Monday, December 26, 2011

Saya Belajar



Dalam setiap kesesakan, saya belajar untuk bertahan

Lalu terus berjalan di dalam iman

Bukan karena kekuatan diri sendiri

Karena saya tahu, Tuhan selalu menemani


Dalam setiap kegelisahan, saya belajar untuk percaya

Hanya kepada Sang Pencipta yang Mahatahu segala-galanya

Galau dan resahku kusampaikan kepada-Nya

Setelah itu aku pun menjadi lebih lega


Dalam setiap kekecewaan, saya belajar untuk melihat realita

Meski pahit, seluruh perasaanku kutumpahkan pada-Nya

Tak ada jalan lain kecuali percaya

Kasih-Nya mampu membalut semua luka


Dalam setiap kegagalan, saya belajar menerima

Meski terkadang sulit tetapi aku mau percaya

bahwa rancanganku yang terbaik dan sedemikian indahnya

Tak sebaik dan sesempurna rancangan-Nya


Dalam setiap tetes air mata, saya belajar untuk tegar

Roda kehidupan terus berjalan

Hari ini sedih bukan berarti akan sedih selamanya

Selalu ada harapan di dalam Tuhan


Dalam setiap putaran waktu, saya belajar untuk setia

Tidak selalu mudah, tetapi semoga kita tak henti mencoba

Karena Tuhan sendiri sudah begitu setia

Di sepanjang perjalanan hidup kita


Hanya kepada-Nya seluruh tumpuan harapan dan doa

Saya belajar untuk tetap bangkit walaupun pernah terjatuh

Saya belajar untuk tetap tersenyum meski pernah tersakiti

Saya belajar untuk mengampuni walaupun harus berjuang keras untuk itu

Saya belajar untuk jadi seseorang yang lebih baik hari lepas hari

Saya belajar untuk menerima kekurangan diri dan mau lebih baik lagi

Saya belajar untuk tidak terlalu mengandalkan pikiran atau perasaan, karena Tuhan melebihi semuanya itu…

Saya belajar untuk tetap bekerja keras, lalu menyerahkan hasilnya kepada Tuhan


Setiap hari, saya akan terus belajar…

Untuk memilih hal-hal baik dan bukan hal-hal yang buruk

Untuk mengasihi dan bukannya membenci

Untuk percaya dan berharap kepada Tuhan

Untuk setia di antara sejuta godaan


Setiap hari, ajarilah saya, Tuhan…

Untuk melihat keindahan dalam kesederhanaan

Untuk tidak melulu menilai orang dari tampilan luaran

Untuk belajar rendah hati dan tidak arogan


Tuhan, ajarilah saya…

Hari ini dan di masa depan…

Hanya kepada-Mu kupercayakan

Seluruh hidupku di tangan-Mu, oh Tuhan…


HCMC, 26 Desember 2011

-fon-

* catatan akhir tahun…. Kesetiaan dan kebaikan Tuhan tak pernah cukup untuk kuekspresikan…

Tuesday, December 13, 2011

Kesabaran



Untuk mendapatkan pekerjaan dengan peminat lebih dari 1000 orang ini, aku harus melakukan sesuatu yang sama sekali berbeda. Termasuk harus tahan malu. Demi pekerjaan di sebuah perusahaan favorit dengan kantor di seluruh dunia, sebagai ‘management trainee’ yang nantinya akan dilatih dan ditempatkan di mana-mana. Di seluruh pelosok Indonesia juga di negara-negara baru yang tak pernah kami duga. Kami diharuskan berlatih di setiap divisi, untuk kemudian mandiri dan mampu ditempatkan di mana saja, kapan saja.

Semakin banyak yang gugur di tiap tes. Total tes ada enam, termasuk interview tahap akhir. Di bagian ke-3, kami diharuskan mempertontonkan sebuah kebolehan dengan wajah badut. Dan harus membuat audiens tertawa. Rasanya malu, marah, mencoreng gengsi dan harga diri. Tak tahukah mereka, kami-kami ini juga Sarjana? Dan kami tidak suka dipermalukan sedemikian rupa. Apa tidak bisa ‘performance’ kami biasa saja, tanpa dicoreng mukanya?

Dengan terpaksa, kulakukan. Di depan audiens dan tim pewawancara sekitar total tigapuluh orang, kami harus memberikan yang terbaik. Yah, kupilih sebuah lagu, nyanyi saja. Paka sistem karaoke, musik sudah siap. Tapi wajah yang dicoret bak badut ini yang membuatku gengsi. Apa mau dikata, harus kulakukan juga. Sebelum tampil, aku berkutat dengan harga diriku. Dengan statusku. Lalu, kuputuskan terus maju. Ingat ayah dan ibu yang selalu kelelahan di setiap harinya selama membesarkanku. Ayah yang hanya buruh pabrik dan ibu yang punya warung makan sederhana. Sabar, itu yang selalu mereka ingatkan kepadaku. Kesabaran mereka yang menjadikanku-anak satu-satunya-bisa berhasil meraih kesarjanaan.

Kuhapus perlahan tetesan air di sudut mataku. Sabar, harus kulakukan itu. Kukumpulkan keberanian jadi satu. Tahan malu. Maju. Jangan ragu. Lagu dangdut Ayu Ting Ting bergema. Wajahku yang memang tak seberapa cantik ini tambah hancur dengan riasan seenak jidat Si Penata Rias. Aku malu, tapi aku menegarkan hatiku. Kesabaran menanggung segala sesuatu membuatku tetap melaju. Langkah konyolku di panggung ketika aku pura-pura terjatuh, membuahkan hasil prima. Mereka tertawa. Aku lulus interview ke-3.

Di belakang panggung.

Aku tak tahu haruskah aku senang atau sedih. Haruskah kulakukan semua ini hanya demi sebuah pekerjaan yang memang kuiimpikan? Kubuang ikat kepalaku, air mataku tumpah sejadi-jadinya. Aku berteriak kecil. Suaraku tercekat karena aku tak mau teman-teman baru yang kukenal selama interview ini menjadi tertekan karena ulahku. Tapi, sungguh, ada bagian dari diriku yang tak rela. Dipermalukan sedemikian rupa! Demi keluarga dan masa depanku, aku harus lakukan juga. Dan aku berhasil, tetapi egoku tertoreh. Aku terluka.

Dengan sisa tenaga yang masih ada, aku bangkit.

Aku sadar. Kesabaran membuatku bertahan. Perjuangan sukses memang butuh pengorbanan. Meski dipermalukan. Tugasku harus siapkan diri untuk interview berikutnya. Di antara 1000, akhirnya 10 orang diterima. Termasuk diriku. Aku bahagia, orangtuaku juga. Akhirnya, ada peluang bagi kami untuk maju.

15 tahun kemudian...

Aku hanya bisa tersenyum. Melewati semua itu dengan ketabahan, memampukan aku bertahan di masa-masa yang kurang menyenangkan. Semuanya terlewati hanya dengan kasih Tuhan. Sabar. Ikhlas. Berjuang tanpa henti. Bekerja keras dan melakukan yang terbaik. Tegar dalam segala cobaan. Dan kini aku adalah manajer di kantorku.

HCMC, 14 Des 2011

-fon-

* terinspirasi salah satu episode drama Korea yang kulihat sepintas lalu di KBS. Man of Honor (Glory Jane) sekitar episode 11-12. Sabar dan tegar dalam mencapai impian, semoga tetap ada di hati kita.

Wednesday, December 7, 2011

Topeng


Topeng

Tidakkah kau lelah, sahabat?

Bertopeng senyum palsu, berkedok kemunafikan? Sementara di balik semua itu, kutahu mereka hanya semu. Yang ada hanyalah ucapan-ucapan pembenaran diri yang menganggap dirimu rendah hati, tidak sombong, dan baik budi? Juga dirimu yang seolah suci tak pernah bergunjing sana-sini, hanya mengutarakan kebaikan saja? Aku tahu, aku tak berhak menilaimu…. Tetapi, aku juga tahu, di balik semua itu… Ada banyak, bahkan terlalu banyak topengmu.

