Tuesday, November 7, 2017

INI UNTUKMU, PA...

#pentigraf
#cerpentigaparagraf

            “Wisudawati berikutnya adalah Fahrani Imelia Jayawijaya,” suara pemandu acara bergema di Ruang Auditorium tempat kami diwisuda. Aku tergagap sebentar, saat Mischa sahabatku menyenggol lenganku perlahan. Aku segera maju dengan perasaan campur aduk. Ya, ini hari wisudaku. Begitu banyak kisah di balik hari penuh kebahagiaan ini. Senyumku terkembang saat kuterima ijazah dan Rektor Universitasku, lalu kulambaikan tanganku. Lambaian kemenangan kepada Mama dan Rio, adikku. Tangis bahagia mengalir di pipi tanpa bisa kubendung. Tiba-tiba, aku ingat Papa.

            “Papamu sudah pergi, Rani.” Telepon dari Mama di siang itu sungguh mengagetkanku. Ini tahun kedua kuliahku, aku masih butuh banyak dukungan dana keuangan. Aku tak menyangka! Papa yang sehat dan segar-bugar di usianya yang ke-60. Papa meninggal saat tengah berdoa di sebuah kapel dekat kantornya, pada suatu Jumat Pertama selepas Misa. Seketika diriku nanar, kehabisan kata-kata, pusing tujuh keliling. Ah, entahlah! Aku tak tahu harus bagaimana. Yang pasti, kepedihan itu terus mengusikku. Sampai aku bertekad, aku harus lulus demi keluargaku dan juga demi Papa. Aku harus bekerja keras, banting-tulang pun tak mengapa, demi mencapai cita-cita.

            Ini untukmu, Pa! Teriak di hatiku… Sepuluh tahun sesudah wisuda telah berlalu. Kini aku memiliki perusahaan sendiri yang mengelola bidang marketing secara online. Perekonomian keluarga kami membaik, perlahan tetapi pasti: kupenuhi janji-janji yang tak sempat terealisasi bersama Papa. Kami banyak melakukan liburan bersama Mama dan Rio, mayoritas: keliling Indonesia. Ini amanat Papa karena Papa selalu mencintai birunya lautan Indonesia, juga hijaunya pegunungan negeri tercinta. Ini untukmu, Pa! Betapa inginku agar kau juga berada di sini bersama kami, menikmati ini semua, Pa! Walau kutahu itu tak mungkin terjadi, tetapi setiap pesanmu selalu terpatri di dalam hati kami. Di pelangi yang kujumpai, di birunya langit dan putihnya awan yang kami temui. Senyummu ada di sana, Pa! Ini untukmu, Pa! Ya, ini untukmu…

Singapura, 7 November 2017

@copyright Fonny Jodikin

Sunday, July 30, 2017

Being Mom - French Braid


Tahun 2016 yang lalu, pada suatu siang…
Aku berada pada kelompok koor sekolah Odri, anak pertama kami.
CCA (Co-Curricular Activity) atau Ekskul yang diikutinya adalah ‘Choir’.
Hari itu, mereka akan berlomba dan aku diminta mengepang silang rambut anggota kelompok mereka.
Aku yang tidak lancar mengepang silang (French-braid), terpaksa belajar dari tutorial YouTube, untuk kemudian berlatih pada rambut Odri anak kami.
Menjelang hari ‘H’, kepangan untuk Odri bertambah lancar, tetapi memang kecepatan tidaklah seprima mereka yang sudah terbiasa.
Tetapi, tetap aku melangkah ke gerbang sekolah dengan niatan membantu dan memberikan yang terbaik…
Mengepang rambut anggota kelompok paduan suara mereka untuk lomba pada Singapore Youth Festival di tahun lalu.

Kemarin siang…
Aku kembali mengepang rambut Odri sekali lagi. Kepangan demi kepangan itu mengingatkanku akan proses pembelajarannya. Aku sekarang bisa mengepang rambutku sendiri dengan cepat dengan ala French Braid ini. 
Begitu pula untuk Odri, dalam waktu yang singkat sebuah kepang silang telah tercipta..

Dan lintasan peristiwa itu kembali memenuhi benakku…
Banyak kali, aku merasa tak mampu…
Namun banyak kali, aku dikuatkan oleh Yang Kuasa untuk belajar sekali lagi…
Mulai dari memasak, ‘baking’, dan mengurus rambut anak-anak..
Dulu hal-hal yang aku tidak bisa, sekarang jadi bisa.
Bukan karena kehebatanku, tetapi karena memang ada keinginan untuk belajar dan memberikan yang terbaik bagi anak-anak kami…
Dan aku mulai mengenal arti kata: mau belajar, mau mencoba, daripada memilih berkata, “ Saya tidak bisa.”

Rasanya tidak ada yang terlalu sulit, jika diniati dengan hati.
Tidak ada yang terlalu sukar, jika mau belajar.
Jika memang ada keterbatasan dalam hasil yang terkadang tidak sesuai yang diharapkan, ya… maklumi diri: karena kita masih belajar.
Perlahan tetapi pasti, aku kembali diingatkan akan hidup ini secara keseluruhan.
Sebuah proses pelajaran tanpa akhir, sampai akhir nanti.

