Monday, February 25, 2013

Tembang Cinta Kita Episode #4: Talking To The Moon





Tembang Cinta Kita Episode #4: Talking To The Moon

Previously on Tembang Cinta Kita…
Pertemuan yang ditunggu-tunggu oleh Ling. Akhirnya dia bertemu Han yang pulang dari Sydney, Australia. Ling merasa cocok dan terselip rasa suka dengan Han pada jumpa pertama. Bahkan Ling sempat berpikir apakah Han adalah seseorang yang disediakan baginya. Could it be with Han? Ternyata, Ling harus berhadapan dengan kecewa. Lagi. Han sudah punya kekasih di Sydney, May-orang Vietnam yang dari lahir di Sydney. Tetapi dia ragu memperkenalkannya dengan ortu-nya karena ortu-nya pernah punya kekecewaan dengan orang Vietnam saat Papanya bertugas di Thailand.
Hari itu juga, Ling menerima kabar dari BBM bahwa Glen akan menikah dengan Grace, pilihan orangtuanya. Hancur hatinya seketika. Bagaimana kelanjutan kisah Ling? Simak di episode kali ini…

Episode #4: Talking To The Moon

Kini kuhanya ingin lupakan semua…
Mengenangmu menyesakkan jiwa…
kan kuhapus air mata hingga
kudapat sembuhkan luka…
(Lirik lagu: Luka Lama oleh Cokelat)

Di kamar itu aku terbaring.
Aku belum ingat secara pasti kejadian sebelumnya. Kepalaku masih pusing berat.
Agaknya ini bukan kamarku. Ini pasti masih di rumah Tante Merry.
Ketika kubuka mataku lebih lebar, ada Mama dan Han di sana.
Mama memandangiku dengan kuatir.

“ Syukurlah kamu sudah sadar, Ling. Ada apa, apa yang membuat kamu sampai pingsan begitu, ya? Setahu Mama, biasanya karena kamu ada pikiran yang berat.” Mama langsung memberondongku dengan pertanyaan dan kesimpulannya.
She knows me so well. Of course, she’s my mom!

“ Seingat Mama kamu pernah pingsan saat ujian SMU Fisika. Karena kamu gak pernah suka Fisika yang diajarkan oleh Pak Jumadi itu. Saking pusingnya, kamu sampe pingsan di kamar mandi kita.” Mama melanjutkan sambil memijat-mijat bahuku dengan minyak kayu putih.

Duh, Mama! Jangan bongkar rahasiaku, dong!
Apalagi di depan Han. Ah, Mama payahhh….
Satu sisi hatiku berkata demikian, namun di sisi lain ada yang menyadarkanku perlahan.
Han ‘kan bukan milikmu? Dia sudah punya seseorang di Sydney, ingat itu!
Hatiku merasa tertusuk lagi. Kecewa bertubi-tubi.
Oh My God…

“ Glen tadi kirim pesan via BBM, Ma. Katanya dia mau menikah dengan Grace.” Aku berbisik pelan, tenggorokanku sedikit tersekat, tangis itu tak terbendung walau aku berusaha tegar.

“ Oh, Ling… Pantas kamu pusing dan pingsan…” Mama langsung memelukku.
“ Gak pa pa, nanti akan ada pria lainnya buat kamu. Kita percaya saja Tuhan sediakan seseorang yang lebih baik buatmu.” Kata Mama lagi…

Aku masih menangis. Dan Han menyodorkan tissue.
Aku malu, tapi tak kuasa membendung kesedihanku.
Tujuh tahun bukan waktu yang singkat…
Putus saja belum bisa kuhadapi.
Dan sekarang undangan pernikahan di saat-saat seperti ini…
Ah, Tuhan… Apa rencana-Mu bagiku?
Mengapa saat-saat ini begitu menyedihkan dan sukar dilalui?
Adakah Kau selalu bersamaku?

***
Hari itu kebetulan Hari Jumat. 
Jadi, Tante Merry dan Han menyuruh kami menginap saja di rumah mereka. Mengingat kondisiku juga kemacetan Jakarta, aku terpaksa menerima undangan untuk menginap itu. Satu sisi ada rasa tidak enak hati, sisi lain aku memang tak sanggup juga harus melalui malam ini sendirian di kos…
Luka yang belum sembuh selepas putus dari Glen makin berdarah saat dia katakan dia akan menikah. Memang ini bukan akhir segalanya bagiku. Memang aku tahu setelah dia melaju dengan pilihan ibunya, pernikahan adalah tujuan selanjutnya…
Tetapi tidak secepat ini, Tuhan…
Apa mau dikata jika memang harus begini….
Aku hanya mohonkan kekuatan-Mu, karena aku sadar…
Betapa lemahnya diriku…
Dari jendela kamar di lantai dua rumah Tante Merry, kulihat bulan sedang bersinar terang…
Bulan purnama yang indah dan tak tertutup awan…
Teringat aku akan lagu Bruno Mars yang berjudul Talking to the Moon
Hmmm, dear Moon, is this the time that I should talk to you?

