Ah,
Aku Bahagia…
Jakarta,
Desember 2013.
Hujan.
Deras.
Titik-titik
air yang turun membasahi bumi jumlahnya
tak terhitung. Seolah menangis bersamaku di dalam kesepian mendalam yang
kurasakan sungguh. Kesendirian kembali datang dan menyerang setiap sudut
hatiku. Dan, dingin itu kembali menyergap, menyebar dari hati dan pikiranku
lalu menjalari sekujur tubuhku. Suka atau tidak, aku harus menjalani kehidupan
ini dan perlahan aku mulai belajar menerima rasa itu sebagai bagian hidupku.
Di
apartemen bertipe studio di kawasan segitiga emas ini, aku membenamkan semua
kesedihanku. Sambil memeluk bantal yang sudah dipenuhi air mataku, seketika kejadian
itu menari-nari di kepalaku. Bermain satu-satu. Sebagai bagian dari episode
kehidupanku. Episode yang ingin kulupakan. Episode yang kalau bisa ingin ku-delete
untuk selamanya! Biar bagian-bagian itu tak lagi kembali dan menyakiti
hatiku lagi seperti malam ini!
***
Jangan tanya padaku apa arti
bahagia. Aku sudah lupa, walaupun dulu aku pernah mengecapnya. Tahun demi tahun
berlalu... Dan, perihku? Tak pernah berkurang barang sedikit pun! Malah semakin
dalam seiring berjalannya Sang Waktu.
Sejak kelahiran Devon yang
seharusnya kami sambut dengan gembira, karena dia anak pertama yang sungguh
kami nanti-nantikan...Namun, ternyata, kelahirannya lebih banyak membawa duka
ketimbang ceria yang gegap gempita. Devon, anakku harus kembali kepada Sang Pencipta
saat usianya baru satu bulan. Air mataku masih menetes ketika mengingat hal
ini. Padahal kejadian ini sudah lama. Sudah sekitar enam tahun lamanya.
Susah payah kukandung dia… Dengan
segala ‘morning sickness’, muntah bukan hanya di pagi hari, namun sepanjang
hari. Dengan pendarahan yang selalu mengiringi dan membuatku was-was. Aku
bahagia, ketika akhirnya dokter bilang bahwa sudah waktunya untuk bayi kami
dilahirkan dan kami pilih operasi Caesar, mengingat kemacetan Jakarta yang
sungguh sukar ditembus bila ingin melahirkan normal.
Aku sungguh bahagia. Reyhan,
suamiku juga. Seolah kehadiran Devon melengkapi kebahagiaan kami. Namun,
ternyata kenyataan pahit yang harus kami terima. Devon lahir dengan kelainan
jantung. Dari saat ia membuka matanya di dunia ini, dia harus langsung berhadapan
dengan ruang ICU, jarum suntik dan selang infus. Saat ibu lain berbahagia
menyambut tangisan pertama bayinya dan kesempatan menyusui buah hatinya.
Sementara aku? Harus puas dengan melongokkan kepalaku ke ruang ICU, sembari duduk
di kursi roda yang didorong Rey, suamiku.
Seolah belum cukup hantaman
kehidupan atas kami. Setelah harus menyaksikan itu semua, bukan kesembuhan yang
didapat bayi kami. Malahan kedukaan yang mendalam yang harus kami alami. Devon
harus pergi untuk selamanya.
Aku menjerit. Menangis. Meraung.
Marah pada Tuhan. Mengapa tega?
Pahit. Getir. Ya, sungguh pahit
pil kehidupan yang harus kutelan saat itu. Dan, kegetiran itu masih tersisa sampai
hari ini. Banyak. Teramat banyak.
Sempat depresi, aku harus
menjalani kontrol ke psikiater. Sesuatu yang bakal kutertawakan di masa lalu.
Namun, ternyata aku harus menerimanya juga. Masih untung aku tidak harus masuk
Rumah Sakit Jiwa. Namun, seluruh kondisi yang ada membuatku ingin mengakhiri
hidupku. Aku sungguh kecewa!!!
Keadaan ini bertambah runyam,
saat Rey bukannya mendukungku melewati kegetiran ini. Malah dia pergi
meninggalkanku.
Dan itu membuatku tak lagi kuasa
bertahan. Aku collapse! Dan, aku harus masuk Rumah Sakit Jiwa!
***
“ Namamu siapa?” Tanya seorang
pria berbaju putih di hadapanku. Wajah kebapakan yang ramah. Aku tersenyum. Berusaha keras mengingat
namaku.
