Tuesday, November 30, 2010

mahir


mahir


tak perlu sihir ‘ tuk jadi mahir

teruslah berjuang sampai akhir


tak perlu nyinyir jika tak mahir

coba lagi sampai mutakhir


tak perlu iri jika belum mahir

apalagi merasa paling pandir


tak perlu kikir jika kau mahir

indahnya berbagi hendaklah terpikir


Ho Chi Minh City, 1 Desember 2010

-fon-

* ketika mengingat master tea yang jago kungfu sambil tuang teh di table 8, Hotel Mulia.

* copas, forward, atau share? Mohon sertakan sumbernya. Trims!

sumber gambar:

http://karedok-enak.blogspot.com

Monday, November 29, 2010

Announcement




Announcement #1:

(musik pembuka mengiringi: ting ting ting ting… ting ting ting ting…

Dinyanyikan dengan nada dasar C mayor…Hehehe… Untuk mudah membayangkannya, anggap tengah perada di Stasiun Kereta atau Gedung Bioskop saat pengumuman buka pintu Studionya).

Perhatian, perhatian… !

Bagi orang-orang yang merasa dirinya selalu benar, harap memperhatikan pengumuman ini:

Kita hanya manusia biasa yang sering kali berbuat salah. Jadi, sikap keras kepala yang mempertahankan keyakinan seolah AKU paling benar seluruh dunia hendaknya dihapuskan. Keseimbangan antara kebenaran sesungguhnya dengan kemauan untuk mengakui kesalahan serta terus belajar untuk lebih baik lagi selalu dibutuhkan. Tetaplah rendah hati, karena kebenaran yang hakiki hanya ada pada Sang Pencipta. Selama masih berlabel manusia, kita punya kemungkinan besar salah. Jadi, jangan sampai timbul akumulasi sikap tinggi hati dan keangkuhan dalam hidup ini.

Demikianlah pengumuman untuk saat ini. Nantikan kami beberapa saat lagi.

Announcement #2:

(ting ting ting ting… ting ting ting ting…

Nada dasarnya sesuaikan masing-masing, karena suara manusia beda-beda. Ada Tenor, Bariton, juga Bas. Juga Sopran, Mezzo Sopran, dan Alto…:) Boleh dinyanyikan dengan Acapella atau versi paduan suara haha!).

Perhatian, perhatian…!

Bagi mereka yang selalu merasa dirinya salah. Yakinilah pada dasarnya memang manusia tak pernah ada yang sempurna. Tetapi bukan berarti kau harus berkubang pada masa lalu, pada kegagalanmu, pada kelalaianmu, pada kesalahan-kesalahanmu. Bukan! Bukan seperti itu. Perasaan bersalah yang dipelihara secara berlebihan juga takkan menghasilkan sesuatu yang besar. Sementara kau sibuk dengan lingkaran kesalahan itu, orang lain sudah bergerak maju… Hentikan penghakiman diri secara berlebihan, ampuni diri sendiri untuk kemudian bergerak maju untuk memperbaiki diri lagi.

Mintakan pengampunan dari-Nya jika kau tak mampu, niscaya kau akan rasakan kedamaian luar biasa yang meliputimu. Semoga hari ini jadi hari damaimu. Damai selalu sertamu…

Kami akan kembali setelah pesan-pesan berikut ini…J

Ho Chi Minh City, 30 November 2010

-fon-

* copas, forward, share? Harap sertakan sumbernya. Trims.

Sunday, November 28, 2010

Buta


Buta

Pagi-pagi buta…

Tak banyak orang cacat fisik- terutama di matanya- yang berkeliaran di jalanan. Pemandangan hanya seputar mereka yang sehat dan melakukan aktivitas normal. Jika ditemui, paling ada satu-dua orang di antara seribu.

Beberapa dari mereka terkadang mengemis untuk hidup. Beberapa dari mereka seolah tak berdaya. Mereka yang tak dilengkapi indera penglihat itu seolah ‘mati’ atau terlihat lemah. Namun, beberapa dari mereka hidup dengan luar biasa. Terkadang sampai mempermalukan mereka yang punya indera sempurna. Karena perjuangan mereka yang luar biasa. Semangat mereka membara.

Dari Hellen Keller sampai Ramona Purba. Dari Stevie Wonder sampai kontestan American Idol Scott McIntyre…

Jadi bukti bahwa tak punya indera penglihat bukanlah halangan untuk terus tetap hidup bahkan hidup dengan sepenuh-penuhnya…

Tak jarang, orang yang fisiknya normal, fisiknya sempurna…

Malah lupa akan keberadaan nuraninya. Mereka ‘buta’ nurani, ‘buta’ kepedulian terhadap sesama, ‘buta’ terhadap lingkungan mereka sendiri. Terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, tak sempat melihat kiri-kanan. Terlalu mementingkan egoisme pribadi, tanpa pernah memikirkan orang-orang yang tak seberuntung dirinya…

‘Buta’ hatinya…

Menganggap diri sendiri yang benar tanpa mau mengakui kesalahan.