Senyum terkembang di bibirnya.
Odri bahagia.
Aku juga.
Bahagia itu sesederhana setiap hati yang berusaha mengucap syukur atas hal-hal terkecil sekali pun di dalam hidup ini.

Singapura, 30 Juli 2017

Fonny Jodikin

Sumber gambar: Internet

Friday, July 7, 2017

TAIFUN MERBOK




Tiket ke Hong Kong, sudah saya beli dari tahun lalu, tepatnya di akhir November 2016 untuk kami sekeluarga plus mertua.
Karena ada point dari penerbangan suami yang bisa dipakai, jadi harus booking jauh-jauh hari.
Tentunya saya memilih ketika libur sekolah, sekitar bulan Juni yang biasanya cukup panjang sekitar 1 bulan.

Karena banyak masukan bahwa membawa Papa mertua yang pernah stroke dua kali akan terasa berat jika langsung ke Hong Kong yang terkenal serba cepat, bahkan lebih dari Singapura, maka kami memutuskan untuk juga mampir ke Macau. Tidak perlu visa untuk WNI, maka jadilah kami menuju ke sana. Setelah melihat-lihat harga hotel, saya pun berdiskusi dengan suami yang kemudian memutuskan untuk langsung ke Macau dari airport Hong Kong tanpa keluar dari Airport. Memang perjalanan menjadi lebih panjang di hari Minggu 11 Juni 2017 itu, tetapi setidaknya kami menikmati 4 hari 3 malam di Macau. Setelah itu barulah kami melanjutkan perjalanan menuju Hong Kong.

Perjalanan penerbangan memakan waktu 3.5 jam dari Singapura menuju Hong Kong. Bukan perjalanan yang panjang, namun karena kami harus menunggu Turbo Jet yang akan membawa kami ke Macau, total perjalanan plus waktu menunggu di Airport Singapura dan Hong Kong total sekitar 11 jam lebih. Cukup lelah, kami sampai di Macau, tetapi cukup terhibur dengan kondisi apik yang tak disangka-sangka ada di sana. Kompleks yang kami tinggali di Cotai (Coloane-Taipa) memiliki resort yang sejajar indahnya dengan Marina Bay Sands di Singapura. Dan kompleks itu bahkan memiliki setidaknya 5 hotel yang setara dengan MBS. Sebut saja: Venetian, Parisian Macau, Sands Cotai Resorts (SCC), dan City of Dreams (hotel Hard Rock Macau berada di sini).

Singkat cerita, perjalanan di Macau membawa kegembiraan tersendiri. Tanggal 12, kami berencana melihat-lihat kota Macau, tempat penduduknya tinggal dan bukan di Resort. Siang hari, kami masih berada di sektiar hotel dan melihat-lihat di Venetian Macau.. Kami tetap berkeinginan menjelajah di Ruin St. Paul dan Senado Square, tempat yang apik, saat historical and commercial place menyatu. Shuttle bus dari City of Dreams sudah membawa kami ke hotel Grand Emperor di pusat kota dan saat kami sampai, hujan sungguh deras diiringi angin kencang. Suami saya berkata, apa mungkin akan ada Taifun di Macau atau mungkin juga ada Taifun di Hong Kong? Kami pun membatalkan ‘exploring’ Macau karena saya hanya membawa 1 payung. Lalu kami kembali ke hotel. Sambil mengecek internet, kami pun melihat bahwa di Hong Kong Taifun Merbok memang akan hadir 12 Juni itu. Hong Kong tengah dalam kondisi waspada terhadap Taifun ini.

Kami tidak tahu. Saya tidak tahu.
Ketika merencanakan perjalanan ini, saya sempat membawanya ke dalam doa, sebagaimana saya memulai setiap perjalanan kami.
Tanggal-tanggal yang mana yang pas, sungguh kita sebagai manusia, hanya bisa berencana.
Puji Tuhan, rencana kami ke Hong Kong adalah tanggal 14 Juni. Sesudah taifun berlalu.
Saya menggeleng-gelengkan kepala dan berdecak kagum dalam hati.
Sungguh besar kuasa-Mu, Tuhan!
Kami tidak pernah tahu, tetapi Engkau Maha Tahu…
Terima kasih, Tuhan!

Hong Kong, 14 Juni 2017
Sesampainya di Hotel di daerah Causewaybay, saya kembali mengucap syukur atas hari yang Tuhan beri.
Luar biasa kebaikan-Nya, kasih-Nya sungguh nyata bagi kami sekeluarga…
Setelah badai, keadaan kembali tenang.
Meskipun itu mengubah cuaca Hong Kong yang konon menurut Sahabatku yang tinggal di sana sempat begitu panas sekitar 35-37 derajad Celcius.
Sesudah kami tiba, hujan dan mendung menghiasi.

Kusyukuri perlidungan-Mu di hidup kami.
Terima kasih sekali lagi ya, Tuhan…
Semoga setiap kali kami berencana, selalu kami doakan, karena pada akhirnya rencana-Mu adalah yang terbaik di hidup kami.
Amin.

