Thursday, June 28, 2018

Setelah Duapuluh Lima Tahun…



1 Juni 2018. Singapura.
Saya menelpon mama di Palembang.
“Ma, besok aku pulang, ya!”
“ Iya, besok ada doa dan acara kecil buat Papa. Besok ‘kan meninggalnya Papa, peringatan ke-25 tahun.”
Ujar Mama di seberang sana.
“Oh, iya… Ok, Ma! Sampai besok…!”

Telepon kumatikan. Dan aku terdiam.

Saat membeli tiket pulang ke Palembang, aku tak ingat bahwa itu adalah hari meninggalnya Papa. Karena kami membeli tiket sekitar bulan Februari lalu. Yang kucocokkan hanyalah tanggal anak-anak kami liburan sekolah. Dan kemungkinan Odri ada perjalanan ke luar kota dari sekolah, jadi saya menunda sedikit kepulangan kami.
Tak terasa, sudah 25 tahun Papa meninggalkan kami.
Waktu berlalu begitu cepat rasanya…
Setiap hari merupakan perjuangan tersendiri dan punya permasalahan serta kebahagiaan tersendiri.
Detik berlalu, musim berganti…
Ya, sudah 25 tahun….

2 Juni 1993. Jakarta.
Derai air mata masih membasahi kedua belah pipiku…
Aku berada di Airport Soekarno Hatta untuk ‘go show’, mau beli tiket pulang ke Palembang.
Mama baru saja menelponku dan bilang bahwa Papa sudah berpulang untuk selamanya.
Rasanya tak percaya, karena baru saja kemarin aku menelpon dan bicara langsung dengan Papa.
Katanya makanan sudah terasa enak di mulutnya. Aku lega.
Karena memang Papa ada sakit jantung dan beberapa komplikasi lainnya.
Tetapi? Hari ini???
Mengapa kuterima berita seperti ini?
Aku masih belum mandiri…
Rasanya ada yang kurang karena belum bisa membahagiakan Papa.
Dan seketika dia harus pergi?
Kurasakan adanya satu kehampaan yang mendalam.
Bukan karena hubungan kami yang sempurna…
Relasi kami sempat naik-turun dan sempat juga tegang…
Aku yang keras, seperti Papa…
Aku juga terkadang suka membangkang, terutama saat SMP…
Sori, Pa…
Tetapi satu hal yang kusyukuri, kami berdamai saat aku di SMA.
Kami bisa berdiskusi tentang Bahasa Mandarin dari versi Papa dan mencocokkannya dengan Bahasa Jepang yang tengah kupelajari saat itu…
Akhir yang melegakan, karena aku tak pernah tahu, tak lama berselang Papa harus berpulang.
Untuk selamanya.

2 Juni 2018. Palembang.
Pa, ini aku, suamiku, dan anak-anakku…
Tak terasa sudah 25 tahun berlalu, Pa…
Papa pergi meninggalkan kami untuk selamanya…
Ada hari-hari di mana terasa biasa…
Waktu memang akan memulihkan…
Tapi takkan pernah sanggup melupakan…
Karena biar bagaimana pun, sampai kapan pun…
Papa tetap jadi bagian hidup kami…

Namun ada kalanya, rongga kosong di hati itu sungguh terasa…
Seperti saat aku pulang ke Palembang saat meninggalnya Papa dan mendapati rumah masa kecilku lengang…
Ada kursi yang seharusnya Papa duduk di sana…
Ada sofa tempat kami menonton siaran bulutangkis bersama di televisi.
Itu semua takkan terganti, Pa…

Peristiwa demi peristiwa memenuhi kepalaku…
Pa, semoga Papa tenang di sana…
Kupanjatkan doa bagimu, Pa…
Semoga Tuhan mendengarkan doa kami, anak-anakmu dan Mama yang masih berjuang hidup di dunia ini…
Setelah dua puluh lima tahun, engkau tetap ada di hati kami.
Takkan terganti.
Bukan karena Papa adalah Papa yang sempurna bagi kami…
Tetapi kami sadari, kami pun jauh dari sempurna sebagai anak-anakmu, Pa…
Saya yakin, Papa sudah memberikan yang terbaik yang Papa bisa semasa hidup.
Seperti kami pun begitu dengan segala keterbatasan kami.

Pa, I miss you…
Ada kerinduan mendalam saat menuliskan ini semua.
Saat air mata kembali menetes perlahan.
Air mata haru, karena kau pernah menjadi bagian hidup yang paling penting dalam hidup kami.

Singapura, 28 Juni 2018
Fonny Jodikin