Monday, December 17, 2007

Above 30

Oleh: Fonny Jodikin

Hari ini Dea tengah memegang sebuah undangan pernikahan temannya. Bertuliskan TO : Dea and Partner.
Jujur saja, Dea bingung. Di usianya yang sudah melewati batas psikologis yaitu angka 30, Dea saat ini masih seorangan wae. Jadi, siapakah partner yang akan diajaknya ke pesta itu?

Kadang, Dea dengan gaya berani mati datang sendiri ke pesta itu. Buru-buru pulang karena tidak betah dengan pertanyaan, “ Koq sendirian aja? Mana mas-nya?” atau,
“ Kapan nih giliran kamu?”
Dari cuek,menjawab setengah santai, menjawab dengan bercanda, sampai jutek pernah dijalani semua oleh Dea. Dea sendiri terkadang merasa frustrasi dan putus asa. Bukannya dia tidak berusaha, tetapi kalau untuk urusan jodoh, bukanlah suatu hal yang bisa diprediksi. Dea tidak pernah tahu, kapan sang Prince Charmingnya akan datang. Dea juga tidak pernah tahu dengan cara apa dia dan Mr. Rightnya dipertemukan.
Well, everybody has got their own story about this… Tuhan punya caraNya sendiri untuk menghadirkan si soul-mate tersebut.
Jadi, daripada pusing, Dea memilih tidak datang ke wedding party itu. Lagian, memang bukan teman yang akrab sekali sih sama dia. Yah, mendingan Dea di rumah, nonton TV atau VCD Drama Korea yang lagi seru-serunya dan nitip ang pao saja lewat temannya yang akan pergi ke pesta itu.

Setelah membaca cerita singkat di atas…

Apakah cerita Dea di atas sounds familiar? Atau kamu sendiri tengah mengalami kondisi seperti yang Dea alami?
Memang tidak mudah berada pada kondisi ini. But trust me, you are not alone!

Begitu banyak orang terutama yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, mengalami hal seperti ini, masih single di kala usia sudah menjelang, pas, atau bahkan sudah melewati angka 30. Terlebih lagi, akan menjadi sorotan, kalau kamu adalah seorang wanita. Memang tidak enak, namun apa mau dikata, kalau memang sang Pangeran Berkuda Putih tak kunjung tiba, apa mau memaksakan diri untuk menikah dengan siapa saja? Tidak juga, kan?

Tetapi yang namanya orang, selalu saja bertanya-tanya, “ KAPAN?” Terkadang yang mengajukan pertanyaan juga bukan orang yang ‘happily married’. Bahkan, mereka yang mengalami masalah dalam pernikahannya juga mati-matian menanyakan, “Kapan nih?”
Seolah tujuan hidup seseorang hanyalah menikah saja.
Padahal ada banyak nilai lain yang bisa diperoleh dari hidup dan kehidupan itu sendiri. Menikah hanyalah salah satu pilihan yang ada berkenaan dengan panggilan.
Di saat aku pernah mengikuti sebuah retret, dikatakan dalam Katolik terdapat 3 panggilan: Menikah, Hidup Selibat, dan Membiara.
Jadi jelas, menikah bukanlah satu-satunya tujuan hidup di dunia ini walaupun memang pernikahan adalah yang paling umum yang ada di masyarakat kita.

Ketika harus tetap berada pada roda kejombloan walaupun usia sudah merayap melewati angka 30, banyak orang yang kemudian akan mempertanyakan, “ Apa yang salah (sehingga masih single di usia 30)?” Dan kemudian pertanyaan itu dibarengi dengan jawaban mereka sendiri, “ Tampang gak jelek, karir cukup, ooo… pasti kamu terlalu pemilih!” atau “ Kamu pasti dianggap terlalu pintar sehingga mengintimidasi kaum Adam!”
Dan banyak komentar-komentar lainnya yang terkadang tidak enak didengar dan seolah mempersalahkan si jomblo. Namun, apakah sebetulnya asumsi tersebut benar? Tentu saja tidak semuanya benar! Yang menjalani tokh bukan mereka. Mereka, para komentator bak juri Indonesian Idol atau AFI, hanyalah orang yang mengomentari apa yang mereka lihat, dan bukan merasakah apa yang dialami oleh si jomblo.
Mungkin yang harus dipraktekkan adalah, “ Ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan (read: katakan) ”