Singapura, 1 Juli 2017
Fonny Jodikin

Foto: Tropical Storm Merbok (Typhoon Merbok).
Sumber: Internet

Thursday, June 8, 2017

LIEN


*** Sebuah cerpen

Ada yang tidak biasa ketika kutatap raut wajahnya.
Wajah itu berusaha terlihat ceria.
Namun, aku menangkap ada sesuatu yang dipaksakan di balik tawa ceria dan senyum gembira itu.
Dia lalu terus menelpon teman baiknya dan tertawa terbahak-bahak.

“Ada apa, Lien? Mengapa kau sepertinya aneh hari ini? Tidak biasanya kamu begini…”
Dia diam. Lalu menangis.
“ Saya stress, Bu.” Ujarnya perlahan.
“Lho? Dari tadi kamu tertawa terus, itu apa?”
“Suamiku selingkuh, Bu.” Lanjutnya lagi.
Tetes air mata kemudian membanjiri wajahnya.
Aku terdiam. Melongo mendengar berita yang tak bisa kupercaya ini.
“Bukankah kamu berpacaran lima tahun lamanya? Bukankah kamu kenal dia sejak sekolah dulu?”
Sejuta tanya yang berputar di kepalaku dan ada di hatiku, namun mendadak terhenti di udara, tanpa mampu terucap saat melihat kesedihannya.
Aku tidak tega.

“Selingkuhannya hamil dan sekarang dia ingin aku menyetujui perkawinannya.”
Tangisnya pecah di bahuku dan kubiarkan dia menangis sepuas-puasnya.
Lien sudah seperti saudara, dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri, meskipun dia karyawan di rumahku ini. Membantu bisnis onlineku untuk pengiriman dan administrasinya.
Dia datang dari jam 9 pagi dan pulang sekitar jam 3, sebelum kemacetan melanda kota Jakarta.

Aku melihat ketegarannya. 
Dia memilih untuk mempertahankan perkawinannya yang terguncang, demi putri semata wayang yang baru berusia 5 tahun.
Aku tahu, itu tidak mudah. Namun dia tidak mau membiarkan putrinya berkembang tanpa kasih sayang seorang Bapak, seorang Ayah.
Meskipun untuk itu dia harus menahan diri, dia harus tercabik-cabik perasaannya setiap hari ketika suaminya mendua.
Mungkin aku sendiri takkan mampu sepertimu, Lien!
Aku kagum.
Dan yang bisa kulakukan hanyalah mendukungmu dan berdoa agar usahaku lumayan maju, sehingga aku bisa menaikkan gajimu yang tidak seberapa itu.

Dua tahun berlalu dan Lien bahkan lebih tegar sejak kejadian itu.
Kesetiaannya, pengorbanannya berbuah manis.
Suaminya menceraikan istri mudanya, setelah tahu bahwa itu bukan anak kandung suaminya.
Suami Lien, Agus, hanya dijadikan batu loncatan bagi istri mudanya untuk dinikahi.
Padahal pacar gadis itulah yang menghamilinya dan juga merupakan ayah dari anaknya.
Wajah Lien memancarkan sebuah bahagia yang tak terucapkan.
Keharuan dalam hatiku pun meluap saat melihat foto mereka bersama lagi di dinding Facebook-ku.
Kamu pemenang, Lien! Kemenangan ini terasa manis dan aku bangga menyaksikan ini semua.

Tangis keharuan membelah malamku.
Suatu keajaiban yang diperlihatkan di depan mataku.
Lien, selamat! Kamu layak menikmati semuanya ini.
Sementara di luar jendela kamarku, bintang kecil itu bersinar terang di malam yang gelap.
Menonjolkan keindahannya, meskipun gelap mengelilinginya.
Seperti kamu, Lien! Ya, seperti kamu!

Singapore, 8 Juni 2017

Fonny Jodikin

Sunday, May 14, 2017

A MOTHER’S TEARS




A Poem by Fonny Jodikin
Tears of joy…
Tears of regrets for not doing the things they should…
Tears of being too tired, but need to go on with everything…
Tears of happiness while seeing the children grow well in the way they should be…
Tears in prayers, while surrendering everything to the Almighty…
Tears while in fear, but need to be brave for the sake of the kids.
Some hidden tears, some hidden feelings, as she doesn’t want to show the real ones to the kids.

A mother’s tears might speak in their own meaning…
And only A MOTHER can understand those kinds of mixed up feelings…
While watching the kids grow, while doing their very best in everyday of their lives.
Yes, only a mother could do so.

And on this Mother’s Day, I’d like to congratulate all mothers…
For just being the best YOU…
In everyday of your lives…
Don’t ever stop becoming great, even though sometimes you feel you can’t do it…
With a tiny bit of love that we spread, hopefully we can nurture our kids to be good children who will fill this world with more love ~ and not hatred.

Singapore, 14th of May 2017
On International’s Mother’s Day which is also being celebrated here in Singapore.

