*** cerpen – Jelang Valentine’s Day
Akhir-akhir ini Vin berontak. Ada rasa yang begitu mendesak di dalam hatinya. Kuat. Kecewa itu terlalu dalam. Menusuk dan menghujam.
Kecewa erat berhubungan dengan ekspektasi. Pengharapan. Semakin tinggi harapan yang diletakkan pada sesuatu atau seseorang, semakin dalam pula rasa kecewa yang akan dirasakan bila hal yang diharapkan tidak menjadi nyata. Vin tahu sebetulnya akan hal itu, tetapi agaknya sulit juga baginya karena yang melukainya adalah orang-orang yang terkasih. Orangtuanya, pacarnya, adik-kakaknya. Yah, terkadang harus diakui, merekalah sukacita terbesar di dalam hidupnya. Sekaligus banyak kali juga, mereka jugalah yang membuat kesedihan di hatinya memuncak. Perasaan dicuekkan, tidak lagi dipedulikan, jarang diperhatikan bahkan oleh pacarnya sendiri yang berada di lain kota membuat dirinya semakin merasa kesepian. Sendirian. Apa artinya suatu relasi berpacaran, kalau tidak banyak kesempatan untuk bertemu muka. Vin bukan tipe yang suka jenis berpacaran jarak jauh, tetapi harus dan mau tidak mau dilakoninya juga karena ketika dia berpacaran dengan Adit, mereka masih satu kota. Lalu, karier Adit meningkat dan mereka terpaksa berpisah.
Orangtuanya memang tak pernah mendukung hubungan mereka. Salah satu alasan utamanya adalah papa dan mama Vin selalu merasa bahwa Adit bukanlah yang terbaik bagi Vin. Terlalu banyak hal yang membuatnya demikian. Adit bukan dari keluarga yang kaya seperti keluarga Vin. Juga bukan dari keluarga terpandang. Adit adalah anak seorang petani miskin dari luar pulau yang jujur dan bekerja keras. Adit juga pekerja keras dan pintar, itu yang membuatnya menyelesaikan kuliahnya dengan bea siswa dari Universitas yang mempertemukan mereka di Jakarta. Vin-sebaliknya, tidak peduli dengan latar belakang seseorang. Vin percaya bahwa seseorang yang berkarakter baik, tetaplah baik, terlepas dari bibit, bobot, bebetnya. Seringkali, Vin juga melihat bahwa begitu banyak orang yang berasal dari keluarga kaya, terpandang, berpendidikan, terutama anak-anak dari teman Papa-Mamanya malah bukanlah merupakan orang yang baik. Mereka kasar terhadap orang-orang yang lemah dan bekerja pada mereka. Pada sopir, pada pembantu, membentak-bentak, tidak diberi makan selayaknya-tak jarang diberi mie instan yang kadaluarsa. Bahkan sakit agak parah pun, tidak diobati, bahkan masih disuruh-suruh dengan kasar. Jika ukurannya adalah bibit, bobot, bebet, bagaimana dengan mereka yang terlahir miskin tetapi berkarakter baik?
Vin memang idealis. Dia selalu mengutamakan sikap hidup seseorang. Jangan bicara soal latar-belakang, kekayaan, kepandaian, spiritualitas yang mengindoktrinasi padanya. Dengan keras, dia akan menyanggah semuanya. Bagaimana orang tersebut hidup, itu yang terpenting baginya!
Kini, Adit harus pergi. Ke negeri tetangga, di Malaysia. Tempat ada kesempatan baru terbuka. Mungkin juga bagi masa depan mereka. Dengan demikian, Adit bisa jadi lebih mapan dan semoga lebih dipandang oleh orangtuanya. Vin harus rela melepas Adit walau dengan berat hati. Dan di Jakarta, Vin selalu mendapat gangguan dari pria-pria di sekitarnya. Yang walaupun mereka tahu bahwa Vin sudah punya pacar, tetapi tidak disetujui ortunya dan jauh di negeri tetangga.
Vin harus berjuang melawan rasa sepinya. Yang semakin lama semakin sering mengganggunya. Yah, Adit pulang setahun 2-3 kali. Sementara Vin pun bisa setahun 2-3 kali ke Malaysia. Tetapi, tetap dirasa masih kurang baginya. Apalagi desakan ortunya semakin keras agar dia segera menikah karena umur pun jalan terus ujar mereka. Kalau tidak dengan Adit, rasanya saat ini dia pun malas memikirkan menikah. Karena cinta dan hatinya sudah terpaut padanya saja.
***
Di suatu hari.
Papa- mama marah-marah lagi. Sementara di rumah, adik dan kakaknya berbalik memusuhinya karena menurut mereka, dia sudah mencoreng nama keluarga mereka.
Hmmm, tunggu dulu… Mencoreng??? Memangnya apa yang sudah dia lakukan? Vin mengangkat bahunya. Blackberry messenger dengan Adit di seberang sana sudah berjam-jam belum dibalas. Katanya sedang rapat dengan bosnya hari ini.