Aku bukan orang yang tak kenal dirimu.

Sudah lama kita saling kenal dan bersahabat. Jika ingin kaupasang topeng itu, pasanglah hanya pada orang-orang yang baru. Jangan padaku. Aku rindu, bersahajanya dirimu. Sederhananya kamu. Betapa indahnya persahabatan kita tanpa belenggu. Topeng dan kedok yang kaupaksakan dan terus mengelabui duniamu.

Aku kangen masa-masa itu.

Saat kita saling bercengkerama hanya dengan dua cangkir kopi dan teh saja. Sebungkus biskuit murah yang kita beli dari warung sebelah. Di beranda rumah, sambil memandang langit yang cerah. Akankah terulang lagi? Entah…

Aku senang akan apa adanya dirimu dulu…

Kita bukan orang yang sempurna. Dan kita tak perlu jadi sempurna. Yang sempurna dan tanpa cacat cela hanyalah Yang Kuasa. Dengan segala kekuranganku dan kekuranganmu, kita-sepasang sahabat karib- hanya tertawa…Kita masih manusia…

Kini, tak kukenali lagi dirimu..

Hartakah yang membuatmu begitu? Atau pergaulan yang mengubahmu?

Aku masih tak tahu…

Di termangunya diriku, kuharap suatu saat kau akan kembali seperti dulu…

Mungkin harapku terlalu tinggi, tak mengapa, tetap kunanti di suatu saat nanti… Saat kausadar bahwa semuanya itu hanyalah sementara.

Diriku masih sama, menunggumu kembali…

Lepaskan topeng dan kedok yang tebal di wajah manismu. Berlapis-lapis banyaknya.

Menutupi senyum ikhlas dan kesederhanaanmu. Yang ada selalu. Di suatu masa. Dulu.

Tetap kutunggu,

Aku - Sahabatmu.

HCMC, 7 Desember 2011

-fon-

* demi persahabatan, kutuliskan kisah ini. Bukan kisah pribadi 100%, tapi pernah dan bahkan amat mungkin terjadi. Going back to the core of friendship. Friends forever…

Sunday, November 27, 2011

(Tiada) Sesal



Dimakannya perlahan, tahu dan tempe yang tersisa dari pesta di rumah tetangganya. Masing-masing ada dua, tahu dan tempe goreng. Makanan yang dulu selalu dihindarinya.

Gayanya agak rakus, karena sudah seharian perutnya tak terisi. Jujur saja, kemarin dan kemarinnya lagi, makanan yang layak tak pernah masuk ke pencernaannya. Paling hanya sedikit biskuit, roti murahan yang hampir berjamur, dan banyak air putih yang dia minum. Dengan menyeret kakinya perlahan dia mendekat ke dapur untuk mengambil air minumnya. Kakinya memang pernah terluka dan sekarang menyisakan cacat seumur hidupnya.

Tahu dan tempe beserta nasi langsung ludes seketika. Lapar berat dirinya!

Dia pun mengakui kalau tahu dan tempe itu rasanya lezat luar biasa. Dulu, takkan pernah menu ini ada di daftar makanannya. Kalau tidak sushi, spaghetti, paling-paling steak… Kalau tidak daging, ikan mahal, atau sayuran berkelas, dia tidak akan makan. Alergi dirinya mendengar kata tahu, tempe, kangkung apalagi! Maaf ya, itu baginya hanya makanan untuk orang susah. Tak pernah ia sadar-di masa lalunya- bahwa makanan yang dia kira hanya untuk orang miskin sekali pun sebetulnya adalah makanan yang bergizi, bahkan sering dicari orang-orang kaya.

Hidup memang tak pernah bisa ditebak. Kehancuran dirinya bermula dari kebakaran besar yang melanda kompleks apartemen mewahnya. Tinggallah ia terjebak di unitnya yang terletak di lantai 52, sampai pemadam kebakaran menyelamatkan dia. Dia hidup seorang diri, belum dan memang tak pernah berniat menikah. Mending enak-enak hidup sendiri, tanpa beban, dan menikmati hasil kerjanya sendirian. Hari ini kencan dengan Tuan A – kliennya asal Amerika, besok kencan dengan B-partner bisnisnya. Hidup seperti itu lebih ceria baginya. Tanpa ikatan, senang-senang saja.

Pergi ke luar negeri, jalan-jalan ke Eropa, Amerika, Jepang, dan Korea, sudah dijalaninya. Semua serba mahal, ekslusif, serba nomor satu. Kalau tidak, apa kata dunia??? Gengsi membawanya melambung tinggi, nyaris tak lagi tersisa kerendahan hati yang dulu sempat mengiringi diri. Saat dia masih berstatus anak kampung, di dusun kecil di Pulau Sumatera. Tepatnya di Sumatera bagian Utara, tak begitu jauh dari negara tetangga Singapura.

Dan tiba-tiba saja semua berbalik.

Bisnisnya bangkrut ditipu partner, apartemen mewahnya terbakar dan wajahnya pun terkena luka bakar yang cukup parah. Uangnya tak lagi cukup untuk membiayai gaya hidup jetset yang selama ini sudah jadi kebiasaannya. Tak mampu ia lakukan operasi. Hanya rambutnya yang dia panjangkan untuk menutupi sisi kanan wajahnya yang kehitaman bekas luka bakar. Bukan itu saja, dia lalu hidup terlilit hutang yang besar. Para kreditor mengejarnya, sedangkan partnernya sudah raib ke Australia, itu pun konon kabarnya. Dia tak pernah lagi menemuinya. Karena kebakaran itu pulalah, kakinya jadi cacat. Tak mampu diselamatkan sepertia sedia kala. Masih untung tak perlu pakai kursi roda!

Piring yang kosong masih berada di tangannya. Seolah semua cerita hidupnya terkilas-balik di sana. Dari semua kemegahan dan kemapanan yang pernah dia rasa, kesombongannya, dan betapa dia terhempas jatuh saat itu semua berbalik arah. Sesal di dada, selalu datang terlambat agaknya. Nasi sudah jadi bubur, apa lagi hendak dikata?

Air mata membanjiri kedua belah pipinya. Dia sungguh menyesal saat ini. Selalu ia berseru dan mendesah, “ Ah, kalau saja…”

Kalau saja waktu bisa diputar kembali, dia ingin bertingkah laku lebih baik lagi. Lebih rendah hati, lebih bisa mengontrol diri, mungkin lebih memberikan hartanya kepada kegiatan sosial daripada hanya menyenangkan dirinya sendiri. Dia ingin berbagi. Kalau saja episode hidupnya bisa kembali, andai ada sebuah tombol ‘rewind’ yang bisa diputar. Dia sungguh rela untuk mengulangi semuanya dengan sikap yang sama sekali berbeda. Tetapi, mungkinkah??? Mengapa kenyataan ini begitu pahit bagi dirinya?

Dia sadar, dirinya pernah salah. Salah teramat besar dan pencobaan ini yang menyadarkannya. Kalau tidak ada kejadian kebakaran dan kebangkrutan, tentu dirinya masih pongah luar biasa. Satu sisi, dia mensyukurinya. Walaupun kini rupanya sudah tak karuan, tetapi dia masih bersyukur diberi kesempatan hidup. Terkadang, rasa malu menyerang, mau bunuh diri pun pernah. Dunia dan teman-temannya sesama sosialita, kini memandang penuh cibiran. Hanya karena dia tak lebih dari sekadar peminta-minta. Yang tak pernah tahu besok harus makan apa. Mengandalkan belas kasihan sesama. Itu saja!

Dia duduk di kursi reot satu-satunya yang dia punya. Dia berdoa.

“ Tuhan ampunilah… Aku sungguh menyesal, Tuhan. Untuk semua kesombongan yang memabukkan. Yang membuatku lupa diri dan tinggal dalam kepongahan. Kusadari Tuhan, bahwa Engkau yang kuasa. Hanya Engkau. Semua milikku di dunia hanyalah sementara. Kecantikan, ketenaran, atau harta. Kesehatan, sahabat, dan keluarga… Mereka hanyalah titipan belaka. Aku menyesal, Tuhan…Maafkanlah diriku.”