So what should I do?
Ketika sang jodoh yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Di saat semua teman terdekat sudah menikah dan punya momongan, sementara pacar pun belum punya.
Tidak ada hal yang lebih baik untuk dilakukan selain:

1. Berdoa kepada Tuhan.
Mohon terangNya agar memampukan kita untuk menjalani hidup ini dengan penuh. Sepenuh-penuhnya hanya di dalam DIA. Karena kita tahu dan kita percaya, hidup kita hanya akan menjadi penuh dan sempurna di dalam pengenalan kita akan Dia, di dalam kedewasaan iman dan di dalam penyelenggaraan Ilahi. Sekaligus mendoakan juga, apa yang Tuhan anggap panggilan hidup yang terbaik yang Tuhan rencanakan untuk kita. Ini menjadi penting karena untuk hidup penuh di dalam Dia, kita hendaknya mengetahui juga apa yang kita rindukan plus apa yang Dia rencanakan. Dia tidak akan memaksakan kehendakNya, namun kita juga hendaknya mencari panggilan macam apa yang kita rindukan. Setelah itu (mungkin ada baiknya jika melalui proses discernment), mendoakannya apabila memang panggilan hidup kita menikah, biar Tuhan bukakan jalan. Biar Tuhan yang membimbing kita untuk masuk ke dalam rencanaNya.

2. Tetap berusaha.
Tuhan memang akan memberikan jalan, namun kita juga hendaknya berusaha. Apabila dirasakan memang panggilan hidup kita adalah menikah, rasanya akan sulit apabila kita mengunci pintu kamar kita rapat-rapat dan tidak pergi ke mana pun-hanya di rumah saja-sambil menantikan sang Pangeran tiba. Mungkin dengan keyakinan yang agak ‘naif’ bahwa Sang Pangeran dari antah berantah akan mampir ke rumahku kalau memang dia adalah jodoh yang Tuhan sediakan bagiku. Well, mungkin saja bisa terjadi, tapi rasanya tetap akan lebih bijaksana kalau kita juga memilih aktivitas yang sesuai di mana kita bisa membuka wawasan, menambah kenalan, dan syukur-syukur mendapatkan apa yang kita cari, si Dia sang pujaan hati.
Ikutilah apa yang kamu suka, kursus bahasa, kursus musik, ikut fitness, atau apa saja yang kamu rasa positif dan berguna.
Walaupun dalam hal ini, bukan berarti berusaha menjadikan kamu bak seorang yang lagi desperado mencari jodoh. Saya pernah melihat beberapa contoh, yang selalu saja melihat setiap cowok atau cewek jomblo sebagai
‘ mangsa’. Wah, rasanya berteman biasa dulu lebih baik, daripada terlalu bernafsu ‘ hunting mangsa’. Karena dengan berteman baik, bisa melihat apakah si Dia memang cocok untukku? Apakah aku merasa nyaman bersama-sama dia. Karena pada akhirnya, ketertarikan fisik, percikan asmara, getar-getar cinta atawa chemistry awal akan berakhir. Namun, kenyamanan di saat bersama-sama dengan si Dia akan terus bertahan. Tidak Ja-Im (read:jaga image) dan bisa jadi diri sendiri di hadapan dia adalah yang terpenting.