I know you're somewhere out there
Somewhere far away
I want you back
I want you back

My neighbors think I'm crazy
But they don't understand
You're all I have
You're all I have

At night when the stars
Light on my room
I sit by myself

Talking to the moon, tryin' to get to you
In hopes you're on the other side talking to me too
Oh, am I a fool who sits alone talking to the moon

Glen, aku sungguh berharap kamu ada di sana. Di bulan itu.
Dan berbincang-bincang denganku.
Aku sungguh kesepian…
Setelah bertahun-tahun yang kumiliki hanya kamu, Glen…
Tanpa kedekatan dengan orangtuaku…
Sendiri di rantau…
Kehadiranmu seperti semacam obat pelipur lara yang membangkitkan keceriaanku…
Sekarang, you’re not that far away, still here in Jakarta
But there’s a huge distant between our hearts…
My heart sometimes says that I want you back…
Especially the feeling that we’ve had…
Tetapi, kutahu, itu semua hanyalah harapanku semata yang takkan pernah menjadi nyata…

Perlahan kakiku melangkah turun.
Mama kebetulan pergi ke supermarket dekat sini sebentar dengan Tante Merry. Aku pun sudah diberi sedikit minuman teh hangat dan roti selai stroberi untuk menguatkan fisikku.
Aku turun dengan maksud kembali ke taman, ke bangku tempat aku bercakap-cakap dengan Han. Dan kembali memandangi bulan.

Langkahku yang perlahan mendadak terhenti. Ketika kujumpai Han di situ.
Duduk di tempat yang sama denganku.
Matanya menerawang ke angkasa. Seolah  ingin terbang ke sana.
Yang di pikirannya? Ah, agaknya aku bisa menebaknya…
May jelas-jelas ada di sana.

Aku hendak berbalik ke kamar saja. Kuurungkan niatku untuk duduk di sana.
Tetapi langkah buru-buruku membuatku tersandung batu.
“ Aduh!” Teriakku.
Han berbalik ke arahku. Dan langsung menuju tempatku terjatuh.
Kakiku berdarah pula, tepatnya jempol kaki kananku. What a day!
Sudah sempat pingsan, tambah kaki luka pula.
Dengan sedikit terseok, aku mencoba berjalan. Han memegang bahuku.
Getaran itu masih sedikit terasa. Perasaan nyaman saat bersamanya. Tetapi, kutahu, itu bukanlah cinta. Sakit hatiku pada Glen masih terasa. Dia memang pernah jadi cintaku yang dalam. Sekarang pun belum pergi seutuhnya dari diriku…

Kembali ke lantai dua kamar sementaraku di sini…
Akhirnya Han bicara banyak denganku…
Curhat perasaannya pada May, juga prihatin dengan kondisiku.
Hari ini, aku menemukan seorang sahabat baru…
Senang hatiku. Sahabat agaknya cocok bagiku, akan lebih langgeng daripada sekadar pria yang mendekati dan bermaksud lebih dari itu…
Saat ini aku hanya butuh sahabat…. Itu sudah cukup dariku…

Aku pun cerita padanya. Seolah sahabat yang sudah berteman sejak lama.
Entah mengapa, kenyamanan itu makin terasa.

Setelah Han keluar kamar…Mama pulang dan kembali menengokku…
Berdua kami berdoa…
Mama kembali mengingatkanku…
“Jangan pernah putus asa, Ling… Tuhan akan bukakan jalan saat tiada jalan.
God will make a way.”

Aku menangis sepuasnya dalam pelukan Mama.
Saat ini rasanya berat kulalui. Kusyukuri aku tidak sendiri.
Ada Mama dan ada Han.
Dan yang pasti ada Tuhan di setiap sesakku, juga saat gembiraku.

Malam yang pastinya akan membuatku sulit tidur.
Saat kulihat kembali BB dari Glen, ternyata ada tambahan di pesannya.
“ Jadi, kapan Ling kita bisa ketemuan?”

Glen, I hate this!

To be continued…

Thursday, February 21, 2013

Tembang Cinta Kita Episode #3: Could It Be Love?





Tembang Cinta Kita Episode #3: Could It Be Love?

Previously on Tembang Cinta Kita…
Ling ditemani mamanya dari Jambi dan membuat dirinya berbaikan kembali dengan Mama, suatu ‘blessing in disguised’ dalam saat-saat ‘down’ karena putus dari Glen. Tante Merry dan keluarga yang jadi teman dekat Mama juga menghibur hatinya. Dan Han, satu nama yang juga membuat Ling penasaran ingin jumpa… Through the rain, Ling menjalani hidupnya, melintasi proses badai yang tengah dia alami bersama keluarganya…
Bagaimana kelanjutan kisah Ling? Simak di episode kali ini…

Episode #3: Could It Be Love?

Biarkan cinta temukan jalannya, mendendangkan cerita kamu dan aku. Kisah kita.
(-fon-)

Hari itu aku bertemu Han untuk pertama kalinya.
Entah mengapa aku suka pada senyumnya yang ramah dan tatapan matanya yang tulus.
Aku bukan orang yang pandai menilai orang lain, tetapi kukira kenyamanan yang kurasakan saat berhadapan dengan seseorang itulah yang kujadikan patokan. Dan saat ini, kesan pertama itu begitu kuat. Han adalah seorang pria yang baik dan enak dijadikan teman ngobrol.

Tiba-tiba terlintas lagu yang selalu aku suka, dari Raisa. Could it be love.
Could it be you, Han? Ah, kutepis anganku itu. Terlalu cepat rasanya untuk berharap banyak saat jumpa pertama. Terlebih lagi, hatiku belum lagi siap untuk memulai suatu petualangan baru bersama seorang pria lain. Sakit di hatiku masih terasa akibat hubunganku yang kandas dengan Glen…  Namun tetap saja, hatiku mendendangkan lagu itu saat ini tanpa bisa kukendalikan…J

Kau datang dan jantungku berdegup kencang
Kau buatku terbang melayang
Tiada ku sangka getaran ini ada
Saat jumpa yang pertama

Mataku tak dapat terlepas darimu
Perhatikan setiap tingkahmu
Tertawa pada setiap candamu
Saat jumpa yang pertama

Could it be love, could it be love
Could it be, could it be, could it be love
Could it be love, could it be love
Could this be something that I never had
Could it be love
“ Ling, koq kamu bengong aja?” Tanya Han.
“ Disuruh Mami masuk dan makan bareng tuh.” Sambungnya lagi.

