kita ambil…
Masalahnya, maukah berlama-lama berdiam dalam kerenggangan itu atau mau mengambil langkah konkrit untuk memperbaikinya?

***
Saya percaya, tiap orang perlu jujur dengan apa yang dia rasakan.
Lalu, dengan dewasa mengemukakan…
Mungkin marah, mungkin kesal..
Tetapi, jika tak pernah diungkapkan, akan jadi duri dalam hati…
Bisa jadi saat mengungkapkan bisa melukai pihak yang lainnya…
Mungkin itu anak, suami/istri, atau orangtua kita…
Dalam hal ini baik jika kita berusaha mempelajari mengungkapkan perasaan tanpa terlalu menyinggung perasaan orang lain…

Jika kecewa dengan Tuhan, mungkin baik pula untuk mengakui…
Tuhan, aku kecewa…
Karena rencana-Mu sungguh berbeda dengan rencanaku…
Aku patah semangat, putus asa, sungguh sedih, dan seterusnya…
Ungkapkanlah semuanya…
Perlahan namun pasti, kita menjadi lega…
Tak perlu memaksakan diri untuk bilang, “Saya kuat. Saya tidak apa-apa.”
Jujur itu ada baiknya…
Namun, tak perlu pula berkubang dalam kekecewaan dan kedukaan terlalu lama, sehingga tak mau berbuat apa-apa lagi…

Percaya bahwa untuk segala sesuatu di bumi ini ada waktunya…
Dulu sempat begitu gegap-gempita dalam berelasi dengan-Nya…
Kini, mungkin tengah kecewa..
Besok atau lusa, mungkin rasa damai pun akan menyapa…
Jangan berhenti di titik duka dan kecewa saja…
Seolah keadaan itu menjadi harga mati dan takkan pernah terganti…
Tetap percaya, setelah ungkapkan semua rasa di dada…
Bahwa Tuhan tetap setia…
Dia tahu yang terbaik bagi kita…
Dia takkan pernah meninggalkan kita…
Amin :)

Monday, October 7, 2013

Being Mom: Pink and Blue


Anak pertama kami, Odri, suka warna pink.
Segala harus serba ‘pink’ alias merah jambu.
Dan jika dihadapkan pada beberapa pilihan warna, misalnya: merah, kuning, hijau atau ‘pink’….
Pastilah pilihannya jatuh pada warna kesukaannya yaitu ‘pink’ itu tadi.

Lain halnya dengan Lala, anak kedua kami.
Lala, di usianya yang menginjak dua tahun lebih tahu persis juga apa yang dia inginkan.
Dia suka warna biru.
Jika dihadapkan pada pilihan warna, dengan tegas, dia akan menjawab,
 “ Blue.”

Sebagai seorang Ibu, saya membebaskan mereka memilih.
Sedari kecil pun, Mama memberikan saya kebebasan untuk memilih apa yang hendak saya kenakan, sesudah saya bisa mengutarakan apa yang saya inginkan.
Waktu bayi, pastilah segalanya dipilihkan, namun semakin beranjak besar, saya memiliki pilihan saya sendiri,

Setiap anak adalah unik.
Punya keinginan sendiri, punya kesukaan sendiri, hobby sendiri...
Talenta yang satu berbeda dengan yang lainnya…
Dan itu yang menjadikan dia ‘spesial’. Khusus.
Entah itu adalah ‘pink’ atau ‘blue’ pilihan Odri dan Lala, tetap saya hargai.

Begitu pun agaknya kita manusia di mata Allah.
Sebagai Bapa yang begitu mencintai anak-anak-Nya, Dia mengaruniakan berbagai talenta bagi kita.
Dia tahu, anak-Nya yang ini bagusnya di bidang ini, maka diberikan-Nya kekhususan tertentu pada diri kita masing-masing.
Tuhan tidak pernah memaksakan kita.
Kita punya kehendak bebas untuk memilih.
Kita bisa menyukai ‘blue’, ‘pink’, atau ‘yellow’, tidak jadi masalah bagi-Nya.
Kita tetaplah anak-anak kesayangan-Nya yang dia cintai apa adanya.
Cinta-Nya yang besar itu terkadang terhalangi oleh ketidakmampuan kita sendiri untuk mengampuni diri kita.
Kita pikir, kita sungguh sudah berdosa, sudah membuat kekeliruan yang begitu besar dan seolah tak termaafkan (padahal itu di mata kita-menurut pikiran kita).
Tuhan selalu punya ruang maaf bagi kita, asalkan kita mengakui kesalahan kita dan mau dengan sekuat tenaga memperbaiki diri agar kesalahan yang sama tidak mudah terulang kembali di kemudian hari…