3. Tetap bersuka cita
Kalau belum juga menikah, walaupun sudah kepengen luar biasa mungkin, tetaplah bersuka cita dalam hidupmu. Karena kalau menikah sebetulnya menghadapi lebih banyak permasalahan. Memang ada seseorang yang selalu bersama-sama dengan kita, yaitu pasangan kita, namun harus pula diingat bahwa 2 karakter yang berbeda ini membutuhkan adaptasi yang tidak sedikit di kala memutuskan untuk berumah tangga dan mengarungi bahtera itu berdua. Belum lagi problema itu masih bertambah dengan adanya penyesuaian dengan mertua, ipar, dan saudara-saudara dari pihak suami/istri kita. Trust me, hidup jomblo terkadang sangatlah menyenangkan. Walaupun tentunya juga pernah mengalami rasa kesepian yang dalam apalagi ketika mengalami sakit dan harus tinggal sendirian di kos-kosan atau apartemen mungkin… Terbayang betapa indahnya kalau sudah menikah, ada pasangan yang selalu ada untuk kita, dan menjadi a shoulder to cry on.
Setelah menjalani keduanya, single dan sekarang menikah, saya harus katakan, ada bagian dari being single yang juga tetap saya rindukan. Namun, kebahagiaan perkawinan terletak pada saling membagi dan juga adanya anak yang menjadi sumber cinta keluarga, juga tidak didapati dalam hidup single. Jadi, ada plus minusnya di tiap panggilan. Tidak semua melulu menyenangkan. Tentunya ada good times and bad times untuk tiap panggilan.

4. Tetap percaya bahwa Tuhan sediakan yang terbaik untuk kita.
Mohon karunia iman yang ditambahkan. God will never give us the second best, He’ll only give us the BEST. Masalahnya apakah kita setuju dengan Dia bahwa apa yang dianggap Tuhan paling baik untuk kita adalah memang the best for us? Karena banyak kali kita anggap Tuhan tidak memberikan yang terbaik untuk kita, karena tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan…
Walaupun apa yang kita inginkan tidak kesampaian tapi kalau memang Tuhan sudah sediakan, percayalah bahwa itu yang terbaik untuk kita. Sisanya, bagaimana kita menerimanya, sebagai bagian dari pemenuhan rencanaNya dalam hidup kita.

Dan akhir kata…
Sebagai orang yang juga menikah ketika sudah menginjak kepala tiga, saya bersyukur untuk masa ‘single’ yang bisa saya nikmati sepenuhnya dengan hal-hal positif yang berguna yang saya yakini adalah persiapan Tuhan bagi hidup saya sebelum mempertemukan saya dengan suami saya. Dan memang, hidup berumah tangga tidak mudah, apalagi ketika kita sudah menjadi karakter-karakter yang cukup keras dan punya prinsip sendiri setelah mengarungi kehidupan di atas 30 tahun, namun percayalah, ketika si Dia yang dari Tuhan datang, tidak ada yang sanggup menahannya, yang ada hanyalah cinta dan rasa syukur bahwa memang Tuhan sediakan yang terbaik untukku.

Hiduplah dalam kepenuhan, dalam apa pun panggilan yang tengah dijalani saat ini. Karena tiap panggilan punya masa senang dan susahnya sendiri-sendiri. Namun, keyakinan bahwa apabila kita menjalankan apa yang sudah kita impikan sedari dulu, Tuhan juga pasti berikan suka cita tersendiri. Kesulitan tidak berhenti, permasalahan tidak surut, namun suka cita berlimpah ruah bak sungai yang tak kunjung habis airnya.

Live our life to the fullest! Daripada mengomel, mengoceh, dan menjadi frustrasi, bersukacitalah di dalam Dia. Dalam Dia kita percaya bahwa rancangan yang Dia sediakan untuk kita adalah rancangan yang terbaik dan rancangan damai sejahtera.

Di kala harus menikah above 30, siapa takut? Bukan karena sombong, bukan karena keras kepala, bukan karena tidak mau introspeksi diri… Namun, apabila itu semua sudah dilakukan dan kita pun juga mau berubah untu jadi lebih baik, kita menjadi pribadi yang percaya bahwa Tuhan akan berikan segala sesuatu tepat pada waktuNya.
Amen.

Singapore, 17 Dec 2007
-fon-

Monday, December 10, 2007

Mind Over Money

Mind Over Money : Managing Financial Stress
Inspired by Stress Management A Comprehensive Guide to Wellness
(A Book by Edward A.Charlesworth, Ph.D., and Ronald G. Nathan, Ph.D.)


