Saturday, October 3, 2015

Berjuang Sampai Akhir (Bella Yao-Yao Beina)



Berjuang Sampai Akhir (Bella Yao-Yao Beina)

Minggu-minggu ini saya tengah menyaksikan The Voice China Season 4, yang salah satu jurinya adalah penyanyi favorit saya: Jay Chou.
Di Season 4 ini ada satu show dari kontestan The Voice China yang dikhususkan untuk Mid Autumn Festival yang terkenal juga dengan Mooncake Festival pada tanggal 27 September 2015 yang lalu.
Shownya sendiri diselenggarakan di Venetian Macau.
Di salah satu bagian acaranya, ada tribute untuk Bella Yao atau yang juga dikenal dengan nama Mandarin Yao Beina...
Bella Yao dikenal juga sebagai penyanyi Let It Go (Frozen the Movie) versi Mandarin.
Bella Yao meninggal dunia di usia 33 tahun karena kanker payudara yang dideritanya.
Sedikit informasi mengenai Bella Yao saya dapatkan dari Wikipedia:

Yao Beina (26 September 1981 – 16 January 2015), also known as Bella Yao, was a Chinese singer. She was known as the singer of the theme songs of Empresses in the PalacePainted Skin: The Resurrection and Back to 1942. She also sang the pop version ofLet It Go in Mandarin Chinese in the Disney CGI film, Frozen for the Mandarin Chinese dub when the film was released in China. She competed in the The Voice of China television reality show.

Yao was diagnosed with breast cancer in May 2011. Afterwards, she went through mastectomychemotherapy and cosmetic treatments.
In December 2014, Yao had a recurrence of the cancer and her situation was reported to have worsened on 15 January 2015. She died a day later in ShenzhenGuangdong, aged 33.
(Source: Wikipedia)

Di tengah-tengah kondisi sakitnya, Bella Yao masih menyempatkan diri untuk mengejar impiannya.
Bella masih mengikuti audisi The Voice China Season 2 di tahun 2013 (audisi pertama acara ini 12 Juli 2013). Padahal dia sudah 'terkena' kanker di bulan Mei 2011.
Saya tersentak. Salut!
Hormat setinggi-tingginya untuk pribadi-pribadi semacam Bella yang tidak menyerah.
Tetap berjuang sampai akhir, meskipun kondisi kesehatannya tidak prima...

Di antara kita, termasuk saya,  di saat-saat tertentu rasanya begitu mudah menyerah akan keadaan.
Begitu mudah putus asa, lalu tidak mau lagi mengejar impian-impian yang  ingin kita capai...
Mungkin kita pernah merasakan pahitnya kegagalan dan hal itulah yang membuat kita merasa ragu untuk memulai kembali...
Kegagalan itu masih membekas di hati dan rasanya sulit untuk 'move on' dari kepahitan yang kita alami di masa silam.
Hidup ini akan jadi berarti jika kita berjuang sungguh, meskipun tengah terkepung keadaan sulit yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Semangat Bella Yao menjadi contoh yang luar biasa bagi kita semua...
Bagi saya pribadi, jelang akhir tahun 2015 di bulan Oktober ini, membuat saya berpikir kembali akan impian yang pernah saya buat...
Akan hal-hal yang masih ingin saya capai dengan segala talenta yang ada...
Sesuai dengan kehendak Yang Kuasa tentunya...

RIP Bella Yao...
Bagi saya pribadi, kisah Bella Yao a.k.a Yao Beina menjadi semacam pemicu untuk belajar lebih baik lagi....
Untuk tidak gampang menyerah, meskipun keadaan tengah sulit saat ini...
Semoga di waktu yang ada ini, kita pergunakan semaksimal mungkin untuk perjuangan pantang menyerah sampai akhir nanti...
Apapun yang terjadi- berjuang sampai akhir- memberikan yang terbaik.
Giving our very best in every moment!
Yeah, let's do it!

3 Oktober 2015
fon@sg




Monday, September 7, 2015

Payung






Dia tak punya banyak uang melimpah...
Dia bukanlah orang kaya...
Namun, entah mengapa...
Ada kebaikan yang terasa mengalir saat berbicara kepadanya...

Dia berkisah bahwa dia senantiasa menyediakan payung-payung ekstra di mobil antar-jemput anak-anak sekolah miliknya...
Dia sendiri mengendarainya..
Ya, seorang wanita paruh baya yang telah ditinggal suaminya...

Dia bilang, dia senantiasa membagi-bagi payung bagi orang-orang yang ditemuinya di jalan...
Kenal atau tidak, dia bagi saja...
Untuk seorang ibu yang tengah menggendong anaknya di pinggir jalan...
Untuk seorang tua yang tengah kehujanan...
Untuk siapa saja yang tak membawa payung dan butuh di saat itu...
Dia berhenti sejenak dari mobilnya, untuk kemudian mengulurkan payungnya...
Tak harap balas jasa...
Hanya ingin memberi: itu saja...

Hari kembali diguyur hujan deras...
Entah mengapa, kata-katanya hadir kembali memenuhi benakku...
Terngiang satu per satu di telingaku...
Tetap memberikan yang terbaik: meskipun tak ada balasannya...
Tetap membantu yang membutuhkan pertolongan, meskipun keadaan diri saat ini belumlah kaya-raya...

Tidak harus kaya-raya dan punya segalanya untuk memulai membantu sesama...
Sepercik kasih yang dimulai dengan ketulusan dari lubuk hati mengalir manis...
Kebaikan dan hanya kebaikan...
Menyebar dengan hangat dari sanubari yang penuh kasih...
Mengasihi sesama dan membuat suatu perbedaan...