‘Buta’ kasihnya…

Tak hendak berbelas kasih kepada yang membutuhkan pertolongan, ironisnya terkadang pertolongan itu dibutuhkan oleh orang yang terdekat: keluarga, suami/istri, anak, orangtua, kakek-neneknya…

Di hari ini, tiba-tiba Dia menyapa…

“Jangan bekukan hatimu, jangan butakan dia…

Bukalah hatimu lebar-lebar terhadap kehadiran-Ku dan kasih-Ku…

Janganlah kamu ikut dibutakan kehidupan yang semakin egois dan materialistis…”

Ya, Tuhan…

Kuharap Kau bertakhta atasku, atas hatiku…

Dan mampu membuatku peka terhadap kebutuhan sesamaku…

Jangan sampai aku dibutakan oleh angkuhku

Ataupun arus dunia…

Aku ingin melihat dengan sempurna…

Bukan hanya di fisikku, tetapi biarlah aku belajar dalam ketidaksempurnaanku tetap melihat dengan kejernihan mata hatiku…

Ho Chi Minh City, 29 November 2010

-fon-

* copas, forward, share? Harapsertakan sumbernya. Trims.

Sumber gambar:

spring.org.uk

Friday, November 26, 2010

MASTERCHEF


MASTERCHEF

“ Tantangan kalian hari ini adalah membuat masakan dengan bahan dasar telur dan waktu yang dibutuhkan adalah 45 menit. Dan dimulai dari SEKARANG!”

Gordon Ramsay meneriakkan kata-kata ‘NOW’ itu tadi dengan penuh semangat. Aku berusaha menenangkan hatiku, menyalakan komporku. Cepat-cepat kuisi dengan air, karena aku akan merebus telur-telur itu terlebih dahulu. Ada beberapa pilihan hidangan yang ingin kusajikan sebagai kontestan satu-satunya dari Indonesia di acara yang berlangsung di Amerika Serikat tersebut. Tetapi, karena keterbatasan waktu, mau tidak mau aku harus memilih yang bisa kuselesaikan dalam tempo 45 menit saja.

Pertama yang terlintas, mungkin Bung Gordon akan tertarik jika kusajikan kerak telur atau yang biasa disebut kerak telor. Banyak abang yang jualan kerak telor terutama bila ada acara seperti di PRJ. Terkenang masa-masa menikmati kerak telor di pinggir jalan yang berdebu tetapi tak mengurangi kelegitannya. Namun, harus kuurungkan niatku karena untuk ketannya saja harus direndam minimal dua jam. Lebih lama, lebih baik. Maksudku tidak sampai sebulan sih, tetapi beberapa resep yang kudengar dan kubaca serta kupraktikkan menyebutkan harus direndam dua, empat, atau sepuluh jam. Mission impossible dalam waktu 45 menit!

Gordon masih sibuk berbincang dengan ‘wine maker’ Joe Bastianich dan Graham Elliot (four star chef), sesama juri di MASTERCHEF US itu. Memperbincangkan para kontestan, tentunya termasuk diriku. Tiba-tiba Graham berteriak: waktu tinggal tiga puluh lima menit lagi!

Gugup bercampur tegang, aku terus mengulek cabe, bawang merah, tomat, dan gula pasir. Sementara telur rebusku sudah siap. Kusediakan tiga butir untuk ketiga juri. Akhirnya kuputuskan untuk memasak telur balado kesukaanku. Yang resepnya adalah turun-temurun dari nenekku dan ibuku. Ah, masakan ini tak memakan waktu terlalu lama. Paslah untuk 45 menit itu…

Sementara di sekelilingku: Whitney sibuk dengan sandwich telurnya, Sharone dengan steak dan scrambled eggs-nya, serta Mike dengan tim telur ala Jepang semacam chawan mushi-nya. Tak begitu sempat kuperhatikan mereka satu per satu. Hanya karena mereka yang berposisi paling dekat denganku, aku mendengar komentar ketiga juri ketika berbincang dengan mereka.

Joe menghampiriku.

Uh, aku agak seram padanya. Karena kemarin ketika salah satu rekan kami dieliminasi, dia sampai membuang masakan temanku itu ke tempat sampah tanpa sempat mencicipinya. Kesannya dia sangat tegas dan pemarah. Tetapi agaknya dia tertarik melihat warna merah yang mendominasi ulekanku – ulekan yang kubawa khusus dari Indonesia saat aku pindah ke negeri Obama ini.

“ Waktu tinggal 10 menit lagi dan yang kalah dalam tantangan ini, harus pulang dan meletakkan ‘apron’ kalian.” Suara Gordon menggelegar sekali lagi.

Kusiapkan ‘finishing touch’ berupa piring putih bersih, irisan tomat dan cabai segar di sampingnya dan mulai menata ketiga butir telur baladoku. Aku hampir selesai, jadi aku tidak gugup betul karena waktunya benar-benar pas buatku.

“ Tiga, dua, satu, stop bekerja dan angkat tangan kalian semua…” Teriak Gordon lagi.

Kami buru-buru menghentikan kerja kami. Selesai sudah. Apa pun hasilnya, itulah yang terhidang di piring kami. Sisa kontestan masih 12 orang, jadi jalan menuju pencarian pemenang masih cukup panjang.