Diusapnya perlahan tetesan air matanya. Kondisi tak punya apa-apa ini membuatnya sadar, bahwa selama ini dia sering takabur. Melupakan Tuhan dan sesama. Hanya mementingkan diri sendiri dan maunya senang saja. Semoga masih ada waktu untuk membenahi diri… Jangan sampai dia sombong sampai mati…

Tak ada lagi yang harus disombongkan.

Tiga hari sesudahnya, dia diketemukan meninggal dalam senyuman. Dia sudah berpulang dalam kedamaian. Tanpa uang dan harta, tanpa ketenaran atau nama, tanpa sahabat atau keluarga.

Di rumah reot di pinggir jalan itu, dia tersenyum bahagia. Sesal sudah berganti sukacita. Selamat tinggal derita dunia! Dia menuju persatuan yang abadi dengan Sang Pencipta untuk selamanya.

HCMC, 24 November 2011

-fonnyjodikin-

*cerita hanyalah fiktif belaka, bila ada kesamaan tentunya itu tidak disengaja. Semoga menjadi bahan pelajaran bagi kita semua, bahwa tak ada gunanya bersikap pongah apalagi sombong, karena semua milik kita hanya titipan-Nya… Hidup kita hendaknya untuk memuliakan nama-Nya.

Thursday, November 24, 2011

Hanya Bagi Kemuliaan-Nya


***What I’ve learned from my ‘ruins’- Apa yang saya pelajari dari ‘keruntuhan’ saya.

Suatu waktu, saya pernah berandai-andai. Apa yang terjadi seandainya hari ini saya masih di Jakarta? Dengan mengandaikan semuanya dalam kondisi normal dan sesuai rencana, seharusnya saya masih bekerja di perusahaan sekuritas sebagai foreign institutional dealer alias ‘stock broker’ bagi nasabah asing- waktu itu dari Singapura, London, dan Hongkong- dengan karier, gaji, dan bonus yang semakin meningkat. Saya ingat, betapa melepaskan itu semua, di akhir tahun 2006 lalu begitu sulitnya. Saat saya harus pindah ke Singapura, ikut suami bertugas dan memulai petualangan baru di negeri yang baru pula. Meninggalkan karier yang sudah jadi bagian hidup saya 10 tahun lamanya. Belum lagi pelayanan yang dipercayakan Tuhan kepada saya di Jakarta. Teman-teman yang mendukung, keluarga yang dekat di hati, sobat-sobit sejati.

Duh, Gusti! Ini sungguh tidak mudah untuk keluar dari zona nyaman yang sudah saya jalani alurnya selama ini.

Mungkin juga karena pribadi saya berdasarkan buku Personality Plus karya Florence Littauer yang pastinya dikenal dengan baik oleh teman-teman tercinta di milis PP Basecamp Jakarta (PP = Powered Personality) adalah melankolis, ingin segala sesuatu teratur dan terencana. Jadi, jadwal yang porak-poranda, tentunya membuat saya sungguh nelangsa :)

Tetapi, sekali lagi saya percaya, bahwa bahkan sebuah kehancuran di mata manusia (read: saya), bisa jadi sebuah berkat yang tak terduga di dalam perencanaan-Nya. Saya selalu ingat kata-kata dari film Eat Pray Love, Ruin is a gift. Ruin is the road to transformation.(Julia Roberts as Liz Gilbert). Bahwa kehancuran ataupun keruntuhan itu adalah jalan menuju perubahan. Siapa yang menyangka, saat-saat ‘bengong’ sambil merenung di Singapura membuahkan hasil corat-coret di blog pertama saya – Chapters of Life yang akhir tahun ini memasuki tahun ke-5. Yang puji Tuhan sudah menelorkan ratusan artikel, puisi, cerpen, cerber, dan sebuah buku bertajuk Chapters of Life: “ From Nothing Into Something” menuliskan kebaikan dari hal-hal sederhana. Juga beberapa buku antologi seperti Fiksimini dengan total 26 penulis, buku-buku rohani (termasuk renungan harian wanita Katolik) dan buku inspiratif semacam ‘Chicken Soup of the Soul’ berbahasa Indonesia di mana saya diperkenankan-Nya untuk ambil bagian, sungguh merupakan suatu kesuka-citaan tersendiri.

Hmmm, mungkin tepatnya saya punya beberapa blog juga, dulu di Friendster notes, lalu bergeser ke blogspot. Dan puji Tuhan, saya mulai merintis sekitar 5 blog. Tiga blog yang sangat aktif, satu cukup aktif dan satu lagi kurang aktif. Kehancuran yang saya rasakan begitu menyesakkan di awal, ternyata-lima tahun kemudian- saya syukuri sebagai berkat yang tak terhingga dari Yang Kuasa. Saya tak pernah tahu rencana-Nya dalam hidup saya. Saya hanya berusaha memberikan yang terbaik yang saya bisa di setiap kesempatan, karena saya percaya hidup yang hanya sekali ini, hendaknya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat, bukan dengan hal-hal yang kurang berkenan bagi-Nya.

Kehancuran itu mengajarkan saya rendah hati. Saya tidak pernah menyangka kalau selama ini ternyata saya ‘agak’ terlena dengan kenyamanan saya. Saya agak sombong dan berada di atas awan, bahkan kepercayaan diri kelewat tinggi. Saya kira, saya bisa lakukan apa saja. Tentunya dengan embel-embel Tuhan, itu akan lebih afdol. Tetapi, pada praktiknya, saya tidak sungguh-sungguh membiarkan Allah meraja dalam hidup saya. Saya tetap Ratu di hidup saya, Tuhan? Mungkin hanyalah ucapan manis di bibir, sekadar basa-basi belaka. Kehancuran, membuat saya sungguh tunduk pada-Nya. Tak ada alasan untuk sombong. Semua hanya bagi kemuliaan-Nya.

Kehancuran itu membuat saya belajar melihat rencana-Nya dan bukan melulu rencana saya. Saya bisa rencanakan apa saja, tetapi kalau itu belum waktu-Nya, takkan bisa terjadi juga. Saya belajar untuk berusaha dan kemudian berserah. Kehendak-Nya yang jadi, semoga saya belajar menerima.

Kehancuran itu membuat saya melepas segala milik dan atribut yang pernah saya miliki. Jabatan Manager di tempat saya bekerja, singer di suatu band rohani dan persekutuan doa, semua itu hanyalah sementara dan hanya diberikan-Nya kepada saya. Tidak ada alasan bagi saya untuk bermegah. Itu semua hanya bagi kemuliaan-Nya.

Kehancuran itu membuat saya belajar melihat kesempatan lain yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya. Tak pernah saya sangka, saya menemukan kegemaran di bidang menulis. Hal yang sama sekali berbeda dengan pekerjaan ‘stockbroker’. Menulis setiap hari, terutama renungan harian bagi sesama dengan inspirasi dari-Nya membuat saya belajar ikhlas dan setia. Ikhlas berarti, jika ini dipandang dari perspektif uang atau gaji, hasilnya nihil. Sudah begitu, terkadang dikritik dan dicaci-maki. Tidak apa:), sudah resiko untuk tetap setia bagi Kristus. Saya belajar rendah hati dan tetap ikhlas. Hanya bagi kemuliaan-Nya. Setia berarti, tidak peduli apa pun kondisinya. Susah, senang, sedang pusing karena anak sakit atau tengah adu argumentasi di keluarga, saya harus tetap menulis. Karena Tuhan sudah begitu setia dalam hidup saya, inilah yang bisa saya kembalikan hanya bagi kemuliaan-Nya.