“Rania. Eh, itu ‘kan nama Ratu,
ya Pak? Tapi, sepertinya namaku tak
jauh-jauh dari situ.” Aku tertawa. Untuk sesuatu yang tidak terlalu lucu. Aku
menertawakan kebodohanku. Tak lagi mengingat namaku sendiri.
Tetapi, tiba-tiba, ada sesuatu
dari dalam hatiku, juga benakku yang mendorongku untuk berbicara dan
mengucapkan namaku sekali lagi.
“Melania. Melania Sukmono. Ya,
itu namaku, Pak!”
Pria itu, yang kemudian kuketahui
sebagai dokter kejiwaan yang menanganiku tersenyum. Dokter Herman menyalamiku,
“Selamat, Melania. Suatu awal yang baik sekali!”
Setelah itu, perlahan ingatanku
mulai kembali. Satu per satu. Aku kembali menata kehidupanku yang , sebelumnya
hancur berkeping-keping. Ya, aku percaya selalu ada kesempatan kedua. Tak
peduli seberapa hancurnya kehidupanku di masa lalu, selalu akan ada titik
balik, di mana aku mampu berdiri tegar sekali lagi. Setelah sekian lama
terjatuh, terpuruk, kini saatnya untuk bangkit kembali.
***
The
Bay Bali. April 2014.
Aku selalu suka mampir ke Bali. Entah mengapa, seolah ada sesuatu yang
menarikku lagi dan lagi untuk berkunjung ke Pulau Dewata ini. Kali ini aku
kembali. Seorang diri.
Sampai hari ini, Rey, yang masih
berstatus suamiku masih seolah hilang ditelan bumi. Entah di mana, entah ke
mana, aku tak tahu. Dalam hatiku masih merindu. Kangen sekali akan dia. Namun,
apa daya, inilah kenyataan yang harus kuhadapi. Aku harus menerima
kesendirianku. Lagi.
Hidup pernah begitu menjatuhkanku
sampai ke jurang yang terdalam. Episode Rumah Sakit Jiwa, tentunya bukan
sesuatu yang membanggakan. Kusyukuri kenyataan bahwa setelah babakan penuh luka
dan air mata terlewati-Devon dan kematiannya, juga kepergian Rey tanpa kabar
berita- kini aku kembali berada di puncak karierku sebagai manajer pemasaran di
sebuah majalah ‘parenting’ nomor satu di Indonesia. Aku berterima kasih sungguh
kepada Yang Kuasa atas segala yang kembali bisa kunikmati saat ini. Hidup bisa
menjungkir-balikkan kita, namun asalkan kita tak menyerah, kita bisa kembali
menikmati keindahannya.
Di sela-sela kesibukanku, aku
selalu menyempatkan diri ke Bali. Seperti kali ini. Aku mengambil cuti di hari
Jumat. Kupilih pesawat yang cukup pagi,
lalu tiba di Bali sekitar tengah hari. Tepat jam makan siang aku sudah berada
di kawasan yang selalu setia kukunjungi saat di sini. The Bay Bali. Makan siangku kuiisi dengan menu renyah dari Bebek
Bengil bali. Bebek crispy-nya selalu bikin kangen untuk selalu datang lagi.
Belum lagi sambalnya yang 'nendang'. Pedas. Rasanya puas dan selalu ingin
mampir lagi. Seusai makan siang, aku berjalan menuju kawasan pantai tak jauh
dari kawasan The Bay ini. Cuaca yang
sedikit mendung dan berawan, membuatku bisa berjalan santai. Topiku melindungi
wajahku. Aku tak suka panas menyengat itu membuat kulitku terbakar.
Di situ, di bawah pohon yang
cukup teduh ada seorang lelaki sedang duduk. Yang kulihat hanya punggungnya.
Sepertinya dia tengah menggoreskan pensilnya di atas kertas gambar. Sebuah
sketsa? Entahlah. Aku hanya menebak dari apa yang terlihat sementara.
Kuhalau rasa ingin tahuku, lalu perlahan
beranjak pergi dari situ. Namun tanpa sengaja, sepatu hak tinggiku terantuk
batu dan aku terjatuh. Spontan aku berteriak, “Aduhhhh!”
Lelaki itu bergegas meletakkan
kertas gambarnya, lalu berbalik menuju ke arahku. Dia ingin menolongku. Namun,
kami jadi membisu seketika. Dia-Reyhan, suamiku! Kututup mulutku dengan
tanganku, sungguh terkejut aku!
