Tuesday, January 31, 2012

Hari Ini



Hari ini tidak begitu menyenangkan, Tuhan.

Ada permasalahan kecil di sini dan di sana. Jadi, apa aku masih bisa menampakkan wajah ceria?

Pada orang-orang yang tak mengenalku dengan baik, mungkin bisa… Tetapi, pada mereka yang dekat denganku, pasti terasa. Ada kesedihan tersembunyi di balik kedua mataku. Ada kekalutan yang sengaja kubungkus rapat-rapat, tetapi tetap saja, sahabat baikku atau keluarga terdekatku tahu. Aku tak bisa menyembunyikan semuanya itu untuk selama-lamanya. Aku jadi gelisah. Tetapi, aku tahu Tuhan, dalam segala kejadian yang kualami aku tengah membiasakan diriku untuk terus bercerita akan semuanya itu kepada-Mu. Mungkin perasaan sumpekku, kekuatiranku, rasa sedihku, perihku, piluku… Hanya Engkau yang setia bersama-sama denganku. Bukan hanya sehari, dua hari…Tetapi di sepanjang hidupku….

***

Hari ini sungguh membahagiakan, Tuhan!

Dari terbit matahari sampai terbenamnya, keceriaan saja yang kudapat. Semua lancarrrr. Ah, aku bahagia. Sungguh!

Kuceritakan pula semua sumber bahagiaku hari ini, karena kupercaya bahwa di atas itu semua, Engkaulah sumber sukaku…Bahkan semua kembang pun turut bernyanyi, angin semilir berhembus, cuaca ramah, lalu lintas lancar…

Terima kasih, Tuhan… Berkat-Mu sungguh terasa hari ini. Kebaikan dan kesetiaan-Mu tetap nyata… Perlindungan-Mu sungguh luar biasa… Kuasa-Mu dahsyat tiada tara…. You are amazing, Lord!

***

Hari ini kulalui dengan perasaan campur-aduk, Tuhan…

Paginya begitu menyenangkan, siangnya menyebalkan, malamnya sedang-sedang saja. Flat. Datar. Kututup hari dengan perasaan gamang. Campuran dan pilinan suasana hati yang naik-turun terasa melelahkan. Inginku hanya tidur saja, Tuhan… Tetapi pikiranku nampaknya enggan untuk beristirahat, dia masih sibuk… Begitu juga perasaanku yang datar itu… Kuputar kembali kejadian seharian. Ah, Engkau selalu bersamaku, ‘kan Tuhan? Hari ini yah begitu dehhhh, God… Kalau disimpulkan kesannya biasa. Tanpa ada kejutan ceria atau kebahagiaan yang membuncah. Tetapi, tidak juga diliputi kesedihan yang tiada tara. Biasa dan akan berlalu juga. Ini hariku, Tuhan… Aku tahu, Kau setia menemaniku setiap detik di hidupku…

***

Hari ini…

Apa pun yang kualami, ‘kan kupersembahkan kepada-Mu, Tuhan…

Apa pun perasaanku, pikiranku, biarlah kuceritakan kepada-Mu

Biarlah Engkau bertakhtah atas hidupku…

Sejak Engkau hidup di dalamku dan kuada dalam-Mu,

Hidup ini bukanlah lagi milikku semata…

Tetapi akan kupersembahkan hanya bagi-Mu

Hari akan berganti.

Susah, senang, datar, bosan, semua akan datang dan pergi.

Yang aku tahu pasti…

Engkau adalah setia.

Di sepanjang hidupku sampai selamanya…
Kupersembahkan hariku ini kepada-Mu

Semoga Engkau berkenan, Ya Tuhanku…

Aku ingin selalu memberikan yang terbaik bagi-Mu

Di tengah seluruh kelemahanku, biarlah Engkau yang jadi sumber kuatku

Biarlah itu semua, kupersembahkan untuk-Mu.

Dalam jatuh-bangunnya aku melalui hari-hari hidup yang Kauanugerahkan kepadaku…

Biarlah aku tetap berusaha setia dan ikut jalan-Mu

Yang meski terjal dan berliku…

Tetapi, kutahu aku takkan kecewa…

Ikut Engkau sepanjang hidupku

Sampai ke keabadian bersama-Mu…

Karena kutahu, semua rencana-Mu

Membawa kebaikan bagiku…

HCMC, 27 Januari 2012

-fon-

Thursday, January 19, 2012

Hal Penghakiman




Di suatu pesta.