Kehancuran itu membuka peluang saya mengenal orang-orang baru. Di negeri baru, saya menemukan teman-teman baru. Di Singapura dan di Ho Chi Minh, saya bersyukur untuk ‘circle of friends’ yang diperkenankan Tuhan berada di sekeliling saya, sungguh sebuah anugerah tak terhingga. Juga, lingkaran sahabat penulis yang ditambahkan-Nya kepada saya. Mereka yang kebanyakan hanya saya kenal dari dunia maya, kemudian kopi darat di dunia nyata. Para sastrawan, novelis, cerpenis, sampai pada mereka yang kompor dan hobi menulis. Sungguh, persahabatan dengan Anda-Anda semua terasa manis:) Dan sahabat-sahabat baru yang Tuhan tambahkan kepada saya. Mereka yang selalu setia membaca tulisan saya. Memberikan komentar. Bahkan curhat masalah pribadi mereka pada saya yang mirip dengan tulisan saya. Saya bersyukur, Tuhan berikan kesempatan tulisan saya menyapa teman-teman semua, dan sungguh suatu keindahan pula, ‘feedback’ dari Anda semua.

Kehancuran itu membuat saya mengandalkan Tuhan senantiasa. Saya sadar, saya hanyalah manusia biasa. Bukan dewa, bukan Santa. Saya tidak sekuat yang saya kira. Tetapi, dengan mengandalkan Tuhan sambil terus memberikan yang terbaik, saya terus diingatkan betapa kecilnya manusia. Tanpa diri-Nya, kita bukanlah siapa-siapa. Kemegahan itu hanyalah milik-Nya. Jika diizinkan mampir di hidup saya, saya bersyukur atasnya.

Kehancuran itu mengajarkan saya melihat nilai-nilai lain kehidupan yang sering terlewatkan begitu saja. Sekarang dengan bangga dan bahagia, saya tersenyum dan bilang: “ I’m a happy mom of two beautiful daughters and a spouse of an understanding husband. And I love to write. May all of the role that He entrusted me can glorify His name.” Ya, saya adalah seorang ibu yang bahagia dengan dua putri yang cantik dan istri dari seorang suami yang pengertian. Dan saya suka menulis. Semoga semua peran yang dipercayakan-Nya pada bisa bisa memuliakan nama-Nya.

Seluruh kehidupan saya, biarlah hanya untuk Dia. Semoga semuanya berkenan kepada-Nya. Saya terus belajar untuk rendah hati, tidak cari pamor atau mau ngetop sendiri, berusaha menempatkan diri saya di bawah kaki-Mu, Ya Tuhan. Karena saya bukanlah siapa-siapa tanpa diri-Nya. Semua hanyalah bagi kemuliaan-Nya…

Saya percayakan seluruh hidup dan masa depan saya di tangan-Nya. Sang Pencipta dan Sang Perancang Kehidupan yang sempurna.

HCMC 24 November 2011

-fonnyj.-

*celebrating 5th Year of my blog: Chapters of Life in next December. The best ‘ruin is a gift’ experience from the Lord. Thank God for Your faithfulness:)

Thursday, November 17, 2011

Kepada-Nya Kupercaya


Terombang-ambing gelisah

Terbanglah kuatir dari segala arah

Menyerang bertubi-tubi

Pertahanan diri nyaris bobol lagi


Saat terlilit resah

Kutahu diriku harus berserah

Kepada Sang Pencipta

Tempatku bersandar dan berdoa


Wahai resah dan gelisah

Pergilah

Jangan jebak diriku dalam amarah

Biar kuberi yang terbaik dan berpasrah


Hanya kepada-Nya kupercaya

Segala rancangan terbaik ada di tangan-Nya. (-fon-)

HCMC, 9 November 2011

Tuesday, November 15, 2011

Nuansa Huruf Baru



***Suatu siang di Coffee Bean Kumho@ District 1 HCMC

Lima Madam Korea yang cantiknya bak artis drama

Bergosip dan berceloteh sehabis belanja

Di meja sebelah mereka bercerita

Tak mengerti, kudiam saja

Percik ceria tetap ada

Kunikmati seadanya

Dua orang kantoran sedang duduk di seberang sana

Makan siang sambil meeting sah-sah saja

Sedang yang lainnya

Ada yang order makanan mereka

Ada yang membaca majalah dan asyik dengan dunianya

Ada pula yang sibuk dengan laptopnya

Tak sampai separuh teh di cangkirku

Kucari ilham dan inspirasiku

Yang mungkin teraduk di situ

Bersama sedotan dan es batu

Kupandangi sekitarku. Aha, kutemukan sesuatu!

Kutangkap ide yang datang menghampiriku

Seluruh meja, cangkir dan kursiku

Penuh nuansa huruf-huruf baru.

Sekitarku tambah riuh

Dan ketikan di keyboard-ku pun makin gemuruh.

Ho Chi Minh City, 10 November 2011

-fon-

Saturday, November 12, 2011

Being Mom – Menunggu



Menjadi ibu dari dua orang anak adalah suatu anugerah tersendiri dari Sang Pencipta yang sungguh saya syukuri. Suka- dukanya cukup banyak dan macam-macam, apalagi karena sehari-hari, saya kebanyakan bersama mereka sebagai ‘stay at home mom’. Ini terbilang masih belum seberapa karena mereka masih kecil-kecil. Tetapi, bersama mereka, saya senang dan sadar pula bahwa setiap hari adalah pembelajaran tersendiri. Sisi positif lainnya, saya semakin mengasihi orangtua saya yang sudah bersusah payah membesarkan saya. Dan tak jarang, kejadian-kejadian tersebut jadi pelajaran penting bagi saya, akan hubungan Bapa dengan anak-anak-Nya.

Ketika anak masih berada dalam kandungan…

Hari lepas hari adalah waktu-waktu yang memang harus dilalui dengan sabar. Menunggu saatnya Sang Bayi lahir ke dunia untuk melihat secara jelas parasnya. Lalu, bulan demi bulan terlewati… Sambil terus menunggu fase-fase yang harus dilewati seorang anak. Mulai dari duduk, merangkak, berjalan, bahkan berlari. Mulai dari makan disuapi sampai mandiri dan bisa makan sendiri, dan seterusnya. Saya juga banyak menghabiskan waktu di ruang kursus, menunggui anak pertama kami les beberapa hal yang kami kira bermanfaat bagi dirinya. Dan waktu-waktu yang terlewatkan itu semua membawa pencerahan baru sekaligus peneguhan bagi saya…

Untuk segala sesuatu di dunia ini ada waktunya.

Demikian kata sebuah kitab yaitu Pengkhotbah… Yang harus saya sadari, bahwa menjadi seorang ibu saya memang harus sabar menanti. Sabar, tidak usah memaksakan kehendak atau terlalu terburu-buru. Seandainya saya memaksakan agar anak kami harus jalan pada saat sekian bulan misalnya, ketika dia masih belum bisa, saya lalu menjadi kuatir… Apabila semua kondisi adalah normal, tentunya saya harus sabar, karena tiap anak adalah unik dan saya kira tak satu pun proses yang dialami setiap anak akan sama persis bahkan untuk mereka yang terlahir kembar sekali pun. Sabar dan melewatkan setiap putaran waktu dengan banyak berdoa karena saya sadar, menunggu adalah suatu hal yang pasti. Memang saya harus menunggu, masalahnya, sikap apa yang akan saya ambil ketika menunggu? Apakah marah-marah, ‘ngedumel’ atau ‘complain’? Ataukah saya berusaha sabar, menyerahkan segala kekuatiran dalam doa kepada-Nya untuk kemudian semakin bertumbuh di dalam iman karena saya percaya bahwa segala sesuatu akan indah pada waktu-Nya?

Menunggu di dalam hal apa pun akan selalu jadi bagian hidup kita. Masalahnya terletak pada sikap apa yang kita ambil ketika kita harus menunggu? Semoga kita semakin bijaksana dalam memilih sikap sekaligus juga semakin bertumbuh dalam iman kepada-Nya. Menunggu dengan sikap hati yang terbuka kepada Tuhan, serta menyerahkan segalanya dalam doa sambil terus berusaha memberikan yang terbaik yang kita bisa bagi kemuliaan-Nya, semoga itu yang jadi pilihan kita. Menunggu tidak melulu berarti pasif, pasrah, atau tak melakukan apa pun. Banyak hal sebetulnya yang bisa dilakukan saat menunggu, misalnya: berusaha dengan giat dan terus berdoa. Pilihannya terletak di tangan kita.