Aku gelagapan. Sedikit salah tingkah.
“ Oh, eh, iya Han.” Gumaman tak jelas barusan membuatku langsung bergegas angkat kaki ke dapur, daripada lebih banyak pertanyaan dari Han.

Makanan hari itu sungguh enak. Lezat.
Tapi aku tak begitu berselera.
Entah karena Glen ataukah karena Han yang kesan pertamanya begitu kuat di hatiku saat ini tengah berada di depanku. Ataukah gabungan keduanya? Sulit bagiku untuk menentukan apa penyebab aku kehilangan selera makanku.
Padahal hari ini Tante Merry sudah menyiapkan hidangan ala Thai yang jelas-jelas lezat, tidak kalah dengan restoran Thai ternama. Kata Mama, Tante Merry pernah belajar masak di Thailand sewaktu suaminya tugas singkat sekitar enam bulanan di sana. Saat itu Han belum lahir.

Kuselesaikan juga akhirnya Tom Yam Goong yang lezat itu…
Makanan penutup berupa ketan mangga, sungguh menggoda. Itu pun masuk dengan sukses ke perutku. Itu saja. Yang lain tak terlalu kusentuh.
Mama memperhatikanku, tetapi berusaha netral karena dia mengerti kondisiku dengan Glen. Dan yang dia belum tahu, Han sudah perlahan-lahan masuk dan menerobos ke dinding hatiku…

***

Seusai makan kami berkesempatan berdua lagi.
Di kursi panjang di taman yang dipenuhi bunga dan pepohonan di rumah Tante Merry yang luas.
“ Jadi, kamu sudah lama kerja di Sydney, lalu kuliah lagi Han?” Tanyaku memecah keheningan.

“ Iya, aku kuliah S1 sampai selesai dibiayai Mami dan Papi. Sesudah itu aku kerja sekitar 12 tahunan. Sekaligus mengumpulkan uang juga. Sekarang, aku ambil S2 di bidang Business dengan uangku sendiri. Biar nggak ngerepotin Mami dan Papi lagi.”
 Jawab Han ramah dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.

Gawat!
Aku mulai suka senyumnya dan bahkan tanpa sadar merekam tarikan sudut bibirnya itu di kepalaku…
“ Ling, kenapa kau ini?” Tanya hatiku…
 Ah, aku sungguh tak mengerti, tetapi di satu sisi aku menikmati semuanya ini…

“ Lalu setelah lulus S2, apa rencanamu, Han? Kerja lagi di sana?” Aku berusaha memuaskan rasa ingin tahuku tentangnya. Lagi dan lagi.

“ Ya, aku sih rencananya terus di Sydney. Hanya satu yang akan memaksaku untuk pulang suatu hari… Karena Mami dan Papi berdua saja di sini dan aku anak tunggal… Suatu saat jika mereka bilang aku harus pulang, ya, pasti aku pulang demi mereka… Hanya saja, sekarang aku lebih berat lagi untuk tinggal di Sydney..” Jawaban akhirnya yang menggantung, membuatku penasaran…

“ Kenapa?” Tanyaku cepat…

“ Aku sebetulnya sudah menemukan seorang gadis yang kusuka. Dia pun suka padaku. Namanya May, dia orang Vietnam yang sudah dari lahir tinggal di Sydney. Tetapi masih ragu kuceritakan kepada Mami dan Papi…” Jawabnya lagi.

Plakkk!!!
Seolah tertampar mukaku saat mendengar hal ini…
Han memang ramah. Han mungkin memang baik pada semua orang…
Mungkin aku dengan permasalahanku menjadi kurang tanggap akan hal ini…
Kupikir harap itu ada…
Kupikir harap itu mungkin menjelma nyata…
Sesudah Glen, mungkin chapters of love bersama Han akan tercipta…
Kupikir demikian adanya…
Tetapi, kenyataan ternyata tak seindah anganku semata..

Dan sekarang kepalaku berkunang-kunang…
Kebahagiaan semu yang terampas seketika…
Padahal dia bukanlah milikku, mengapa rasa sakit itu tetap ada…
Terlalu berharap memang akan berujung kecewa….
Seharusnya aku mengerti…
Tuhan, kuatkan aku untuk melanjutkan percakapan ini…

“ Kenapa ragu?” Tanyaku perlahan…

“Karena Mami dan Papi pernah punya trauma dengan orang Vietnam yang mereka jumpai di Thailand saat Papi tugas di sana… Papi ditipu sejumlah uang, padahal mereka teman akrab… Jadi, aku ragu…” Kata Han lirih…

Ah, begitukah, Han?
Itukah penyebabnya?
Kau sudah punya seseorang yang kaucinta dan mencintaimu…
Betapa beruntungnya kamu!

Aku pura-pura sibuk dengan Blackberry-ku. Menutupi kekecewaanku.
Dan BBM itu pun masuk.
Dari Glen.

“Ling, aku mau ketemu. Bisa?  Penting nih.”
Begitu bunyi pesan Glen.

“ Urusan apa lagi, Glen?” Reply-ku balik.

“ Undangan pernikahanku dengan Grace.”
Jawaban singkat dari Glen itu membuat duniaku runtuh. Lagi. Air mataku tak mampu kubendung.
Aku masih begitu labil. Perasaanku pada Glen masih tersisa. Dan kecewa yang barusan kurasakan saat tahu Han punya orang yang dicintai di Sydney sana masih menganga…
Ahhh, mengapaaa? Mengapa semuanya bertumpuk begini, Tuhan?

 Mendadak kepalaku pusing. Dan aku pingsan.