AIR MATA SEORANG IBU
Sebuah Puisi karya Fonny Jodikin

Air mata sukacita…
Air mata penyesalan ketika tidak melakukan hal yang seharusnya mereka lakukan…
Air mata kelelahan, tetapi tetap harus menjalankan segala sesuatunya…
Air mata kebahagiaan ketika melihat anak-anak mereka bertumbuh baik seperti seharusnya…
Air mata saat berdoa, sambil mempersembahkan segalanya kepada Yang Kuasa…
Air mata di saat ketakutan, tetapi harus tetap berani demi anak-anak…
Air mata yang disembunyikan, perasaan yang tersembunyi pula, ketika dia tak ingin menunjukkan yang sebenarnya di hadapan anak-anak.

Air mata seorang ibu mungkin berbicara dalam maknanya tersendiri…
Dan hanya SEORANG IBU yang bisa memahami segala perasaan yang campur aduk itu…
Ketika melihat anak-anak bertumbuh, sambil terus mengupayakan yang terbaik di setiap hari dalam kehidupan mereka…
Ya, hanya seorang IBU yang mampu melakukannya.

Dan di hari Ibu ini, saya ingin mengucapkan selamat kepada setiap Ibu…
Terima kasih sudah menjadi diri Anda yang terbaik…
Setiap hari di hidupmu…
Jangan pernah berhenti menjadi hebat, meskipun terkadang Anda merasa Anda takkan mampu…
Dengan cinta mungil yang kita sebarkan setiap hari, semoga kita bisa mengasuh anak-anak kita menjadi anak-anak yang bisa memenuhi dunia ini dengan lebih banyak cinta ~ dan bukan kebencian.

Singapura, 14 Mei 2017
Di Hari Ibu Internasional yang juga dirayakan di sini di Singapura.




Monday, May 8, 2017

WHISPERING HEART



Lots of things are going on inside here….
Yes, in here.
In my mind and in my heart…
In my soul, there are thousands of needles keep piercing through it…
Trying to hurt myself once again with some bad experiences from the past.
But, I’m moving on.
Yes, I’ve decided to do so.
Since it’s so valuable to be able to move on…
It’s actually a life-skill, to leave everything behind, especially the bad ones…
The ones that made us felt so hurtful, sorrowful, and far from hopeful…

No, I won’t say we must forget everything about it.
About those situations in the past…
Because I might say: we can’t.
The best thing is that while looking back, we still know that we’ve experienced those things before…
And we want to forgive.
Forgive?
Yes, that’s right.
Forgive ourselves, forgive others, forgive ummm maybe God?
As many times we blamed Him for many misfortunes that happened in our lives…
Forgive and move on…
With a forgiving heart, I’m sure we’ll live this life more happily.
Realizing nobody is flawless.
No one is perfect.
And there’s no other way than forgive, that we can live in this life peacefully.
Learning from the past, but I won’t be too carried away with everything from it.
Yeah, I’m learning somehow.
And I’m going to walk again in this path of life.
With a new strength. With a new love.
That comes from above.

Singapore, 8 May 2017
-fonnyjodikin-



Saturday, April 22, 2017

LAGI: BERBAHASA INDONESIA DI SOSIAL MEDIA, MENGAPA TIDAK?


You so so beautiful Mbak Artis aim fans you.
Komentar ini saya baca di salah satu Instagram (IG) seorang artis yang saya follow.
Si Artis memang manis, menawan, dan bukan tipe pencari sensasi.
Yang ngefans, wajar-wajar saja bila terpesona…
Saya tidak pernah mempermasalahkan hal itu.
Namun, mata ini mau tidak mau terus tertuju pada kata-kata itu…
Mungkin bercanda, ya…
Saya pun tertawa lepas saja…

Sering saya baca di Instagram, banyak yang berkomentar dan posting dalam Bahasa Inggris.
Jujurnya, saya pun demikian karena memang ada yang follow bukan dari bumi pertiwi, jadi saya kira saya sekalian berlatih Bahasa Inggris, juga menulis status dalam Bahasa tersebut.
Setiap dari kita memang belajar untuk lebih baik…
Tetapi saya kira, gak perlu dipaksakan…
Kalau memang tidak yakin dan tidak fasih, apa salahnya berbahasa Indonesia?
Mungkin komentar di atas bisa ditulis dengan Bahasa Ibu kita:
“Mbak, Mbak cantik banget deh, saya nge-fans sekali.”
Dengan Bahasa pergaulan, tidak harus Bahasa baku tentunya…

Sering pula saya lihat, mungkin dianggap Berbahasa Inggris bisa menaikkan gengsi para penulis dan pemakainya.
Namun sayangnya, justru itu bisa menjadi 'boomerang' malahan, ketika Pembaca yang mengerti malah melihatnya sebagai status yang banyak kelirunya, bahkan menimbulkan salah sangka hanya karena pemilihan kata dan berbahasa Inggris yang keliru.