Saya mungkin tak senantiasa membawa payung ekstra...
Namun, tindakannya memberi inspirasi bagi saya...
Untuk tidak selalu main 'gadget' dan lebih peka pada sekitar kita...
Di bus kota, di MRT, di jalan atau di mana saja...
Mungkin ada yang perlu bantuan kita...
Menjadi lebih peduli akan sesama yang membutuhkan...
Menjadikan hidup lebih indah dengan memberi dan berbagi...
Tak harus berupa uang, tak harus berupa barang berharga...
Kasih dan perhatian kitalah yang akan menjadikan dunia ini menjadi sebuah tempat yang lebih indah...
Untuk kita tinggali bersama...

8 September 2015
fon@sg
*inspirational story from my daily life. Pertemuan dengan seseorang yang sangat biasa, namun punya semangat yang berbagi yang sungguh luar biasa.

Monday, August 17, 2015

Man in the Mirror



Cermin itu retak
Tangan ini berdarah.
Bekas tinju ada di sana.
Retak, lalu pecah. Ya, pecah!
Penuh luapan amarah.
Rasa kesal sudah terlalu meraja dan membikin resah.
Rasa frustrasi yang bertambah parah.

Namun, cermin itu juga tak pernah bohong.
Dia menyajikan kejujuran tampilan diri.
Yah, dirinya.
Wajahnya biasa saja memang.
Bukan kualitas bintang film atau pemain sinetron.
Bukan itu yang kemudian jadi masalahnya.
Cermin itu juga menampilkan postur dirinya.
Yang gemuk dan melebihi berat badan orang pada umumnya.
Itulah yang membuatnya minder.
Padahal secara umumnya manusia, cukup banyak yang diraih di usianya yang ke-40  ini.
Pekerjaan yang cukup mapan.
Status di masyarakat yang cukup baik.
Hanya saja, yah hanya saja: dia masih jomblo. Single. Sendirian.

Pacar terakhirnya, Anissa,  seorang gadis muda belia.
Umurnya sekitar 23 tahun, lulusan gres dari universitas ternama di ibukota.
Anissa adalah kecintaannya yang selalu diinginkannya untuk menjadi pendamping hidupnya.
Anissa punya segalanya bagi seorang wanita.
Wajah yang luar biasa cantik, nyaris sempurna, tak kalah dengan artis Korea. 
Bedanya, dia orisinil, tanpa oplas seperti mereka.
Tubuh semampai dengan tinggi 168 cm, menjadikannya pujaan hati banyak pria.

Tommy memandangi foto Anissa yang dibawanya senantiasa.
Sakit rasanya. Pedihhhh di dada.
Ketika yang kaucinta memandangmu sinis dan berkata, 
"Maaf, aku tak lagi cinta. Aku sudah mendapati cinta yang baru. Maaf pula kumendua. Tapi, dia memang lebih segala-galanya."

"Lebih segalanya? Apa maksudmu, Icha?" Tanya Tommy dalam kebingungan yang sangat.

"Jangan lagi panggil aku Icha, kamu harusnya ngaca! Oom tua, jelek, gendut!"
Ujarnya sinis dan beranjak pergi.


Dia  sungguh tak percaya kata-kata itu bisa keluar dari bibir mungil perempuan cantik yang dia puja. Terlebih, dia masih berstatus kekasihnya. 
Hmmm, maksudnya lima menit yang lalu, dia masih kekasihnya.
Sekarang hubungan mereka putus sudah.
Tiada lagi kisah lanjutannya.
Tamat. Dengan ending yang jauh dari film drama Hollywood.
Sad ending. Terkhianati. Tak terpilih.
Icha lebih memilih direktur muda sebuah perusahaan otomotif yang baru berusia 30 tahun.

Tommy tak kuasa memendam tangisannya lagi.
Air mata kecewa bercampur putus asa membanjiri wajahnya.
Dia pikir dengan berpacaran dengan Icha, kepahitan di hidupnya bisa berakhir.
Dia bisa menyelesaikan episode jomblonya, lalu dia bisa memulai hidup baru berumah tangga dengan Icha.
Namun, apa daya...
Kesuksesan dan uangnya yang tak seberapa itu...
Tak mampu juga membuat Icha bertahan setia di sisinya..
Dia merasa gagal.
He's such a failure!
Yang bahkan tak mampu menyelamatkan relasinya dengan pacar yang dikiranya bakal jadi pelabuhan terakhir dirinya.

Tommy terdiam di kamar mandi di apartemennya.
Dia terduduk di lantai di depan 'bath-tub', tanpa baju-hanya bercelana pendek saja.
Di tangannya ada botol bir yang belum habis.
Sementara di sekelilingnya, sekitar enam botol bir kosong berceceran.
Kenyataan yang menyedihkan.
Kisah yang mengecewakan.
Kegagalan yang menghancurkan.
Mungkin botol-botol bir ini bisa jadi peneman dirinya sementara waktu.
Saat tak lagi ada orang yang bisa mendengarkan.
Saat tak lagi ada orang yang peduli pada nasibnya.
Saat dia merasa kesendirianlah yang senantiasa mengakhiri setiap kisah cintanya.
Sakitnya tuh di sini!
Dia meraba dadanya, terdengar lengkingan yang memilukan keluar dari mulutnya.
"Icha, kamu terlalu!
Setelah kutambatkan seluruh harapanku kepadamu!!!"

                                                                                   ***

Ruangan serba putih.
"Di mana aku?" Tommy membatin.
"Apa aku sudah berpulang untuk selamanya?
Apa ini surga?
Aku tak bunuh diri, rasanya...
Lalu, mengapa aku ada di tempat ini?"

Begitu banyak pertanyaan yang ada dan muncul di kepalanya.
Bertubi-tubi. Tak mau pergi.
Satu demi satu menyusul dan berganti...

Seorang perawat datang dan menepuk dirinya perlahan.
"Bapak sudah sadar. Bagus sekali, Pak Tommy. Apa Bapak mau minum segelas air? Saya bisa bantu dengan sedotan."
Tommy masih kebingungan, namun ia merasa kehausan yang amat sangat.
" Boleh, Suster. Saya haus. Bisa tolong tegakkan sandaran tempat tidur ini, sehingga saya bisa duduk sebentar."