To be continued…

22.02.2013
fon@sg





Sunday, February 17, 2013

Precious



Hari ini ketika akan menjemput Lala (panggilan anak ke-2 kami), kembali saya berpapasan dengan beberapa anak yang tidak sempurna secara fisik. Agaknya sekolah mereka tidak jauh dari playgroup Lala. Kebanyakan mereka dibawa pulang oleh pembantu rumah tangga mereka. Mereka memang spesial, karena beberapa tidak bisa berjalan bahkan duduknya pun tidak sempurna. Beberapa wajahnya sungguh tampan, walaupun ada satu atau dua terlihat sebagai anak khusus dengan 'down syndrome'.

Saya teringat kunjungan-kunjungan kami di Ho Chi Minh City ke beberapa panti asuhan. Beberapa anak memang mengalami kekhususan, ketidak-sempurnaan secara fisik. Pengalaman kunjungan itu sungguh membekas dalam hati dan benak saya. Karena setiap kali mendapat kesempatan itu membuat saya belajar menghargai hidup saya sekali lagi. Saya sadar, betapa sering saya lupa bersyukur, betapa saya adalah orang yang sering mengeluh, betapa saya kurang tahan banting dan tidak mau susah (sulit keluar dari zona nyaman), betapa saya tidak selalu bisa mensyukuri anugerah Tuhan dalam diri anak-anak saya yang lucu-lucu karena kelelahan dan tekanan selama menjaga anak sendiri tanpa bantuan pengasuh... Dan melupakan betapa anak-anak itu, sempurna secara fisik atau tidak, tetaplah merupakan sosok yang berharga di mata-Nya. Precious in His Sights….

Ketika saya mulai menulis secara aktif sekitar 11 tahun lalu…
Mungkin saya tidak tahu pasti untuk apa saya menulis. Menulis merupakan sebuah ekspresi ‘funky’ yang lucu dan gaul. Menuliskan kegiatan keseharian lalu sharing ke teman-teman dekat… Hanya iseng-iseng saja pada awalnya…

Setelah mendapat kesempatan sejenak menjadi Seksi Sosial di organisasi Keluarga Katolik di Ho Chi Minh City (Vietnam) tahun lalu, menjadi lebih jelas bagi saya, untuk apa saya menulis. Thank God for the chance and thank God for KELIK (keluarga katolik di HCMC).

Saya ingin menuliskan banyak hal berharga.
Semisal pengalaman bertemu dengan ibu-ibu Vietnam yang ditinggal suami atau pacarnya, namun ditampung di Panti Asuhan yang dimotori oleh organisasi Bunda Teresa dari Kalkuta…
Semisal tangisan bayi yang tak pernah kenal siapa bapak-ibunya…
Atau mengenai banyak hal yang mengecewakan, menyedihkan, namun tak kurang harap dan asa, karena tangan Tuhan tak kurang panjang pula untuk menolong mereka…
Saya pun ingin menuliskan hal-hal yang membahagiakan…
Yang memberikan harapan…
Yang meneguhkan dan memberikan kekuatan…
Karena percaya Tuhan ada di sepanjang jalan kehidupan kita…
Dan Dia tak pernah lepas tangan…

Kupandangi wajah anak-anakku sebelum tidur…
Sebelum tidur tadi kami berdoa…
Memanjatkan doa syukur dan terima kasih kepada Yang Kuasa…
Juga ampuni kami, Tuhan bila terkadang  kami begitu mudah kecewa bahkan putus asa…
Hanya karena hidup tak berjalan sebagai-mana yang kami harapkan…
Ajar kami Tuhan untuk tetap belajar bersyukur…
Melihat begitu banyak hal-hal yang berharga seiring perjalanan…
Begitu banyak hal yang memperkaya hidup…
Melihat dari sisi lain di luar sisi materialitas yang dunia tawarkan…
Dan jika kami dikaruniai rezeki yang cukup bahkan berlebih, Tuhan…
Izinkan kami menjadi perpanjangan tangan-Mu di dunia ini untuk membantu mereka yang tengah kesusahan dan berkekurangan…
Karena hidup yang berkelimpahan, bukanlah melulu dipenuhi hal-hal yang hanya dipenuhi kesenangan duniawi…
Tetapi, lebih kepada bagaimana kami bisa berbagi atas apa yang sudah Kau karuniakan bagi kami…

Terbayang pengalaman seharian…
Saat berpapasan dengan orang tua yang berjalan pelan.
Saat berpapasan dengan orang yang hanya mengandalkan kursi rodanya.
Saat bertemu dengan anak-anak yang spesial dan kurang sempurna secara fisik…
Saat bertemu dengan orang-orang yang terganggu jiwanya…
Ingin aku mendekap mereka dalam kasih-Mu, Tuhan…
Hidup memang terkadang sungguh sulit untuk dimengerti…
Tetapi hidup itu sendiri sungguh berharga…
Kehadiran mereka memberi arti…
Dan kembali menyadarkan betapa hidup itu hanya sementara…

Jika saat ini kita sehat dan tak berkekurangan…
Jika hari ini kita masih bisa berbagi kepada sesama…
Marilah tebarkan kasih-Nya di dunia…
Betapa setiap insan butuh perhatian dan kepedulian…
Sehingga mereka tak merasa sendirian…
Dalam mengarungi perjalanan
Kehidupan…


18.02.2013
fon@sg
  • I’m a little pencil in God’s Hands… Let me write Your love letter to this world, oh God