Satu per satu kami dipanggil untuk dicicipi masakannya sekaligus dikomentari oleh para juri. Ketika namaku disebut, kutenangkan diriku, aku maju membawa piring isi telur baladoku.

Yang mencicipinya dua orang: Gordon dan Joe, dua-duanya yang terkesan galak. Aku agak merinding, tapi ‘the show must go on’, bukan?

Gordon terlihat menahan pedas.

This is very spicy. Pedas sekali. But, in a good way. Kamu sudah betul-betul memasukkan cita rasa yang pas dalam waktu yang sebegitu singkat. Well done!”

Kegugupanku berganti dengan senyuman ringan. Setidaknya aku merasa tidak bakal dieliminasi kali ini. Oopps, tunggu dulu, Joe belum mencicipinya…

“ Pedas, segar, dan saya tidak bisa berhenti untuk terus memakannya.” Hidungku tambah kembang-kempis. Hatiku bangga membuncah tinggi di udara. Pastinya aman, tidak dieliminasi, syukur-syukur bisa menang tantangan ini. Cihui!

Setelah ke-12 kontestan dicicipi satu per satu masakannya oleh para juri, saat eliminasi tiba. Tiga yang terendah akan dipanggil dan diberitahu siapa yang paling tidak disukai juri, dialah yang harus pergi.

Avis, Sheena, dan Jenna : kalian bertiga yang tidak aman. Kuatkan hati kalian, sobat! Ucapku dalam hati.

Setelah mengembalikan Jenna dan Sheena ke tempat mereka semula, Avis harus melepaskan ‘apron’-nya. Dia dieliminasi.

Sekarang penentuan pemenangnya.

“ Kami merasa masakannya sangat spesial, berbeda dengan apa yang sudah kami makan selama ini.” Kata Joe.

Hatiku berbunga-bunga lagi. Pasti maksudnya diriku. Hahaha… Senangnya! Tak percuma resep turun-temurun itu membuatku menjadi pemenang di minggu ini.

Dan pemenangnya adalah: Lee! Congratulations!

Ah, tidakkkk! Aku tak mungkin kalah! Tak mungkin!

Karena terlanjur kecewa sesudah berharap sekian tinggi, kubuka celemekku. ‘Apron’ itu kulemparkan ke meja dewan juri….

“ Uhhh, teganya kaliannnn, “ kubergegas pergi.

Aku mengundurkan diri!

***

Kupandangi jutaan link website di google yang meletakkan resep telur balado. Banyak benerrr… Ini uji coba pertamaku, aku harus sukses!

Yang tadi? Ah, hanya khayalan semata. Lamunan sesaat karena terpana melihat kebolehan para chef amatir Amerika di acara Masterchef. Kuambil satu resep yang paling mudah.

“ Ok, yang ini saja aku coba. First time. Kalau gagal? Ya, gak apa-apa!”

Bye byeJoe, Gordon dan Graham. Terima kasih sudah menemani lamunan siangku sambil browsing resep di Oom Google hahaha….

Ho Chi Minh City, 26 November 2010

-fon-
* akibat nonton beberapa episode MASTERCHEF US :) thanks to Gordon, Joe, and Graham for your presence in my imagination:) Telur Balado is one of my fave dish, bukan uji coba pertama koq, tenang aja hahaha.

sumber gambar:

webtvwire.com

Tuesday, November 23, 2010

Suatu Siang di Pulau Yeonpyeong


Kamu duluan!

Kamu!

Bukan, aku bilang kamu!

Justru aku bertahan dulu, kamu yang nyerang dulu!

Jangan sembarangan, justru sebaliknya yang terjadi!


Pssssstttt, bisakah kalian diam?

Tak perlu saling tuding

Kalau akhirnya korbankan orang tak berdosa


Tak perlu saling caci-maki

Kalau emosi itu nantinya membahayakan

Negara dan stabilitas dunia


Bisakah luruskan pikiran dan buka hati

Agar perang tak perlu terjadi?


Ho Chi Minh City, 24 November 2010

-fon-

sumber gambar:

http://www.guardian.co.uk/world/2010/nov/23/north-south-korea-crisis-conflict

Sunday, November 21, 2010

Gak Enak



* sebuah catatan terima kasih

terima kasih untuk hal-hal yang ‘gak enak’, Tuhan…

karena mereka malah membuatku semakin bersyukur

atas hal kecil dan sederhana yang mungkin terlupa…


terima kasih untuk kejadian yang menyedihkan, Tuhan…

karena oleh mereka aku jadi makin dekat pada-Mu

dan mampu menghargai hal-hal yang membahagiakan…


terima kasih untuk setiap kegagalan, Tuhan…

karena dari mereka aku belajar menghargai kesuksesan

yang Kauizinkan mampir di hidupku…


terima kasih untuk setiap kehilangan, Tuhan…

karena aku semakin sadar bahwa hidup ini sementara

yang abadi hanya diri-Mu


terima kasih untuk setiap kemalangan, Tuhan…

karena dari situlah aku belajar berdiri tegar

tidak selalu mudah namun bisa terjadi dengan bimbingan-Mu.