Sekelompok ibu keren yang tak kukenal memandangiku. Beberapa di antaranya dengan tampilan mereka yang prima dan super-branded. Mahal dan bling-bling di sekujur tubuhnya. Menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mulai dari wajah, pakaian, sandal, sampai tas yang kupakai. Semua tak lepas dari sorot mata mereka. Aku jadi salah tingkah, sedikit tak berkutik. Terlanjur dihakimi. Rasanya tak enak sekali.

Memang bajuku hanya gaun sederhana. Bukan yang mewah, tetapi nyaman kupakai. Tasku, bukan yang mahal sekali seperti milik mereka. Yang harus menghabiskan budget ribuan dollar untuk mendapatkannya. Sandalku pun asal Bandung, bukan milik disainer kelas dunia seperti mereka. Dipandangi sinis sedemikan rupa, tiba-tiba ada rasa muak. Sekaligus mungkin… KALAH.

Ini kompetisi perempuan. Yang mungkin kurang sehat, tetapi sering kali terjadi. Kompetisi. Penghakiman. Atas dasar fisik dan apa yang dikenakan.

Tiba-tiba perasaan muak itu datang lagi. Lebih baik aku beranjak pergi. Makan dan minum saja sampai puas hati. Dengan mereka? Cuek saja, tokh ‘gak kenal’ ini….Huh, hari ini mendadak jadi kurang menyenangkan. Kucoba tepis perasaan itu, tetapi dia masih ada. Ah, kusibukkan diriku sajalah daripada pusing dengan tingkah mereka….

Beberapa hari kemudian.

Di restoran cepat saji ini, kunikmati kentang goreng dan burger. Ditemani ‘iced lemon tea’ aku menikmati siang hari ini. Mumpung aku lagi cuti dari pekerjaanku, kapan lagi? Seorang ibu masuk ke restoran. Tampak lusuh. Seperti pengemis. Dan dia duduk di meja sebelahku. Segera kupindahkan tasku yang tadinya dekat mejanya, ke sisi sebelah jendela sehingga aman. Kuhabiskan makananku terburu-buru. Lalu ambil langkah seribu. Dia sudah membuyarkan hariku!

Malam hari saat ingin memejamkan mata di peraduanku…

Kejadian beberapa hari lalu di pesta melintas di depan mata.

Dan suara yang lembut itu menggema di batinku…

“ Anak-Ku, bagaimana perasaanmu ketika dihakimi? Apakah kau senang? Apakah kau bahagia? Lalu, mengapa pula kaulakukan penghakiman atas orang lain hari ini? Apakah kaunikmati saat menghakimi itu? Puaskah hatimu menganggap dirimu lebih tinggi dari orang lain, lalu boleh menghina dengan pandangan atau pikiranmu yang mungkin saja keliru?”

Aku terdiam.

Sungguh jahat diriku hari ini. Curiga hanya karena tampilan luar seseorang. Sama halnya seperti aku dihakimi mereka yang lebih berkelas dariku. Apa enak?

Dihakimi tak pernah enak. Tetapi, ketika menilai, menghakimi, bahkan bergosip tentang seseorang, betapa menyenangkannya! Bagaimana jika dibalik dan aku yang jadi bahan gosip dan tertawaan itu, apakah aku juga akan senang?

Lakukanlah kepada orang lain, sebagaimana kauingin diperlakukan…(Suara itu bergema lembut di hatiku..)

Ah, Tuhan…

Maafkan diriku…

Semoga aku belajar untuk lebih memandang penuh kasih kepada sesamaku. Bukan dengan tatapan mencela, bukan pula pandangan menghina…

Penghakiman? Mutlak hanya milik-Mu semata…

HCMC, 17 Januari 2011

-fon-

*Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. (book of Matthew)

Tuesday, January 3, 2012

Hidup dengan Orang yang Sulit



Tidak semua orang beruntung mengalami kehidupan yang tenang Ada banyak kali, di dalam keluarga kita sendiri, kita harus berhadapan dengan orang-orang yang sulit. Orang sulit tidak melulu dengan mereka yang luka batin-walaupun harus diakui luka batin memegang peranan yang cukup besar dalam katagori orang sulit ini, banyak juga kasus seperti sakit-penyakit, karakter yang keras, harus dihadapi oleh banyak dari kita.