Wednesday, February 13, 2013

Thank God for This Valentine's Day




Thank God for This Valentine’s Day :)
Kuingat saat itu.
Saat kita berjanji untuk saling setia.
Dalam sehat maupun sakit, dalam untung maupun malang, dalam suka ataupun duka…
Di hadapan Tuhan kita ucapkan janji itu…
Sungguh bahagia dan sukacita saat Dia mempertemukan kita dan mengikatkan kita dalam suatu mahligai rumah tangga…
Biarlah lagu Kahitna yang berjudul Menikahimu ini menggambarkan sedikit-banyak keceriaan yang ada di saat itu…J

menantimu hingga saat
cintaku temukan dirimu
usai sudah sampai di sini
berdiri melabuhkan asmara
 menikah denganku
menempatkan cinta
melintasi perjalanan usia
menikah denganmu
menetapkan jiwa
bertahtakan kesetiaan
cinta selamanya
Seiring berjalannya waktu…
Dan cinta yang semakin mendewasakan diri dalam pernikahan kita…
Aku pun banyak belajar bahwa cinta, bukanlah hanya sebatas kata-kata yang manis di bibir saja. Bukan pula sebatas kemesraan yang selalu ditunjukkan film-film drama…
Tetapi, cinta adalah usaha untuk tetap setia dalam keadaan sesulit apa pun. Asalkan kita sama-sama mau berjuang untuk terus mencinta…
Saling mengampuni, saling mengasihi, di dalam kasih yang Tuhan yang memampukan kita untuk terus berjalan…

Cinta ditunjukkan pula dalam bentuk tanggung jawab merawat buah hati yang kita cintai, menaruh hormat kepada orangtua yang sudah membesarkan kita, juga mengasihi dan mencintai pasangan yang Tuhan percayakan kepada kita dengan sepenuh hati…
Sambil belajar sepanjang perjalanan kehidupan ini, betapa tidak sempurnanya kita dalam mencinta…
Betapa kita harus belajar banyak untuk terus mengampuni dan mengasihi karena kita cenderung egois dan mau menang sendiri…
Kepentingan diri sendiri sering mendesak untuk dipenuhi terus dan terus… Karena cinta juga berarti memberikan diri yang terbaik kepada mereka yang kita cintai…

Dan kini, biarlah lagu Kenny Rogers – Through the Years menjadi lagu kita…
Yang mengingatkan kita untuk tetap setia menjalani tahun demi tahun yang Tuhan percayakan kepada kita…
Melintasi berbagai peristiwa…
Mengarungi bahtera kehidupan…
Bersama dalam tuntunan tangan-Nya…
Karena tanpa-Nya kita takkan pernah bisa jalan sendirian…
Dengan-Nya kita temukan kekuatan dalam melangkah.
Ya, bersama-Nya:)

Through the years
Through all the good and bad
I knew how much we had
I've always been so glad
To be with you

Through the years
It's better everyday
You've kissed my tears away
As long as it's okay
I'll stay with you
Through the years

Through the years
When everything went wrong
Together we were strong
I know that I belong
Right here with you
Through the years
I never had a doubt
We'd always work things out
I've learned what life's about
By loving you
Through the years

Tuhan, dengan seizin-Mu, kami berdoa…
Kuatkan kami dalam melangkah bersama…
Di setiap jalan yang mungkin tak pernah kami duga…
Namun rasa tenang dan damai selalu ada…
Karena penyertaan-Mu yang senantiasa…
Ajar kami tetap setia…
Sebagaimana Engkau begitu setia kepada segenap manusia…

Selamat hari Kasih Sayang…
Tuhan beserta kita dan orang-orang yang kita kasihi…
Sekarang dan selama-lamanya…
Semoga dalam perjalanan kehidupan kita, dalam tahun-tahun bersama-Nya, kita selalu diingatkan untuk terus mengasihi dan saling mengampuni di dalam Dia.

14.02.2013
fon@sg

Tuesday, February 12, 2013

Unexpected You




Where should I start this story?
Entah dari mana harus kumulai kisah ini?
Kali ini aku sungguh bingung.
Segala sesuatu begitu bertumpuk di kepalaku.

Aku hamil lagi.
Entah apa kata dunia soal ini.
Aku sendiri tak menyangka. Di usiaku yang menjelang 45 tahun, aku menerima kabar ini.
Setelah anak-anak kami beranjak dewasa. Tiga orang…
Mereka berusia 17, 15, dan 12 tahun.
Akan ketambahan satu orang lagi anak di keluarga kami.

Tak pernah terpikir olehku bahwa kamu akan hadir di sini, my baby.
Walaupun berita itu baru kuterima pagi ini.
Seiring dengan keterkejutanku karena aku salah mencatat masa suburku.
Aku memang penganut KB alamiah. Tak hendak kumasukkan alat-alat kontrasepsi atau obat-obatan  KB itu ke tubuhku.
Biasanya aku selalu tepat dan tahu.
Biasanya.
Tapi, kali ini sungguh di luar biasanya…
Apa mau dikata.

Kutelpon suamiku.
“ Pap, hasil tes-ku positif.”

Papa di sana terdiam. Terdengar menghela nafas berat.
“ Gimana, ya Ma? Apa Mama mau gugurkan saja? Anak-anak kita sudah besar. Mosok kita mau nambah lagi?” tanya Papa.

“ Mama butuh waktu, Pa. Tidak bisa segampang itu memutuskan. Lagian anak ini tidak salah. Dia tidak berdosa. Mama bingung, Pa.” Isakku perlahan.

“ Ya, sudah. Mama tenang dulu. Nanti malam kita diskusikan lagi. Mama istirahat dulu saja.” Kata Papa.

Aku mencoba tidur.
Tapi, agaknya usahaku sia-sia.
Anakku, kamu tidak pernah minta dilahirkan.
Kamu tak pernah minta dihadirkan…
Mana Mama tega ‘membunuh’ kamu?