terima kasih untuk setiap kekuatiran, Tuhan….

karena dengan demikian, aku datang dan membawa mereka pada-Mu

sambil menyerahkan kehidupanku seutuhnya ke dalam tangan-Mu


terima kasih untuk setiap kesukaran dan permasalahan, Tuhan…

karena dengan adanya mereka aku belajar berusaha

mencari solusi kreatif sekaligus berserah pada-Mu…


terima kasih untuk semua yang ‘gak enak’ itu, Tuhan…

karena hidup bukanlah melulu kemapanan ataupun kenyamanan…

namun juga proses pembelajaran…


terima kasih, Tuhan untuk itu semua…

karena kutahu, Kaubertujuan agar aku terus naik kelas

dalam sekolah kehidupan bersama-Mu.


Ho Chi Minh City, 21 November 2010

-fon-

sumber gambar:

detroitfashionpages.com

Wednesday, November 17, 2010

Being Mom: Di Ruang USG



“ Mau tahu jenis kelamin bayi Anda? “ Tanya dokter spesialis USG itu dalam Bahasa Inggris berlogat Vietnam padaku.

“ Ok, sure,” jawabku.

Masih dalam hati yang berkecamuk juga. Semua perasaan jadi satu. Ingin tahu, sekaligus juga resah haha…

Karena anak pertama kami adalah perempuan, wajar bila keinginan untuk punya anak lelaki juga cukup kuat. Tetapi dalam hati, aku terus meyakini bahwa apa pun jenis kelamin bayi tersebut, tidaklah masalah karena yakin Tuhan sudah menyiapkan yang terbaik, sesuai dengan kebutuhan kami.

“ It’s a girl,” ujarnya lagi.

“ Ok, thanks.” Tuturku perlahan.

Dilanjutkan dengan pemeriksaan USG menyeluruh termasuk melihat wajah si bayi dengan teknik USG 4D. Ah, tiba-tiba air mata sedikit menetes di pipiku. Betapa aku ingin memeluknya. Membisikkan di telinganya, kalau tak jadi masalah bagi kami kalaupun dia seorang bayi perempuan lagi karena bagi kami, dia tetap Sang Puteri. Princess in our heart!

Masih takjub dan haru dengan seluruh kelengkapan panca indera yang terlihat di layar TV yang terpampang di hadapanku. Bayi lelaki, pentingkah? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Buat yang mementingkan marga, tentunya bayi lelaki lebih dianggap penting. Namun, di era modern semacam ini, masih haruskah mempermasalahkan ‘gender’? Apakah seorang bayi perempuan tak punya hak untuk hidup dan mengecap hal-hal yang berkualitas sebagaimana layaknya seorang bayi lelaki?

Terlintas di kepalaku: wajah beberapa sahabat yang masih merindukan momongan. Betapa mereka akan bersyukur bila diberikan seorang bayi- apa pun jenis kelaminnya. So, thank God, it’s a girl. Another princess is being added up into our family. Praise the Lord!

Masih dalam kebisuan di hati. Haru menyeruak kembali. I love you, my princess! And how I want to hug you and share this love with you!

Ho Chi Minh City, 18 November 2010

-fon-

Tuesday, November 16, 2010

Behind the Scene: Thank God I Found You – The Series


Serial Thank God I Found You (TGIFY) yang baru saja tamat di episodenya yang ke-22 beberapa waktu yang lalu merupakan serial saya yang ke-sekian:). Ada Dara yang akhirnya menjadi souvenir pernikahan saya, Irena, My Dreams, Being Mom-the Series, dan Diana’s Diary. Setelah vakum cukup lama, TGIFY hadir kembali mengobati kerinduan saya pribadi untuk mengeksplor tokoh-tokoh rekaan di dalam kisah TGIFY tersebut.

Awalnya juga sangat sederhana. Bermula dari kegemaran mendengar musik dan menyanyi, saya terpaku pada lagu Mariah Carey yang berjudul sama: Thank God I Found You. Kebiasaan saya berlama-lama dalam mendengar satu lagu dan meresapinya, ternyata kali ini membuahkan sebuah cerpen dengan judul sama. Betapa Evita yang biasa dipanggil Vita, menemukan tambatan hatinya setelah sekian lama seorang diri di usianya yang mendekati 40 tahun. Masa pacaran pun telah dilaluinya dengan lima mantannya. Akhirnya, dia pun jadian dengan Jason, pemuda idola yang datang tak disangka-sangka lewat pertemuan mereka saat berebut taksi.