***
Setiap saya melihat anak-anak titipan Tuhan pada kami, saya merasakan rasa syukur yang mendalam.
Saya menyayangi mereka.
Dan tentunya saya tidak selalu mengabulkan apa yang mereka inginkan, apalagi saat mereka tidak tahu apa yang mereka inginkan itu baik atau tidak bagi mereka.
Sering kali, ini semua membuka mata saya akan hubungan kita dengan Tuhan sendiri.
Dia sebagai Bapa, tentunya menginginkan yang terbaik bagi kita. Tidak sepantasnya kita mencurigai-Nya, berpikir bahwa Dia akan senang jika kita bersusah-payah menjalani kehidupan ini..
Tetapi, Dia tidak selalu mengabulkan keinginan kita karena keinginan itu mungkin kurang baik bagi kita.
Dia pun menginginkan kita menjadi dewasa dan berkarakter baik dengan iman yang teguh kepada-Nya, sebagaimana kita inginkan anak-anak kita menjadi orang-orang yang demikian di kemudian hari…

***
Mengurus anak bukanlah pekerjaan gampang, namun butuh perjuangan untuk menghantar mereka menjadi orang-orang yang berguna di masyarakat, terutama menjadi orang-orang yang takut melanggar perintah-Nya karena kita sebagai orangtua tak bisa berada bersama mereka 24 jam sehari. Namun, dengan kontrol dan memperkenalkan mereka akan sesosok pribadi yang selalu siap sedia menolong mereka, yaitu Tuhan sendiri, mereka pun diharapkan mampu menjadi orang-orang yang tangguh di dalam iman karena tetap menaruh pengharapan kepada Tuhan.

Kutatap lagi pilihan-pilihan anak-anakku…
Jaket biru Lala, bando merah jambu Odri….
Topi biru Lala, gaun merah jambu Odri...
Mereka adalah titipan yang luar biasa indah dari Tuhan…
Mereka unik dan berbeda…
Tak perlu menjadikan mereka sama atau seragam…
Sebagaimana kita, anak-anak-Nya…
Kita dicintai apa adanya…
Dengan segala kekurangan dan kelebihan kita…
Dia cintai kita tanpa syarat…
Thank You, God…

September-Oktober 2013
fon@sg

  • sudah sekian lama, Being Mom vakum karena kesibukan mengurus anak-anak sendiri. And it’s so good to be back. Terima kasih kepada-Nya yang memberikan inspirasi serta kekuatan untuk menuliskan ini semua.

Saturday, September 14, 2013

Idola



Dari kecil, saya punya idola.
Saya kira, semua orang pun begitu juga.
Beberapa dari kita mengidolakan tokoh-tokoh dunia semisal negarawan atau tokoh politik.
Beberapa dari kita mengidolakan orang-orang yang berjasa di bidang spiritual, semisal Santo/Santa dalam agama Katolik, atau Sang Buddha dalam agama Budha. Dan agaknya di setiap agama atau kepercayaan ada seseorang atau beberapa sosok yang dijadikan contoh dalam kehidupan ini.
Tak jarang pula kita mengidolakan anggota keluarga sendiri, Papa-Mama, Nenek-Kakek, Kakak, Tante, dan sebagainya.

Banyak dari kita mengidolakan selebriti.
Penyanyi, aktor, seniman, musisi, ataupun sekarang dengan maraknya lomba masak, tak jarang pula yang mengidolakan ‘celebrity chefs’ yang cantik ataupun ganteng plus jago masak pula.

