Saturday, April 22, 2017

LAGI: BERBAHASA INDONESIA DI SOSIAL MEDIA, MENGAPA TIDAK?


You so so beautiful Mbak Artis aim fans you.
Komentar ini saya baca di salah satu Instagram (IG) seorang artis yang saya follow.
Si Artis memang manis, menawan, dan bukan tipe pencari sensasi.
Yang ngefans, wajar-wajar saja bila terpesona…
Saya tidak pernah mempermasalahkan hal itu.
Namun, mata ini mau tidak mau terus tertuju pada kata-kata itu…
Mungkin bercanda, ya…
Saya pun tertawa lepas saja…

Sering saya baca di Instagram, banyak yang berkomentar dan posting dalam Bahasa Inggris.
Jujurnya, saya pun demikian karena memang ada yang follow bukan dari bumi pertiwi, jadi saya kira saya sekalian berlatih Bahasa Inggris, juga menulis status dalam Bahasa tersebut.
Setiap dari kita memang belajar untuk lebih baik…
Tetapi saya kira, gak perlu dipaksakan…
Kalau memang tidak yakin dan tidak fasih, apa salahnya berbahasa Indonesia?
Mungkin komentar di atas bisa ditulis dengan Bahasa Ibu kita:
“Mbak, Mbak cantik banget deh, saya nge-fans sekali.”
Dengan Bahasa pergaulan, tidak harus Bahasa baku tentunya…

Sering pula saya lihat, mungkin dianggap Berbahasa Inggris bisa menaikkan gengsi para penulis dan pemakainya.
Namun sayangnya, justru itu bisa menjadi 'boomerang' malahan, ketika Pembaca yang mengerti malah melihatnya sebagai status yang banyak kelirunya, bahkan menimbulkan salah sangka hanya karena pemilihan kata dan berbahasa Inggris yang keliru.

Bagiku, Bahasa Indonesia tetap nomor satu.
Tulisan-tulisanku hanya memang bisa menampilkan ekspresi dan rasaku dengan sempurna di dalam Bahasa Indonesia. Kalau Bahasa Inggris, sepertinya ada sebagian ‘feel’ atau rasa yang kurang pas.
‘Gak dapet feel-nya’ mungkin begitu Bahasa pergaulannya.

Berbahasa Indonesia di sosial media, mengapa tidak?
Sekaligus membuat Bahasa kita semakin populer, karena Bahasa Indonesia itu keren jika memang diseriusi, dilihat sebagai karya sastra atau tulisan yang indah dan bermutu.

So, buat SI Fans yang komentarnya saya pinjam hari ini…
I’M SO SO SORRY, DEAR…
Bukan maksud hati, tapi bawaan Editor masih mendarah daging, jadi beginilah akhirnya…
Tetap buat Mbak Artis, aim fans you still, Mbak…
Don’t worry be happy. Take care your health. Jangan sampai enter the wind, yaaaaa…
Hahaha…

Selamat akhir pekan!

Singapura, 22 April, 2017
Fonny Jodikin

Thursday, April 20, 2017

BEING MOM: PADA SEBUAH HARI KARTINI




Singapura, 21 April 2017
Hujan deras mengguyur pagi di Singapura hari ini. Bergegas kulangkahkan kaki menuju kantor yang baru saja menjadi bagian hidupku. Aku mulai bekerja lagi mulai Minggu lalu. Sebuah pekerjaan paruh waktu, yang kulakukan saat anak-anakku bersekolah. Hanya beberapa jam saja seharinya dan bila ada masalah semisal anakku sakit atau semisal seperti kemarin, karena sudah mendaftar jauh-jauh hari untuk pergi ‘field trip’ ke River Safari bersama Lala, aku diberi izin oleh Boss sekaligus temanku itu. Hanya memang, tentunya mengurangi pendapatan yang dibawa pulang. Tapi kupikir, jenis pekerjaan semacam ini, dibutuhkan oleh ibu-ibu rumah tangga seperti diriku dan banyak Ibu lainnya di Singapura atau bahkan belahan dunia lainnya. Ketika anak menjadi prioritas utama, karier adalah urutan berikutnya.

Saat diperjalanan, sekolah Odri menelponku. Odri bilang bahwa dia kena demam. Aku yang hampir sampai kantor, lalu menelpon Boss-ku. Putar haluan, menjemput Odri ke sekolah. Odri demam hari ini. Mungkin karena cuaca yang kalau panas luar biasa, kalau hujan disertai badai. Mungkin juga karena dia kelelahan karena aktivitas yang seabrek-abrek yang dia ikuti, di sekolah maupun di luar sekolah. Ya, tubuhnya perlu istirahat. Kujemput dia dan kubawa pulang. Kuberikan Paracetamol untuk anak-anak, sembari dia beristirahat dan tidur.

Jakarta, November 2006

Hari ini adalah hari terakhirku bekerja di kantor ini.  Sebuah kantor yang selama hampir dua tahun menjadi bagian hidupku. Sebuah perusahaan Sekuritas milik pemerintah, di mana posisi terakhirku adalah sebagai ‘Dealer’ atau lebih tepatnya Foreign Institutional Dealer. Aku tengah berbadan dua dan akan segera menuju Singapura, ke negara tetangga tempat suamiku akan ditugaskan. Satu sisi, aku merasa lega karena tidak lagi harus bekerja sebagai broker saham yang memang tingkat stress-nya cukup tinggi. Namun ada rasa juga akan kehilangan: sahabat-sahabat rekan kerja, keluarga yang dekat di hati, sahabat dan komunitas tempatku bertumbuh. Well, saying good bye will never be easy!