Hanya sampai di situ saja. Saya pikir, TGIFY akan jadi tambahan cerpen saya. Bersama dengan karya-karya cerpen lainnya yang sedang dikumpulkan untuk menjadi kompilasi cerpen dengan seorang sahabat, saya pikir hanya sampai di situ. Sampai seorang sahabat di FB, Suhu agama Buddha yang sering mengomentari tulisan saya bilang bahwa banyak yang belum di-explore. Semisal: hubungan Jason dengan Susi dan Willem yang awalnya menyukai Vita kemudian banting setir jadi tergila-gila pada Susi, dan banyak hal lainnya lagi. Lalu, saya pikir tak ada salahnya pula jika saya mencoba mengembangkannya menjadi serial. Dengan catatan, bila inspirasi mengalir tentunya…

Minggu demi minggu, saya berusaha menyelesaikan TGIFY-setidaknya satu episode saja. Hal ini menjadi lebih sulit, ketika kondisi saya yang lemah di saat awal-awal kehamilan. Banyak sahabat menanyakan soal kelanjutan TGIFY. Jujurnya, walaupun keinginan menyelesaikan serial itu setiap minggunya begitu kuat, namun di kala itu saya tak kuasa menahan mual. Saya pun tak mampu duduk terlalu lama, apalagi berkonsentrasi menyelesaikan satu episode saja yang terdiri dari sekitar 4-5 halaman Word.

Setelah kondisi lebih stabil dan kehamilan lebih besar, saya pun mencoba menulis lagi. Di Vietnam, saya terbiasa melakukannya di sebuah coffee shop semacam Starbucks tetapi ‘made in Vietnam’. Di sanalah saya mencoba konsentrasi alias semedi ringan: plot dan apa yang akan terjadi pada Susi, Vita, Willem dan Jason. Jika ide mengalir lancar, tulisan itu bisa selesai dalam waktu kurang dari dua jam. Minggu demi minggu lagi, TGIFY menghiasi blog saya- Chapters of Life (www.fjodikin.blogspot.com), fan page Chapters of Fonny’s Life di FB, dan milis-milis tempat banyak sobat setia TGIFY berkomentar dan menantikan setiap episodenya.

Ada pula kritik yang saya terima seputar TGIFY dikarenakan mungkin penokohan saya yang kurang kuat. Namun, ketika itu saya bisa menjelaskan bahwa karakter Willem menjadi kurang stabil karena pengaruh kejiwaannya. Tentunya sahabat itu berniat baik, karena dia pun berpengalaman menulis serial yang bahkan lebih panjang dari saya. Saya pikir, kritik yang membangun juga dibutuhkan untuk membuat tulisan saya lebih baik lagi.

Harus saya akui, bahwa pengalaman menuliskan cerber berantai dengan sekitar 17 sahabat penulis lainnya di sebuah milis penulis pemula menjadikan ide saya lebih bervariasi. Semua itu atas bantuan dan kejutan ide yang luar biasa dari mereka. Karena cara mainnya, ketika Fonny selesai beberapa paragraf, harus dipotong dan dilempar ke Etty misalnya. Setelah Etty selesai, pindah ke Bram, Bram ke Mike, dan seterusnya. Seru, karena kami terkadang tak pernah menyangka isi otak teman kami dan inspirasi ‘gila’ yang ada di kepala mereka. Belum lagi, kami harus melanjutkannya dengan versi kami tetapi tidak boleh keluar dari alur cerita. Saya menyukainya dan secara tidak langsung mengadaptasinya buat TGIFY kali ini. Sehingga pemotongan kisah terkesan seru bak sinetron ( thanks juga to film seri yang sudah saya tonton dari kecil hehe…).

Juga bumbu-bumbu di sana-sini, terkadang saya terpengaruh juga dengan apa yang saya tonton. Di tengah-tengah TGIFY ada episode di hotel di Hongkong di mana Vic ditangkap. Inspirasinya timbul sehabis menonton film Knight and Day (Tom Cruise dan Cameron Diaz). Inspirasi bisa timbul kapan saja dan dari mana saja, tergantung bagaimana kita memetiknya.

Akhir kata, terima kasih buat semua dukungan, komentar, input, maupun kritik yang sudah saya dapatkan selama serial ini. Sampai jumpa di serial berikutnya yang semoga tidak mengecewakan. Di file di otak saya sudah ada satu kisah yang ingin saya tuangkan. Namun, di tengah-tengah penulisan itu, malah saya menuliskan fiksi yang awalnya ingin saya jadikan fiksi mini berjudul: Leaving on a Jet Plane (masih dipengaruhi lagu juga, soundtrack Film Armageddon dan dinyanyikan oleh Chantal Kreviazuk). Sambutan yang saya terima cukup baik, bahkan lebih baik dari yang saya perkirakan sebelumnya. Beberapa sahabat pun menyarankan untuk dibuat serialnya kembali. So, we’ll see

Sekian sekilas tentang di balik layar: TGIFY. Thank you:)

Ho Chi Minh City, 17 November 2010

-fon-

Monday, November 15, 2010

Leaving on a Jet Plane



All my bags are packed, I'm ready to go
I'm standin' here outside your door
I hate to wake you up to say goodbye

But the dawn is breakin', it's early morn
The taxi's waitin', he's blowin' his horn
Already I'm so lonesome I could die

So kiss me and smile for me
Tell me that you'll wait for me
Hold me like you'll never let me go

'Cause I'm leaving on a jet plane
I don't know when I'll be back again
Oh, babe, I hate to go

(Leaving on a Jet Plane – Chantal Kreviazuk).