Apa yang diungkapkan di buku yang tengah kubaca ini, amat sangat tepat, karena kita hidup di dunia yang sangat berpacu akan kesuksesan dan uang. Orang selalu ingin tahu, apa yang kamu miliki saat ini, sudahkah kamu memiliki rumah, mobil, apartemen yang lebih bagus? Anak-anakmu sekolah di mana? Kalau weekend apa yang kamu lakukan? Gajimu setahun ini naik berapa persen? Selalu ada angka-angka yang diukurkan dan dimasukkan ke dalam katagori suksesnya seseorang.
Secara sadar ataupun tidak, terkadang kita pun yang sudah mengenal Yesus dan sudah terbilang cukup ‘rohani’ melakukan hal ini, menilai sesama berdasarkan kadar rupiah atau dollar, menilai sesama dari apa yang mereka pakai-apa yang mereka punyai yang secara mata lahiriah bisa kita lihat.

” We are prone to judge success by the index of our salaries or the size of our automobiles rather than by the quality of our service and relationship to humanity.”
(Martin Luther King Jr.)

Benar sekali apa yang dikatakan oleh Martin Luther di atas, bahwa kita terlalu sering menilai sesama bahkan diri kita sendiri dengan angka-angka. Dan secara jujur aku harus katakan, it’s so stressful.

Apakah benar setiap orang kaya akan selalu bahagia? Kenalkah kamu akan seseorang yang kaya raya tapi sangat stress karena selalu diliputi rasa ketakutan akan kehilangan hartanya. Dia mengunci rapat-rapat setiap pintu di rumahnya, tidak percaya kepada pembantunya bahkan tidak percaya pada istrinya sendiri dan akhirnya menelan rasa takut itu sendirian dan menjadikannya orang yang sakit-sakitan. Apakah itu yang dinamakan bahagia?

Loneliness and the feeling of being unwanted is the most terrible poverty.
(Mother Teresa).

Mother Teresa mengungkapkan dengan sangat tepat, bahwa perasaan tidak diinginkan dan kesepian adalah kemiskinan yang terburuk.
Seperti contoh di atas, orang kaya tersebut sakit karena ketakutan dan kesepian. Rich but lonely. Rasanya bukan suatu alternatif yang menyenangkan karena manusia yang pada dasarnya makhluk sosial ini perlu juga kebutuhan sosial dan bersosialisasi. Kalau kaya raya tapi kesepian, apakah itu yang diinginkan? Apakah itu yang merupakan tujuan?

Do not equate money with success. There are many successful money makers who are miserable failures as human beings.
(Lloyd Shearer).

Di zaman yang cukup materialistis saat ini, harus kuakui bahwa uang memberikan banyak kemudahan di dalam hidup. Uang bisa memberikan kualitas hidup yang lebih baik. Uang memberikan pilihan yang lebih kepada pemiliknya untuk menentukan pilihan mana yang dia inginkan. Dia bisa memilih makanan yang lebih bergizi, sekolah yang lebih baik, tempat tinggal yang lebih memadai, dst.
Sementara ketiadaan uang membatasi pilihan-pilihan tersebut, bahkan terpaksa harus menerima walaupun itu kurang dari standar kehidupan yang layak.

Namun, uang bukanlah segalanya! Terbukti, banyak orang yang sukses secara finansial adalah orang-orang yang kesepian, ketakutan sepanjang hidupnya, tidak punya teman, dan mungkin mengalami percekcokan dalam keluarga dikarenakan perebutan harta (read: uang).
Itukah yang diinginkan?