Bagiku, Bahasa Indonesia tetap nomor satu.
Tulisan-tulisanku hanya memang bisa menampilkan ekspresi dan rasaku dengan sempurna di dalam Bahasa Indonesia. Kalau Bahasa Inggris, sepertinya ada sebagian ‘feel’ atau rasa yang kurang pas.
‘Gak dapet feel-nya’ mungkin begitu Bahasa pergaulannya.

Berbahasa Indonesia di sosial media, mengapa tidak?
Sekaligus membuat Bahasa kita semakin populer, karena Bahasa Indonesia itu keren jika memang diseriusi, dilihat sebagai karya sastra atau tulisan yang indah dan bermutu.

So, buat SI Fans yang komentarnya saya pinjam hari ini…
I’M SO SO SORRY, DEAR…
Bukan maksud hati, tapi bawaan Editor masih mendarah daging, jadi beginilah akhirnya…
Tetap buat Mbak Artis, aim fans you still, Mbak…
Don’t worry be happy. Take care your health. Jangan sampai enter the wind, yaaaaa…
Hahaha…

Selamat akhir pekan!

Singapura, 22 April, 2017
Fonny Jodikin

Thursday, April 20, 2017

BEING MOM: PADA SEBUAH HARI KARTINI




Singapura, 21 April 2017
Hujan deras mengguyur pagi di Singapura hari ini. Bergegas kulangkahkan kaki menuju kantor yang baru saja menjadi bagian hidupku. Aku mulai bekerja lagi mulai Minggu lalu. Sebuah pekerjaan paruh waktu, yang kulakukan saat anak-anakku bersekolah. Hanya beberapa jam saja seharinya dan bila ada masalah semisal anakku sakit atau semisal seperti kemarin, karena sudah mendaftar jauh-jauh hari untuk pergi ‘field trip’ ke River Safari bersama Lala, aku diberi izin oleh Boss sekaligus temanku itu. Hanya memang, tentunya mengurangi pendapatan yang dibawa pulang. Tapi kupikir, jenis pekerjaan semacam ini, dibutuhkan oleh ibu-ibu rumah tangga seperti diriku dan banyak Ibu lainnya di Singapura atau bahkan belahan dunia lainnya. Ketika anak menjadi prioritas utama, karier adalah urutan berikutnya.

Saat diperjalanan, sekolah Odri menelponku. Odri bilang bahwa dia kena demam. Aku yang hampir sampai kantor, lalu menelpon Boss-ku. Putar haluan, menjemput Odri ke sekolah. Odri demam hari ini. Mungkin karena cuaca yang kalau panas luar biasa, kalau hujan disertai badai. Mungkin juga karena dia kelelahan karena aktivitas yang seabrek-abrek yang dia ikuti, di sekolah maupun di luar sekolah. Ya, tubuhnya perlu istirahat. Kujemput dia dan kubawa pulang. Kuberikan Paracetamol untuk anak-anak, sembari dia beristirahat dan tidur.

Jakarta, November 2006

Hari ini adalah hari terakhirku bekerja di kantor ini.  Sebuah kantor yang selama hampir dua tahun menjadi bagian hidupku. Sebuah perusahaan Sekuritas milik pemerintah, di mana posisi terakhirku adalah sebagai ‘Dealer’ atau lebih tepatnya Foreign Institutional Dealer. Aku tengah berbadan dua dan akan segera menuju Singapura, ke negara tetangga tempat suamiku akan ditugaskan. Satu sisi, aku merasa lega karena tidak lagi harus bekerja sebagai broker saham yang memang tingkat stress-nya cukup tinggi. Namun ada rasa juga akan kehilangan: sahabat-sahabat rekan kerja, keluarga yang dekat di hati, sahabat dan komunitas tempatku bertumbuh. Well, saying good bye will never be easy!

Kupandangi lagi komputer yang menjadi bagian hidupku selama ini. Juga sebuah karier yang Tuhan berikan kepadaku selama 10 tahun terakhir selepas kuliah. Ah, aku bersyukur. Kupandangi sekali lagi Bloomber-ku, Reuters-ku, juga sistem komputer yang selalu membantuku di setiap waktu. Juga telepon-telepon dengan sistem canggih untuk menerima telepon dari klien kami di Singapura dan Hong Kong… Itu kemudian akan jadi memori dan selalu jadi bagian hidupku.

Singapura, April 2017

Kenangan akan masa lalu yang cemerlang, kembali hadir di benakku. Aku melihatnya sebagai penyelenggaraan Ilahi. Sesuatu yang kupikir bukanlah dari kekuatanku sendiri. Ketika kuliah, aku sudah merasakan hal ini: ada banyak kali kupikir aku takkan mampu menyelesaikan kuliahku. Banyak kekhawatiran, terutama karena sakitnya Papa dan akhirnya Papa harus berpulang selamanya saat aku kuliah tingkat 2. Syukurlah Tuhan selalu memberikan pekerjaan-pekerjaan paruh waktu yang kulakoni dengan sepenuh hati, karena aku memang butuh. Dan juga kakak tertuaku yang membantu biaya kuliahku, sementara biaya bulanan tidak pernah sepeser pun kuminta darinya. Tuhan cukupkan dan sediakan segala sesuatunya.