Part 1:

Enam bulan setelah pernikahan kami…

Jordan mendapatkan tawaran untuk bekerja di sebuah hotel di Dubai selama setahun dengan kontrak ‘single’ tanpa boleh membawa istri. Berat bagiku, tapi aku merelakannya demi masa depan kami. Karena pundi-pundi dollar akan memenuhi tabungan kami. Pastinya untuk memenuhi kebutuhan kami beli itu-ini. Kami butuh, sebab rumah pun masih ‘ngontrak’. Aku menangis, tapi aku tak kuasa menolak, hanya bisa gigit jari. Jordan mengepak barang bawaannya, kubantu sebisaku sambil mengusap air mataku dengan kedua belah tanganku dan melepasnya pergi. Walaupun tidak rela, itu pasti!

Part 2:

Satu tahun kemudian.

Jordan sudah tiba. Menepati janjinya. Membawa banyak oleh-oleh dan yang jelas UANG dalam bentuk Dolar Amerika. Wajahnya ceria dan gembira. Ah, dia bahagia. Aku pun senang melihatnya.

Dia tertidur dengan pulasnya. Sudah setahun aku kangen menantikannya. Wajah ‘innocent’-nya tampak bahagia. Seketika ponselnya berbunyi, segera kuangkat karena tak ingin mengganggu tidurnya.

“ Hello, darling, how are you? I miss you,” desah suara wanita di seberang sana

Terperanjat, langsung kumatikan seketika.

Part 3:

Kuambil koper dan barangku seadanya. Tak sempat kuteliti berlama-lama.

Jordan, kini giliranku untuk angkat kaki dari hidup kita. Untuk selamanya? Entahlah…

Yang pasti, lagu yang sama mengiringi kepergianku seperti ketika kutangisi keberangkatannya…

'Cause I'm leaving on a jet plane
I don't know when I'll be back again
Oh, babe, I hate to go

Part 4:

Setahun di pengasinganku…

Kontak dari Jordan kuterima kembali.

“ Mengapa kaupergi tanpa pesan?” tanyanya via SMS.

Mungkin waktu itu aku terlalu emosi, desisku perlahan. Hanya berucap dalam hati walaupun kutahu emosiku tertahan. Tetapi, aku pun tak menyesali. Kalau dia punya seorang kekasih yang lain lagi, apa harus kupertahankan cinta ini?

Kuputar lagu itu kembali. Lagi dan lagi.
Memenuhi seisi ruangan ini.

Mencoba mengisi…

Ruang kosong bernama hati…

Tiba-tiba, entah kekuatan dari mana memaksaku pergi.

Berkemas lagi.

‘Leaving on a jetplane’ berpadu tangisku.

Aku ingin jumpa kamu..

Jordanku…

Ho Chi Minh City, 11 Nov-final touch 16 Nov 2010

-fon-

* thanks to Chantal and her Leaving on a Jet plane for the inspiration on this story…

sumber gambar:

mononoaware.concretebadger.net

Thursday, November 11, 2010

Lari


Aku mau lari! Itu kata hatiku.

Ke mana? Tanya sisi hatiku yang lain.

Ke mana saja! Yang penting bisa kudapati kedamaian di hati…


Aku tak mau tinggal seterusnya di tempat ini. Karena di sini, takkan kudapatkan apa yang kucari. Semua permasalahan yang melilit ini memuakkan, menyebalkan, dan mengesalkan.

Lari! Tujuanku belum pasti, tapi kebulatan tekadku sudah terpatri…

Aku pindah ke kota lain. Dengan harapan damai itu akan kudapatkan. Ketenangan yang kuimpikan serta selalu kurindukan. Awalnya kurasakan hal itu. Bahkan aku merasa inilah tempat idamanku. Namun, setelah sekian lama: permasalahan yang sama timbul lagi. Dengan orang yang berbeda tentunya, karena aku sudah tak berada di kota yang sama. Sudah berpindah-pindah. Aku bosan, muak, jemu, ingin pindah lagi.

Terus kulakukan. Dari pindah rumah, pindah kantor, pindah kota, bahkan pindah negara. Terus kucari dan kucari…

Mungkin kedamaian itu ada di sini?

Akhirnya kuberlabuh di sebuah kampung sepi. Terpencil. Tanpa banyak orang yang lalu lalang di sini.

Senyap merayap. Sang Kupu kepakkan sayap. Berdiri di bawah langit yang jadi atap.


Kutengadah.

Berharap bisa bungkam amarah. Malah teringat nasihat ayah:

“ Sabar, Nak! Kau takkan pernah bisa lari dari kenyataan. Kau takkan pernah bisa merasakan ketenangan dengan mencarinya di luar sana. Seberapa jauh kau lari, seberapa banyak tempat kausinggahi, takkan pernah kaujumpai damai itu selain dalam diri.”


Aku tertegun. Tepat ketika kunyalakan api unggun.

Terasa damai itu begitu anggun.


Ia datang. Sinarnya bak bintang.

Tak lagi kuharus berang.

Apalagi bimbang…


Damai itu ada di sini.

Hari ini.

Dalam hati ini.