Kupandangi lagi komputer yang menjadi bagian hidupku selama ini. Juga sebuah karier yang Tuhan berikan kepadaku selama 10 tahun terakhir selepas kuliah. Ah, aku bersyukur. Kupandangi sekali lagi Bloomber-ku, Reuters-ku, juga sistem komputer yang selalu membantuku di setiap waktu. Juga telepon-telepon dengan sistem canggih untuk menerima telepon dari klien kami di Singapura dan Hong Kong… Itu kemudian akan jadi memori dan selalu jadi bagian hidupku.

Singapura, April 2017

Kenangan akan masa lalu yang cemerlang, kembali hadir di benakku. Aku melihatnya sebagai penyelenggaraan Ilahi. Sesuatu yang kupikir bukanlah dari kekuatanku sendiri. Ketika kuliah, aku sudah merasakan hal ini: ada banyak kali kupikir aku takkan mampu menyelesaikan kuliahku. Banyak kekhawatiran, terutama karena sakitnya Papa dan akhirnya Papa harus berpulang selamanya saat aku kuliah tingkat 2. Syukurlah Tuhan selalu memberikan pekerjaan-pekerjaan paruh waktu yang kulakoni dengan sepenuh hati, karena aku memang butuh. Dan juga kakak tertuaku yang membantu biaya kuliahku, sementara biaya bulanan tidak pernah sepeser pun kuminta darinya. Tuhan cukupkan dan sediakan segala sesuatunya.

Di Hari Kartini ini, kusyukuri itu semua sebagai sebuah kesempatan yang luar biasa. Bisa mengenyam pendidikan dan menjadi seorang Sarjana, meskipun dengan perjuangan yang kuakui tidaklah mudah. Bisa mendapatkan karier yang baik. Jika tanpa Ibu Kartini, rasanya mustahil untuk menikmati semuanya itu.
Namun, harus pula kuakui: aku takkan menentang apa yang namanya kodrat wanita. Meskipun diberi kesempatan menggapai cita-cita dan pendidikan, ketika akhirnya memiliki anak, merekalah yang kemudian menjadi tumpuan harapan. Banyak hal yang dulu merupakan hal yang tidak pernah kulakukan, sekarang menjadi sesuatu yang setiap hari kukerjakan. Dulu aku bilang, “ Aku tidak bisa masak.” Tetapi sebetulnya lebih ke aku tidak mau belajar masak karena sudah sibuk kerja dan memasak bukanlah sesuatu yang menarik perhatianku. Namun sekarang, demi anak-anakku: aku mau belajar masak, setidaknya kegemaran mereka. Aku bisa ‘baking’, untuk ulang tahun mereka. Tidak ada kata “MUSTAHIL” bagi mereka yang mau memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya.
Itu sesuatu yang kurasakan. Sungguh!

Kembali ke hari ini. 21 April 2017. Odri yang sakit, bisa aku temani dan urus di rumah. Aku bersyukur. Pekerjaan, karier, sesuatu yang menambah penghasilan keluarga di Singapura ini tidaklah semudah di Indonesia untuk mendapatkannya. Adanya peraturan, adanya banyak kendala yang tidak memungkinkan, membuat banyak Ibu RT hanya tetap Ibu RT saja. Banyak yang mengecilkan arti seorang Ibu RT, saya pernah membaca status seseorang yang seolah begitu hebat kelihatannya (atau ingin terlihat demikian), seolah merendahkan status wanita yang ‘hanya’ IBU RT saja. Namun, sebagai seseorang yang pernah berkarier, lalu kemudian karena keadaan harus ‘banting setir’ jadi IBU RT, saya sangat sadar: peranan ini sangat tidak mudah untuk dijalani. Butuh sebuah hati yang mau belajar, mau mengasihi, meskipun kelelahan dan kebutuhan-kebutuhannya tidak selalu terpenuhi. Dan saya kira, secanggih-canggihnya seorang wanita, jika dia bisa turun ke dapur, piawai memasak dan membuat kue, dan berpendidikan… Dia bisa menjadi ibu yang selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Dan semoga bisa membimbing anak-anaknya menjadi pribadi-pribadi yang baik, mandiri, dan membawa sukacita bagi orang-orang di sekelilingnya.

Habis gelap terbitlah terang. Begitu kata Ibu Kartini.
Mungkin di masa-masa tergelap yang kita jalani sebagai seorang wanita, perempuan, ibu, nenek, tante, sahabat, dan sebagainya…
Kita pun percaya, akan ada terang yang ‘kan kembali menyapa.
Berusaha dan berjuang sungguh sebagai seorang perempuan, dengan panggilan dan peranan kita masing-masing…
Menjadi diri kita yang terbaik, tanpa perlu membanding-bandingkan…
Dibawa ‘happy’ dan ‘enjoy’, saling menyemangati, karena sesama wanita seharusnya paham: perjuangan untuk jadi wanita yang tetap tahu kodrat mereka bukanlah pekerjaan gampang.
Raihlah bintang di langit, tetapi tetap lihatlah rumput-rumput hijau di sekitar kita…
Tetap membumi, tetap rendah hati, dipenuhi syukur dalam diri…
Semoga kita tetap jadi Kartini-Kartini yang bisa diandalkan. Cerdas, penuh syukur, dan bagi saya: selalu berusaha menebarkan bibit-bibit kebaikan, meskipun berada di tengah-tengah dunia yang penuh amarah ataupun kekacauan.

Selamat Hari Kartini. Terima kasih Ibu Kartini untuk perjuanganmu!
Keep shining, keep glowing, and be your very best self, ladies!
Mari menjadi Pejuang Tangguh, mengisi hidup dengan hal-hal yang baik dan positif!

Singapura, 21 April 2017
Fonny Jodikin

·         A Note On Kartini’s Day.