Monday, August 17, 2015

Man in the Mirror



Cermin itu retak
Tangan ini berdarah.
Bekas tinju ada di sana.
Retak, lalu pecah. Ya, pecah!
Penuh luapan amarah.
Rasa kesal sudah terlalu meraja dan membikin resah.
Rasa frustrasi yang bertambah parah.

Namun, cermin itu juga tak pernah bohong.
Dia menyajikan kejujuran tampilan diri.
Yah, dirinya.
Wajahnya biasa saja memang.
Bukan kualitas bintang film atau pemain sinetron.
Bukan itu yang kemudian jadi masalahnya.
Cermin itu juga menampilkan postur dirinya.
Yang gemuk dan melebihi berat badan orang pada umumnya.
Itulah yang membuatnya minder.
Padahal secara umumnya manusia, cukup banyak yang diraih di usianya yang ke-40  ini.
Pekerjaan yang cukup mapan.
Status di masyarakat yang cukup baik.
Hanya saja, yah hanya saja: dia masih jomblo. Single. Sendirian.

Pacar terakhirnya, Anissa,  seorang gadis muda belia.
Umurnya sekitar 23 tahun, lulusan gres dari universitas ternama di ibukota.
Anissa adalah kecintaannya yang selalu diinginkannya untuk menjadi pendamping hidupnya.
Anissa punya segalanya bagi seorang wanita.
Wajah yang luar biasa cantik, nyaris sempurna, tak kalah dengan artis Korea. 
Bedanya, dia orisinil, tanpa oplas seperti mereka.
Tubuh semampai dengan tinggi 168 cm, menjadikannya pujaan hati banyak pria.

Tommy memandangi foto Anissa yang dibawanya senantiasa.
Sakit rasanya. Pedihhhh di dada.
Ketika yang kaucinta memandangmu sinis dan berkata, 
"Maaf, aku tak lagi cinta. Aku sudah mendapati cinta yang baru. Maaf pula kumendua. Tapi, dia memang lebih segala-galanya."

"Lebih segalanya? Apa maksudmu, Icha?" Tanya Tommy dalam kebingungan yang sangat.

"Jangan lagi panggil aku Icha, kamu harusnya ngaca! Oom tua, jelek, gendut!"
Ujarnya sinis dan beranjak pergi.


Dia  sungguh tak percaya kata-kata itu bisa keluar dari bibir mungil perempuan cantik yang dia puja. Terlebih, dia masih berstatus kekasihnya. 
Hmmm, maksudnya lima menit yang lalu, dia masih kekasihnya.
Sekarang hubungan mereka putus sudah.
Tiada lagi kisah lanjutannya.
Tamat. Dengan ending yang jauh dari film drama Hollywood.
Sad ending. Terkhianati. Tak terpilih.
Icha lebih memilih direktur muda sebuah perusahaan otomotif yang baru berusia 30 tahun.

Tommy tak kuasa memendam tangisannya lagi.
Air mata kecewa bercampur putus asa membanjiri wajahnya.
Dia pikir dengan berpacaran dengan Icha, kepahitan di hidupnya bisa berakhir.
Dia bisa menyelesaikan episode jomblonya, lalu dia bisa memulai hidup baru berumah tangga dengan Icha.
Namun, apa daya...
Kesuksesan dan uangnya yang tak seberapa itu...
Tak mampu juga membuat Icha bertahan setia di sisinya..
Dia merasa gagal.
He's such a failure!
Yang bahkan tak mampu menyelamatkan relasinya dengan pacar yang dikiranya bakal jadi pelabuhan terakhir dirinya.

Tommy terdiam di kamar mandi di apartemennya.
Dia terduduk di lantai di depan 'bath-tub', tanpa baju-hanya bercelana pendek saja.
Di tangannya ada botol bir yang belum habis.
Sementara di sekelilingnya, sekitar enam botol bir kosong berceceran.
Kenyataan yang menyedihkan.
Kisah yang mengecewakan.
Kegagalan yang menghancurkan.
Mungkin botol-botol bir ini bisa jadi peneman dirinya sementara waktu.
Saat tak lagi ada orang yang bisa mendengarkan.
Saat tak lagi ada orang yang peduli pada nasibnya.
Saat dia merasa kesendirianlah yang senantiasa mengakhiri setiap kisah cintanya.
Sakitnya tuh di sini!
Dia meraba dadanya, terdengar lengkingan yang memilukan keluar dari mulutnya.
"Icha, kamu terlalu!
Setelah kutambatkan seluruh harapanku kepadamu!!!"

                                                                                   ***

Ruangan serba putih.
"Di mana aku?" Tommy membatin.
"Apa aku sudah berpulang untuk selamanya?
Apa ini surga?
Aku tak bunuh diri, rasanya...
Lalu, mengapa aku ada di tempat ini?"