Tentunya setiap pribadi harus melalui proses untuk menjadi lebih baik dalam hal menunggu ini. Mungkin dulunya kita marah-marah, kecewa, bahkan lalu membenci Tuhan? Padahal, sering kali menunggu adalah proses pembentukan oleh-Nya agar kita siap saat Dia menggenapi rencana-Nya dalam hidup kita…

Akhirnya, saya kembali percaya, untuk segala hal yang sudah dalam rancangan-Nya ini…All of them will be beautiful in His time. Semoga kita semua bisa semakin sabar dan sadar bahwa menunggu akan jadi indah, jika dan hanya jika kita kita mengisinya dengan hal-hal yang semakin mendekatkan diri kita dengan Tuhan dan bukan sebaliknya.

HCMC, 12 November 2011

-fonnyj.-

Sunday, October 23, 2011

Genggam Tanganku


Genggam Tanganku

Wanita itu sudah bukan anak kecil lagi. Bahkan, dia mungkin salah satu penghuni tertua di Panti Asuhan Anak yang cacat fisik dan kelainan mental ini. Umurnya di atas 20 tahun. Dia terus memandangi kami, ketika kami melangkah masuk pagar depan. Dia terus mengikuti kami dan tak lama dia merangkulku. Seolah begitu erat, tak mau melepaskanku. Aku sendiri bingung campur sedikit cemas, tetapi juga kasihan. Jadi, kubiarkan saja sementara dia terus menatapku.

Tak lama, kami pun diberi semacam gelang rosario, hasil karya mereka. Dia langsung memasangkannya di tanganku. Begitu bahagia mereka menyambut kedatangan kami yang hanya sebentar saja ini.

Memang di sebelah Panti Asuhan ini, ada sekolah untuk anak-anak yang normal. Mungkin-ini hanya dugaanku- mereka sering melihat anak-anak itu dijemput orang tuanya. Sehingga mereka pun memiliki kerinduan untuk dikunjungi dan begitu bahagia menyambut kami yang datang ke sana. Kami diterima dengan sambutan yang luar biasa: rangkulan juga pemberian gelang, tanda mereka memang butuh kasih dan perhatian dari sesama.

Saat dia genggam tanganku, beribu rasa jadi satu. Tak ada kata yang tepat ‘tuk menggambarkan semua itu. Batinku terus menyerukan sesuatu: sudahkah aku memberi perhatian pada sesamaku? Keluargaku, anak-anakku, teman-teman yang singgah dalam hidupku? Dan juga bagi mereka yang butuh perhatian: kesepian, sakit, putus asa, hilang harapan akan kehidupan? Dan bagi mereka yang ‘spesial’ karena mereka berbeda- mereka yang tak lengkap panca indera atau mereka yang mentalnya tidak bertumbuh secara normal, seperti yang kutemui hari ini….Ya, mereka juga butuh kasih dan sayang. Mereka butuh cinta kasih yang selama ini mungkin jauh dari mereka, yang seolah sering menyembunyikan diri hanya karena mereka berbeda. Padahal mereka juga butuh cinta dan bukan salah mereka jika mereka tidak normal seperti manusia pada umumnya. Mereka yang bahkan mungkin ditolak keluarganya, mereka yang mungkin dibuang ayah-ibunya. Mereka yang tak punya pilihan lain selain menerima keadaannya… Tuhan, kasihanilah mereka.

Tak terasa, air mataku menitik saat aku harus pulang. Aku mungkin bukan orang yang luar biasa sempurna dalam hal mengasihi sesama. Masih jauh dari itu. Tetapi, biarlah setiap hariku yang Kauanugerahkan bagiku merupakan hari yang lebih baik dalam membagikan kasih kepada sesama. Terutama mereka yang menderita dan butuh perhatian kita. Dunia ini tengah lapar. Lapar secara fisik di mana banyak yang tidak bisa makan karena perekonomian yang sulit, tetapi juga lapar akan kasih karena tak jarang di keluarga yang kaya-raya dengan uang berlimpah, cinta seolah sudah menguap entah ke mana…Uang tak bisa membeli semuanya. Tanpa uang memang hidup tak mudah, tetapi jika hanya mengandalkan uang saja, bahagia pun seolah sembunyi belaka…

Hari ini, kuberdoa khusus bagi mereka yang merasa kesepian dan terluka. Bagi mereka yang tersisih dan terlupa.

Bagi mereka yang putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya…

Tuhan, kasihanilah…

Masih ada harapan di dalam Dia…

Kupercaya akan itu, Tuhan…

Semoga semakin banyak hati yang mau terbuka terhadap kasih-Mu,

sehingga mampu berbagi kepada mereka yang kekurangan cinta…

Genggam tanganku, Oh Tuhan, dan jangan lepaskan…

Semoga dalam penyertaan-Mu, diriku Kaumampukan

Untuk menggenggam lebih banyak tangan

Dalam kasih dan kedamaian…

HCMC, 23 Oktober 2011

-fon-

*tergerak untuk menuliskan sharing seorang sahabat ketika berkunjung ke sebuah panti asuhan di daerah Dong Nai-Vietnam

Monday, October 17, 2011

Salah


Tidak ada orang yang suka dibilang salah. Tak jarang, banyak orang berusaha mencari-cari alasan untuk pembenaran diri jika dia bersalah. Seolah sah, tetapi salah tetaplah salah.

Tidak ada orang yang suka mengingat-ingat atau diingatkan tentang kesalahan yang telah dia perbuat. Walaupun mungkin dia mengakui dengan rendah hati akan kesalahannya, tetapi bila rasa bersalah itu datang lagi dan merongrongnya, tak jarang ia malah kehilangan sukacita itu sendiri.

Tidak ada orang yang luput dari kesalahan. Sebaik-baiknya seseorang, pastilah pernah melakukan suatu hal yang ‘salah’. Tetapi, kesalahan bukanlah akhir dunia. Banyak kali, kesalahan yang dianggap fatal oleh manusia, malah menjadi sebuah pintu menuju suatu kesempatan baru yang disediakan oleh-Nya.

Amatlah mudah menuding orang lain, “ Tuh, dia yang salah!” Dengan emosi yang membabi-buta, membuat kita sendiri lupa, kalau kita sendiri yang dituding, apa kita akan suka?

Mudah melihat kesalahan orang lain, tetapi sukar melihat kesalahan sendiri? Ingatlah akan peribahasa: Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak . Tidak selalu mudah, tetapi hendaknya kita berusaha melihat sisi baik dari setiap orang yang pastinya juga dimilikinya. Juga tak lupa melakukan introspeksi diri atas kesalahan yang sudah pernah kita perbuat.

Salah adalah manusiawi. Tetapi, bukanlah berarti boleh ‘melegalkan’ kesalahan itu sendiri. Salah, untuk kemudian belajar bangkit dari kesalahan dan mengampuni diri sendiri serta orang lain yang menyakiti, adalah hal yang baik yang memampukan kita berdiri tegar. Hari ini adalah rangkaian sekumpulan tindakan yang sudah kita ambil di masa lalu-yang benar maupun yang salah- dan mencari pembelajaran di dalamnya.

Bila rasa bersalah terlalu menderamu, bawalah itu semua kepada-Nya. Mohonkan ampunan Yang Kuasa bagi dirimu atas kesalahan yang telah kauperbuat. Tiada kesalahan yang terlalu besar atau fatal yang tak bisa diampuni-Nya. Jangan membebani diri terlalu berat atau jadi putus asa. Masih ada hari esok dan kesempatan untuk melakukan yang lebih baik dari hari ini.