Tak jarang, kita dibuat bingung. Suatu hal yang biasa, mengapa harus dihadapi dengan reaksi yang sedemikian kerasnya bagi orang-orang tertentu. Tidak ada orang yang seragam, semua orang adalah unik, cara berpikir dan bereaksi pun berbeda tergantung pada banyak hal: pendidikan, cara dia dibesarkan di keluarga, dan banyak hal lainnya. Tentu saja, hidup dengan mereka yang perfeksionis, cerewet, mau menang sendiri, tak pernah mau tahu perasaan orang lain, maunya dimengerti tapi tak pernah mau mengerti, keras-mengganggap diri selalu benar dan orang lain salah, bukanlah hal yang mudah. Tetapi, mau tidak mau, tetap saja terjadi di sekitar kita, bukan? Rasanya jarang kedua pihak orangtua sifatnya sama: kalem. Kalau satu kalem, satunya lagi kemungkinan lebih cerewet. Satu keras, satu lagi lembut. Biasanya variasi yang begini yang membuat perkawinan bertahan lama.

Menjadi bagian dari keluarga berarti mau menerima baik dan buruknya seseorang. Interaksi yang begitu banyak antaranggota keluarga, mau tidak mau menjadikan kita mungkin akan lebih banyak adu argumentasi sekaligus banyak terluka oleh omongan salah satu di antara kita. Inginnya semua lancar dan indah. Tetapi tak jarang, banyak kejadian nyata membuktikan: orangtua dan anak bertengkar, suami-istri saling mendiamkan, antarsaudara rebutan harta, dan sebagainya. Tidak mudah memang menjembatani seluruh permasalahan yang ada dan melihatnya dengan lapang dada. Terkadang, luka lama yang belum sembuh kembali dihantam oleh luka-luka baru yang menambah kepedihan yang mendalam. Untuk itulah, diperlukan kemampuan untuk mengampuni satu-sama lain secara terus-menerus. Kalau perlu setiap hari, kita mendoakan agar kita mampu memaafkan orang-orang yang menyakiti kita, terutama keluarga terdekat kita. Karena mereka paling banyak menyakiti kita sekaligus kita pun bisa jadi orang yang paling banyak menyakiti mereka. Pengampunan tidak bisa terjadi tanpa campur tangan Tuhan. Karena pengampunan yang dimiliki manusia amatlah terbatas. Dengan menyertakan Kasih Tuhan, semoga kita diberi kekuatan baru untuk melangkah di dalam cinta. Dalam seluruh kesakitan, kesesakan, dendam, kebencian, kita mencari-Nya. Menyerahkan semua rasa itu, lalu percaya, Tuhan akan memberikan tetesan kasih dan pengampunan-Nya yang baru. Yang akan memampukan kita mengasihi kembali keluarga yang begitu kita sayangi, yang mungkin juga sekaligus begitu menyakitkan hati.

Di akhir tulisan ini, ingin saya tuangkan pemikiran bagaimana sebaiknya jika kita harus hidup dengan orang yang sulit dalam keluarga?

  1. Untuk hidup dengan orang yang sulit, hendaknya kita melibatkan Tuhan dan menempatkan Dia di atas segala permasalahan yang ada. Hendaknya kita hidup dalam kasih Tuhan. Terus mendoakan diri mereka, juga berdoa mohon kekuatan dan kesabaran untuk menanggung semuanya. Bukan kebetulan jika mereka ditempatkan di sekeliling kita, menjadi keluarga kita. Tuhan pastinya ingin mengajarkan sesuatu di balik itu semua. Setidaknya mengajarkan kesabaran menghadapi Mama yang cerewet, Papa yang mau menang sendiri, Istri yang maunya hanya dimengerti tapi tak pernah mau mengerti, anak yang manja dan kurang mau dengar nasihat orang tua…. Mereka tetaplah keluarga yang sudah diperkenankan Tuhan masuk ke dalam kehidupan kita.