Rey masih memelukku. Aku tak lagi
bisa bicara. Aku tak kuasa.
Rey tersenyum, namun di sudut
matanya ada air mata.
“Maafkan aku, Mel, aku terlalu
pengecut. Aku bukan suami serta ayah yang baik.”
Kami saling berpelukan. Ketika
waktu dan kesempatan kembali mempertemukan kami dengan suasana di luar dugaan,
sungguh kami tak kuasa. Di situ, Rey mulai bercerita tentang kepergiannya
mendadak setelah melunasi pembayaran uang Rumah Sakit anak kami, Devon. Dia
lalu keluar RS dengan suasana hati yang kacau. Dia mengemudikan mobil dengan
kecepatan tinggi, lalu kecelakaan naas itu telah membuatnya tak sadarkan diri
selama satu bulan. Setelah tersadar, dia baru tahu bahwa dia harus kehilangan
satu kakinya. Kini dia memakai kaki palsu.
Butuh keberanian untuk bangkit
kembali dari keterpurukan, dari segala yang telah dialaminya, dan kembali
tegar. Waktu mendewasakan dia. Juga aku. Aku tidak marah, apalagi sakit hati.
Aku bisa mengerti apa yang dia alami. Dan, kekuatan cinta kembali menyatukan
kami merajut hari-hari. Dia masih tinggal di Jakarta. Hanya enam bulan
belakangan ini, dia yang seorang desainer interior mendapat tugas untuk merancang
sebuah restoran di Bali. Rey sering ke The
Bay untuk mencari inspirasi.
Akhir dari penantianku berbuah
manis. Walaupun menjalaninya sempat membuat emosiku naik-turun, namun akhirnya
bahagia itu kembali datang dan menyapa dengan senyum dan kerling manja.
What
should I say? I’m so happy…
Bumbu Nusantara - The
Bay Bali. Desember 2014.
Banyak yang terjadi dalam delapan
bulan terakhir ini. Semuanya dalam nada-nada bahagia yang begitu menyentakkan
jiwa. Rey kembali melamarku setelah kami menghabiskan waktu bak sepasang anak
muda yang kembali kasmaran. Rajutan tali kasih yang tercipta sungguh indah dan
begitu menghanyutkan. Rey memberikanku cincin peneguhan cinta, karena kami tak
pernah sungguh bercerai atau berpisah. Cincin itu membawa kami semakin dalam
menyayangi satu sama lain. Menyadari hidup bisa menyajikan banyak
kejutan-beberapa di antaranya menyenangkan, beberapa di antaranya membawamu
sungguh ke bagian terjal kehidupan. Namun, dengan berpegang pada iman, percaya
pada kesempatan kedua, kami kembali dipersatukan setelah mengalami
kejadian-kejadian yang memilukan.
Di Restoran Bumbu Nusantara ini,
kami kembali mengukuhkan janji pernikahan kami. Seolah ini merupakan perayaan
pernikahan yang pertama saja, kami mengundang sekitar 150 orang. Bumbu
Nusantara disulap dengan warna dominan putih dan ungu. Putih kesukaan Rey, ungu
kesukaanku.
Makanan khas Indonesia tersaji
rapi, memuaskan para undangan. Setelah pesta yang meriah dan berlangsung sukses
ini, kami pindah ke Bali mulai tahun 2015 mendatang karena Rey secara permanen
akan mendisain banyak restoran di Bali dari perusahaan yang puas akan
pekerjaannya. Lalu, aku pun mendapatkan transfer dari perusahaan tempatku
bekerja. Aku masih bisa melanjutkan pekerjaan pemasaranku di kantor cabang Bali
yang semakin hari semakin berkibar saja.
***
Kucubit tangank sendiri. Ini
bukan mimpi. Bahagia kembali mengisi hari-hari kami. Setelah episode kecewa, episode
bahagia mulai mengetuk pintu keluarga kami. Kami masih sangat sering menghabiskan
waktu makan malam di The Bay. Untuk mengenang
kembali pertemuan kami di situ dan merayakan cinta yang kembali datang mengisi
relung-relung hati kami yang terdalam.
Hujan kembali turun. Kini aku
dalam pelukan Reyhan di Bali. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya menikmati rasa
ini. Ah, aku bahagia…:)
The
End.
Singapore, 13 April 2014.
@copyright Fonny Jodikin