Nonton TV salah. Berbaring di ranjang salah. Browsing internet salah. Lihat Blackberry dan Whatsapp malas. Entahlah, ketika kecewa sudah terlalu dalam, rasanya apa pun salah saja. Vin juga tak ingin ke mana-mana. Entahlah, akhir-akhir ini dia selalu kehabisan enerji selepas kerja. Kerja pun dipaksakan untuk terus konsentrasi karena kalau tidak kariernya bisa jeblok gara-gara ini. Tetapi, dia sendiri sangat sulit konsentrasi. Segala sesuatu tertuju pada permasalahan ini saja. Tetapi, untuk putus dari Adit, dirinya juga tak kuasa. Haruskah jalinan cinta mereka yang saling menyanyangi itu hancur gara-gara orang-orang di sekelilingnya?
Yang satu-satunya dia bisa lakukan, agaknya berdoa. Hal yang sudah sungguh lama tidak dilakukannya. Ke gereja pun kadang pergi, kadang tidak. Tetapi, sungguh hari ini, dia butuh ketenangan dari Tuhan. Rasanya, dia sudah tak sanggup lagi atasi semuanya ini sendiri.
“ Tuhan, ini aku.”
Dengan kaku, dimulainya doanya itu.
“ Katanya Engkau Maha Tahu, ya Tuhan. Aku sudah begitu lelah dengan hidupku. Ada kalanya segala permasalahan ini memaksaku ingin berhenti. Berhenti berelasi dengan Adit. Atau putus hubungan dengan keluargaku. Atau… yang paling ekstrim, aku pernah berpikir untuk mengakhiri hidupku. Tetapi, aku pikir-pikir lagi, ketika kuakhiri hidupku, bukankah aku akan jadi seseorang yang berdosa, yang merasa lebih tinggi dari Sang Pencipta, sehingga bisa mengakhiri hidupku saat ini saja tanpa seizin-Mu? Ah, aku tak mau… Tak mau, Tuhan. Tetapi, lewati hari-hari belakangan ini terasa sungguh sulit, Tuhan. Aku rasa aku sudah putus asa. Tak tahu harus bagaimana.”
Vin diam. Hanya air mata menggenangi kedua belah pipinya. Mengalir deras bak sungai kecil. Diambilnya secarik tissue, lalu melanjutkan doanya…
“ Tuhan… Apa aku harus putus dengan Adit, sementara kami sudah saling cinta mendalam begini? Dan bagaimana dengan Papa dan Mama, yang seolah tak mengerti bahwa kami sudah cinta dan Adit pun anak yang baik dan mau berusaha keras untuk masa depan kami? Dia memang bukan orang kaya. Tetapi apa orang yang tidak punya, tidak bisa jadi calon suamiku, Tuhan?”
Dia diam lagi. Tetapi, satu sisi mulai merasakan kelegaan dan merasa nyaman dengan komunikasi yang walaupun masih satu arah, dia yang curhat melulu. Tetapi, dia sukai itu.
“ Dan Rei juga Ai, kakak dan adikku, ikut-ikutan. Itu yang tambah menyebalkan dan bikin pusing kepala, Tuhan. Apa urusan ini gak cukup? Harus ditambah permasalahan dan permusuhan dengan mereka? Bukannya membantu, malah menyebalkan…Huh!”
“ Adit juga semakin sulit dihubungi, Tuhan. Meeting, meeting, dan meeting terus. Kadang aku sendiri ragu. Apa meeting beneran ato tidak, ya Tuhan?”
“ Tiba-tiba hidup terasa berat. Memuakkan. Tak lagi ada warna keceriaan. Membosankan. Mengecewakan. Menyakitkan. Uhhh, gak tau lagi deh, Tuhan. Yang pasti aku sedang kecewa berat. Malas ngapa-ngapain, mungkin sedikit depresi. “
Lagi-lagi dia diam. Tetapi, tiba-tiba dari dalam hatinya muncul suatu kelegaan. Karena sudah berdoa dan curhat dengan Tuhan. Ehhh, berdoa? Kata yang tak pernah ada di kamusnya itu koq tiba-tiba jadi sesuatu yang mengasyikkan. Kesendirian, kesepian, yang berpadu dengan permasalahan kehidupan yang membelit, membuatnya mencari Tuhan. Memang, tidak selalu harus dalam penderitaan manusia baru ingat Tuhan, tetapi seringkali manusia menjadi sombong kala semuanya lancar dan baik-baik saja, lalu cenderung melupakan Tuhan. Ketika dirundung permasalahan, barulah ia sadar bahwa tanpa Tuhan, dia bukanlah siapa-siapa… Seperti Vin. Hari itu malah menjadi hari yang bersejarah. Malah menjadi hari yang menyukakan. Hari hari itu, dia pertama kalinya berkomunikasi dengan Tuhan.
