… There’s no such a perfect marriage…
If there is, that must be a marriage
that tolerates, forgives, and loves one another as a couple…
And most of all, put God as the
centre of it.
… Tidak ada pernikahan yang sempurna…
Jika ada, tentunya merupakan sebuah
pernikahan yang dipenuhi toleransi, pengampunan, dan kasih antara pasangan
suami- istri…
Dan di atas itu semua, menempatkan
Tuhan sebagai pusat dari pernikahan itu sendiri.
(-fon-)
4 November 2013. Suntec City Mall-Singapore.
Hari itu kami sekeluarga
ke Suntec City Mall di pusat kota Singapura.
Di tengah mengurusi
berbagai keperluan di sana ,
mata saya tertuju pada kata-kata “A
Perfect Wedding” yang menjadi slogan pameran pernikahan di atrium mal tersebut.
Kata-kata itu terus
bergema.
A Perfect Wedding.
Sebuah pernikahan yang
sempurna.
Pestanya, perayaannya,
pakaiannya, makanan yang disajikannya, juga sah secara agama dan sipil
tentunya.
Rasanya, hal itu sangat
mungkin terjadi.
Karena dua orang yang
saling mengasihi, yang hendak berjanji setia, pasti akan memberikan yang
terbaik sesuai kemampuannya.
Semua sesuai kemampuan dan
kondisi keuangan masing-masing tentunya.
Acara ‘wedding’ itu
sendiri hanyalah sesuatu yang singkat.
Maksimal hanya sehari
saja. Atau jika ada acara lanjutan, mungkin seminggu.
Namun, kehidupan
sesudahnya adalah bagaimana menjalani tahun demi tahun pernikahan itu sendiri
dengan tulus hati.
Beberapa sahabat yang
sudah menjalani pernikahan, agaknya setuju bahwa tidak ada kisah ‘live happily
ever after’, tanpa menyertakan toleransi, pengampunan dan kasih.
Serta menempatkan Tuhan
sebagai pusat dari pernikahan itu sendiri.
Kekecewaan mungkin timbul.
Si Dia yang dulu rasanya
‘ngebelain gue banget’ koq sekarang jadi seperti itu saja?
Cuma segitu doang.
Belum lagi permasalahan
tambah pelik dengan adanya perluasan anggota keluarga karena pernikahan.
Mertua, ipar, yang dulunya
bukan siapa-siapa, sekarang mendadak jadi anggota keluarga yang tentunya butuh
adaptasi juga.
Belum selesai adaptasi
antarpribadi yang menikah, harus pula adaptasi dengan mertua dan ipar.
Tak jarang konflik pun
terjadi, apalagi jika tinggal berdekatan atau serumah.
Jika hanya mengandalkan
perasaan dan harapan untuk tidak pernah kecewa, agaknya pernikahan akan
berakhir begitu cepatnya.
Tak aneh pula jika kita
dengar di sekitar kita, sahabat kita yang baru saja melangsungkan pernikahan di
hotel mewah dan megah, hanya dalam hitungan bulan sudah di ambang perceraian.
Belum lagi berita-berita
infotainment dari selebriti yang kawin-cerai semudah beli baju, membuat
lagi-lagi orang mempertanyakan: apakah masih ada kesetiaan dalam pernikahan?
Apakah lembaga ini menjadi begitu sulit dipertahankan?
Apakah lembaga ini menjadi begitu sulit dipertahankan?
Dalam sudut pandang saya
pribadi, setelah menjalani pernikahan itu sendiri, saya sungguh sadar bahwa
untuk tetap setia pada pasangan kita di zaman sekarang ini bukanlah hal
gampang.
Begitu banyak godaan untuk
lari dari kesetiaan itu sendiri.
Begitu banyak alasan yang
seolah mengajak kita untuk mengingkari janji setia dengan pasangan kita.
Jika hanya mengandalkan
kekuatan saya sendiri, agaknya sulit untuk mempertahankan ini semua.
Namun, itu semua menjadi
MUNGKIN bahkan menjadi sesuatu yang harus DIPERJUANGKAN secara maksimal bersama
Tuhan.
Bersama Tuhan, Dia akan
hapuskan luka dan air mata kecewa.
Aku pernah dikecewakan
pasanganku, sambil introspeksi diri juga, pasti aku pernah mengecewakan dia.
Tidak pernah aku melulu
yang benar dan dia salah, tetapi pasti juga pernah aku yang salah dan harusnya
aku minta maaf.
Salah paham, salah
pengertian, pertengkaran, mungkin diam-diaman satu sama lain adalah hal yang
pasti pernah terjadi di pernikahan.
Namun, bagaimana kita
menyelesaikan perkara itu untuk kemudian menjalin suatu pengertian yang baru
antar pasutri akan menjadi bekal yang memperkuat pernikahan itu sendiri di
kemudian hari.
Apakah seolah begitu gampangnya
dengan menyertakan Tuhan, segala sesuatu akan beres?
Saya percaya, kita semua
sadari, tidak ada yang mudah di hidup ini.
Semua butuh proses dan
perjuangan, dan itu yang menjadikan kita bertumbuh dewasa dalam iman, di dalam
kebijaksanaan.
Bersama Tuhan, dengan
keinginan luhur untuk mempertahankan kesetiaan pernikahan itu sendiri, saling
memberikan diri yang terbaik bagi pasangan dan anak-anak yang dipercayakan-Nya,
menjadi sesuatu yang mungkin.
Tetap setia kepada
pasangan kita, tentunya merupakan hal yang harus
diperjuangkan.
Tidak ada orang yang
sempurna.
Dia tidak, saya pun tidak.
Hanya dengan berusaha
saling memahami satu sama lain, saling menerima, lalu berdoa kepada Tuhan untuk
dibukakan pintu maaf dan saling mengasihi, pernikahan itu semoga langgeng.
Dijauhkan dari segala
bentuk perselingkuhan ataupun pengkhianatan. Perselingkuhan seolah merupakan
obat yang pas bagi pasangan yang tengah bermasalah.
Padahal, perselingkuhan
selalu membawa permasalahan baru.
Melukai pasangan, diri
sendiri, anak-anak kita, dan kemungkinan anak-anak yang dihasilkan dari
perselingkuhan itu nantinya…
Ini yang mungkin kurang
disadari.
Hari ini, saya mengajak
para pasangan suami istri untuk mengupayakan suatu pernikahan yang terbaik yang
kita bisa.
Cintai pasangan kita,
hargai mereka.
Kasihi mereka dengan kasih
Tuhan.
Maafkan mereka,
sebagaimana kita pun butuh dimaafkan jika kita berbuat salah.
Tetaplah setia.
Pernikahan yang sempurna
hanya akan terjadi dengan menyertakan Tuhan yang sempurna itu ke dalamnya.
Semoga kita terus
berpegang kepada-Nya.
14.11.2013
fon@sg