I’m Not Michael Phelps…
Michael Fred Phelps (born June 30, 1985) is an American swimmer and 14-time Olympic gold medalist (the most by any Olympian), who currently holds seven world records in swimming.
Phelps holds the record for the most gold medals won at a single Olympics; a total of eight, surpassing Mark Spitz, also a swimmer.Overall, Phelps has won 16 Olympic medals: six gold and two bronze at Athens in 2004, and eight gold at the 2008 Summer Olympics in Beijing. (Source: Wikipedia).
Membaca ringkasan prestasi Michael Phelps, sepertinya luar biasa sekali. Aku kagum. Untuk orang yang terbilang muda seperti dia, memegang rekor dunia dan memiliki 8 emas di Olimpiade Beijing sungguh suatu hal yang luar biasa.
Hari ini, aku berenang, berada di kolam renang pukul 7 pagi, ketika Audrey masih tidur. Terbayang, kalau aku jadi Michael Phelps, gimana yah? J Rasanya pasti bangga, senang, sekaligus juga pasti penuh latihan dan latihan untuk mempertahankan prestasi.
Aku mulai berenang lagi dengan gaya kodok, santai. Maklum, aku juga baru betul-betul menjalankan olahraga berenang setelah kena back pain. Karena katanya olahraga yang paling baik adalah renang bagi orang yang kena back pain, so aku lakukan sebisanya. Dulu, jangan harap renang masuk kategori hobbyku.. kesannya sombong yah, tapi karena mungkin aku tidak bisa hehehe… Aku lebih suka berjingkrak-jingkrak di ruang aerobik atau terakhir di ruang hip hop fitness center di Jakarta, ataupun kelas yoga sebagai variasinya.
Tetapi, semenjak back pain dan juga beberapa kali Audrey berusaha menceburkan diri ke kolam besar, aku merasa perlu meningkatkan kemampuan renangku, sebagian juga untuk dia. Sehingga, kalau sewaktu-waktu (amit-amit sih…), tapi yah untuk jaga-jaga, in case dia dengan gagah berani menceburkan diri, at least aku masih bisa bantu.
Selama ini gaya renangku dengan kepala di atas. Aku tidak suka kepala basah, dan aku tidak bisa mengambil nafas dengan kepala naik turun. Aku bisa mengapung, tp mungkin bukan renang sesungguhnya. Akhirnya, setelah akhir-akhir ini banyak latihan dan tanya dengan my hubby, so…agak bisa dan semakin bisa. Of course, I’m not Michael Phelps. Jauh boo…hahaha… Sudah bagus bisa renang, gak tenggelam aja udah syukur. Dan at least bisa untuk mengajar anak berenang, itu saja. Sesederhana itu.
Hari ini, kubaca dan kulihat lagi biografi prestasi Michael Phelps. Dan sungguh, aku sendiri jauhhhh dari dia. Tapi satu hal, kulihat dia selalu memberikan yang terbaik dalam hidupnya. Memberikan yang maksimal yang bisa dia lakukan. Dan hasilnya, plok…plok … plok… dia jadi legenda, dia jadi atlit kelas dunia, dan bukan itu saja, dia jadi nomor satu di bidangnya.
Of course, Michael Phelps adalah juga manusia dengan segala kekurangannya. Dia pasti tidak sempurna, tetapi dia bisa menggali potensi diri dan memberikan yang terbaik dari apa yang dia punya.
I’m not Michael Phelps. I’m Fonny. Dan itu tidak menghalangiku untuk memberikan yang terbaik hari ini.
Di antara semua kegagalan yang sepertinya agak ramah denganku akhir-akhir ini, jujur… ada beberapa kali gagal ujian saham di Singapura ini, dan juga gagal di interview kerja dan sampai sekarang belum dapet juga. Aku sempat berpikir, apa maksudnya ini semua, Tuhan? Setelah sekian lama kesuksesan dan hanya kemapanan yang datang dalam hidupku, aku menikmatinya dan tanpa sadar, berada dalam comfort zoneku.
Setelah semuanya sepertinya dijungkirbalikkan dengan segala perubahan ini. Begitu banyak perubahan terjadi sekaligus dalam hidupnya selama 2 tahun terakhir ini, ada rasa memberontak juga, kenapa ini harus terjadi pada diriku, Tuhan?
Pergumulan tiap hari terasa berat. Lebih berat dari saat di Indonesia, dan lebih berat dari saat single. Menikah memang membutuhkan perjuangan apalagi punya anak di negeri orang. Dan pada akhirnya, aku tidak menyesali semua ini, aku melihatnya sebagai gemblengan yang Tuhan berikan kepada diriku untuk dibentuknya sebagai bagian dari bejana tanah liat hidupku di tanganNya.