Jika orang yang bersalah kepadamu begitu menyakitimu. Bukakan pintu maafmu kepadanya. Mungkin langkah pertama akan sangat sulit karena tak pernah mudah membuka luka lama, tetapi hadirkan kasih-Nya sehingga diri kita merasakan cinta-Nya sepenuh-penuhnya. Untuk kemudian mampu perlahan-lahan mengampuni orang yang begitu melukai hati kita.

Andaikata seseorang itu termasuk orang yang tak pernah mengaku salah. Merasa diri selalu benar. Ada baiknya untuk belajar rendah hati. Tiada orang yang sempurna. Hanya Tuhanlah yang sempurna.

Dan pada akhirnya, biarlah semua kesalahan yang pernah kita perbuat, kita bawa kepada-Nya. Mohon ampun kepada Tuhan, minta maaf kepada sesama yang pernah kita sakiti hatinya, juga mengampuni diri sendiri bila rasa bersalah begitu mendera. Salah bukanlah akhir segalanya. Salah, untuk kemudian berbalik ke jalan yang benar, akan membawa bahagia.

Akhir kata, maafkan saya kalau ada salah-salah kata:)

Salam!

Ho Chi Minh City, 18 Oktober 2011

-fonnyjodikin-

Sunday, October 2, 2011

Mendua



*** sebuah cerpen

Mari bercerita tentang kegetiran yang ada di rasa, di jiwa.

Suamiku baru saja melakukan pengkhianatan. Mengatas-namakan kesepian, dia cari lagi seorang perempuan. Ironisnya, saat aku mulai bekerja kembali -banting tulang untuk bantu keluarga- saat itulah baginya merupakan celah. Apa pun alasannya, sulit bagiku untuk menerima.

Memuakkan. Menyakitkan. Kenyataan itu begitu memilukan.

Mengapa sampai hati kaulakukan?

Tak tahukah kau, kau hujam dadaku berkali-kali dan aku kesakitan?

Akibat dirimu berpaling dari kesetiaan?

Haruskah kusalahkan keadaan?

Atau selama ini kau memang hanya cari-cari alasan?
Haruskah kupilih pisah?
Sementara kulihat buah hati kita yang masih begitu belia.

Baru dua tahun saja umurnya.

Ah, aku tak tega, membuatnya kehilangan figur seorang ayah.

Itu konsekuensinya kalau aku memilih meninggalkanmu.

Akhirnya, kutelan pahitku sendirian.

Tak berani kubicara pada ibuku kalau hanya ciptakan kesedihan baginya.

Duka menaungi hari-hariku.

Senyumku pun bernada pilu. Tak bisa ia kusembunyikan dari wajahku.

Apalagi setelah kutahu, WIL (Wanita Idaman Lain)-nya suamiku lebih segala-galanya dariku. Lebih cantik, lebih putih, lebih tinggi, dan lebih muda. Dan yang lebih membuatku tersedak mendadak: di rahimnya sedang tertanam benih suamiku. Astaga!!!

Inginku teriak.

Tapi aku tak kuasa. Hanya dalam hati, aku teriak sekencang-kencangnya. Tak pernah kubayangkan akan berbagi suami. Kami melewati masa berpacaran yang menyenangkan. Empat tahun bukan waktu yang singkat. Kami memang menikah muda. Usiaku baru 23 kala itu, dan suamiku-Don- berusia 26 tahun. Dan kami saling cinta, jadi masih mau tunggu apa? Hatiku begitu berbunga-bunga ketika dia melamarku. Kuanggukkan kepala kuat-kuat tanda setuju. Bahagia langsung memenuhi hidupku.

Tetapi, itu masa lalu.

Kini, yang ada hanyalah kelelahan seusai kerja dan kondisi rumah yang tak lagi ramah. Kami saling diam, kalau tidak saling caci. Anak kami kebingungan melihat kami. Dia terpaksa kutitipkan pada ibuku ketika kubekerja. Suamiku memang usaha sendiri, jual-beli barang-barang apa saja yang dibutuhkan sebuah kantor, jadi dia punya banyak waktu sementara aku pergi cari uang buat bantu-bantu keluarga. Dia pun setuju ketika itu, kapan pun aku mau mulai kerja, silakan saja katanya. Tetapi, dia ingkar akan janji setianya. Dia lupakan begitu saja. Di siang hari saat aku bekerja, dia mencari cinta lainnya.

Kata sahabat-sahabat wanitaku- Vina, Jenny, dan Kiky, tampar saja perempuan tak tahu diri itu. Tetapi, entah mengapa, aku tak bisa. Ketika kutemui dia, aku hanya bisa berkata.

“ Sejujurnya, aku kasihan padamu. Kamu begitu muda dan cantik, apa kamu tidak bisa cari suami yang lebih baik dari suamiku ini?” Kukatakan itu dengan tatapan menghujam ke arahnya, dengan nada sesinis-sinisnya. Dan dia hanya bisa menangis, tanpa banyak berkata-kata.

Kejadian ini baru dua minggu yang lalu kuketahui.

Jadi, sulit bagiku berpikir jernih. Untunglah sahabat-sahabat wanitaku, juga kakak perempuanku terus memberikan kekuatan padaku. Kalau tidak, aku sendiri takut pikiranku jadi kacau. Aku juga tak berani terlalu lama sendiri, aku takut ada keinginan untuk bunuh diri yang pernah juga muncul sesekali. Tetapi, selalu dia kutepis, karena aku harus hidup demi puteri kami. Walaupun papanya sudah begitu menyebalkan dan menyakiti hati kami, aku memilih tinggal demi puteri kami. Suamiku kadang pulang, kadang tidak. Saat dia tidak pulang itulah, kutahu pasti, dia sedang berada dengan perempuan itu.

Di saat seperti ini, aku hanya bisa berdoa. Memohon kekuatan dari-Nya. Berharap suatu saat suamiku akan berubah menjadi baik kembali. Seperti sedia kala? Ah, itu hanyalah anganku semata yang rasanya sia-sia. Tetapi, rasanya berdoa tak pernah salah. Hari-hari begitu sulit kujalani. Terpikir ingin berhenti kerja, tetapi tak tega pada bos yang sudah memberikan kepercayaan padaku. Dan kalau aku tidak kerja, apa aku tidak lebih gila memikirkan semuanya itu karena punya lebih banyak waktu???

Kuatkan hatimu, Lanny. Kutepuk pundakku sendiri. Dengan air mata yang mengalir deras di kedua belah pipiku, aku mencoba bangkit dari mimpi buruk ini.

***

Sudah dua belas tahun berlalu dari kejadian itu.

Anak kami, Tifanny, sudah berumur 14 tahun. Dia tumbuh menjadi ABG yang manis, ramah, dan tahu diri. Mungkin karena keadaan kami berbeda dengan keluarga lainnya, dia terbentuk jadi mandiri. Aku masih bekerja, tak kusangka pekerjaan itulah yang menyelamatkan aku dan Tifa. Karena kalau aku tak kerja, mana bisa Tifa sekolah? Suamiku, Don, sudah delapan tahun pergi dari hidup kami. Dia memilih tinggal bersama maduku yang bernama Angela (tidak sesuai betul, ya… Seseorang yang memiliki nama yang berarti malaikat malahan jadi penghancur rumah tanggaku?). Mereka pindah ke luar kota.

Hidupku baik-baik saja.

Ada beberapa pria iseng mencoba mendekat. Siapa tahu, janda ini mau coba-coba? Ah, bagiku, tak ada istilah coba-coba. Untuk hal-hal yang menyangkut hati, aku tak pernah coba-coba. Nanti keterusan dan aku tak bisa lari, jadi kupilih dinding tebal pembatas antara aku dan kaum lelaki. Biarkan aku sendiri dan membesarkan Tifa saja. Itu saja keinginanku.

Hanya kekuatan dari Tuhan yang membuatku tetap kuat berjalan.

Walaupun aku pernah jatuh tapi tangan-Nya menopangku sehingga aku tak sampai tergeletak. Aku tak pernah henti berdoa. Terus mensyukuri hal-hal lainnya, di luar Don yang mendua, dalam hidupku. Tifa yang sehat dan pintar, pekerjaan yang semakin membaik. Kini aku jadi manajer di kantorku.