Sah-sah saja setiap orang punya idola.
Sekali lagi itu hak pribadi setiap orang.
Sah-sah saja:)
Namun, bila itu terjadi pada masa remaja yang indah dan meriah.
Di mana belum adanya kedewasan dalam membedakan mana nyata, mana semu.
Mana peran di film, mana realita, ini pentingnya tuntunan orangtua untuk meluruskan pandangan yang keliru di banyak pikiran anak muda atau mungkin masih terjadi pada kita yang sudah dewasa namun masih cukup naïf dalam melihat persoalan semacam ini.

Idola yang kita lihat di panggung, di film, yang kita jagokan, adalah hasil ciptaan dari Sutradara, produser, para pelaku seni yang terkadang pada kenyataannya tak jauh berbeda dengan kita semua.
Yang terlihat begitu hebat dan tangguh…
Jago nyanyi, jago akting, juga punya banyak permasalahan kehidupan yang mungkin lebih pelik dari yang kita alami.

Ketenaran, bila tidak dibarengi keimanan yang kuat, agaknya mudah sekali untuk menjatuhkan manusia ke lubang dosa.
Banyak kita baca, para selebriti idola itu adalah mereka yang juga pecandu narkoba. Mereka yang begitu kesepian dan mencari kebahagiaan semu lewat seks bebas yang mereka agung-agungkan.
Dan kita mungkin tersentak dengan berita bahwa Sang Idola harus pergi dari dunia ini dengan cara yang paling menyedihkan: mengakhiri hidupnya sendiri.
Tindakan bunuh diri di kalangan artis dan selebriti entah karena overdosis atau permasalahan pribadi, agaknya bukan barang baru di dunia ini.
Dari artis Korea, sampai pemeran Finn Hudson di film Glee (Cory Monteith) yang pergi mendadak karena overdosis, membuat kita kembali tercengang dan diingatkan: popularitas bukanlah segala-galanya.

Banyak dari kita berjuang setengah mati untuk diakui.
Agar karyanya dilihat oleh orang se-nusantara, atau mungkin Asia, bahkan dunia.
Setelah tenar, punya uang, apakah terasa aneh jika akhirnya harus mengakhiri hidup dengan bunuh diri?
Apa impian itu belum tercapai?
Jika sudah, mengapa harus sampai mencabut nyawa sendiri?

Ketenaran membawa harga yang mahal.
Ketiadaan privasi, permasalahan pribadi harus diumbar kepada media dengan ‘press conference’.
Belum lagi, persaingan untuk mendapatkan ‘job’ keartisan tidaklah gampang.
Bahkan, seorang artis Korea pernah bunuh diri karena mengaku dalam surat terakhirnya bahwa dia dipaksa untuk menjalani semacam ‘prostitusi’ kelas atas untuk tetap mempertahankan keartisannya, sekaligus untuk mendapatkan peran-peran yang lebih besar daripada yang sebelumnya dia lakoni.

Tekanan kejiwaan saat tenar, mungkin itu yang tak pernah dibayangkan atau tidak disangka-sungguh lebih dari yang ada di pikiran.
Yang patut kita ingat terus, sehebat-hebatnya Sang Idola, dia tetap manusia biasa. Yang juga mengalami tekanan dan terkadang tak sanggup keluar dari depresi ataupun frustrasi yang ternyata juga dialami oleh mereka.
Boleh kita mengagumi mereka karena talenta yang hebat.
Entah menari, menyanyi, main alat musik, atau aktingnya.
Tetapi, mereka tetaplah manusia.

Pada akhirnya, lagi-lagi saya menemukan bahwa: apa pun yang ada di dunia ini, jika tidak kita kembalikan kepada Yang Kuasa dalam arti tetap menjaga kerendahan-hati, dan ingat itu semua hanyalah sementara yang diizinkan-Nya singgah dan menyapa kita…
Akan berujung pada frustrasi, depresi, dan tak jarang sampai bunuh diri…
Kesannya begitu tragis dan ironis…
Tetapi, itulah kenyataannya…
Sang Idola, tak selalu bisa atasi beban kehidupannya…
Jika tak libatkan Yang Kuasa dan tetap berjuang dengan imannya….

Jika suatu saat Anda jadi idola, semoga tetap ingat akan Yang Kuasa…
Jadilah Idola yang menjadi terang dunia dan berani tampil beda…
Yang berkilau di antara Idola lainnya…
Karena karakter, kebaikan, dan kasih yang bersumber dari-Nya.
Semoga.