Ada masa-masa di mana aku juga stress berat. Tidak mengerti, kenapa sampai terjadi perubahan seperti ini. Jujur, semua kutuliskan di sini, bukan untuk dikasihani, bukan untuk mengeluhkan lagi, karena rasanya semua keluhan sudah cukup aku keluarkan kepada Tuhan yang mengerti sekali perasaaanku. Tetapi, di hari ini juga aku menyadari kembali bahwa adalah mudah menuliskan segala sesuatu di saat aku senang. Adalah mudah menuliskan tentang penderitaan di saat aku senang, tetapi aku tidak mengerti esensi dan realitanya. Hanya dengan mengalaminya, aku bisa menuliskan dengan lebih baik.
Jujur, apa yang kualami tidak separah banyak orang yang kurang makan. Koq sepertinya aku tidak mensyukuri rezeki dan berkat yang ada dariNYA. Aku berterimakasih untuk semua hal yang baik, yang Dia berikan. Kesehatan, suami, anak yang sehat dan lucu, keluarga, aku berterima kasih. Sekaligus mengerti bahwa hidup adalah perjuangan untuk tetap tegar, tetap berdiri, walaupun dengan derai air mata, walaupun dengan susah payah. Karena ada beberapa tulisan dari Bo Sanchez juga yang menyarankan agar lebih jujur juga menceritakan segala kelemahan kita, bahwa kita tidak sempurna, hanya untuk memperlihatkan bahwa Tuhan yang punya kuasa. Untuk itulah tulisan ini kubuat.
Hari ini, aku sadar, aku bukan Michael Phelps. Aku bukan seseorang yang tengah berjaya dengan prestasi luar biasa. Namun, aku berterima kasih untuk hal-hal kecil yang indah yang ada di hidup hari ini. Berjanji dalam hati, untuk menjadi orang yang lebih baik hari ini. Tegar di tengah segala perubahan yang puji Tuhan sudah mulai lebih biasa kuhadapi.
Aku mau menjadi seperti Michael Phelps yang punya semangat juang untuk jadi nomor satu. Dan seperti Liu Xiang, atlit lari gawang 110m yang mundur karena luka di kakinya berkata, “ I'm one that can't accept failure easily,I will rise again,” Yah, aku juga ingin berkata, aku akan bangkit kembali dan tidak membiarkan hidup mengalahkanku. Aku mau jadi pemenang, mulai hari ini bagi diriku dan bagi orang-orang di sekitarku dan dengan iman percaya bahwa Tuhan sudah sediakan yang terbaik bagi diriku. How about you? J
Singapore, 22 August 2008
-fon-
11.31 pm, rainy day in Singapore
Chapters of Life, begitu saya senang menyebutnya. Karena bagi saya, hidup adalah babak demi babak, bab demi bab, yang menjadikan buku kehidupan saya sempurna.
Friday, August 22, 2008
Tuesday, August 12, 2008
Bebasss
Bebasss
Hari kemerdekaan Singapura baru saja lewat, 9 Agustus yang lalu. Dan sebentar lagi, gantian, hari kemerdekaan Indonesia juga bakal datang, 17 Agustus nanti.
Merdeka, selalu punya arti bebas dalam hatiku. Merdeka berarti punya banyak kesempatan untuk melakukan apa yang diinginkan, untuk kebaikan tentunya. Negara yang berada dalam jajahan, sulit berkembang dan tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. Dan bila si negara sudah merdeka, setidaknya dia punya suara untuk menentukan langkah apa yang harus dijalankan untuk meraih kemajuan bagi dirinya.
Bebas bagiku…
Setelah menjalani hidup sebagai anak kos lebih dari 10 tahun, aku betul-betul merasakan apa yang namanya bebas. Bebas yang terbatas tentunya, karena dalam norma dan dalam iman, aku juga punya batasan kebebasan semacam apa yang boleh aku lakoni. Yang pasti, masa-masa di awal pindah ke Jakarta, tinggal di tempat saudara, berubah menjadi suatu ajang kebebasan luar biasa setelah menjadi anak kos. Merdeka! Ya, aku tau rasanya menghirup udara kemerdekaan. Bukan berarti tinggal di rumah saudara berasa bak di penjara, tetapi tentunya tinggal di rumah orang, sebebas-bebasnya tentunya harus ikut aturan juga.
Dan itu tidak terjadi ketika aku kos. Istilahnya mau jungkir balik di ranjang dalam kamar keq, mau tidur di lantai keq, mau apa juga, tidak ada yang pusing… Paling tante kos saja yang pusing kalau ranjangnya rusak akibat terlalu sering dijungkir-balikkan hehe…
Masa-masa single yang cukup panjang menjadi masa berharga yang kulalui dengan kebebasan. Bebas memilih apa yang ingin aku lakukan. Bebas berteman dengan banyak orang. Bebas meraih impian, mengejar karier, melakukan pelayanan yang Tuhan percayakan. Bebas! Bebas mau liburan ke mana dan sama siapa. Bebas.