***

Hari Natal 2010. Pagi yang indah dan damai.

Aku dan Tifa misa bersama di pagi yang cerah. Hati kami begitu damai dan bahagia. Melangkah kami perlahan pulang ke rumah, setelah selesai makan siang bersama di restoran kesukaan kami berdua- makanan Italia. Tifa makan spaghetti carbonara kesukaannya, sementara aku makan lasagna.

Untuk minuman, kami berdua memilih Italian Soda dengan flavour yang berbeda. Aku suka yang lebih manis: strawberry, Tifa suka yang asam-segar: kiwi.

Di depan rumah, Don menunggu kami. Entah apa maunya kali ini. Setelah bertahun-tahun tak ada kabar berita, kini dia datang lagi. Kutenangkan hatiku yang selama ini sudah terlanjur membeku. Tetapi, kuakui, aku masih menyimpan rasa itu. Don adalah cinta pertamaku.

Tifa masih ingat Papanya. Walaupun begitu kaku, dia masih bisa ucapkan:

Selamat Natal, Pa.

Don mengusap kepalanya dengan lembut seraya mencium keningnya.

“ Selamat Natal, juga, Sayang.”

Don tersenyum dan terlihat ketampanannya yang masih begitu menonjol di usianya yang sudah kepala empat itu. Hatiku berdesir, tetapi kutahan, sehingga suaraku tak jadi gemetar. Kuteguhkan hatiku dan kusalami dia, orang yang sudah begitu menyakitiku:

“ Selamat Natal, Don.”

Dia menarik tanganku dan memelukku. Aku terdiam. Terpaku. Kehabisan kata-kata. Tak kupungkiri, aku memang masih cinta.

“ Lan, aku mohon maaf padamu. Aku sungguh lelaki yang paling jahat di muka bumi ini. Telah melukai orang yang begitu mencintaiku.” Katanya lembut.

Aku menangis. Tak mampu kubendung lagi air mataku. Aku memaafkannya. Walau aku tahu, cinta kami tak pernah lagi akan sama.

Dalam kondisi tersedu, aku bertanya padanya:

“ Kenapa kamu ke sini? Mana Angela dan anak kalian?”

Dia terdiam. Tak lama, bibirnya meluncurkan sebuah jawaban yang tak pernah kusangka-sangka:

“ Angela sudah pergi dari hidupku. Tahun ini baru kutahu, anak itu bukanlah anakku. Dia hanya cari kambing hitam untuk dijadikan perisai bagi dirinya, agar dia tidak lagi malu. Aldi, anak dari pacarnya sebelum aku.”

Aku takjub. Tak lagi mampu berbicara. Kututup kedua mulutku. Aku shock dengan pengakuannya ini.

“ Selama ini aku telah tertipu. Dan aku pun keliru, karena aku mau diriku sendiri terjebak dalam tipuan itu. Bahkan aku sempat menikmatinya. Angela memang cantik, tetapi dia tidak jujur. Bukan hanya itu, dia pun sering selingkuh di belakangku. Dan kini, aku tahu, betapa sakitnya hatimu ketika dulu kulakukan hal itu terhadapmu.”

“ Lan, aku memang manusia berdosa. Dosaku begitu besar padamu dan Tifa. Apa mmmm…. Apa masih ada kesempatan bagi kita untuk memulai kembali lembaran baru?”

Aku diam lagi. Aku tak tahu, apakah ini jawaban atas doa-doaku. Selama ini, aku berdoa untuk dikuatkan dalam menghadapi semua pencobaan di hidupku. Aku juga memohon, kalau suatu saat ada kemungkinan bagi kami untuk bersatu, biar Tuhan buka jalan bagi Don dan diriku. Inikah saat yang tepat bagi-Mu?

Aku tak bisa langsung mengangguk setuju. Walaupun amat ingin kulakukan itu. Aku hanya bilang pada Don:

“ Mungkin masih ada kesempatan, tapi aku masih belum tahu apa aku bisa kembali seperti dulu.”

Don tidak kecewa dengan jawabanku. Setelah pergi delapan tahun dari aku dan Tifa, tentunya tidak semudah itu kubuka lagi pintu hatiku.

Dan kami memilih memulai kembali sebagai sepasang kekasih. Seperti dulu, kala pertama kali kami bertemu. Kami mulai lagi berkencan. Juga pergi dengan Tifa anak kami. Nonton bioskop bersama, olahraga bersama, juga jalan-jalan ke Bandung bersama.

Perlahan, kebekuan pun mencair. Berganti sinar mentari yang menyinari dengan indahnya rumah tangga kami. Kami tak pernah cerai dan Don masih suamiku yang sah. Walaupun dia sudah pernah begitu mengecewakan aku dan sangat menyakiti hatiku, tetapi aku memilih memaafkannya. Menerima dirinya sekali lagi dalam hidupku. Tifa pun terlihat lebih ceria dan bahagia. Dia juga butuh figur seorang Papa. Yang dulu coba kupertahankan walaupun sakit hati, tetapi Don sendiri yang pergi dari kami. Kini Don kembali. Benang cinta yang sempat terputus, kini kami rajut kembali.

Ada keindahan dalam kesabaran. Sabar menanggung yang menyakitkan, sabar menanti rencana-Nya terwujud dalam kehidupan kami. Dan pada akhirnya, kami nikmati kedamaian dalam hidup kami. Hal yang tak pernah henti kudoakan, walaupun seolah sia-sia di waktu lalu. Aku juga sadar, di masa depan, badai mungkin bahkan hampir pasti akan datang lagi, tetapi akan kami hadapi bersama. Aku, Don, dan Tifa. Serta dengan tuntunan tangan Tuhan yang senantiasa setia pada setiap umat-Nya.

Kami serumah lagi. Suamiku yang hilang, mendua, kembali setia. Seperti mimpi saja. Kucubit tanganku sendiri, sakit! Ini realita yang sungguh indah!

Ho Chi Minh City, 8 September 2011

@ copyright Fonny Jodikin

Friday, September 30, 2011

Untuk Segala Hal



Untuk segala hal yang belum kumengerti, tetapi baik bagiku, ya Tuhan…

Kumohonkan kerendahan hati dan keinginan untuk belajar.

Karena aku sadar, aku bukan yang paling tahu.

Tak ada gunanya ‘sotoy’ atau sok tahu…

Karena Engkau yang Maha Tahu…


Untuk segala hal yang pernah menyakitkan hati, melemahkan semangat, dan melukai perasaanku, oh Tuhan…

Kumohonkan hati yang lapang, juga keihklasan untuk mengampuni orang-orang yang telah menyakiti hatiku.

Baik yang disengaja ataupun tidak…

Semua hanya demi kebaikanku.

Karena aku sadar, dengan mengampuni, yang disembuhkan adalah diriku sendiri.

Mungkin sulit bagiku, tetapi dengan rahmat-Mu yang selalu baru, kuyakin kudapati kekuatan untuk lakukan itu…


Untuk segala hal yang mengkhawatirkan,

membawa kecemasan dan ketidakpastian,

terutama yang berhubungan dengan masa depanku…

Aku mau serahkan kepada-Mu, untuk kemudian membangun kembali imanku. Biar Engkau memberikan kekuatan dan harapan baru.

Aku bukan perancang utama hidupku.

Biarlah kehendak-Mu yang jadi dalam hidupku.

Ajarku untuk lakukan yang terbaik dan berharap hanya kepada-Mu


Untuk segala hal yang begitu manis, membahagiakan, dan membawa sukacita…

Biarlah aku menghadiahkan itu semua hanya kepada-Mu

Sebagai perwujudan rasa terima kasihku

Atas seluruh kebaikan-Mu, juga perlindungan-Mu

Sepanjang hidupku…


Untuk segala hal yang terjadi dalam hidupku…

Senangku, susahku, bahagiaku, deritaku…

Untuk setiap tawa riangku, isak tangisku, senyumku, tetesan air mataku…

Untuk segalanya itu, Tuhan…

Aku ingin persembahkan semuanya bagi-Mu…

Karena inilah hidupku yang sudah Kauanugerahkan bagiku

Kuingin menyertakan-Mu dalam setiap putaran waktu

Setiap lembaran halaman buku kehidupanku…

Biarlah hidupku membawa kemuliaan bagi nama-Mu…


Ho Chi Minh City, 1 Oktober 2011

-fonnyjodikin-

*copas, forward, share? Mohon sertakan sumbernya. Trims.