14.09.2013
fon@sg




Monday, September 2, 2013

Precious

Precious
*** A Small Note of Friendship

As we grow older and (hopefully) wiser…
I just want to cherish those moments…
Thanking God who has sent you as my friend…
Filling my heart with a splash of His love…
Being there when I needed to share…
And accepting me as I am…

Even now we’re separated in different parts of the world…
But I do hold on to the precious things in life…
All that made me who I am today…
Some of that precious ones
Includes you…

Berharga
*** Catatan Kecil Persahabatan

Ketika kita makin dewasa dan (semoga) makin bijaksana…
Aku hanya ingin menghargai waktu-waktu itu…
Bersyukur kepada Tuhan yang sudah mengirimkanmu sebagai sahabatku…
Mengisi hatiku dengan percikan kasih-Nya…
Berada di sana saat kubutuh berbagi…
Dan menerimaku apa adanya…

Bahkan jika saat ini kita terpisah di bagian dunia yang berbeda…
Aku tetap berpegang pada hal-hal yang berharga di hidup ini…
Yang menjadikanku seperti hari ini…
Beberapa yang berharga itu…
Termasuk dirimu…

02.09.2013

fon@sg

Friday, August 23, 2013

Low-Bat



Stop dulu, yaaa…
HP lagi low- bat ni
Gak bisa buat chatting, BBM, atau ngecek e-mail.
Biarkan dia di-charge dulu.

Itu adalah kondisi yang sangat sering terjadi sehari-hari.
Berapa kali kita nge-charge batere hp kita dalam seminggu?
Setidaknya tiga kali seminggu. Atau bahkan setiap hari.
Apalagi buat HP lama yang baterainya sudah keburu ‘dol’ (baca: gampang drop), yah sebentar-sebentar harus di-charge kalau memang dana untuk ganti HP belum mencukupi.

Lalu, bagaimana dengan semangat yang patah?
Kondisi fisik, spiritual dan emosional yang lelah berlarut-larut?
Duh, sesungguhnya, siapa pun perlu di-charge.
Bentuknya bisa macam-macam.
Beberapa butuh liburan, refreshing, relaxing.
Dari ke tempat-tempat wisata yang meriah atau malah menyepi sejenak untuk ganti suasana.
Atau buat kaum hawa, ke salon-creambath, manicure, pedicure. Pijat atau refleksi kaki, dan sebagainya.
Ada pula yang sungguh rindu mencari hadirat Tuhan lalu mencari tempat-tempat retret atau acara-acara kerohanian yang diselenggarakan di tempat-tempat hening dan syahdu. *mendadak kangen suasana ini karena agaknya sudah lama sekali tidak saya pribadi lakukan karena kesibukan menjaga anak-anak yang masih kecil.*

Kita bisa memilih melakukan aktivitas untuk memulihkan semangat kita kembali.
Tidak harus selalu mahal, tidak harus ke luar negeri atau tempat-tempat wisata yang eksotis.
Terkadang hanya duduk di gereja dan berdoa saja di luar jam misa, mungkin kita bisa merasakan kedekatan itu sekali lagi dengan-Nya.

Sebagaimana HP yang bisa low-bat, saya sadari kondisi saya pun demikian.
Tak peduli apakah itu fisik, mental, maupun spiritual.
Hari ini hati lagi senang, besok mungkin be-te (baca: kesal) berat.
Saat sedang kesal, agaknya sulit untuk mensyukuri hal-hal yang baik di dalam hidup ini.
Apalagi jika Tuhan memberikan sesuatu yang sama sekali beda dari apa yang saya inginkan. Pastinya saya kesal, marah, bahkan kecewa.
Butuh waktu untuk kembali menyadari bahwa Tuhan pasti punya rencana yang lebih baik, yang lebih sesuai dengan kebutuhan saya.
Mungkin keinginan saya itu kurang bijaksana, hanya mementingkan diri sendiri.
Mungkin keinginan itu nantinya akan menuju kepada sesuatu yang kurang baik, makanya saya dihindarkan dari pencapaian keinginan pribadi tersebut….
Pasti, walaupun saya belum tahu apa, pasti itu semua ada maksud-Nya…
***
Tuhan selalu baik. Titik.
Mau saya low-bat atau fully charged, Dia selalu baik.
Jika Dia tidak memberikan yang saya inginkan, pasti ada maksudnya.
Mungkin itu bukan yang saya butuhkan.
Whether I’m in a good mood or bad mood, God is still good.
Karena Dia tidak terpengaruh mood saya.
Dia tetap konsisten sementara saya yang berubah-ubah.
Mohonkan ampunan jika saya terlalu mengatur Tuhan untuk menjalankan apa yang saya inginkan…
Tuhan tetaplah Tuhan dan bukan seorang ajudan…