Enak sekali kebebasan itu. Aku meraup sebanyak-banyaknya kebebasan itu. Terus dan terus. Dan ketika aku memasuki kepala 3, setelah cukup puas menjalani itu semua, ada keinginan baru yang muncul. Aku ingin punya pacar dan menikah.
Lho…? Apa yang terjadi? Ngapain juga sudah sibuk-sibuk memperjuangkan kebebasan, kalau nanti neh…akhirnya terikat lagi. Bukankah punya pacar, punya suami, dan menikah itu bikin terikat? Bukankah pernikahan itu mengikat? Dan bukan itu saja, mengikat aku dengan keluarga si dia? Are you sure you want to settle down, Fon?
Entahlah… Waktu itu rasanya kebebasan itu memang enak. Tetapi bila terlalu lama berada dalam masa-masa itu, namanya manusia, juga bisa bosan. Antara bimbang dan tetap memaksimalkan kebebasan dalam masa lajang, aku tetap berjalan.
Btw, mau married sama siapa, wong pacar juga belum punya…? :)
Singkat cerita, akhirnya kutemukan dia. Seseorang yang disediakanNya bagiku. Dan setelah bertemu, tidak lama, rasanya ingin menghabiskan the rest of my life with him. Ciaileee… Tapi beneran deh, ketika orang yang tepat datang, you can’t say No. Only Yes, and Yes, and Yes… Trust me…
Segala sesuatu berlangsung cepat. Termasuk pernikahan, kehamilan, kepindahan ke negeri orang. Perubahan peran dari wanita karier jadi ibu RT, wah… banyak perubahan sekaligus. Adanya pihak keluarga suami, mertua dan ipar… Banyak adaptasi dan tidak mudah.
Satu sisi, aku merasa kehilangan kebebasan yang dulu. Jelas saja, karena ketika menikah, aku masuk ke keluarga suami dan itu berarti banyak adaptasi, tidak bisa jungkir balik seperti di tempat kos dulu…Kangen dengan kebebasan seperti itu? Kuakui kadang-kadang IYA. Namun, satu sisi aku juga tahu bahwa dalam hidup ada banyak tahapan. Tahapan single sudah kulalui dengan penuh suka cita, banyak kebebasan yang kuraih, banyak kesempatan yang tercipta yang sudah dipercayakan Tuhan kepadaku. Aku mensyukurinya, mengenangnya sebagai masa-masa pembentukan diri yang berharga, sampai akhirnya aku masuk ke masa berumah tangga. Masa di mana kebebasan seenak anak kos sudah hilang. Namun, aku tahu bahwa dalam keluarga, dalam kondisi yang dikelilingi suami dan anak tercinta, aku mendapatkan kebebasan yang baru. Kebebasan mencintai dan dicintai sepenuh-penuhnya.
Tentunya dengan problematika tersendiri. Jujur, adaptasi terhadap banyak perubahan, tidak mudah. Namun, aku mensyukuri kebebasan dalam ikatan pernikahan ini. Bebas mencintai dan dicintai sepenuh-penuhnya itu tadi membuatku menjadi lebih mengerti arti kehidupan. Mengerti bahwa tidak ada yang lebih indah selain menjalani panggilan yang dipercayakanNya kepada kita dengan sebaik-baiknya. Karena itu adalah persembahan yang bisa kita berikan kepada Dia.
Bebassss?? Ya, bebas. Bebas menjadi yang terbaik bagi diriku untuk Dia dengan setia menjalani panggilan hidup ini. Tidak mudah, kadang juga ngos-ngosan menjalaninya. Tapi dengan iman percaya bahwa Tuhan beri kekuatan. Amen.
Singapore, August 13, 2008
-fon-
Hari kemerdekaan Singapura baru saja lewat, 9 Agustus yang lalu. Dan sebentar lagi, gantian, hari kemerdekaan Indonesia juga bakal datang, 17 Agustus nanti.
Merdeka, selalu punya arti bebas dalam hatiku. Merdeka berarti punya banyak kesempatan untuk melakukan apa yang diinginkan, untuk kebaikan tentunya. Negara yang berada dalam jajahan, sulit berkembang dan tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. Dan bila si negara sudah merdeka, setidaknya dia punya suara untuk menentukan langkah apa yang harus dijalankan untuk meraih kemajuan bagi dirinya.