Tuhan cukupkan kebutuhan kita…
Kalau dibilang kurang, selalu ada saja yang kurang, karena kita manusia ini pada dasarnya tidak pernah puas, kita selalu merasa ada sesuatu yang kurang, terlebih apabila kita membandingkan apa yang kita tidak punyai dengan apa yang orang lain miliki.
Tetapi Matematikanya Tuhan tidak sama dengan Matematika kita.
Dia selalu cukupkan kebutuhan kita, namun masalahnya mampukah kita merasa cukup dan bersyukur, apakah selalu saja kurang?
Untuk mengurangi stress dikarenakan masalah keuangan, hendaknya kita bisa melihat bahwa Tuhanlah ahli Matematika yang sejati. Tidak perlu mengukur dan menghitung menurut kemampuan kita, karena kita terbatas, namun Tuhan tanpa batas, burung di udara saja Dia pelihara, apalagi kita…

Hidup di dunia yang semakin menjadi-jadi dalam hal pemborosan, membuat kita seharusnya menjadi sadar bahwa adalah pilihan kita sendiri untuk merasa cukup dan bersyukur atau selalu merasa kurang.
Tas bermerk yang harganya puluhan juta dengan tas seharga seratus ribu rupiah memiliki fungsi yang sama dengan prestige yang berbeda. Adalah pilihan kita pribadi untuk memilih yang mana yang terbaik untuk kita. Kalau kita merasa tidak bahagia karena belum mampu memiliki tas seharga puluhan juta itu, cobalah berpikir bahwa berapa banyak orang yang boro-boro memikirkan tas seharga puluhan juta hari ini karena mereka kelaparan. Mereka bahkan tidak mampu makan 3x sehari.

Mengucap syukur untuk apa yang kita miliki hari ini. Dan sadar bahwa apa pun yang kita miliki itu sifatnya sementara dan hanya titipan Tuhan. Semua itu bisa diambil kapan saja dari hidup kita bahkan tanpa peringatan/pemberitahuan sebelumnya. Bersyukur dan tidak takabur, hendaknya jadi sikap hidup kita.
Percayalah kepada sang Ahli Matematika sejati! Tuhan sendiri!
Kalau ada yang harus kita hitung hari ini, berapa banyak berkat Tuhan yang kita rasakan hadir dalam hidup kita hari ini? Itu saja 

Count your blessings and be thankful to Him!

Singapore, 11 Dec 2007
-fon-

Tuesday, December 4, 2007

Setahun di Singapura

Setahun di Singapura

Saat ini di tahun lalu, aku menapaki hari-hari pertamaku di negeri singa ini. Bukan untuk berlibur, namun untuk tinggal di sini. Awalnya kurasakan semangat untuk berlibur sekaligus menantikan kehadiran sang bayi yang sudah tujuh bulan bermukim di perutku. Namun, masa kehamilan yang tidak mudah, membuatku menghabiskan banyak waktu di rumah. Main internet, blogging, dan tentu saja mulai menulis.
Banyak penyesuaian yang harus terjadi dan ada kebosanan yang kualami. Karena ini bukanlah liburan seminggu atau dua minggu. Yah, awalnya seminggu dan dua minggu, kemudian sudah bertambah menjadi 52 minggu? Lebih! Karena aku pindah ke Singapore tepatnya 26 November 2006.
So, it’s more than a year already…

Changes…
Sebagai seorang mellow yang menyukai keteraturan dalam hidup, perubahan drastis, tentunya bukan hal yang mudah yang harus dihadapi. Namun setahun terakhir ini, harus diakui, perubahan besar-besaran terjadi dalam hidupku.
Mulai dari seorang wanita bekerja dan aktif, menjadi ibu rumah tangga dan memiliki seorang bayi. Pindah negara membutuhkan banyak adaptasi. Mulai dari perbankan, cara belanja, cara bertransportasi, cara hidup tentunya. Awalnya aku menikmati. Namun, beberapa bulan kemudian, setelah bayiku lahir, aku juga mengalami masa-masa adaptasi yang cukup sulit. Beruntung memang, Singapura bukanlah negara yang jauh dari Indonesia, jadi banyak keluarga dan teman yang datang berkunjung. Juga mama ataupun mertua gampang untuk datang dan pergi karena kedekatan lokasi dengan Indonesia itu tadi.
Tapi tidak pernah terbayangkan dalam hidupku, mengurus bayiku sendiri. Aku belum ada pengalaman. Dan masa pasca melahirkan juga butuh waktu untuk pulih kembali. Namun, syukurlah hari-hari itu sudah terlewati. Dengan segala suka-dukanya. Jujur, kehadiran seorang bayi amat mengubah hari-hari kami, jadi penuh warna. Namun, di sisi lain, aku juga jadi tahu, betapa melelahkannya menjadi full time mommy, apalagi ketika aku belum terbiasa. Memang, aku tidak pernah memandang remeh pekerjaan ibu rumah tangga sedari dulu, itu juga karir menurutku. Karena untuk membesarkan anak dengan baik, apalagi di zamannya nanti 15-20 tahun ke depan, bukan pekerjaan mudah! Namun keyakinan bahwa Tuhan beserta kita semua anak-anakNyalah yang memberikanku kekuatan untuk menjalaninya.