Hari ini, saya belajar untuk kembali membenahi posisi diri saat tengah low-bat
Kembali saya plug-in mencari Sumber Baterai Sejati…
Sumber Kekuatan…
Sumber Pengharapan…
Sumber Kesukacitaan.
Dialah Tuhan…

Ditulis awal bulan ini, selesai diedit malam ini (23-08-2013)
fon@sg

*low-bat akan berlalu, asalkan saya selalu siap mencari charger sejati, Tuhan sendiri.

Thursday, August 15, 2013

Biasa-biasa Saja…



Banyak orang memiliki impian untuk jadi orang ternama, populer,  dan dikagumi oleh berjuta orang di luar sana.
Untuk itulah, mereka berlomba-lomba untuk ikut ajang ini-itu.
Dari tarik suara sampai ajang pencarian bakat bertaraf nasional bahkan dunia hanya untuk jadi ternama.
Popularitas yang diterima agaknya berhubungan erat dengan faktor uang juga.
Pada akhirnya, popularitas diharapkan akan membawa kondisi perekomian dan kemapanan orang yang bersangkutan plus keluarganya ke arah yang lebih baik.
Tentu saja, keinginan ini bukan merupakan sesuatu hal yang buruk.
Keinginan untuk dikenal, diakui karyanya oleh orang lain adalah sebagian dari kebutuhan manusia juga.  Dengan pengakuan dari orang lain, harga diri serta keberadaan diri yang bersangkutan menjadi lebih terangkat jika dia dikenal.

Anehnya (baca: ironisnya), para selebriti papan atas malah kewalahan dengan ketenarannya.
Dikejar-kejar paparazzi bukanlah hal yang menyenangkan.
Tak jarang, berujung maut seperti yang dialami Lady Diana dari Inggris yang cukup menderita karena ketenarannya sampai berujung pada maut yang mengakhiri hidupnya.
Banyak artis ternama jika pergi ke mal harus berpakaian tebal, melakukan penyamaran, dan memakai tutup wajah hanya untuk mendapatkan ‘privacy’, biar tidak dikuntit wartawan pengejar berita.

Ketika keinginan menjadi terkenal dan punya banyak uang sudah tercapai, anehnya, malah kembali mencari hidup yang biasa-biasa. Betapa yang biasa-biasa itu menjadi sesuatu yang dirindukan. Betapa yang biasa-biasa itu adalah sesuatu yang luar biasa bagi mereka yang sudah terlanjur terlalu ‘ngetop’ alias terlalu ternama.

***

Ketika hidup saya biasa-biasa saja…
Saya berusaha mensyukuri apa yang ada…
Tentu saja bukan pekerjaan mudah senantiasa…
Ketika iri hati mungkin sekali menyelinap dan menancapkan kuku-kukunya…

Ketika saya biasa mensyukuri yang biasa-biasa saja…
Begitu indah rasanya…
Hanya menatap senyuman ananda…
Hanya melihat rembulan dan pelangi di langit sana
Bahagia itu sungguh terasa sederhana…

Ketika suatu saat nanti Tuhan mengaruniakan sesuatu yang luar biasa…
Ada baiknya kita berdiam di hadirat-Nya…
Mensyukuri sekali lagi semua karunia-Nya.
Betapa hidup ini hanya sementara…
Semua itu hanya karena anugerah dan kebaikan-Nya…

Saya mah biasa-biasa sajaaaa…
Tuhanlah yang luar biasaaa…
Segalanya biarlah kembali kepada kemuliaan-Nya :)

15.08.2013
fon@sg

* I’m just an ordinary woman with an extraordinary GodJ

Tuesday, July 16, 2013

Rencanaku Tak Seindah Rancangan-Mu



When things aren’t going your way,
Stay grateful, be thankful,
and you’ll see His marvelous ways in your life.