  1. Untuk hidup dengan orang sulit, hendaknya kita berdamai dengan diri sendiri juga. Terkadang, sudah memilih pasangan hidup yang dikira baik, tak tahunya ternyata orang yang sulit. Sesal kemudian membawa tindakan menyalah-nyalahkan diri sendiri. Keadaan tidak damai dalam diri, rasanya sulit juga untuk berdamai dengan sekitar. Perdamaian dan pengampunan dengan diri sendiri juga hendaknya dilakukan senantiasa. Membawa semua rasa bersalah, menuding-nuding diri sendiri, untuk kemudian belajar mengampuni diri. Seringkali rahmat Tuhan sulit turun, karena kita sendiri yang menghalangi. Karena kita masih merasa bersalah dan tidak mau menerima diri. Dia Maha Pengasih dan Penyayang, asal kita mau memperbaiki diri dan bertobat, selalu ada jalan untuk kembali.

  1. Untuk hidup dengan orang sulit, hendaknya kita mau belajar mengerti, bukan melulu maunya dimengerti. Setiap orang maunya dimengerti, jarang mau mengerti. Semoga kita menjadi pribadi yang semakin hari semakin mau memahami, bukan melulu dipahami.

  1. Untuk hidup dengan orang yang sulit, hendaknya kita mau memberikan telinga yang mau mendengarkan. Banyak kali, kedua belah pihak hanya berbicara terus, tanpa pernah mau mendengarkan keinginan pihak lainnya. Semoga dengan demikian, semakin banyak konflik yang terselesaikan. Dan perdamaian, bukan hanya istilah manis, tetapi sungguh dapat dirasakan.

  1. Untuk hidup dengan orang sulit, kita harus meluangkan banyak waktu untuk bersabar dan mengendalikan diri. Tidak terbawa emosi. Apalagi mereka yang tengah sakit dan mengalami permasalahan kejiwaan akibat stres. Ini mungkin saat-saat tersulit dalam kehidupan orang yang kita kasihi. Ada baiknya berusaha menempatkan diri pada posisi mereka dan melihat dalam cinta Tuhan.

  1. Untuk hidup dengan orang sulit, kita perlu meningkatkan kemampuan kita dalam berkomunikasi dan berelasi. Rasanya mudah menghabiskan berjam-jam dengan teman akrab kita, tetapi dengan keluarga yang menyebalkan rasanya ingin lari dan menjauh saja. Semoga kita disadarkan bahwa waktu kita adalah singkat. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi bahkan dalam satu detik ke depan. Tinggallah dalam perdamaian, sehingga tiada sesal saat anggota keluarga kita harus menghadap Yang Kuasa.

Semoga kita sendiri menjadi orang yang lebih baik dalam hal kesabaran, pengampunan dan kasih. Semoga kita bukan menjadi orang yang sulit bagi sekitar kita. Sulit dalam arti penuh dendam, kebencian, dan menyusahkan keluarga saja. Berpegang dan bersandar kepada Tuhan dalam doa. Mohon kekuatan, sambil terus membenahi diri. Kalau bukan dari diri dan keluarga, harus dari siapa? Bagaimana mau bicara soal perdamaian dunia, kalau perdamaian dalam diri dan keluarga saja sulit tercipta?

Tentunya, semua berawal dari sebuah keputusan untuk menerima anggota keluarga yang sulit itu juga. Dan secara berproses-bukan instan- perlahan tetapi pasti menjadi pribadi yang mau melihat, mengerti, dan memahami secara lebih objektif. Bukan karena rasa tidak suka, lalu memutuskan untuk tidak lagi peduli. Mereka adalah bagian hidup kita juga.

Akhirnya, tiada yang mustahil di dalam Tuhan. Tetapi, apakah kita juga mau bekerja sama dengan-Nya? Atau kita menempatkan keangkuhan terlalu tinggi untuk menegur, dendam terlanjur melilit kuat-kuat dan mencegah kita untuk menyapa? Pilihannya ada di tangan kita.

Di awal tahun ini, adalah baik juga bila kita memulainya dengan sebuah resolusi: meningkatkan hubungan yang lebih baik dengan keluarga kita. Bukan dengan sahabat di jejaring sosial, bukan dengan sobat semasa sekolah yang kembali akrab karena chatting dan reunian, tetapi dengan keluarga kita sendiri. Mari, sama-sama kita belajar untuk berdamai dan lebih mengasihi keluarga kita sendiri.

HCMC, 30 November 2011 / edit ulang 3 Januari 2012

-fon-