Ho Chi Minh City, 11/11/2010

-fon-

sumber gambar:

etalk.sgu.edu

Wednesday, November 10, 2010

Thank God I Found You Part 22- The End



*** Episode: Terima Kasih, Tuhan!


Previously on Thank God I Found You part 21 (Episode: Saling Setia).

Vita menjalani hari-harinya di Singapura dengan tidak bersemangat. Dia kuatir akan hasil tes yang akan diterimanya dari Dr. Ng di Gleneagles Hospital. Dia harus menghadapi semuanya sendirian. Begitu pikirnya. Namun, pada kenyataannya, setelah Vita memasang sikap cuek atas segala atensi dari Jason berupa telepon maupun SMS, membuat dirinya tak pernah menyangka kalau Jason akan menyusulnya ke Singapura. Vita tengah berbahagia, di tengah semua kegalauan yang terjadi akibat tumor di otaknya. Dan dia bersiap menghadapi apa pun hasilnya, selama dia dan Jason saling setia. Sementara Susi dan Mama Willem telah bertemu di rumah Susi yang terletak di kawasan PIK. Terjadi pertikaian di sana, Susi terkena pecahan kaca dari vas bunga yang pecah akibat lemparan Mama Willem, sekaligus menyadarkannya bahwa Willem sudah pergi dan itu kenyataan yang harus Mamanya terima. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Simak di episode berikut ini…

Episode: Terima Kasih, Tuhan!


Mama Willem sudah pergi dari rumah keluarga Susi di PIK. Kepergiannya tidak dalam kondisi marah-marah, melainkan hati yang lebih tenang. Wajah yang diliputi kedamaian sudah memancar, mencerminkan emosinya yang sudah mereda. Susi pun merasa tenang. Setidaknya ini rumahnya sendiri. Rumah ayahnya. Dan kenyataan bahwa ia hamil tak menghalangi penerimaan yang luar biasa dari pihak keluarganya. Termasuk Tante Reni yang selama ini dengan terpaksa dia panggil Mama.


Ijah yang dibawa serta dari rumah Mama Willem sudah mulai berbenah. Membenahi kamar barunya yang kecil namun tertata rapi. Membenahi keperluan majikan barunya – kali ini dengan kelegaan karena sudah mendapat persetujuan dari Nyonya besarnya sebelumnya. Dia pun sudah minta maaf tadi pada Mama Willem, untuk kemudian memohon izin agar dia bisa bekerja melayani Susi di rumah ini. Mama Willem pun mengangguk setuju, walaupun wajahnya belum menyunggingkan senyuman ketika mengatakan hal itu, namun setidaknya tidak lagi ada penolakan.


Susi mulai memasuki kamarnya lagi. Putih. Bersih. Rapi. Karena seprai baru diganti saat dia ada di ruang tamu tadi bersama Mama Willem. Handuk, taplak meja, serta keset kaki, semua pun serba putih juga baru diganti. Mengingatkan orang yang melihatnya pada hotel berkelas, setidaknya bintang empat atau lima. Susi berbaring, memegang perutnya. Berbisik perlahan: “ Mama sayang kamu, Nak…” Lalu memejamkan matanya. Tertidur segera. Keletihan fisik dan mental cukup menderanya selama ini. Istirahatlah, Sus…


***

Aku sudah tiba di ruangan Dr. Ng, jantungku masih berdegup kencang. Jason berusaha menenangkan aku dengan menggenggam tanganku lebih erat. Aku merasakan aliran hangat penuh cinta dari telapak tangannya. Meski hanya sebentar, aku sempat berucap syukur karena aku bahagia menikah dengannya.


Dr. Ng dengan senyum simpatiknya kembali mempersilakan kami duduk. Wajahnya yang selalu penuh senyuman itu membuatku bingung juga. Bagaimana jika dia harus menyampaikan kabar buruk kepada pasiennya? Apa masih dengan penuh senyuman seperti itu juga? Aku hanya berharap, semoga hasilnya tidak seburuk yang kubayangkan!


Dr. Ng langsung bicara pada pokok permasalahannya. Seolah dia tahu aku begitu tak sabar menunggu hasil hari ini. Juga untuk mempersingkat waktu rasanya, karena kulihat hari ini antrian pasiennya lebih daripada biasanya.

“ The result is better than expected. It seems that what we did last time has worked out quite well. Your tumor is smaller now. The medicine brings a positive result.” Dr Ng tersenyum lebar.


Kukucek mataku hampir tak percaya. Benarkah? Ini bukan mimpi, kan? Tumorku mengecil? Walaupun bukan dalam ukuran pengecilan yang signifikan, tetapi kurasakan kelegaan. Karena ini bukan jenis tumor yang berbahaya, lanjut Dr. Ng lagi. Jadi, untuk seterusnya, aku diharapkan minum obat tersebut enam bulan lagi, sambil melihat hasilnya kemudian. Aku memeluk Jason erat. Tak lama, aku menyalami Dr. Ng, mengucapkan terima kasih. Terima kasih aku menemukan dokter yang baik hati dan simpatik ini, Tuhan. Dan terima kasih untuk tidak membiarkanku sendirian. Malah mengirimkan Jason bersamaku…

Thank God!