All you need is just the willingness to change and accept different ways:
His wonderful plans for you. (When the Things Aren’t Going Your Way- Fonny’s article – April, 2010)

Berulang kali saya mendapati bahwa hidup saya agaknya sulit untuk ditebak jalannya. Banyak kali kita merencanakan banyak hal, hanya berujung kecewa, karena koq kenyataannya sangat sangat jauh berbeda?

Kembali hal itu saya alami, ketika liburan yang lalu.
Liburan identik dengan hal-hal yang menyenangkan, rileks, dan membahagiakan. Setidaknya, itu yang ada di bayangan kita. Di kepala kita (baca: saya ) pada saat merencanakannya.

Hari kedua liburan, sesudah sampai kemarin sorenya di Jakarta, kaki saya keseleo saat memandikan anak kedua kami. Lala, agaknya tidak terbiasa dengan perubahan dan langsung meronta-ronta ketika dimandikan.
Saya terjatuh dan lutut keseleo.
Naik-turun tangga langsung sakit.

Terpikir, langsung berantakanlah rencana yang sudah terekam di kepala. Bakal ketemuan beberapa sahabat, kerabat, dan orang yang dekat di hati walaupun satu sisi saya sadari, membawa dua anak kecil-kecil juga tidak selalu memungkinkan saya berlama-lama bertemu. Ditambah lagi kemacetan Jakarta yang membuat jarak dekat harus dilalui dalam waktu yang panjang, membuat saya berpikir ulang jika keluar membawa dua krucil, puteri-puteri kesayanganJ.

Alhasil, keseleo itu harus dibenahi. Kalau tidak, tidak bisa jaga anak.
Rencana buyar? So pasti.
Yang pertama dan terutama, kesembuhan dulu.
Ibu Haji tukang pijat yang diyakini bisa menyembuhkan, didatangkan ke rumah. Saya pun ke dokter syaraf karena nyerinya tak juga hilang, lalu melakukan X-Ray juga. Hmmm, pengalaman yang tidak terbayangkan, walaupun tidak terlalu jelek sebetulnya, tokh saya masih bisa jalan dan urus anak seperti biasa.

Di saat-saat seperti ini, biasanya pencerahan itu datang lagi dari Tuhan.
Teringat catatan lama yang berjudul When the Things Aren’t Going Your Way, membuat saya berpikir dan tersenyum. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali sudah saya alami. Rencanaku tidak seperti rencana-Nya. Karena Dia tahu apa yang lebih baik bagi saya dan bagi kita semua.
Bagian kita adalah meskipun punya rencana, jangan lupa selalu menyertakan Dia dan membebaskan Dia bekerja kalau-kalau Dia punya rencana yang lebih baik ketimbang apa yang ada di benak kita yang terbatas ini.

Setelah proses itu semua, di tengah-tengahnya ada kejutan perjalanan ke luar kota yang menyenangkan. Juga, proses kesembuhan yang berangsur terjadi sambil melanjutkan pengobatan sesampainya saya di negeri Singa, setidaknya kaki tidak lagi terlalu nyeri, bahkan kondisi berangsur pulih.

Dari kejadian kecil ini, saya kembali diingatkan bahwa rencanaku sering kali tak seindah rancangan-Mu.
Kembali aku hendak mempercayakan hidupku, Tuhan.
Ke dalam tangan-Mu kuserahkan segala rencana dan keputusan yang harus kubuat…
Semoga itu semua membawaku dekat kepada-Mu…
Tuhan, bimbing kami selalu.

16.07.2013
fon@sg

Wednesday, July 3, 2013

Bahagia Itu…



Banyak orang berusaha menemukan definisi kebahagiaan.
Dan agaknya semua orang ingin mencapai tujuan hidup bahagia dalam hidup ini.
Tetapi, bahagia macam apakah yang dicari?

Apakah bahagia itu berarti kompetisi?
Jika orang lain ke luar negeri setahun dua kali, aku harus tiga kali.
Jika orang lain beli mobil baru setahun tiga, aku mau beli empat.
Jika orang lain punya gadget baru tiap bulan, aku kalau bisa dua minggu sekali ganti…
Lalu, jika sudah mencapai semuanya itu? Apakah Anda bahagia?