"Tentu saja bisa, Pak. Sebentar, ya."
Jawab Suster yang berwajah manis itu dengan senyuman. Lalu, dengan sigap dia membantu Tommy duduk dan menyodorkannya gelas air dengan sedotan.

" Sus, apa yang terjadi dengan saya? Mengapa saya ada di sini? Dan ini Rumah Sakit apa?"
Akhirnya Tommy menanyakan pertanyaan yang mengganjal di hatinya kepada Suster berwajah manis itu.

" Ini bukan Rumah Sakit, Pak.  Hanya klinik kecil yang baru beroperasi dua bulan yang lalu. Letaknya tak jauh dari apartemen Bapak.
Kami punya sedikit kamar untuk rawat inap saat pasien UGD datang seperti Pak Tommy yang pingsan tadi di rumah. Bapak dibawa oleh satpam apartemen ke mari karena Bapak pingsan. Ketahuan karena ada 'maintenance' apartemen yang mau memperbaiki AC rusak di unit Bapak dan unit Bapak tidak terkunci."
Jawabnya lagi masih dengan ramah.

Tommy terdiam.
Oh, ternyata dia belum mati.
Dia masih punya kesempatan kedua untuk memperbaiki diri.
Tapi, tanpa Icha, apa hidup masih ada artinya?
Dipandanginya cermin di depan tempat tidurnya...
Sosok dirinya seolah menertawakan kemalangannya.
"Tommy, Tommy... Betapa bodohnya kamu! Hanya karena seorang Icha kamu hampir menyia-nyiakan hidupmu!"
Masih banyak perempuan lain seperti Perawat berwajah manis itu.
Sekilas Tommy melirik 'name tag' di bawah kerah baju Si Perawat.
Murni.
Murni namanya, semurni senyuman dan ketulusan yang dirasakannya.
Semoga demikian adanya.

                                                                                 ***

Dua tahun kemudian...

Di depan cermin, Tommy tersenyum lebar.
Ada penerimaan dirinya yang luar biasa.
Dia tak harus jadi juara dengan mendapatkan gadis-gadis cantik semacam Icha...
Yang dia butuhkan adalah seorang pendamping setia...
Yang sungguh dia hargai keberadaannya...
Tommy menyesali juga kesombongannya...
Betapa dia hanya memilih gadis-gadis pacarnya dulu seperti Icha dan sebelum-sebelumnya hanya berdasarkan tampang dan tampilan semata...
Tommy sadar, penampilan bukanlah segalanya.
Dia memang berusaha keras untuk mengubah gaya hidupnya...

Dia berolah raga dengan giat, badannya pun tak obesitas seperti dulu lagi...
Turun sekitar 20 kg dari beratnya yang hampir mencapai 100 kg dulu!

"Pa, kopinya sudah siap. Sarapannya juga. Ayo, makan..."
Ucapan lembut dan ketukan di depan kamar mandi terdengar halus.
Suara Murni.
Hal yang terbaik yang dia dapatkan dari putusnya dengan Icha, ternyata berakhir manis.
Bukan hanya dirawat selama di klinik, namun dia berhasil meminang Sang Perawat untuk menjadi perawat abadinya.
Sepanjang hidup, saling setia.
Murni sudah menjadi istrinya dan mereka tengah menikmati masa bulan madu...

Cermin, cermin di dinding..

“Mirror Mirror on the Wall, Who Is the Fairest of Them All?”

Tak perlu lagi perbandingan...
Dia merasa dikasihi dan diterima apa adanya oleh istrinya...
Dia bersyukur untuk kejadian-kejadian hidupnya...
As everything happens for a reason...
Di episode cintanya, dia dapati pelabuhan berharga...
Murni. Seperti kasih murninya kepada Tommy.

And that man in the mirror is smiling joyfully.
With the biggest smile ever, he's ready to face this world with his lovely wife.
Self-acceptance is the most valuable lesson that he has learned.
And he's thanking God for all lessons that He has given to him...
Everything works together for good in His plans!

Di meja makan, sarapan sudah tersedia.
Senyum manis Murni mengisi hari-harinya.
Bahagia itu sungguh sederhana.
Tak perlu mencarinya ke mana-mana...
Ketika kaudapati dia ada di sini. Di dalam hati.

18 Agustus 2015
fon@sg







Sunday, June 14, 2015

Memori Tentangmu...

Entah mengapa malam ini, memori tentangmu menari-nari di kepalaku...
Banyak keceriaan, masa-masa indah yang pernah kita lalui bersama...
Kamu, kamu, dan kamu...
Kalian adalah bagian hidupku yang takkan pernah terpisahkan...
Kalian senantiasa ada di masa-masa terkelamku. 
Juga masa-masa yang paling membahagiakan...
Kalian jadi saksi hancurnya hatiku, tangisanku... 
Sekaligus juga membuncahnya hatiku karena bahagia.

Kalian, ya...kalian...
Siapa saja yang masuk ke hidupku dan menjadi sahabatku...
Tak banyak, memang...
Mereka yang setia bertahan dan senantiasa ada...
Terkadang banyak orang yang mengaku-aku teman malahan datang di saat senang dan melupakan kita di saat kita tengah menghadapi kemalangan...