Begitu banyak pertanyaan yang ada dan muncul di kepalanya.
Bertubi-tubi. Tak mau pergi.
Satu demi satu menyusul dan berganti...

Seorang perawat datang dan menepuk dirinya perlahan.
"Bapak sudah sadar. Bagus sekali, Pak Tommy. Apa Bapak mau minum segelas air? Saya bisa bantu dengan sedotan."
Tommy masih kebingungan, namun ia merasa kehausan yang amat sangat.
" Boleh, Suster. Saya haus. Bisa tolong tegakkan sandaran tempat tidur ini, sehingga saya bisa duduk sebentar."

"Tentu saja bisa, Pak. Sebentar, ya."
Jawab Suster yang berwajah manis itu dengan senyuman. Lalu, dengan sigap dia membantu Tommy duduk dan menyodorkannya gelas air dengan sedotan.

" Sus, apa yang terjadi dengan saya? Mengapa saya ada di sini? Dan ini Rumah Sakit apa?"
Akhirnya Tommy menanyakan pertanyaan yang mengganjal di hatinya kepada Suster berwajah manis itu.

" Ini bukan Rumah Sakit, Pak.  Hanya klinik kecil yang baru beroperasi dua bulan yang lalu. Letaknya tak jauh dari apartemen Bapak.
Kami punya sedikit kamar untuk rawat inap saat pasien UGD datang seperti Pak Tommy yang pingsan tadi di rumah. Bapak dibawa oleh satpam apartemen ke mari karena Bapak pingsan. Ketahuan karena ada 'maintenance' apartemen yang mau memperbaiki AC rusak di unit Bapak dan unit Bapak tidak terkunci."
Jawabnya lagi masih dengan ramah.

Tommy terdiam.
Oh, ternyata dia belum mati.
Dia masih punya kesempatan kedua untuk memperbaiki diri.
Tapi, tanpa Icha, apa hidup masih ada artinya?
Dipandanginya cermin di depan tempat tidurnya...
Sosok dirinya seolah menertawakan kemalangannya.
"Tommy, Tommy... Betapa bodohnya kamu! Hanya karena seorang Icha kamu hampir menyia-nyiakan hidupmu!"
Masih banyak perempuan lain seperti Perawat berwajah manis itu.
Sekilas Tommy melirik 'name tag' di bawah kerah baju Si Perawat.
Murni.
Murni namanya, semurni senyuman dan ketulusan yang dirasakannya.
Semoga demikian adanya.

                                                                                 ***

Dua tahun kemudian...

Di depan cermin, Tommy tersenyum lebar.
Ada penerimaan dirinya yang luar biasa.
Dia tak harus jadi juara dengan mendapatkan gadis-gadis cantik semacam Icha...
Yang dia butuhkan adalah seorang pendamping setia...
Yang sungguh dia hargai keberadaannya...
Tommy menyesali juga kesombongannya...
Betapa dia hanya memilih gadis-gadis pacarnya dulu seperti Icha dan sebelum-sebelumnya hanya berdasarkan tampang dan tampilan semata...
Tommy sadar, penampilan bukanlah segalanya.
Dia memang berusaha keras untuk mengubah gaya hidupnya...

Dia berolah raga dengan giat, badannya pun tak obesitas seperti dulu lagi...
Turun sekitar 20 kg dari beratnya yang hampir mencapai 100 kg dulu!

"Pa, kopinya sudah siap. Sarapannya juga. Ayo, makan..."
Ucapan lembut dan ketukan di depan kamar mandi terdengar halus.
Suara Murni.
Hal yang terbaik yang dia dapatkan dari putusnya dengan Icha, ternyata berakhir manis.
Bukan hanya dirawat selama di klinik, namun dia berhasil meminang Sang Perawat untuk menjadi perawat abadinya.
Sepanjang hidup, saling setia.
Murni sudah menjadi istrinya dan mereka tengah menikmati masa bulan madu...

Cermin, cermin di dinding..

“Mirror Mirror on the Wall, Who Is the Fairest of Them All?”

Tak perlu lagi perbandingan...
Dia merasa dikasihi dan diterima apa adanya oleh istrinya...
Dia bersyukur untuk kejadian-kejadian hidupnya...
As everything happens for a reason...
Di episode cintanya, dia dapati pelabuhan berharga...
Murni. Seperti kasih murninya kepada Tommy.

And that man in the mirror is smiling joyfully.
With the biggest smile ever, he's ready to face this world with his lovely wife.
Self-acceptance is the most valuable lesson that he has learned.
And he's thanking God for all lessons that He has given to him...
Everything works together for good in His plans!

Di meja makan, sarapan sudah tersedia.
Senyum manis Murni mengisi hari-harinya.
Bahagia itu sungguh sederhana.
Tak perlu mencarinya ke mana-mana...
Ketika kaudapati dia ada di sini. Di dalam hati.

18 Agustus 2015
fon@sg