Di Hari Kartini ini, kusyukuri itu semua sebagai sebuah kesempatan yang luar biasa. Bisa mengenyam pendidikan dan menjadi seorang Sarjana, meskipun dengan perjuangan yang kuakui tidaklah mudah. Bisa mendapatkan karier yang baik. Jika tanpa Ibu Kartini, rasanya mustahil untuk menikmati semuanya itu.
Namun, harus pula kuakui: aku takkan menentang apa yang namanya kodrat wanita. Meskipun diberi kesempatan menggapai cita-cita dan pendidikan, ketika akhirnya memiliki anak, merekalah yang kemudian menjadi tumpuan harapan. Banyak hal yang dulu merupakan hal yang tidak pernah kulakukan, sekarang menjadi sesuatu yang setiap hari kukerjakan. Dulu aku bilang, “ Aku tidak bisa masak.” Tetapi sebetulnya lebih ke aku tidak mau belajar masak karena sudah sibuk kerja dan memasak bukanlah sesuatu yang menarik perhatianku. Namun sekarang, demi anak-anakku: aku mau belajar masak, setidaknya kegemaran mereka. Aku bisa ‘baking’, untuk ulang tahun mereka. Tidak ada kata “MUSTAHIL” bagi mereka yang mau memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya.
Itu sesuatu yang kurasakan. Sungguh!

Kembali ke hari ini. 21 April 2017. Odri yang sakit, bisa aku temani dan urus di rumah. Aku bersyukur. Pekerjaan, karier, sesuatu yang menambah penghasilan keluarga di Singapura ini tidaklah semudah di Indonesia untuk mendapatkannya. Adanya peraturan, adanya banyak kendala yang tidak memungkinkan, membuat banyak Ibu RT hanya tetap Ibu RT saja. Banyak yang mengecilkan arti seorang Ibu RT, saya pernah membaca status seseorang yang seolah begitu hebat kelihatannya (atau ingin terlihat demikian), seolah merendahkan status wanita yang ‘hanya’ IBU RT saja. Namun, sebagai seseorang yang pernah berkarier, lalu kemudian karena keadaan harus ‘banting setir’ jadi IBU RT, saya sangat sadar: peranan ini sangat tidak mudah untuk dijalani. Butuh sebuah hati yang mau belajar, mau mengasihi, meskipun kelelahan dan kebutuhan-kebutuhannya tidak selalu terpenuhi. Dan saya kira, secanggih-canggihnya seorang wanita, jika dia bisa turun ke dapur, piawai memasak dan membuat kue, dan berpendidikan… Dia bisa menjadi ibu yang selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Dan semoga bisa membimbing anak-anaknya menjadi pribadi-pribadi yang baik, mandiri, dan membawa sukacita bagi orang-orang di sekelilingnya.

Habis gelap terbitlah terang. Begitu kata Ibu Kartini.
Mungkin di masa-masa tergelap yang kita jalani sebagai seorang wanita, perempuan, ibu, nenek, tante, sahabat, dan sebagainya…
Kita pun percaya, akan ada terang yang ‘kan kembali menyapa.
Berusaha dan berjuang sungguh sebagai seorang perempuan, dengan panggilan dan peranan kita masing-masing…
Menjadi diri kita yang terbaik, tanpa perlu membanding-bandingkan…
Dibawa ‘happy’ dan ‘enjoy’, saling menyemangati, karena sesama wanita seharusnya paham: perjuangan untuk jadi wanita yang tetap tahu kodrat mereka bukanlah pekerjaan gampang.
Raihlah bintang di langit, tetapi tetap lihatlah rumput-rumput hijau di sekitar kita…
Tetap membumi, tetap rendah hati, dipenuhi syukur dalam diri…
Semoga kita tetap jadi Kartini-Kartini yang bisa diandalkan. Cerdas, penuh syukur, dan bagi saya: selalu berusaha menebarkan bibit-bibit kebaikan, meskipun berada di tengah-tengah dunia yang penuh amarah ataupun kekacauan.

Selamat Hari Kartini. Terima kasih Ibu Kartini untuk perjuanganmu!
Keep shining, keep glowing, and be your very best self, ladies!
Mari menjadi Pejuang Tangguh, mengisi hidup dengan hal-hal yang baik dan positif!

Singapura, 21 April 2017
Fonny Jodikin

·         A Note On Kartini’s Day.

Tuesday, March 28, 2017

THROUGH THE RAIN


Menjalani lagi rute ini. Sendiri. Dari Dhoby Ghaut MRT aku berjalan menuju ke Bras Basah. Mataku terhenti pada kata OLDHAM LANE. Sebuah jalan kecil di sekitar kawasan Plaza Singapura, tak jauh dari Istana. Tiba-tiba, aku ingat kamu, Bram. Teringat, di sinilah tempat kau menyatakan cintamu kepadaku. Ya, di temaramnya malam tanggal 14 Februari tiga tahun yang lalu. Seusai nonton bioskop di Golden Village, kita berjalan bersama. Bahumu menyentuh bahuku perlahan. Kita memang sudah begitu dekat, namun tak pernah satu patah kata pun terucap. Bahwa kau cinta padaku. Bahwa aku pun menyukaimu. Kita hanya diam. Melewati babak demi babak kehidupan perkuliahan kita yang sungguh terkadang memusingkan kepala. Bahasa Inggrisku yang pas-pasan adalah penyebabnya. Dan kamu? Kamu selalu ada di situ, Bram. Menawarkan bantuanmu dengan senyum tulus. Satu pemandangan yang selalu aku sukai, tanpa pernah kusadari.