Sambil terus berusaha menjadi seorang sahabat yang baik dan bisa dipercaya, pada saat-saat tertentu aku pun menyadari: aku pun pernah mengecewakan...
Sebagaimana aku pun pernah dikecewakan karena harapan yang kelewat tinggi pada orang-orang yang kuanggap dekat di hatiku...
Saling mengampuni, yah, karena kalian adalah bagian hidupku...
Bagian yang takkan pernah terpisahkan...
Sekeras apa pun aku berusaha menghilangkan episode yang menyakitkan sekalipun...
Tombol 'delete' takkan menyelesaikan permasalahan...
Hati yang terbuka, hati yang penuh syukur karena kalian pernah ada di dalam babakan di hidupku...
Yah, aku tersenyum kecil ketika menuliskan hal ini...
Mengenang masa-masa kedekatan kita yang membahagiakan...
Kusadari pula naik-turunnya segala hal di kehidupan...
Ya, termasuk di dalam persahabatan...
Kekecewaan yang kurasakan membuatku belajar (lagi), bahwa memang segala sesuatu tak ada yang abadi...
Namun, kubersyukur untuk masa-masa yang kita lalui...
Ketika langkahku dan langkahmu dipertemukan di satu jalan kehidupan...
Tentunya pasti ada maksud dari Yang Kuasa...
Ini semua bukanlah kebetulan adanya...




Entah mengapa malam ini memori tentangmu datang kembali.
Ia mengetuk pintu hatiku sedemikian kuat...
Menjalari setiap syaraf di benakku dan membuatku mengenang kamu.
Kamu, kamu, dan kamu...
Yah, kalian...
Pada akhirnya, pelajaran yang kupetik dari persahabatan ini...
Berusaha mengambil sisi positif dan hikmahnya...
Belajar untuk mengurangi harapan yang terlalu tinggi, karena kita semua manusia...
Don't worry, behappy dalam menjalani persahabatan ini...
Berusaha memaafkan dan mohon pula dimaafkan pula jika terdapat kesalahan...
Aku tak bisa menyenangkan semua pihak, tentu saja...
Namun, aku bersyukur untuk kesempatan mengenal kalian di hidupku...

Sementara memori tentangmu menari-nari di benakku...
Jari-jemariku pun menari-nari di atas keyboard laptopku dan mengetikkan kisah kita.
Syukur kupanjatkan ke hadirat-Nya...
Sukacita menjalari dada...
Yah, semua terjadi hanya karena kehendak-Nya...
Diizinkannya kita jumpa, berkenalan, dan berinteraksi...
Beberapa persahabatan tak lekang oleh waktu...
Bahkan jika dihadapkan pada jarak yang jauh sekalipun...

Di rantau aku mengenangmu.
Kamu, kamu, dan kamu.
Sementara memori tentangmu menari-nari di kepalaku...
Ada kehangatan dan kasih menjalari hatiku.

14.06.2015
fon@sg
* Smiling :) as I remembered some of the strongest friendships ever that I've ever experienced.
I'm thanking God for that:)

Friday, June 12, 2015

Palembang






Palembang

Menyusuri jalan-jalan kenangan...
Dari masa lalu...
Ada rasa haru yang menyeruak dan muncul tiba-tiba...
Menguasai hati dan meraja di dada...
Yes, I'm home...

Inilah tempat kelahiranku...
Lima tahun sudah tak kukunjungi Palembangku...
Kulihat banyak kemajuan yang dicapai kota yang satu ini...
Saat cukup banyak perubahan yang berarti...
Ya, Palembang mulai berbenah diri...

Melewati Jembatan Ampera dan Sungai Musi...
Memandangi sekolah-sekolahku...
SD, SMP, SMA-ku...
Melewati kembali sudut-sudut yang pernah jadi bagian hidupku.,.
Ya, memori tentangmu memang selalu ada dan takkan pergi jauh...

Menemui anggota keluargaku....
Waktu membawa mereka pada proses penuaan...
Kesehatan menurun dan kondisi cukup parah...
Hanya berbekal doa...
Tuhan, dengarlah keluhan hatinya...

Menemui sahabat-sahabat yang masih tinggal di situ...
Berbagi kisah kehidupan, gelak, dan tawa...
Beberapa sahabat sudah bersama-samaku dari SD atau SMP dulu...
Rasa akrab kembali tercipta dalam sekejap saja...
Tak mudah memiliki sahabat karib yang tak lekang oleh waktu...

Bercengkrama dengan keluarga besar...
Menikmati indahnya kebersamaan...
Sesuatu yang hangat menjalar dari dalam...
Kekeluargaan dan keramahan...
Sesuatu yang ingin senantiasa kupertahankan...

Menikmati kuliner yang sangat akrab di lidahku...
Mencari model gandum, tekwan, pempek, martabak HAR, dan es kacang merah...
Belum lagi bakmi dan berbagai jenis lainnya.
Alhasil berat badan bertambah sudah...
Tapi, puas juga mencicipi lagi hidangan bersejarah...

Hari demi hari berlalu.
Waktunya datang jua...
Untuk pulang ke tempat domisiliku...
Kau, selamanya tetap di hatiku...
Terima kasih untuk kehangatanmu!

12.06.2015
fon@sg
* saat mengunjungi lagi kota kelahiranku selama seminggu.

Tuesday, May 19, 2015

Kata Mereka...

Kata mereka, penampilanku 'gak matching'.
Dengan sepatu hijau tosca-ku, celana panjang hitamku, dan baju kotak-kotak pink milikku.
Warna-warna itu perpaduannya 'gak masuk banget'.
Dan, menjadikan penampilanku terlihat aneh di mata mereka.

Kata mereka, aku hanya bisa melihat daftar menu di restoran cepat saji, tanpa mampu membelinya.
Mereka tertawa atas pernyataan itu.
Dan aku? Aku tersenyum getir menyembunyikan apa yang ada di hatiku.

Kata mereka, aku kurang gaul.
Karena aku tak pernah melihat dunia luar.
Kalaupun ada liburan, selalu saja jurusan Bandung-Cirebon.
Sedangkan mereka: keliling Eropa, Amerika, Australia, Jepang, Korea, atau negara-negara canggih lainnya.

Yang mereka tak pernah tahu...
Papaku tengah sakit keras.
Lalu, aku harus banting tulang untuk menghidupi diriku.
Jangankan untuk memikirkan penampilan yang keren, matching, atau cling...
Aku hanya bisa memikirkan makan sehari-hariku dan melanjutkan sekolahku.
Mereka hanya bisa tertawa dan mengejekku.
Tanpa mereka tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada diriku.