Hari yang penuh kecewa. Memuncak sehingga ia kehilangan arah. Tak tahu harus apa, bagaimana, dan ke mana. Kepada Tuhanlah ia menuju, curahkan semua rasa. Tak ada yang bisa menemaninya setiap waktu. Walaupun itu Adit. Tetapi Tuhan Maha Hadir dan bisa melakukannya… Tiba-tiba ia tak lagi kesepian, tiba-tiba di punya seseorang yang selalu ada untuknya. DIA jadi sahabat sejatinya.
***
14 Februari 2012
Valentine’s Day.
Ahhh, Valentine’s Day? Valentine’s Day apaaa?
It’s just another day passes by… Plus embel-embel dinner mahal yang ditawarkan restoran dan hotel. Bunga, cokelat, kue tart, dan kado buat pacar yang mendadak bertebaran mengisi hari itu…
Vin berjalan. Agak gontai.
Mal itu terlalu manis dengan hiasaan berbentuk hati di mana-mana. Warna pink mendominasi. Tetapi, yang dia hadapi hanya sunyi. Namun, agak ada perbaikan kali ini… Karena dia sudah bisa curhat dengan-Nya…
Makan siang di mal jadi membosankan. Vin mendadak kenyang. Hanya rekan sekerjanya yang keheranan. Vin hanya diam, berusaha memasukkan suapan makanannya dengan tak bernafsu.
Pulang ke rumah. Biasa. Sepi lagi.
Papa-Mama, adik-kakaknya sedang pergi ke Singapura. Hanya untuk wiken. Seperti biasa kalau mereka tidak ada kegiatan. Vin sudah lama sekali tidak ikut-ikutan kegiatan itu. Sejak kondisi yang kurang mengenakkan. Sejak ia pacaran dengan Adit.
Diparkirnya mobil dengan perlahan. Pintu mobil dibuka dengan lemas. Tak bertenaga. Masuk ke ruang tamu, koq gelap. Tumben Si Iis-pembantu rumah mereka tidak menyalakan lampu.
Dicarinya tombol lampu di dalam gelap. Dan klik. Terang seketika.
Ada Adit di sana. Membawa bunga mawar merah satu lusin. Tanda cinta. Dengan senyum merekah.
“ Adittt, katanya kamu sibukkk… Bahkan, kamu bilang mau meeting ke Thailand segala…. Jadi be-te, dehhh.” Dipukulnya Adit dengan mesra.
Adit pun mengucek-ucek rambutnya dan memeluknya.
“ Sori, aku sengaja. Ha ha ha…”
“ Huh, udah puasss?” Tanya Vin.
Adit masih cengar-cengir saja.
Ditambah lagi, satu per satu anggota keluarganya mulai memenuhi rumah. Papa, Mama, Rei, dan Ai. Ah, mereka ternyata tidak ke Singapura. Bohonggg…
“ Halo, Vin. Kami mau jadi saksi.” Kata mereka hampir berbarengan.
“ Saksi? Saksi apa?” Ujar Vin kebingungan…
“ Ini…” Ujar Adit serius sambil menyodorkan cincin berlian ke hadapannya.
“ Vincenzia Marsha Salim, will you marry me?” Bisik Adit lembut di telinganya.
Vin hampir pingsan. Tetapi sempat mengangguk dan mengatakan: IYA.
Entah bagaimana caranya, keluarganya bisa mencapai kesepakatan dengan Adit. Adit pun sudah mendapatkan karier yang baik dan dipromosi di Kuala Lumpur sana. Tak ada alasan bagi keluarganya lagi untuk menolaknya. Adit sudah membuktikan dirinya. Adik dan kakaknya ternyata memang sengaja melakukan hal itu, berpura-pura bersekongkol dengan Papa dan Mama. Padahal di Singapura, mereka sempat bertemu dengan Adit yang menyatakan keseriusannya hendak menikahinya.
“ Terima kasih, Tuhan.” Bisik Vin perlahan.
“ Tak kusangka akhirnya seindah ini. Oh, tentunya ini juga awal bagi kami ya, Tuhan… Aku dan Adit, serta keluarga kami… Dan nantinya anak-cucu yang Kautitipkan pada kami…”
Mungkin Vin akan bekerja di Malaysia, mungkin juga tidak. Mungkin hanya mengurus anak. Mungkin… Semuanya masih mungkin.
Secepat itu juga tanggal pernikahan ditentukan. Tempat pernikahan dicarikan. Dan kehidupan baru sudah menanti di depan mata…
Satu yang pasti, di suatu hari penuh kecewa beberapa waktu yang lalu, dia sudah menemukan persahabatan dengan-Nya. Dia sungguh bahagia karenanya. Dan Vin percaya, dalam segala kondisi kehidupannya. Apa pun yang terjadi nanti, susah-senangnya… Dia persembahkan kepada Tuhan. Selalu ada jalan bagi mereka yang percaya kepada-Nya.
Ini sungguh hadiah Valentine tak terlupakan baginya.
“Terima kasih, Tuhan!” Senyum bahagia mengiringi wajahnya.
HCMC, 8 Februari 2012
-fon-