Bebas bagiku…
Setelah menjalani hidup sebagai anak kos lebih dari 10 tahun, aku betul-betul merasakan apa yang namanya bebas. Bebas yang terbatas tentunya, karena dalam norma dan dalam iman, aku juga punya batasan kebebasan semacam apa yang boleh aku lakoni. Yang pasti, masa-masa di awal pindah ke Jakarta, tinggal di tempat saudara, berubah menjadi suatu ajang kebebasan luar biasa setelah menjadi anak kos. Merdeka! Ya, aku tau rasanya menghirup udara kemerdekaan. Bukan berarti tinggal di rumah saudara berasa bak di penjara, tetapi tentunya tinggal di rumah orang, sebebas-bebasnya tentunya harus ikut aturan juga.
Dan itu tidak terjadi ketika aku kos. Istilahnya mau jungkir balik di ranjang dalam kamar keq, mau tidur di lantai keq, mau apa juga, tidak ada yang pusing… Paling tante kos saja yang pusing kalau ranjangnya rusak akibat terlalu sering dijungkir-balikkan hehe…
Masa-masa single yang cukup panjang menjadi masa berharga yang kulalui dengan kebebasan. Bebas memilih apa yang ingin aku lakukan. Bebas berteman dengan banyak orang. Bebas meraih impian, mengejar karier, melakukan pelayanan yang Tuhan percayakan. Bebas! Bebas mau liburan ke mana dan sama siapa. Bebas.
Enak sekali kebebasan itu. Aku meraup sebanyak-banyaknya kebebasan itu. Terus dan terus. Dan ketika aku memasuki kepala 3, setelah cukup puas menjalani itu semua, ada keinginan baru yang muncul. Aku ingin punya pacar dan menikah.
Lho…? Apa yang terjadi? Ngapain juga sudah sibuk-sibuk memperjuangkan kebebasan, kalau nanti neh…akhirnya terikat lagi. Bukankah punya pacar, punya suami, dan menikah itu bikin terikat? Bukankah pernikahan itu mengikat? Dan bukan itu saja, mengikat aku dengan keluarga si dia? Are you sure you want to settle down, Fon?
Entahlah… Waktu itu rasanya kebebasan itu memang enak. Tetapi bila terlalu lama berada dalam masa-masa itu, namanya manusia, juga bisa bosan. Antara bimbang dan tetap memaksimalkan kebebasan dalam masa lajang, aku tetap berjalan.
Btw, mau married sama siapa, wong pacar juga belum punya…? :)
Singkat cerita, akhirnya kutemukan dia. Seseorang yang disediakanNya bagiku. Dan setelah bertemu, tidak lama, rasanya ingin menghabiskan the rest of my life with him. Ciaileee… Tapi beneran deh, ketika orang yang tepat datang, you can’t say No. Only Yes, and Yes, and Yes… Trust me…
Segala sesuatu berlangsung cepat. Termasuk pernikahan, kehamilan, kepindahan ke negeri orang. Perubahan peran dari wanita karier jadi ibu RT, wah… banyak perubahan sekaligus. Adanya pihak keluarga suami, mertua dan ipar… Banyak adaptasi dan tidak mudah.
Satu sisi, aku merasa kehilangan kebebasan yang dulu. Jelas saja, karena ketika menikah, aku masuk ke keluarga suami dan itu berarti banyak adaptasi, tidak bisa jungkir balik seperti di tempat kos dulu…Kangen dengan kebebasan seperti itu? Kuakui kadang-kadang IYA. Namun, satu sisi aku juga tahu bahwa dalam hidup ada banyak tahapan. Tahapan single sudah kulalui dengan penuh suka cita, banyak kebebasan yang kuraih, banyak kesempatan yang tercipta yang sudah dipercayakan Tuhan kepadaku. Aku mensyukurinya, mengenangnya sebagai masa-masa pembentukan diri yang berharga, sampai akhirnya aku masuk ke masa berumah tangga. Masa di mana kebebasan seenak anak kos sudah hilang. Namun, aku tahu bahwa dalam keluarga, dalam kondisi yang dikelilingi suami dan anak tercinta, aku mendapatkan kebebasan yang baru. Kebebasan mencintai dan dicintai sepenuh-penuhnya.
Tentunya dengan problematika tersendiri. Jujur, adaptasi terhadap banyak perubahan, tidak mudah. Namun, aku mensyukuri kebebasan dalam ikatan pernikahan ini. Bebas mencintai dan dicintai sepenuh-penuhnya itu tadi membuatku menjadi lebih mengerti arti kehidupan. Mengerti bahwa tidak ada yang lebih indah selain menjalani panggilan yang dipercayakanNya kepada kita dengan sebaik-baiknya. Karena itu adalah persembahan yang bisa kita berikan kepada Dia.
Bebassss?? Ya, bebas. Bebas menjadi yang terbaik bagi diriku untuk Dia dengan setia menjalani panggilan hidup ini. Tidak mudah, kadang juga ngos-ngosan menjalaninya. Tapi dengan iman percaya bahwa Tuhan beri kekuatan. Amen.
Singapore, August 13, 2008
-fon-
Subscribe to:
Posts (Atom)