***


Dua puluh bulan kemudian…

Susi mendekap Wilsy erat. Dalam gendongannya, Wilsy masih tertidur. Sementara Susi sibuk mempersiapkan gelas-gelas plastik untuk pesta ulang tahun Wilsy. Tak lama, tangan yang lembut itu menyentuh bahunya.

“ Mama gantian gendong dulu. Nanti dia tak nyenyak gara-gara gerakanmu yang sibuk itu,” ujarnya ceria.


Susi menoleh. Mengangguk setuju dan menyerahkan Wilsy pada neneknya. Mama Willem menggendong Wilsy. Annabelle Wilsy. Cucunya dari Willem. Wilsy sendiri adalah gabungan nama Willem dan Susy.


Pesta berlangsung ceria. Meriah. Dan tentu saja tetap mewah… Karena Mama Willem dan Susi hanya ingin memberikan yang terbaik bagi Wilsy tentunya…


Susi tetap tinggal di rumah kedua orang tuanya. Namun, sekitar seminggu dalam sebulan, dia akan tinggal di rumah Mama Willem. Susi saat ini kembali bekerja aktif, membantu di perusahaan orang tua Willem sebagai Marketing Director. Dia pun berubah menjadi seorang wanita yang baik, keibuan, dan amat mengasihi Wilsy. Siapa bilang orang tidak bisa berubah? Ternyata hadirnya Wilsy dalam hidupnya serta seluruh kumpulan kejadian sebelumnya telah mengubahnya. Menjadikannya dewasa, berpaling dari jalan yang keliru, dan memutuskan untuk hidup benar…

***


Aku bergerak perlahan. Berjingkat sedikit agar tidak membangunkan Jason. Aku pengin pipis! Jam di dinding kulihat menunjukkan pukul 03.00 pagi.

Gerakanku tanpa sengaja menarik selimutnya. Dia membuka matanya.

“ Vit, mau ke mana? “

“ Toilet. Mau pipis, “ Ujarku. “ Udah, kamu bobok lagi sana.”

“ Aku temani, ya…” Ujarnya lagi.

“ Aduh, Jasonnn.. Kayak mau ke mana ajaaa, lagian toilet juga di dalam kamar ini…” Aku terkekeh geli.

“ Aku mau menemani istri dan anakku ke toilet.” Katanya lagi sambil mengelus perutku perlahan.


Aku hanya tersenyum sambil membetulkan selimutnya serta menyuruhnya tidur kembali. Memang sejak kehamilan pertamaku ini diketahuinya, dia sungguh protektif terhadapku dan kandunganku- anak kami.


Di toilet, aku tersenyum sendiri. Membayangkan perjalanan hidupku. Kehamilanku di atas usia 40. Dan tumor di kepalaku? Sudah hilang berkat obat ajaib Dr. Ng…

Aku mensyukuri semuanya ini sebagai berkat yang tak ternilai dalam hidupku. Kuelus perutku perlahan. “ I love you, my child.” Kubisikkan perlahan, namun kuyakin dia menyadari cintaku. Cinta papanya, Jason. Dan aku menggumam: thank God I found you, Jason!


Aku kembali ke kamar. Menarik selimut Jason dan membaginya dengan diriku sendiri. Aku tahu, hidup ini adalah sekumpulan badai yang datang dan pergi. Mengharapkan hidup tenang, tanpa riak, adalah hal yang mustahil. Jadi, tak ada yang lebih baik yang bisa kulakukan selain menikmati hari ini, menikmati semua cinta kasih yang kurasakan dari Tuhan… Dari Jason… Menikmati segala bentuk kebaikan, termasuk janin yang ada di kandunganku saat ini, yang akan lahir sekitar empat bulan lagi… Sambil berdoa pula mohon kekuatan…Ketika berita semacam tumor waktu itu datang kembali atau berita-berita yang lebih berat daripada berita itu sekali pun… Kuingin punya kesabaran melewati semuanya dan tak lekas putus asa…Walaupun aku pasti dipenuhi kegelisahan dan ketakutan sebagaimana ketika kuketahui tumor berdiameter 3 cm itu atau ketika aku belum juga menemukan pasangan hidupku sementara usiaku beranjak ke-38 tahun, namun aku rasa aku tak perlu kehilangan harapan. Karena aku punya Dia… Thank God I Found YOU in my life, God! Thanks for bringing joy and happiness in Jason, in our child… Dan memenuhi setiap sudut hatiku dengan keharuan yang menyesakkan dada.


Air mata menetes di pipiku. Ini air mata bahagiaJ

Thank God…Terima kasih, Tuhan!


TAMAT.


Ho Chi Minh City, 11.11.2010

-fon-

* terima kasih untuk setiap atensi dan perhatian pada cerber ini. Aku merasakan tanggapan yang luar biasa dari teman-teman atas cerber sederhana ini. Sampai jumpa di cerber-cerber berikutnya. Maaf bila masih ada kekurangan di sana-sini, anggaplah ini acara ‘welcome back’ setelah sekian tahun vakum menulis cerberJ