                      ***

Diskusiku dan Papa tak membuahkan hasil.
Papa masih berkeras dengan pikirannya. Terutama keuangan keluarga yang morat-marit nanti karena sedang persiapan untuk pendidikan kakak-kakaknya, ditambah harus membeli susu buat Si Bungsu. Sementara aku yang sudah berhenti bekerja dan sekarang memulai bisnis kecil-kecilan membuat kue ulang tahun dan kue kering tak bisa membantu terlalu banyak.
Tetapi, bukankah banyak anak banyak rezeki, Pap?

“ Itu mungkin waktu zaman kakek-nenek kita dulu, Mam. Bukan zaman kita sekarang…” Papa sudah tak mau diskusi. Keputusannya bulat. Agaknya aborsi mungkin harus jadi pilihan.

***
Hari itu aku berdiskusi dengan anak-anakku.
Papanya kerja, jadi aku masih leluasa berbicara dengan mereka yang kuyakini sudah cukup dewasa dan cukup mengerti kondisi. Walaupun tidak seratus persen seperti yang kuharapkan.
Leon, Rieda, dan Markus. Dua anak lelakiku dan satu puteriku.
Kuceritakan kondisiku dan kemauan Papa mereka. Kupikir, mereka pun layak membantu dalam pengambilan keputusan ini.

Mereka sependapat denganku.
Bahkan Leon dan Rieda berjanji untuk membantu usaha pembuatan kueku saat aku tak mampu menjalankannya nanti seusai melahirkan.
Mereka berjanji akan bekerja sama dengan Si Mbak di rumah untuk membantuku. Biar buat bantu beli susu.

Aku menangis terharu.
Mereka sepikiran denganku. Anak ini tidak pernah minta dilahirkan. Dia tidak salah. Kehadirannya, walaupun bukan di saat yang tepat, tetaplah harus disambut dengan sukacita.
Terbayang, begitu banyak orang yang sulit punya anak. Sehingga harus melakukan macam-macam cara, berobat ke mana-mana sampai ke manca negara hanya untuk memiliki keturunan.
Mungkin ini saat yang tidak tepat bagi kami. Tetapi, kami memutuskan untuk menerima. Sekarang tinggal meyakinkan suamiku untuk menerima buah cinta kami yang keempat ini...

***
Awalnya suamiku ngambek. Ngamuk. Marah.
Akhirnya, karena anak-anak kami bahkan memberikan jaminan mereka akan kuliah sambil bekerja jika memang uang tidak cukup, akhirnya dia setuju juga.
Yah, kami menerima janin yang sedang tumbuh dalam kandunganku ini dengan rela.
Walaupun sulit di awalnya, tetapi kami senang dengan keputusan untuk mempertahankannya.
Bukankah ia juga sudah calon manusia? Yang sudah punya nyawa? Dia berhak hidup dan menghirup nafas dunia…

Bulan demi bulan berlalu.
Tibalah sembilan bulan sepuluh hari itu.
Ia hadir ke dunia. Dengan sukacita kakak-kakaknya yang beranjak dewasa.
Dan Mama-Papa yang sudah tak lagi muda….
Tapi kami menyambutnya…
Dahlia Puteri… Dia seperti bunga yang membawa keharuman di rumah kami setelah sekian lama gersang tanpa tangis dan gelak tawa bayi…

Dua puluh tahun kemudian…

Aku dan suamiku yang sudah memasuki usia 66 dan 68 tahun duduk di barisan itu… Juga Leon, Rieda, dan Markus, anak-anak kami beserta suami/istri dan anak-anak mereka, cucu-cucu kami…
Ini hari yang membahagiakan bagi kami…
Hari ini Dahlia Puteri akan diwisuda.
Termasuk cepat memang. Tetapi, putri bungsu kami ini memang luar biasa.
Tuhan kirimkan dia yang pandai dan selalu dapat bea siswa.
Tak sekali pun dia memberatkan kami dalam hal pelajaran maupun dana pendidikan…
Dari kecil-thank God- dia sudah selalu dapat ranking di sekolah…

Diam-diam kuhapus air mata yang menetes perlahan.
Haru. Bahagia. Bangga.
Terlebih karena keputusan besar yang kami ambil dua puluh tahun lalu.
Untuk mempertahankan janin ini. Untuk membiarkannya hidup dan tumbuh.
Terima kasih, Tuhan… Untuk anugerahmu…
Untunglah kami tak cepat-cepat mengaborsinya.
Penyesalan karena perasaan berdosa yang selalu akan menghantui…
Memang hari-hari membesarkan empat anak ini bukan hal yang mudah kami jalani. Tetapi, puji syukur kepada-Mu atas segala penyelenggaraan-Mu…
Kami percaya ketika kami memilih berdasarkan kasih, bukan hanya karena ketakutan kami atau memikirkan kepentingan kami sendiri…
Tuhan akan pelihara dan menjagai senantiasa…

Dan foto itu terpampang indah.
Di dinding ruang tamu rumah kami.
Leon, Rieda, Markus, dan Dahlia yang selesai wisuda.
Kebahagiaan yang takkan pernah bisa dilukiskan dengan kata-kata.

12 Februari 2013
fon@sg

Saturday, February 9, 2013

Ramen’s Reflection




Ada banyak jenis mie yang sering kita jumpai.
Ada mie instan yang pernah jadi kegemaran saya, mie telor, mie basah yang sering juga disebut hokkien mie di Singapura ini,  la mien, mie dari toko-toko penjual mie terkemuka di seluruh Indonesia, juga ada pula ramen dan mungkin beberapa jenis mie yang belum sempat saya sebutkan di sini.
Harga pun bervariasi. Dari yang paling murah – beberapa ribu rupiah saja sampai hidangan yang bisa mencapai angka seratus ribu rupiah untuk semangkuk mie semacam ramen atau la mien.