Ketika aku tak membeli makanan di restoran cepat saji itu, karena memang aku harus memilih makan mie goreng tektek atau makan di warteg di dekat tempat tinggalku.
Karena memang, aku harus mengkalkulasi seluruh pengeluaranku selama satu bulan dan itu kumulai dari setiap hari yang aku jalani.
Tak ada uang dari orangtua yang cukup bagiku, semua kupenuhi dengan pekerjaan sampingan yang kukerjakan sembari kuliah.

Ketika aku hanya bisa mengunjungi teman dan saudaraku di daerah yang sangat dekat denganku.
Bandung dan Cirebon itulah tujuan wisataku.
Itulah yang aku mampu dan jujur aku tidak malu.
Mungkin ada keinginan untuk melihat dunia luar, namun kusadari kemampuanku tak sampai situ.
Dan bagiku, aku tak perlu memaksakan diriku.
Jika memang kemampuan belum ada padaku.
Suatu saat nanti, jika Tuhan berkenan, Dia pasti bukakan jalan bagiku...
Untuk sekadar mengintip dunia luar dan belajar kehidupan di sana.

Jika hanya memikirkan kata mereka, aku akan menyesali hidupku dan merasa sedih.
Karena memang, aku berbeda dengan mereka.
Keadaan memaksaku untuk menjalani pekerjaan serabutan sambil kuliah.
Tapi, aku menguatkan hati.
Kupercayai semua ini ada maksud-Nya.
Kata mereka? Takkan terlalu kupedulikan, walaupun tak bisa kubilang tak ada efeknya juga bagiku.
Perkataan mereka kujadikan cambuk untuk bekerja lebih keras.
Sekaligus menyadari: tak semua orang bisa mengerti.
Sebagian orang bisanya hanya ngomong dan ngomong.
Bicara yang tidak mereka ketahui sepenuhnya dan tertawa di atas derita yang tak pernah mereka tahu betapa perihnya...

Kupandangi sepatu hijau tosca-ku.
Satu-satunya yang kumiliki, hadiah dari kakakku.
Tak ada yang salah memang, jika sepatuku hanya satu.
Bajuku tidak banyak pula.
Namun, aku cukup.
Masih bisa cukup makan, cukup biaya kuliah.
Masih bisa jalan-jalan, meski itu sederhana dan versiku.
Bukan berarti aku tidak bisa bahagia.
Bukan berarti aku tidak bersukacita...
Kusyukuri perlindungan Tuhan dalam hidupku...

Suatu hari, mereka pun akan berkata: kamu koq belum punya pacar, belum menikah, belum punya anak, belum punya mobil, belum punya ini, belum punya itu...
Saat mereka hanya bisa menghakimi dan berkata-kata yang terkadang menyakitkan hati...
Tanpa mau peduli apa yang kuhadapi...
Akan kuhadapi dengan senyuman tulus sembari berjanji dalam diri...
Aku takkan menjadi mereka yang melihat sekilas saja, lalu berkata seenaknya sendiri...
Semoga aku lebih bijaksana dalam memilih kata-kataku dan mau peduli pada mereka yang mengalami penderitaan melebihi apa yang kuhadapi saat ini...

Sepuluh tahun kemudian...

Mereka memuji penampilanku.
Mereka bilang semua 'up to date' dan keren sekali.
Mulai dari tas, jam tangan, gaun, dan sepatu.
Semua 'matching' dan 'cling'.
Aku tersenyum dalam hati.
Ah, cerita lama... Dengan aktor yang berbeda...
Aku tak merasa bangga...
Kusyukuri penyelenggaraan Tuhan atas hidupku
Dia memberikanku kekuatan untuk bekerja keras dan meraih jenjang keberhasilan.
Satu yang terus kusadari: ini semua sementara, jadi tak perlu aku bermegah.
Tak pernah kumau memaksakan diri untuk gaya hidup di luar kemampuanku.
Masih sama seperti dulu.

Aku berjanji dalam hatiku, untuk tak terlalu terpengaruh apa kata mereka.
Mereka bukan aku, mereka takkan mampu mengerti diriku.
Kusyukuri tuntunan Tuhan dalam hidupku.
Tak hendak ku membalas, tak hendak pula aku berbangga.
Hanya rasa syukur yang ada...
Hanya pelajaran berharga: semoga mulut dan lidahku hanya mengeluarkan kata-kata yang baik.
Semoga aku lebih peduli dan punya hati pada mereka yang berduka dan menderita...
Semoga aku bisa melakukan kebaikan kepada sekitarku: mereka yang seperti diriku sepuluh tahun lalu...
Kuingin punya anak asuh lebih banyak lagi, membantu bayi-bayi yang kekurangan susu, membantu kakek-nenek yang ditelantarkan keluarganya, itu cita-citaku...

Ajari aku, Tuhan, untuk jadi saluran kebaikan-Mu...
Bukan melulu mengomentari orang lain dengan kata-kata miring.
Jauhkan aku dari fitnah dan gosip yang terlalu...
Hidup ini akan lebih indah, jika diisi kebaikan: dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.

16.05.2015
fon@sg
*buat pengingat diri: hati-hati dalam berkata-kata, apalagi tak tahu kondisi orang yang dibicarakan. Diambil dari kisah-kisah di sekitar kita dan sebagian adalah kisah nyata.

Wednesday, April 22, 2015

Oscar Chu-The Maestro (Taken From Asia's Got Talent)

Oscar Chu-The Maestro



Ada rasa takjub dan kagum, ketika melihat penampilan para semifinalis Asia's Got Talent.
Satu yang menarik perhatian saya di Kamis lalu adalah penampilan Oscar Chu, remaja asal Taiwan berusia 18 tahun yang memainkan 6-8 harmonika.
Jika dilihat dari penampilannya, juga menurut para juri, Oscar terlihat pemalu.
Namun, ketika dirinya memainkan harmonika, langsung berubah luar biasa seolah seorang Maestro (meminjam istilah seorang juri, Melanie C).