Kendala Bahasa…
Beruntung sekali lagi bahwa pindah ke Singapura tidak menyebabkan adanya kendala bahasa yang berarti. Aku membayangkan seperti seorang teman yang pindah ke China, tentunya lebih sulit lagi, di mana huruf-huruf kanji mendominasi dan membuat bingung. Belum lagi kalau pindah ke Eropa, misalnya yang 100% harus bicara dalam bahasa Perancis, Belanda atau Jerman. Tentunya lebih sulit lagi.
Singapura membebaskan aku berbicara bahkan dalam bahasa Melayu. Bahasa Inggris dan Mandarin serta dialek Hokkian umum digunakan di sini. Bahasa Inggrisku tidak jelek, tapi untuk membicarakan semuanya dalam bahasa Inggris, misalnya harus ke dokter atau Audrey harus ke pediatriciannya, terkadang juga membutuhkan persiapan terlebih dahulu. Aku jadi rajin search internet untuk tahu term dalam bahasa Inggrisnya. Dan kadang-kadang aku pengen sekali bicara dalam bahasa Indonesia atau Bahasa Palembang, di mana aku tidak usah mikir, cuma tinggal ngomong saja. At least aku musti mikir donk kalo bicara dalam bahasa Inggris. Bahasa Mandarin juga pas-pasan, cenderung agak jelek malah. Aku lebih pe-de bicara dalam bahasa Inggris. Yah, kalo bingung-bingung dikit, pake bahasa Mandarin aja…
Pernah nih kejadian di IKEA Alexandra, aku menuju ke bagian curtain, ceritanya sih mau beli tirai kamar mandi yang terbuat dari plastik. Aku tanyakan ke karyawati yang bertugas, dan aku bingung juga harus bilang apa. Jadi, lagi-lagi sebagai si mellow, aku menjelaskan panjanggg lebarrr…

Fon: ” Ehm humm… Do you have a curtain that’s made from plastic that you used in the bath room?” (bener sih, tapi yah panjangggg kaleee…).
Si Mbak (or si Encik yah? Hehe…), cuma bilang, “ Oh, you mean shower curtain?”
Iya bener sekali… Kenapa aku gak kepikiran yah pas ngomong tadi? Hehe… Yah begitulah salah satu kisah kendala bahasaku di negeri ini. Gak banyak sih, tapi ada lah beberapa kisahnya…

Dan menurut Singaporean, English-ku ada accentnya (of course donk! It’s not Singlish! Soalnya aku gak suka campur-campur logat. Kalo ngomong Inggris yah Inggris, moso’ dicampur : lah… meh.. lor… ogah ahh…). Kalo ngomong Mandarin juga ada accentnya.. Iya sih, accent Palembangnya or Indo-nya, so tidak sebagus mereka. At least yah bisa ngomong lah…
Untungnya masih bisa komunikasi.

Jutek…
Jangan mengharapkan pelayanan di sini akan sama seperti keramahan Indonesia. Aku berharap dan kecewa! Dengan jutek si penjual majalah bisa menjawabku dengan pandangan sinis. Begitu juga pengemudi taksi. Penjual makanan di food court. Dan di sini, mereka terburu-buru. Time is money. Sopir taxi ngebut gila-gilaan, bawa mobil pas belok gak pernah ganti gigi.
Oh ada juga sih yang baik, tentunya tidak boleh menggeneralisasi. Tapi yah, banyakan yang jutek daripada yang baiknya… Harus sabarrr dan sabarrr… (Padahal nih kalo dipikir-pikir, lha gue bayar koq… kenapa elo juga yang jutekkk…? Emangnya gratisannn… ? Udah bayar, dijutekin lagi… Ampun dahhh!).