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan mencicipi ramen di sini.
Ada beberapa restoran yang cukup menggiurkan yaitu Menya Musashi dan RamenPlay. Tentunya ada pula Ajisen Ramen yang sudah lebih lama dikenal.
Menya Musashi memperkenankan kita memilih ramen berdasarkan warna. Red, white or black. Sedangkan RamenPlay terkenal dengan sambal spesialnya yang menggabungkan 17 rempah-rempah (spices) di dalamnya…
Ketika makan ramen, mie asal Jepang itulah, tiba-tiba inspirasi itu timbul dan menari-nari ingin dituliskan :)

Banyak komponen yang menjadikan semangkuk ramen itu terhidang di depan kita.
Bisa jadi itu adalah miso soup base ( bahan dasar sup berupa kacang kedelai), mie (ramen), sayur-sayuran, daging (bila yang dipilih bukan vegetarian ramen), juga rumput laut (nori). Tak ketinggalan sambal atau dried chilli  powder (bubuk cabe kering) bagi yang seleranya suka makanan pedas.
Jika hanya mie saja, takkan sempurnalah ramen itu disajikan bagi kita. Sama halnya jika mie ayam, hanya mie saja tanpa ayam ataupun sayuran, akan ada sesuatu yang kurang.

Demikian pula dengan kehidupan.
Banyak komponen yang menjadikan kehidupan itu sempurna.
Beberapa mungkin menyenangkan, beberapa sangat menyakitkan.
Tetapi, itulah hidup…
Tanpa adanya bagian-bagian yang kurang menyenangkan, tentunya kita tak bisa menjadi dewasa di dalam iman. Kesempatan bertumbuh akan timbul jika kita mau terbuka dan belajar berserah kepada Tuhan di saat-saat yang kurang menyenangkan…

Dalam semangkuk ramen, terkadang kita bisa memilih, komponen yang kita tidak sukai untuk tidak dimasukkan dalam mangkuk kita. Misalnya kita tidak suka rumput laut, kita tinggal bilang saja kepada pelayan restorannya… Atau kita tidak suka sambal, tinggal pilih tidak usah pakai di dalam mangkuk ramen kita…
Dan itu berbeda dengan kehidupan…
Di luar memang kita punya kehendak bebas untuk memilih, namun banyak kali pula peristiwa dan kejadian terjadi di luar kendali kita sebagai manusia. Yang bisa kita lakukan adalah terus memberikan yang terbaik di dalam setiap peristiwa yang datang kepada kita…
Entah senang atau tidak, entah bahagia atau berurai air mata…
Sehingga bila saat-Nya tiba, kita bisa mempersembahkan ‘semangkuk ramen ‘ kehidupan yang sudah kita perjuangkan sedemikan rupa hanya bagi kemuliaan-Nya…

Sekian dulu Ramen’s Reflection kali iniJ
Selamat menjelang imlek bagi yang merayakan. Siapa tahu, mie ada di menu makan malam Anda tadi …
Mari persembahkan kehidupan kita hanya bagi-Nya.

9 Februari 2013
fon@sg
* thank God for ‘ramen’s reflection’ iniJ

Sunday, February 3, 2013

Tembang Cinta Kita Episode #2: Through the Rain







Previously on Tembang Cinta Kita…
Ling tengah meratapi nasibnya. Kesedihan yang begitu dalam ia rasakan saat Glen, pacarnya selama 7 tahun memutuskan hubungan mereka. Orangtua Ling pun tidak menyetujui hubungan ini, sehingga membuat ketegangan dalam relasi orangtua-anak ini. Ling ditemani lagu Officially Missing You dari Tamia sungguh merasa kesepian di Sabtu, Malam minggu setelah putusnya dia dari Glen. Bagaimana kelanjutan kisah Ling? Simak di episode kali ini…

Episode #2: Through the Rain

Some songs made me smile, some songs made me cry...
Well, isn't life itself a song? The melody that I sing and dedicate to the Almighty?(-fon-)

Januari yang basah.
Diiringi rinai hujan, aku melangkah tak tentu arah. Kurang konsentrasi.
Masih untung jalanan sepi.
Terpaksa aku harus keluar rumah karena rasa lapar. Sudah jam 3 sore, dan dari semalam tak ada sesuatu pun yang masuk ke perutku…
Aku menguatkan diriku sendiri untuk melangkah.

Kubeli nasi bungkus di Warteg Ibu Sri, satu-satunya yang paling dekat dengan kos-kosan di daerah Casablanca. Payungku kecil, rintik hujan itu sesekali menjatuhi wajahku. Sedikit bercampur air mataku yang tak bisa dikendalikan itu. Tak ada yang tahu, aku masih menangis sambil berjalan sendirian.

Kembali ke kamar kosku.
Kumakan tiga suap nasi, telor, dan sayur itu tanpa selera.
Lalu kuletakkan begitu saja di meja satu-satunya yang ada di kamarku yang kecil mungil.
Di kamarku terpasang CD Mariah Carey, bukan lagu baru. Melainkan lagu di tahun-tahun awal 2000-an. Tepatnya tahun 2002, saat Mariah menelorkan album ke-9 yang berjudul Charmbracelet.  Lagu itu: Through the Rain.
Aku selalu suka tembang itu. Terlebih lagi, di saat-saat ‘down’ seperti ini. Seolah lagu itu memberikan kekuatan bagiku untuk bangkit lagi. Bersama Tuhan tentunya. Karena aku tahu, dengan kekuatan diriku sendiri, aku takkan pernah bisa melalui hujan badai yang tengah melanda hidupku saat ini.