David Foster, salah seorang juri juga mengatakan bahwa apa yang dilakukan Oscar sungguh luar biasa.
Karena dia memakai 'a $10 instrument' dan menjadikannya sebagai suatu pertunjukan spektakuler karena dia memainkan Mozart pada penampilan semifinalnya.

Don't judge a book by its cover.
Sering kita menilai seseorang rendah hanya karena penampilannya.
Penampilan Oscar kurang meyakinkan, namun nyatanya kemampuannya jauh melebihi apa yang manusia pandang lewat mata kita.

Talent is important, but talent isn't everything.
Practice will bring it to perfection.
5 hours of hardwork everyday, practicing his harmonicas, eventually brought him to be the semifinalist of Asia's Got Talent.
I admire him. 
Oscar Chu, you're awesome!
Hope you can be in the grand final...


Itu yang saya tulis pada 'wall Facebook' saya.
Talenta itu memang penting, namun bukanlah segalanya.
Oscar Chu berlatih keras-5 jam per hari- sampai mencapai kemahiran semacam itu.
Bukan hanya ongkang-ongkang kaki dengan talenta yang ada, namun bekerja keras untuk mencapai impiannya.
There's no such thing as free lunch.
Selalu ada harga yang harus dibayar.
Untuk sukses, ada kerja keras yang mungkin orang lain tak pernah tahu (baca: bayangkan) sebelumnya.

Oscar Chu mengajarkan saya beberapa hal berharga di atas.
Semoga kita mengurangi penghakiman berdasarkan penampilan fisik seseorang.
Juga, senantiasa mengembangkan talenta yang Tuhan titipkan kepada kita dengan giat berlatih dan terus memberikan yang terbaik.
Semua hanya bagi kemuliaan nama-Nya.

22.04.2015
fon@sg
* masih menantikan semifinalis lainnya besok dan minggu depan, lalu Grand Final pada minggu berikutnya. Selalu suka dengan ajang 'got talent' semacam ini, yang sungguh menginspirasi diri saya pribadi. Berharap juga semoga Oscar bisa masuk ke Grand Final. Semoga:)



Friday, April 3, 2015

Urap (Selamanya Tetap di Hati)



Singapura, 16 Maret 2015

Di Kantin KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Singapura, terdapat macam-macam makanan Indonesia yang membuat kangen.
Siang hari itu, kami bermaksud memperpanjang paspor, sekaligus makan siang di kantinnya tentu saja.
Setelah memesan gado-gado untuk dimakan di sana, mata saya masih terpaku pada sayuran urap yang cukup menggoda...
Akhirnya saya memutuskan untuk membungkusnya dan membawanya pulang...
Sudah lama saya tidak makan urap, karena kelapa parut segar tidak terlalu mudah didapat di pasar sekitar tempat tinggal kami. Walaupun beberapa tempat di Singapura menjual kelapa parut juga, karena banyak kue-kue basah yang membutuhkan parutan kelapa yang legit itu...

Pikiran pun melayang saat saya berada di kota kelahiran di Palembang.
Bik Umi, asisten rumah tangga keluarga kami yang setia itu, sering memasakkannya buat kami...
Saya pertama kali berkenalan dengan urap, lewat tangan Bik Umi yang masakannya cukup handal juga terutama makanan khas Indonesia...
Bik Umi setia luar biasa kepada keluarga kami...
Setia kepada Mama saya terutama, yang dia sayangi bak keluarga sendiri...
Kami pun demikian, karena total Bik Umi bekerja di rumah kami adalah sepanjang 30 tahun...
Sampai beliau berpulang untuk selamanya di bulan Agustus tahun 2012 yang lalu karena sakit jantung...

Entah mengapa rasa sentimental cukup memenuhi hati saya hari ini...
Saya teringat kembali sebuah rasa khas makanan yang diolah dari tangan seorang yang sudah kami anggap keluarga sendiri...
Urap membawa kenangan...
Juga sensasi rasa kangen yang meluap...
Akan sebuah keluarga yang Tuhan berikan kepada saya...
Akan Bik Umi yang Tuhan perkenankan masuk dalam lingkaran keluarga kami...
Juga mengingatkan saya akan arti kesetiaan...
Urap hari ini mengajarkan saya juga, betapa kita sering menganggap sesuatu adalah hal yang remeh.
Take something as a granted...
Setelah tak lagi memiliki kesempatan mengecapnyanya, barulah manusia menghargainya lebih lagi.
Tak jarang menyesali bahwa dulunya kurang apresiatif terhadap apa yang ada...

Sepiring urap terhidang di depan mataku...
Suapan demi suapan, ia masuk ke mulutku...
Tanpa terasa, air mata menetes perlahan...
Rasa kangen terobati sudah...
Pada urap ada kesetiaan, keikhlasan berkorban dari Bik Umi...
Sebuah pelajaran berharga yang sulit didapat dalam hidup...
Namun, kubersyukur pernah menjadi saksi atasnya...
Bik Umi, semoga kau tenang di sana!
Tuhan terimalah Bik Umi, juga papaku yang sudah berpulang ke pangkuan-Mu dua puluh tiga tahun yang lalu...
Terima kasih, sudah memperkenankan mereka masuk dan menjadi bagian hidupku...
Selamanya tetap di hatiku.

03.04.2015
fon@sg

Friday, March 20, 2015

Being Mom: Aller Anfang Ist Schwer

Aller Anfang ist schwer.
Idiom atau pepatah dalam Bahasa Jerman ini pertama kali saya dengar dari Guru Bahasa Jerman saya, Pak Suwignyo saat saya masih bersekolah di  SMA Xaverius 1 Palembang.
Aller Anfang ist schwer kurang lebih berarti: the first step is the hardest part- all beginnings are difficult,  yang intinya kurang lebih: langkah pertama adalah yang tersulit.