Kulewati The Cathay Cineplexes, SOTA (School of The Arts Singapore), terus dan terus aku berjalan. Di kiri jalan ada Singapore Arts Museum (SAM). Di situ, kau memelukku untuk pertama kalinya, Bram. Namun, di situ pulalah kau putuskan aku. Ada rasa yang teramat perih, yang takkan pernah mampu kuungkapkan. Ada rasa tak rela, hubungan kita harus berakhir karena kau harus menikahi pilihan orangtuamu yang konglomerat itu. Pernikahan berdasarkan kekayaan. Agar tak jatuh ke orang yang salah. Dan tiba-tiba rasa itu muncul lagi: aku merasa sebagai orang yang sungguh salah. Terlahir dari keluarga biasa-biasa. Oleh kebaikan Oom-ku yang tak punya anak, dia mau membiayai kuliahku di negeri Singa ini. Tempat di mana aku bertemu denganmu pertama kali, menjalin cinta juga untuk pertama kalinya, dan kemudian harus mengalami sakit hati yang tak pernah kutahu akan begini perih. Saat satu per satu kenangan akanmu kembali dan seolah mengoyakkan hatiku. Menorehkan luka yang tak pernah kering, meskipun tiga tahun sudah berlalu.

Kuhirup Teh C Kosong Peng-ku (Teh dengan susu Carnation (evaporated milk) tanpa gula plus es kegemaranku) di Food Republic seberang kampus kita. SMU - Singapore Management University. Sekarang, aku sudah direkrut mereka sebagai Dosen dan mendapat bea siswa untuk kuliah S2 di Oxford. Sementara air mataku turun. Aku masih mengenangmu, Bram. Kau yang setidaknya berjasa membuatku mampu melewati ujian demi ujian. Bahasa Inggrisku meningkat pesat, juga atas bantuanmu. Hujan di luar sana dengan petir dan halilintar yang menggelegar memaksaku berhenti di Food Court ini dan menikmati secangkir teh kesukaanku. Hujan di luar, hujan di hatiku. Apa kabarmu, Bram? Seorang pria yang tampak belakang mirip denganmu masuk juga ke food republic di pukul sepuluh pagi ini. Mengibaskan jaket yang basah, langsung menuju tempat pemesanan minum di sebelahku. Memesan secangkir kopi pekat tanpa gula kesukaanmu. Ketika dia menoleh, aku terkejut setengah mati, " Bram?" Mata lembutmu menatapku dengan tatapan seperti tiga tahun lalu. "Tika? Itu kamu?" Kami saling berpandangan dengan tatapan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Hanya kami yang bisa mengerti. Bahasa kalbu. Bahasa hati.

Bram bilang dia tak sempat menikahi gadis pilihan orangtuanya itu. Bahkan mereka bersepakat untuk tidak melaksanakan pernikahan mereka. Karena Olivia, gadis itu pun sudah memiliki seorang kekasih hati yang dia sukai. Bahkan kekasih hatinya itu memberanikan diri melamar Olivia. Berbeda dengan keluarga Bram, keluarga Olivia yang juga konglomerat itu pada akhirnya memberikan kesempatan kepada Hugo, pacar Olivia. Hugo berasal dari keluarga yang cukup mapan, meskipun bukan termasuk kategori konglomerat. Mereka sudah menikah, mendapat restu orangtua, bahkan sudah punya buah hati. Sementara Bram menyibukkan diri dengan bisnis orangtuanya. Sembari mempersiapkan diri untuk melanjutkan S2-nya di Oxford. "Oxford, Bram? Oxford???" Tanyaku dengan antusias. Sebuah kenyataan yang membahagiakan, karena aku juga dikirim ke sana oleh SMU. Kucubit tanganku. Aku tidak mimpi! Ini nyata! Terima kasih, Tuhan!

Oxford-England. Cuaca di luar sungguh dingin. Dinginnya sampai menusuk tulang. Namun tidak di dalam rumah ini. Bram dan aku sedang menikmati kopi dan teh kegemaran kami, diiringi musik lembut nan romantis. Ini bulan ke-6 kami bersama-sama lagi. Setelah drama yang kami alami. Setelah keperihan yang harus kuhadapi. Kini, orangtua Bram memberi restunya kepada kami. Sementara sesudah aku selesai kuliah, aku harus kembali mengajar di SMU karena ada ikatan dinas selama 5 tahun. Bram akan memegang usaha orangtuanya di Asia Tenggara yang berpusat di Singapura. Kami akan menikah sesudah kuliah kami usai dan kini statusku adalah tunangan Bram. Aku bahagia. Sungguh! Raut wajahku tak lagi mampu menyembunyikannya. After all I've been though. Somehow, I know that I can make it through the rain. Ya, setelah melewati hujan badai di hidupku, aku bersyukur atas pelangi yang hadir. Seindah senyum Bram!