When you get caught in the rain with no where to run 
When you're distraught and in pain without anyone 

When you keep crying out to be saved 
But nobody comes and you feel so far away 
That you just can't find your way home 
You can get there alone 
It's okay, what you say is 

I can make it through the rain 
I can stand up once again on my own 
And I know that I'm strong enough to mend 
And every time I feel afraid I hold tighter to my faith 
And I live one more day and I make it through the rain

Tuhan, hanya Engkau yang bersamaku saat ini.
Tak ada sanak atau saudara di rantau ini.
Juga mama dan papa yang tengah bersitegang dengan diriku jauh di seberang pulau.
Sungguh, hanya Engkau…
Jika aku tidak menguatkan diriku di dalam iman, apa jadinya aku?
Jika aku bangkit lagi nanti, Tuhan, dari keterpurukanku ini…
Aku tahu, Engkaulah yang menopangku.
Dan menjagaku agar tak sampai hancur diriku ini…

uHujan rintik yang awet.
Sementara di kamarku masih terus mengalun ‘Through the Rain” tanpa henti.
Kuputar ulang. Lagi dan lagi.

Dan tiba-tiba telpon masuk.
Dari Mama?
Dengan ragu, kuangkat handphone-ku.

“Halo, Ma.” Sapaku agak sedikit malas-malasan.
Terlalu kaku hubungan kami, sehingga aku merasa segan untuk ber-hai-hai bahkan dengan mamaku sendiri.

“ Halo, Ling. Sudah lama tidak ada kabar. Mama agak kuatir. Perasaan Mama sudah tiga hari ini kurang enak. Jadi Mama menelpon kamu. Gimana kamu?” Tanya Mama lembut.

Mama tetaplah Mama.
Dia yang melahirkan aku. Dia sesungguhnya yang paling mengerti aku.
Tanpa disuruh, Dia bisa menelponku saat aku sakit di tahun lalu. Dan kali ini, ketajaman intuisinya memaksanya menelponku lagi meskipun aku dan Mama sedang dalam kondisi perang dingin.

Air mataku langsung tumpah seketika.
Kuceritakan kejadianku dengan Glen. Dan Mama langsung memberikan kata-kata yang sungguh menghibur dan menguatkan.
Tuhan, terima kasih.
Di balik semua kejadian ini, ada hikmahnya juga.
Aku jadi berbaikan dengan Mama. Dan itu bagiku sungguh luar biasa!

Bersama Mama dan Papa, kuyakin aku bisa menghadapi permasalahan ini. Setidaknya dengan lebih bijaksana.
Tidak menuruti emosi hatiku semata.

“ Besok Mama datang ke Jakarta.” Katanya seketika.
“ Ah, gak usah, Ma. “ Jawabku.
“ Aku ‘kan harus kerja. Nanti Mama tidak ada yang nemenin.” Jawabku lagi.
“ ‘ Gak usah ditemenin. Mama bisa tinggal di tempat Oom dan Tante sahabat Mama dari kecil dulu. “ Jawab Mama lagi.
“ Oh, Oom Lucky dan Tante Merry,  ya Ma.” Seketika aku ingat mereka. Yah, mereka seolah Saudara Mama, tetapi tidak begitu dekat denganku. Bahkan aku tak pernah bertemu mereka selama aku bekerja di Jakarta. Banyak alasan, terutama aku tak mau mereka memata-matai aku dan melaporkan hubunganku dengan Glen.

“ Pokoknya Mama tetap datang. Titik. Mana mungkin Mama membiarkan kamu begitu saja di tengah apa yang kamu alami?” Mama menjelaskan lagi.

“ Ok, Ma. ‘Ma kasih.” Jawabku lagi.

Yah, setidaknya aku tak harus sendiri.
Papa pun berbicara sejenak. Bilang bahwa dia tak bisa datang. Karena tak bisa meninggalkan kesibukannya di toko bangunan kami di Jambi.
Aku mengerti. Kedatangan Mama sudah lebih dari cukup bagiku.


***
Sudah dua hari Mama di Jakarta.
Aku pun masih cuti karena memang seminggu ini aku berusaha mengalihkan perhatianku dari Glen.
Aku ke mana-mana sama Mama. Malam terkadang aku menginap di rumah Tante Merry yang menyambutku ramah. Hatiku terhibur dengan kedatangan Mama dan keramahan Tante Merry sekeluarga.
Kata Tante, anaknya yang tertua yang sekarang tengah kuliah di Australia akan segera pulang dalam dua hari ini. Kuhanya melihatnya di foto keluarga. Nama panggilannya Han. Nama lengkapnya? Entah. Aku tak terlalu peduli. Aku hanya menikmati masa-masa ‘through the rain’ ini. Yang disediakan bagiku dari Tuhan. Bersama Mama dan keluargaku, juga bersama Tuhan, keyakinan untuk bisa melewati semuanya ini timbul lagi. Bukan sesuatu yang menggebu, tetapi sepercik harap masih ada di situ.
Semoga proses pemulihan ini lebih cepat yang kukira…
Sementara di taksi yang membawa kami dari Senayan City ke rumah Tante Merry di bilangan ‘Green Garden’ tengah diputar lagi lagu Mariah Carey dari sebuah radio.


I can make it through the rain 
I can stand up once again on my own 
And I know that I'm strong enough to mend 
And every time I feel afraid I hold tighter to my faith 
And I live one more day and I make it through the rain

Kusandarkan kepalaku ke bahu Mama. Kemanjaan yang sungguh sering kuulang.
Terima kasih, Tuhan untuk secercah harap yang muncul. Mama yang menemaniku. Dan tentunya Engkau yang selalu setia di setiap babak di hidupku.
Sesungging senyuman muncul di sudut bibirku. Dan ribuan terima kasih kuteriakkan di dadaku. Hanya bagi-Mu.

To be continued…

03.02.2013
fon@sg