Saya tidak 100% menyadari hal itu...
Namun, ketika saya kilas balik, pastinya pernah merasakan hal yang demikian...
Mari kita ingat lagi, saat pertama masuk SD, mungkin waktu itu terasa menyenangkan walaupun berhadapan juga dengan kesulitan...
Dan jenjang-jenjang pendidikan yang semakin naik, tentunya semakin sulit pula yang harus kita dihadapi...
Bagi yang pertama kali memasuki area 'parenthood'...
Tentunya merasakan kalau punya anak yang pertama kali dipenuhi kekuatiran berlebihan, terutama dikarenakan kebingungan karena belum terbiasa punya Si Kecil...
Anak kedua dan berikutnya, menjadi lebih mudah, karena kita sudah beradaptasi...

Yang paling terasa bagi saya, saat kami sekeluarga harus pindah ke suatu negara baru.
Tuhan memberikan kami sekeluarga kesempatan untuk menikmati negara Vietnam, tepatnya di kota Ho Chi Minh City dari tahun 2009-2012.
Dari Indonesia pindah ke Singapura, tentunya pasti ada adaptasi.
Dari Bahasa tidak terlalu terasa, karena di sini Inggris patah-patah campur bahasa Melayu yang mirip Bahasa Indonesia itu masih bisa diterima.
Kecuali berhadapan dengan mereka yang berasal dari negeri Cina, agaknya tidak perlu menggunakan bahasa Mandarin..
Yang lebih terasa saat kami pindah dari Singapura ke HCMC.
Kendala Bahasa, bagi saya sungguh terasa.
Sehingga mau tidak mau, saya mengambil kursus bahasa Vietnam selama 3 bulan, untuk setidaknya berkomunikasi ketika harus naik Taksi atau berbelanja di Pasar.
Karena tidak semua pasar seperti Ben Thahn Market yang tersohor bagi para turis, yang penjualnya fasih berbagai Bahasa. Termasuk Indonesia.
Teringat pula, ketika masuk di pasar tersebut, mereka berseru, " Murah... murah..."
Karena banyak turis dari Indonesia dan Malaysia juga yang mengunjunginya...
Banyak kali, hanya bahasa Vietnam yang dipergunakan di banyak tempat di HCMC.
Kecuali di Distrik 1 (Quan 1), yang terkenal dengan daerah turis di mana Bahasa Inggris cukup umum dipergunakan...

Yang paling anyar dari proses belajar saya sebagai seorang Ibu adalah 'baking.'
Membuat kue bagi keluarga terkasih, anak-anak tercinta, terutama saat ulang tahun.
Di Singapura, kue ulang tahun harganya terbilang mahal dan variasinya tidak banyak.
Jika ada, harganya pasti mahal.
Atas 'request' anak-anak, saya pun belajar 'baking'.
Jujurnya, ini keluar dari zona nyaman saya.
Saya lebih memilih mengetik keyboard dan menulis berjam-jam, ketimbang menghabiskan waktu untuk 'baking.'
Yang pernah tahu saya di masa lalu, pastinya bingung karena dulunya saya paling anti masuk dapur dengan alasan mau praktis.
Tetapi, sekarang akhirnya berubah:)
Permulaannya terasa berat, untuk melangkahkan kaki ke dapur dan mulai membuat kue.
Setelah sebelumnya menganalisa dan memantau ratusan resep yang bertaburan di jagad internet...
Perlahan tapi pasti, mulai timbul sedikit demi sedikit rasa percaya diri...
Setelah beberapa kali uji coba dan kata yang mencicipinya rasanya cukup bisa diterima...
*senyum terkembang di sudut bibir. Bahagia.*

Tantangan yang terberat, membuat kue ulang tahun untuk anak pertama kami, akhirnya saya jalani.
Butuh keberanian, juga survey yang besar untuk membuat cake ulang tahunnya.
Kami pilih bertema bunga mawar 'rosette', lalu sekelilingnya saya letakkan coklat 'kit kat', dan coklat kecil M&M's. Lalu, saya ikat dengan pita biru dan di atasnya ada tiga ballerina sedang 'unjuk gigi' di atas kue...

Sedang untuk 'cupcakes'-nya...
Masih bertema 'Rosette', dengan taburan macam-macam 'sprinkles' di atasnya, termasuk mutiara...
Rasa lelah ketika harus mengerjakan kue itu seharian, terbayar dengan wajah bahagia Odri yang berkata, " Mommy, I'm so proud of your hard work. And they're so pretty, like from the shop."
Saya bahagia. Kerja keras terbayar dengan ungkapan kasihnya.
Seperti bakery? Saya kira masih jauh hehehe...
Tapi, saya senang, setidaknya ada juga hasil dari perjuangan sekian lama memantengi resep dan melakukan uji-coba.

Aller anfang ist schwer.
Yah, mungkin awalnya sulit...
Tapi, sekali lagi, tidak ada kata mustahil bagi mereka yang berusaha dengan giat...
Juga yang menyandarkan kekuatannya kepada Sang Maha Kuasa...
Saya mungkin belum bisa, tapi saya mau belajar-demi kasihku kepada anak-anakku- dan setelah itu Tuhan buka jalan...
Kadang salah, kadang bantet, kadang gosong, yah.. itu resiko seorang pemula yang baru belajar 'baking', tapi saya menikmatinya sebagai bagian dari proses belajar yang tak kunjung henti sepanjang hidup saya...

Kini, saya tengah mempersiapkan kue kedua bagi anak kedua kami yang juga lahir di Bulan Maret...
Semoga berhasil, ya...
Saya akan sharing hasilnya beberapa hari ke depan:)

Selamat malam semua...
Senang berbagi kisah ini dengan Anda, para sahabat semua...

