Friday, September 27, 2019

Terima Kasih, Papa…



Untuk mengucap terima kasih kepada Mama saya, bagi saya pribadi terasa lebih mudah.
Mama yang sabar, baik hati, hampir tidak pernah melarang-larang saya dari kecil.
Malah beliau yang banyak memberikan lampu hijau atas aktivitas yang ingin saya kerjakan.
Sebagai Ibu dari  lima orang anak, tentunya tidak mudah mengurusi semuanya.
Ditambah Mama juga menjaga toko, membantu Papa dalam usahanya demi ngebulnya dapur.
Boleh dikatakan saya mengalami masa kecil yang cukup membahagiakan…
Rata-rata apa yang saya dambakan, cukup.
Tercapai.
Mama memberikan saya kursus Bahasa Inggris…
Juga memperbolehkan saya ikut Aerobik, Les Organ, tidak ada larangan berarti…

Berbeda dengan Papa.
Papa cukup keras dan berprinsip.
Sering kali prinsipnya berseberangan dengan saya.
Pernah satu kali saya sangat tertarik dengan ikut Aerobik.
Papa bilang, “Jangan!”
Dengan alasan tidak boleh saya campur dengan laki-laki dalam kelasnya.
Padahal kelasnya cewek semua.
Akhirnya dengan mediasi dan persuasi Mama, saya diperbolehkan ikutan.
Asyikkkk!
Terima kasih, Papa…!

Belum lama ini, saya membaca postingan seorang sahabat tentang anaknya yang tampil dengan permainan piano yang memukau.
Dia lalu berkisah bahwa mereka tidak punya piano di rumah.
Jadi Si Gadis menunggu saat kelarnya Kebaktian di Gerejanya, lalu belajar piano di sana.
Luar biasa, bukan?

Ini sedikit banyak mengingatkan saya pada kejadian sekitar umur 10 tahun dulu…
Saya punya keinginan belajar Organ.
Tapi karena mahal dan khawatir saya hanya ‘hangat-hangat tahi ayam’ belaka…
Papa tidak mengizinkan saya membeli alat musik itu.
Tapi saya boleh Kursus Organ di Swara Indah-Kolonel Atmo, Palembang.
Dan saya harus datang seminggu dua kali.
Satu kali untuk kursus, satu kali lagi untuk latihan sendiri.
Diberi izin oleh Pemilik kursus yang adalah teman Papa.
Papaku gitu-gitu adalah Wedding Singer dan sempat punya band di Palembang.
Dan itu setidaknya menurun di aku.
Yang belum tercapai hanyalah keinginan beliau untuk rekaman, sampai beliau berpulang di tahun 1993 itu belum terwujud.

Setelah menunjukkan keseriusanku…
Akhirnya Organ itu dibelikan juga…
Aku belajar tidak terlalu lama, lalu ganti guru…
Di mana Guru berikut yang juga teman Papa yang mengarahkan aku lebih ke Musik Pop.
Aku diajar untuk bisa mendengar dan mencari notasi lagu yang kusuka.
Hanya karena Organ, jadi tangan kiri-ku hanya pegang ‘chord’, tidak terlalu lancar menggerakkannya seperti piano…

Sekarang di rumah, hanya punya ‘keyboard’.
Yang sesekali kumainkan, jika sedang kangen.
Pernah mencipta satu lagu rohani, dari bekal permainan Organ dulu…
Ketika aku menoleh ke belakang…
Aku bersyukur untuk Papaku…
Bukan hanya aku bersyukur karena sudah berdamai dengan Papa sebelum beliau berpulang selamanya 26 tahun yang lalu…
Terlebih untuk izinnya, memperbolehkan aku belajar banyak hal yang kemudian menjadi pengalaman berharga yang kusyukuri sampai detik ini…
Dan setelah menjadi orangtua, menjadi seorang Mama…
Aku sadar, tidak mudah jadi orangtua untuk membesarkan anak dengan baik…

Terlepas dari segala kekuranganku, juga kekurangan Papa…
Tak kurang rasa syukurku atas Papaku.
Papa yang Tuhan pilihkan bagiku.
Kita memang tidak sempurna, tetapi kita selalu belajar untuk lebih baik hari lepas hari, bukan, Pa?
Our relationship was beautifully imperfect…
Indah dalam ketidaksempurnaannya…

Terima kasih, Papa…
I know you’ll be happy up there, Pa!
Aku tetap doakan Papa dan semoga Papa pun mendoakan kami semua di sini…
Proudly say...
“I’m thankful to be your daughter!”
Aku bangga jadi anakmu.

Singapura, 28 September 2019
Fonny Jodikin