Bahagia itu sederhana.
Ada rasa syukur, berdamai dengan diri sendiri dan sesama, serta ketenangan dalam hati. Tidak berkecamuk atau kacau karena dunia luar.
Bahagia itu sederhana.
Menghabiskan waktu dengan orang-orang tercinta dan dekat di hati.
Bahagia itu sederhana.
Memiliki relasi yang indah dan mendalam dengan Sang Pencipta.
Menyadari bahwa begitu banyak perubahan dalam hidup bisa terjadi, namun selama kita berpegang kepada-Nya, kita akan selalu mendapatkan kekuatan untuk melangkah.

Terkadang kita berusaha mencari ‘bahagia’ sampai ke seluruh pelosok bumi.
Padahal, bahagia itu ada di sini.
Hari ini.
Dalam hati.

Selamat siang. Salam bahagiaJ

3 Juli 2013
fon@sg
* terkena virus bahagia dari sepotong cupcake ‘red velvet’ dari Twelve Cupcakes Singapore dengan motto: “ Happiness is just one bite away.”


Sunday, June 30, 2013

Menanti Juli

dan aku menanti hadirmu,
merindukan senyumanmu,
membayangkan kelembutanmu,
saat kau menyapaku...

kuingin merasakan itu kembali
esok hari
saat kaudatang lagi
dengan wajah berseri

Menanti-nantikan Juli
seiring datangnya pagi
(Menanti Juli- puisi)

Friday, June 7, 2013

Kepada Damai-Mu Kuberlabuh

Gaduh. Riuh.
Begitulah hiruk-pikuk duniaku.
Ingin kurasakan kembali kesunyian itu.
Sunyi yang tak mencekam.
Tak kelam.
Karena kepada damai-Mu kuberlabuh.

Berlari menjauh.
Dari kebisingan yang kerap buatku rapuh.
Kembali mencari kekuatan penuh.
Pada-Mu Sang Penyembuh.

Luluh.
Merengkuh…
Kasih-Mu yang sungguh.

07.06.2013
fon@sg


Tuesday, May 14, 2013

Cuaca dan Kehidupan




Jam masih menunjukkan pukul 10 pagi, tetapi mentari yang bersinar cerah itu sungguh kelewat terik.
Saat mengantar Lala ke sekolah, Ibu Gurunya berkata suhu berkisar antara 34 derajad Celcius. No wonder it’s so hot!

Setelah itu saya bergegas berbelanja barang kebutuhan keluarga.
Di Supermarket, tak lama mendung mengiringi. Langit mendadak gelap.
Hujan pun turun.
Tidak terlalu deras seperti biasanya.
Karena biasanya diikuti petir dan halilintar. A thunder storm rain, after a really hot day!
Tak lama, cuaca kembali cerah. Panas kembali menyengat. Dan saya berjalan pulang.


***
Cuaca silih berganti.
Di negeri dua musim seperti yang pernah saya tinggali, Singapura dan Vietnam Selatan (HCMC), juga di negeri tercinta Indonesia, tentunya hanya musim hujan dan musim panas. Yang sekarang, konon dikarenakan global warming menjadi tak beraturan. Dulu waktu sekolah saya ingat, ada pembagian April-Oktober, Oktober-April untuk musim panas dan musim hujan, agaknya sekarang pun sudah tidak seperti dulu lagi.
Di negeri empat musim, cuacanya pun berubah-ubah. Spring, Summer, Autumn, Winter, empat musim berganti. Semi, Panas, Gugur, dan Salju (Dingin).

Begitu pun dengan kehidupan.
Setelah sekian lama menjalani kehidupan, kita pasti sadar bahwa ada banyak kali, kehidupan itu menjadi suatu misteri.  Terkadang, begitu jauh ia menyimpang dari rencana awal kita. Menjadikannya begitu tak tertebak.
Detik ini bahagia, detik berikutnya kesedihan sangat mungkin menyapa.
Sebagaimana layaknya cuaca, hidup pun terkadang begitu sulit diprediksi jalannya.