20.03.2015
fon@sg

Saturday, January 31, 2015

Life is A (Beautiful) Struggle



Di sebuah tempat pijat refleksi di bagian Barat Singapura beberapa bulan yang lalu...

Seorang Bapak yang bertugas memijat kaki saya pagi itu bercerita kalau banyak rekan sekerjanya berasal dari Johor Bahru (JB)-Malaysia.
Setiap pagi mereka sudah harus berangkat pukul 8 pagi untuk kemudian melakukan perjalanan ke Singapura. Hal ini dimungkinkan memang, karena orang Malaysia cukup diterima untuk bekerja di Singapura.
Setelah itu sekitar 2 jam, dia harus menempuh perjalanan via bus lewat perbatasan JB-Singapura. Harus ganti sekitar 2-3 kali bus untuk sampai ke tempat kerjanya.

Sesampainya di tempat kerja, Si Bapak harus mulai bekerja pukul 11 sampai sekitar pukul 18.30, untuk kemudian buru-buru pulang untuk mengejar bus ke JB. Sampai JB paling cepat sekitar pukul 21.00, bisa lebih dari itu.
Setiap hari dia lakukan itu.
Kalau mujur, ujarnya, perjalanan pulang-pergi itu bisa ditempuh sekitar 4 jam.
Kalau tidak, misalkan karena hujan atau macet, dia harus berada di jalan sekitar 5 jam.

Saya terdiam.
Belum lagi pekerjaannya yang menguras tenaga.
Memijat kaki orang-orang.
Belum lagi 'complain' dari beberapa pelanggan yang mungkin kurang puas dengan pelayanannya...
Sungguh bukan pekerjaan yang mudah...

Saya merenung...
Terlalu gampang bagi saya, bagi kita, untuk melihat mudahnya saja di hidup ini.
Lihat kemewahan yang diumbar terlalu berlebihan...
Lihat yang enak itu biasa sebetulnya, karena jarang pula orang akan posting hal-hal yang terlalu menyedihkan di hidupnya di sosmed...
Meskipun kita pastinya pernah lihat berita-berita duka, namun pastinya lebih banyak yang ditonjolkan adalah suka-nya dan hepi-hepinya...

Saya belajar...
Untuk lagi-lagi mengurangi 'complain' dalam hidup..
Tiap orang punya masalahnya sendiri, kawan!
Mungkin kamu gak pernah tau, kamu gak pernah ngerti...
Mereka mungkin gak pernah 'share' kisahnya padamu...
Tapi, begitu banyak sebetulnya orang-orang yang kesulitan di sekeliling kita...
Mereka yang tertimpa kemalangan...
Kena PHK tanpa pesangon dan berbulan-bulan tak dapat kerja...
Mereka yang tengah berhadapan dengan anggota keluarga yang sakit parah dan butuh biaya luar biasa sampai jual rumah segala...
Mereka yang harus berhadapan dengan kesepian dan kesendirian, meskipun berlimpah harta...
Ini yang menurut Bunda Teresa merupakan kemiskinan yang terselubung yang bahkan jumlahnya cukup banyak juga...
Mereka yang sungguh butuh biaya sekolah, biaya buat beli susu buat anaknya, sementara segala usaha sudah dilakukan namun memang pintu rezeki seolah masih belum terbuka luas bagi mereka...

Hidup itu perjuangan, Sobat!
Jika hari ini hidupmu tengah bahagia, syukurilah...
Berbagilah jika memang ada dorongan dari hati kecilmu untuk melakukannya...
Sekecil apa pun itu, tetapkanlah hati untuk sebuah bantuan yang tulus dan penuh keikhlasan..
Jika memang bisa berbagi sesuatu yang lebih besar...
Menyediakan lapangan pekerjaan...
Memberikan kail dan bukan ikan...
Sungguh itu akan lebih baik lagi pastinya:)

Hidup itu perjuangan...
Yes, that's so true indeed...
Seringan apa pun itu, pasti ada sebuah perjuangan di balik kesuksesan seseorang...
Tak jarang, perjuangan itu sungguh berat dengan perjalanan yang berliku...
Yang kita lihat hanyalah enaknya saja, kesuksesan yang sudah menyapanya...
Tanpa pernah tahu, berapa banyak air mata yang sudah membanjiri setiap malam-malamnya...
Menangisi kegagalan demi kegagalan yang pernah menghampirinya...
Sampai akhirnya, jalan yang terbentang luas menuju kesuksesan itu terbuka...
Dan bukannya tidak mungkin, dalam hitungan hari, hitungan detik...
Kesuksesan itu bisa berbalik arah...
Roda kehidupan terus berputar, bukan?

Saat sukses, ingatlah akan Dia...
Tuhan yang menjadikan segala sesuatunya...
Segala usaha dan jerih payah kita dimungkinkan untuk sampai tahap ini, karena-Nya...
Janganlah sombong, jauhkanlah diri dari tinggi hati..
Sukses pun itu sementara...
Selayaknya segala sesuatu yang ada di dunia...

Kembali saya ingat wajah Si Bapak...
Perjuangannya...
Pengorbanannya...
Demi sesuap nasi dan 'ngebul'-nya dapur keluarga...
Saya merasa diri sangat kecil...
Sering mengeluhkan banyak hal...
Padahal begitu banyak yang harusnya bisa saya syukuri...

Hidup itu perjuangan..
Semoga itu menjadi sebuah perjuangan yang indah...
Life is a beautiful struggle...
Semoga kita semua terus berjuang untuk hidup benar di jalan-Nya...
Terus berjuang sampai garis akhir nanti...
Tetap semangat, tetap bersyukur, tetap berbagi...
Semoga kasih-Nya selalu menaungi hati kita semua...
Salam damai dan selamat berakhir pekan dengan yang terkasih, Sahabat!

31.01.2015
fon@sg
* sudah diposting di Blog Chapters of Life http://fjodikin.blogspot.sg/2015/01/life-is-beautiful-struggle.html