Housewife high-tech…
Di sini, ibu-ibu rumah tangga pada canggih-canggih. Karena internet udah widely used. Jadi, kita bisa pesan barang dari hypermarket/supermarket lewat internet. Kalau dulu, nyokapku pesen barang di toko di pasar (di Palembang nih ceritanya…) dan diantar ke rumah, semisal: beras, tepung, atau gula, yang berat kalo dibawa sendiri. Di sini, kulakukan di internet. Kupesan beras, pewangi pakaian, deterjen, susu Audrey, pampers Audrey. Yang berat-berat, kupesan. Tinggal tambah delivery fee 5-8 dollar, sampai deh ke rumah. Karena kalo naik taxi juga lebih dari itu sih biaya bolak-baliknya. Jadi untuk barang-barang yang besar dan berat, kami tinggal pesan, charge credit card dan diantar deh keesokan harinya…
Hidup jadi lebih mudah!

Mall, mall, and mall…
Singapura terkenal dengan mallnya. Bukan cuma kawasan Orchard. Namun, di setiap pelosok MRT station, bus interchange station, cukup banyak mall di sekitarnya. Besar-kecilnya bervariasi tentunya. Yang terbesar saat ini Vivocity di Harbour Front situ. Tapi yang kecil-kecil juga banyak. Kadang bosan juga sih ke mall lagi, ke mall lagi.. Tapi yah, no choice juga, ujung-ujungnya yah ke mall lagi… 
Mungkin yang belum diexplore pergi ke museum. Atau sejujurnya g pengen nonton concert di Esplanade, mungkin someday kalo Audrey dah rada gedean… Asik juga sih banyak artis dunia dan asia yang manggung di sini…. Looking forward deh, someday…

Akhir kata…
Masih banyak yang bisa diceritakan. Namun, kusadari bahwa setelah satu tahun penyesuaian dengan segala perubahan yang drastis ini, aku bisa melihat dengan kaca mata syukur saat ini. Memang sih, masih jadi ibu RT, belum kerja (sempat berpikir dan berusaha keras untuk kembali kerja, namun selalu bimbang kalo kerja full time dilemma waktu untuk anak). Atau kalo nggak… mungkin bener-bener serius menekuni dunia tulis-menulis, karena kegiatan ini memungkinkanku untuk memiliki cukup waktu bareng Audrey. Kalau Tuhan kasih jalan tentunya. Yang pasti mencari kegiatan biar gak bengong melulu. Karena dulu terbiasa aktif, pas nganggur tentunya tidak biasa.

Sebelumnya aku juga sempat merasa bingung dengan semua perubahan ini. Seharusnya apa dan bagaimana aku melangkah. Namun, hari-hari ini, aku tidak ragu dan tidak bimbang, karena Allah besertaku. Aku tidak dibiarkanNya sendirian, karena Dia punya rencana untukku. Rencana yang sudah disiapkanNya, dijalinNya secara rapi untukku. Tinggal tunggu waktuNya… Doakan aku yah… Siapa tau, aku bisa jadi penulis novel professional?Atau menjadi penulis skenario someday? Karena kita tidak tahu, kita tidak pernah tahu secara sempurna apa yang Dia sediakan untuk kita sampai dikuakkanNya tabir rahasia kehidupan kita…

Sekarang, menapaki hari-hariku dengan semangat baru. Yah, kalau Tuhan pindahkan aku ke sini, pasti ada tujuanNya. Kalau Tuhan berikan semua perubahan drastis ini, juga pasti ada maksudNya. Semua bukanlah kebetulan. Dan tidak ada jalan lain bagiku selain menjalaninya dan mensyukurinya. Amen 

Singapore, 5 December 2007
-fon-