Tetapi, satu hal yang pasti.
Kita jalani seluruh musim kehidupan kita bersama Tuhan.
Sehingga dalam cuaca apa pun, kita tidak takut.
Bukan karena kekuatan atau kesombongan kita…
Melainkan karena kita percaya, kepada Tuhan kita serahkan semuanya.

Semoga dalam menjalani kehidupan ini, kita ingat bahwa segala sesuatu itu sifatnya begitu sementara.
Hujan berganti panas, semudah menjentikkan jari belaka.
Tetapi, kehidupan bersama Tuhan adalah sesuatu yang berbeda karena kita berjalan bersama-Nya lintasi segala peristiwa.
Melewati badai, hujan, mentari cerah, pelangi, dalam naungan kasih-Nya.

14 Mei 2013
fon@sg

Thursday, May 2, 2013

At the Supermarket




Story #01- sekitar sebulan yang lalu

Seorang ibu lanjut usia. Sekitar umur 70-an.
Ingin membeli susu fermentasi merek ‘Y’ yang cukup ternama .
Dia membawa dua bungkus minuman itu dan melangkah ke kasir.
Dia berada tepat di depan saya.
Kasir yang kenal dengan dirinya mengingatkan…
Kalau harga minuman itu baru saja naik.
Kenaikannya 20 sen dollar Singapura.
Sang Ibu mengurangi pembeliannya.
Menggantinya jadi sebungkus saja.
Agaknya, jumlah yang setara dengan seribu lima ratus rupiah itu…
Cukup berat baginya…

Story #02- sekitar seminggu yang lalu

Seorang pekerja konstruksi –entah asal India atau Pakistan-yang masih dalam pakaian kerja…
Dengan wajah yang kelihatan sungguh lelah…
Buru-buru meninggalkan kasir di Supermarket dan masuk kembali ke dalam…
Saya yang berdiri di belakangnya harus menunggu…
Ujar kasir tempat saya mengantri dalam Bahasa Mandarin,
“Uangnya tak cukup. Jadi, dia harus mengganti barang yang mau dia beli.”
Dia lalu kembali.
Dengan keletihan yang sama. Dengan wajah berdebu seusai kerja.
Menenteng sebungkus telur ayam.
Dan segera membayar di kasir.
Sambil setengah termenung saat memberikan uangnya…
Mungkin itu yang masih tersisa…
Di sakunya…

***
Di Negeri Singa yang dikira begitu megahnya oleh banyak orang…
Juga memiliki realita yang menggugah…
Yang tak seindah gambaran yang ada di setiap kepala…
Hidup di sini tak selalu identik dengan Orchard Road
Atau Vivo City Mall
Atau Marina Bay Sands
Masih banyak juga yang menjerit di tengah kenaikan harga…
Yang juga harus sungguh menghitung pengeluarannya…
Seperti Sang Pekerja…
Yang harus ‘survive’, sementara harus pula memikirkan keluarganya…
Yang tinggal di negeri asalnya…

Juga di negeri tercinta, Indonesia
Masih begitu banyak yang menderita…
Yang menangis sedih tak tahu harus lakukan apa…
Yang tak bisa sekolah, tak punya rumah, tak bisa makan setiap harinya…
Dan di belahan dunia, di mana saja…
Kemiskinan masih meraja-lela…

***

Jika hari ini kita masih diberi kecukupan oleh-Nya…
Bukankah akan lebih indah, jika kita bisa berbagi kepada sesama?
Terlalu sering kita hanya pikirkan diri sendiri saja…
Yang penting saya aman, saya kenyang, saya kaya…
Bagaimana dengan nasib mereka?
“Ah, mereka ‘kan bukan urusan saya!”
Mungkin itu jawaban kita…

Namun, saya berdoa…
Semoga kasih Tuhan melingkupi hati kita…
Sehingga Dia bisa menggerakkan kita…
Untuk mengasihi dan berbagi jika kita berpunya…

Saya pun berdoa bagi mereka yang menderita…
Semoga tak kurang asa…
Harapan masih tersimpan di dada…
Meski nyala itu begitu kecilnya…
Bahwa Tuhan tak pernah tertidur dan senantiasa…
Dia punya mata yang melihat kepada ciptaan-Nya…

3 Mei 2013
fon@sg