Singapore, 29 Maret 2017
Fonny Jodikin
#Penagraf - Cerpen Lima Paragraf
Pelajaran dari Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG)

Monday, March 27, 2017

KETIKA KATA ‘TOLONG’ DIJADIKAN SENJATA


Saya pernah mendengar cerita bahwa ada seorang yang mengaku dirinya miskin, minta sumbangan ke lembaga sosial. Ketika diberikan, uang tersebut bukannya dipakai untuk hal-hal yang baik… Malah sebaliknya, dipakai untuk berjudi, mabuk-mabukan sambil minum minuman keras, dan sebagainya. Sebuah kenyataan yang menyedihkan, namun terjadi juga di sekitar kita…

Saya pribadi pernah mengalami. Apalagi kalau bukan urusan uang? Seorang sahabat yang nampaknya baik dan manis di awal, seolah ingin menolong saya. Ternyata kemudian berbalik meminta tolong dipinjamkan uang. Pada awalnya, saya ok-ok saja karena percaya. Namun kepercayaan itu kemudian ternodai, bahkan terkhianati ketika janji-janji surganya seputar pengembalian tak pernah ditepati. Bahkan dia dengan luar biasanya memiliki keberanian untuk minta tambahan suntikan dana, pada saat dia belum membayar hutang sebelumnya. Tentu saja saya kemudian kecewa dan memutuskan untuk tidak lagi terlalu dekat dengan orang yang saya kenal dari dunia maya dan satu kampung halaman dengan saya itu.  Anggaplah itu pelajaran yang mahal yang saya harus alami. Saya memaafkan, namun saya tak lagi ingin terjebak dalam kubangan yang sama.

“Tolong, Ce!”
“Tolong saya, Bu (Pak, Oom, Tante, Kakak, dsb)!”

Mungkin kalimat-kalimat itu sangat familiar dan tidak asing di telinga kita. Minta tolong? Boleh-boleh saja. Namun, sesungguhnya kata TOLONG hendaknya dipakai sewajarnya. Bukan untuk memaksa orang melakukan sesuatu yang  kemudian kita pakai untuk kesenangan pribadi. Sementara yang bersangkutan memakai uang yang dipinjam itu untuk hal-hal yang tidak jelas. Saya sempat kecewa ketika seseorang yang dekat di hati meminjamkan uang untuk temannya yang ingin berlibur ke Bali dengan pacarnya.  Kalau pinjam untuk orangtua yang sakit, untuk anggota keluarga yang meninggal, untuk sekolah anak, saya mungkin masih bisa menerima. Namun ketika uang hasil jerih payah banting tulang itu dipinjam untuk hal-hal untuk kesenangan semacam itu, patutkah? Layakkah?

Latar belakang saya yang berasal dari keluarga menengah dan harus berjuang saat Papa sakit dari saya SMP menjadikan saya pribadi yang harus mandiri karena keadaan. Ketika banyak teman saya bersenang-senang saat SMP dan SMA, saya harus memikirkan jauh ke depan. Ada kekuatiran tak bisa melanjutkan kuliah dan sebagainya. Namun saya berusaha dengan sekuat tenaga. Fokus pada pelajaran, berjuang sungguh untuk melengkapi diri dengan hal-hal positif semisal kursus Bahasa asing agar nantinya bisa dipakai sebagai bekal. Berjuang, tegar, menjadi pribadi yang mandiri. Sehingga kata TOLONG adalah kata terakhir yang terucap di bibir, saat memang sungguh membutuhkan bantuan dari sekitar. Kata TOLONG yang terbesar yang saya percayakan dan ucapkan hanyalah kepada Tuhan- Sang Maha Sumber segala.

Semoga kita bisa berpikir panjang dalam meminta tolong. Selalu mengusahakan yang terbaik dari diri, berusaha mandiri, sebelum minta tolong. Jangan sampai kata TOLONG dijadikan senjata, lalu kemudian menuduh pihak yang bersangkutan kurang baik sementara kita tidak berusaha maksimal. Bahkan mempergunakan kebaikan atau pertolongan itu untuk sesuatu yang kurang penting, kurang layak, bahkan terkesan menghambur-hamburkan uang hasil kerja keras orang yang bersangkutan. Dan pada akhirnya, jika ada pertolongan yang kita butuhkan, semoga kita sudah memperjuangkan sebaik-baiknya sebelumnya… Untuk kemudian meminta TOLONG saat memang sudah tak lagi mampu menghadapinya sendirian dan bukan sebaliknya: meminta tolong dengan memelas dan beriba-iba kepada orang lain tanpa berusaha sama sekali.

Selamat pagi. Selamat beraktivitas.  Semangat untuk berjuang atas kehidupan yang sudah dianugerahkan-Nya bagi kita.

Singapura, 28 Maret 2017
Fonny Jodikin