Monday, September 26, 2011

Dalih



Pernah berdalih?

Hmmm, rasanya banyak dari kita pernah melakukannya. Untuk tahu pastinya apa arti dalih, bisa kita lihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) online yang sering jadi teman setia saya jika kesulitan mencari padanan kata atau arti sebuah kata dalam Bahasa Indonesia… Menurut KBBI: da·lih n alasan (yang dicari-cari) untuk membenarkan suatu perbuatan. Contohnya akan saya berikan juga dalam kisah-kisah sebagai berikut…

Kasus Oom Senang

Perkenalkan, dirinya adalah Oom Senang. Oom Senang ini berusia sekitar 50-an tahun. Oom punya istri yang cantik, molek, dengan tubuh langsing berisi. Dan pernikahan dengan istrinya ini sudah berlangsung di atas 10 tahun. Istrinya ini adalah istri kedua, setelah cerai dari istri pertamanya sekitar 20 tahun yang lalu. Dari istri pertama, Oom Senang punya anak berusia 19 tahun. Dan dari istri keduanya, Oom punya seorang anak lagi, berusia baru 3 tahun. Dengan posisi di kantor yang semakin mapan, Oom semakin punya uang dan kekayaan. Oom pun punya sekretaris di kantor. Sekretarisnya ini tidaklah secantik istrinya. Tapi, karena namanya juga Oom Senang, dia akhirnya kepincut juga dengan sekretarisnya itu. Alasannya: sering bersama, tumbuh cinta. Itu yang membuatnya memutuskan untuk cerai dari istrinya. Ironisnya, tak sampai seminggu kemudian, pesta pernikahannya dengan Sang Sekretaris pun berlangsung. Itu terjadi setelah Si Istri dipulangkan ke kota asalnya beserta anaknya.

Kini dia menikmati hidup barunya dengan sekretaris yang langsung naik posisi jadi nyonya. Oom senang terkekeh riang. Ketika ditanya apa alasannya menceraikan istrinya? Jawabnya: “ Istriku memang cantik, tapi kurang pintar. Sekretarisku lebih pintar daripada dia.”

(Oom, Oom… Kalau mau cerai dan nikah lagi, bilang saja memang mau. Tak usah pakai dalih istri kurang pintar segala, Oom… Dalih itu menyakitkan…Kalau istri Oom sudah cantik, kemudian pintar bahkan lebih pintar dari Oom? Mungkin Oom akan berdalih lagi: istri saya terlalu pintar, saya lebih suka Sekretaris saya yang kurang pintar…Halah! Oom, Oom….Kasihan istrinya, Oom!).

Kasus Atet-Bandar Narkoba

Namanya Atet (bukan nama sebenarnya). Atet adalah seorang pemilik bisnis perikanan. Beberapa tambaknya menghasilkan ikan dan udang yang biasanya cukup lumayan untuk menghidupi keluarganya. Setidaknya dapur rumah tangga mereka tetap ‘ngebul’ dengan bisnis ikan dan udangnya itu. Tetapi, akhir-akhir ini, dirinya tengah dirundung kemalangan. Ikan dan udangnya mati semua, tanpa diketahui penyebab pastinya. Dan itu mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Lalu, seorang teman menawarkan kepadanya untuk menjadi pengedar narkoba. Atet pikir, tokh yang penting dapat uang cepat. Dari pengedar, tak lama Atet naik pangkat jadi Bandar. Setahun berlalu, Atet ditangkap polisi karena terbukti dalam mobilnya terdapat narkoba satu kilogram. Atet masuk penjara. Ketika ditanya mengapa sampai memilih jadi pengedar bahkan ‘Bandar Narkoba’? Jawaban Atet: yah, karena bisnis ikanku hancur, jadi aku ganti profesi. Tapi, Tet, bukankah profesi lainnya banyak? Mengapa harus pilih narkoba? Akhirnya larinya ke penjara juga? Bisnis hancur, butuh uang, membuat Atet berdalih dan membenarkan dirinya untuk jadi bandar narkoba. Bolehkah? Salahkah? Mari kita tanya hati nurani kita…

Kasus Oom Senang dan Atet, agaknya cukup akrab di telinga kita. Tanpa sadar, kita pun pernah melakukannya, mungkin dalam skala yang lebih kecil ketimbang mereka. Melakukan apa yang kita inginkan, untuk kemudian mencari dalih yang paling pas untuk membenarkan tindakan kita walaupun mungkin itu adalah tindakan yang salah. Tetapi, biarlah hati nurani yang mudah-mudahan masih murni terus mengingatkan kita, bahwa tindakan itu keliru. Takkan ada damai yang menyertai tindakan keliru yang dipasangi dalih dan didekorasi dengan seindah mungkin. Tindakan yang salah, tetaplah salah. Mungkin ada baiknya kita belajar rendah hati untuk mengakui: ya, saya salah untuk kemudian berusaha memperbaiki diri. Daripada melulu membenarkan diri sendiri, membuat benteng pertahanan yang sangat kokoh, hanya untuk ditertawakan sekitar kita. Bahwa betapa jelaslah sudah, tindakan kita itu hanya mempermalukan diri kita sendiri.

Di bagian akhir tulisan ini, saya hanya ingin menghimbau kita bersama sekaligus mengingatkan diri saya sendiri juga: untuk berusaha ambil tanggung jawab. Tidak cari alasan apalagi dalih untuk membenarkan tindakan saya, apalagi kalau saya jelas-jelas SALAH. Tindakan Oom Senang membodoh-bodohi istrinya dan memberikan predikat pintar pada sekretarisnya hanya memperlihatkan bahwa memang dirinya tak mampu menahan diri, asal embat tanpa peduli, tak punya perasaan, dan membenarkan tindakan poligaminya dengan dalih istri kurang pintar. Walaupun mungkin mereka punya permasalahan lain yang lebih kompleks dalam pernikahan mereka, bila mereka mau berusaha, pasti ada jalan keluar. Bukan dengan mengganti istri dengan sekretarisnya begitu saja. Masih ada langkah-langkah positif yang bisa dilakoni: retret bersama, ke psikolog, ambil cuti untuk honey-moon berdua atau liburan dengan keluarga, konsultasi dengan pemuka agama yang dipercaya, berdoa, dsb.

Tindakan Atet yang membenarkan dirinya bisnis narkoba sebagai ganti bisnis ikannya, juga adalah dalih semata. Saya pikir, mungkin saya lebih respek kalau Atet jadi sopir taksi, pengamen, atau kerja lainnya yang mungkin dipandang orang sebelah mata- namun halal, daripada kaya raya dari narkoba. Kalau hanya mau cari bisnis lainnya, berapa ribu kesempatan yang masih ada? Tanpa harus melakukan yang illegal dan merusak masa depan manusia terutama pemakainya: narkoba.

Pernah salah adalah manusiawi, asal kemudian berusaha belajar untuk lebih baik lagi dan memperbaiki diri. Salah, kemudian menutupinya dengan topeng dalih, hanyalah akan memperkeruh keadaan saja. Semoga kita bisa mengendalikan diri dengan lebih baik. Tidak melulu menyalahkan orang lain, mengambil kesempatan pembenaran diri lewat dalih bila kita memang salah. Karena pada akhirnya-waktu jualah yang akan membuktikan nantinya: orang yang berdalih hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.

HCMC, 26 September 2011

-fonnyjodikin-

* copas, forward, share? Mohon sertakan sumbernya. Trims.

sumber gambar: sidsavara.com