Buku harian itu masih berada di tanganku.
Sebuah buku tulis biasa yang berisikan curahan hati yang terdalam.
Ada sisi-sisi yang tak pernah tersentuh dan ingin disampaikan.
Dan buku harian-tulisan-jadi salurannya.
Hal yang begitu pribadi ini ada di tanganku sehubungan dengan penyusunan skripsiku sebagai mahasiswi psikologi.
Dia-Julia Thomas- yang memberikannya padaku. Dan itu atas kemauannya sendiri.
Perlahan, air mataku menetes.
Mungkin aku terlalu terlarut akan tugas akhirku ini.
Namun, apa mau dikata...
Aku seorang perempuan yang punya rasa. Anggaplah aku terlalu 'melo'.
Aku menganggap Julia sebagai sahabatku sendiri.
Jika sesuatu yang perih menimpa sahabatmu, mungkinkah kau bisa tersenyum ceria?
Bukankah juga, kau akan merasakan kepedihannya dan jika mungkin menghiburnya agar dunianya tak begitu kelabu???
Kuingin tersenyum bahagia seperti orang-orang di luar sana. Yang seolah bebas-lepas tanpa ada beban yang berarti. Walau kutahu, untuk benar-benar tanpa masalah adalah hal yang tidak mungkin. Namun, setidaknya beban mereka mungkin tak seberat bebanku. Setidaknya itulah pandanganku.
Dia tak lagi ramah.
Terkadang kurasa amat menjemukan. Membosankan.
Bahkan memuakkan.
Aku sudah lupa kapan terakhir kudengar denting-denting nada bahagia di dalamnya.
Karena rasanya juga sudah terlalu lama, soundtrack hidupku adalah nada-nada sendu jika tidak menuju pilu.
Sejak kematian Sean dan Dwayne, aku sendirian. Aku kesepian.
Lara ini kutanggung sendiri dan itu menyakitkan.
Tak ada sandaran, tak ada tempat berbagi.
Sementara untuk kembali ke rumah orangtuakau rasanya juga tak mungkin.
Aku menikah dengan Sean tanpa seizin Bapak dan Ibuku.
Mungkin kesannya klise, aku memilih cinta dan kurang peduli pada nasihat orangtuaku.
Mereka takut, jika aku menikah dengan bule yang notabene budayanya jauh berbeda, nasibku di masa depan nanti pun jadi tanda tanya.
Mereka takut aku diceraikan, diselingkuhi, lalu ditinggalkan.
Aku tersenyum getir...
Ternyata itu semua tak terbukti...
Sean adalah tipe suami yang sangat 'care' dan setia.
Bahkan sampai akhir hidupnya, kecelakaan itu membuktikan sekali lagi bahwa dia lebih peduli padaku daripada nyawanya sendiri.
Setelah truk itu menabrak mobil kami di keramaian kota parahiyangan ini, Sean berhasil mengeluarkanku dari kursi penumpang di sebelahnya.
Aku selamat dengan sedikit luka bakar, namun kakiku tak terselamatkan.
Aku lumpuh seumur hidup.
Sementara Dwayne, buah cinta kami, yang berada di 'car seat' di belakang kami, hangus terbakar bersama Sean.
Siapa yang bisa menerima tragedi sekejam itu di depan mata?
Siapaaaa???
Tuhan, apa Kau sungguh ada???
Jawab aku, Tuhan!
Jika ya, mengapa luka ini begitu menganga dan tak tahu kapan akan tersembuhkan???
(-julia-)
***
Maret 2014
" Perkenalkan, nama saya Dian, Mbak."
" Saya mahasiswi Psikologi tingkat akhir yang akan mengadakan riset di rumah peristirahatan ini." Kuulurkan tanganku, bermaksud ingin menjabat tangannya.
Dia melengos dan tak memedulikanku.
Aku berusaha tersenyum dan melanjutkan ucapanku....
" Saya akan banyak berada di sini, Mbak nantinya. Mungkin kita bisa jadi teman. Saya akan mulai riset di sini mulai bulan Juli."
"Aku benci Juli," katanya.
"Aku benci." Ulangnya lagi.
"Benci dan benciiiii....!!!" Teriaknya penuh emosi.
Mata yang indah itu kemudian berubah sendu.
Sungai air mata mengalir perlahan dan membasahi sebagian wajahnya...
Belakangan, baru kutahu mengapa dia begitu...
Juli membawa pergi suami dan buah hatinya.
Sebuah truk menabrak mobil mereka dan mengakhiri hidup keluarganya tercinta.
Dia kemudian memutar kursi rodanya dan pergi berlalu.
Menangisi masa lalu.
Dan kenangan yang pilu.
Awal Juli 2014.
Kupandangi pintu Rumah Kasih yang merupakan tempat penampungan bagi mereka yang mengalami trauma psikologis di kehidupan ini.
Tempat di mana aku akan melakukan semacam survey atas tema skripsi yang kuambil, berkenaan dengan efek trauma psikologis dari mereka yang mengalami hal-hal besar dan kelam dalam hidup ini.
Aku sendiri memang menaruh perhatian yang besar pada mereka yang terluka di dalam batin seperti ini.
Begitu banyak kedukaan yang memayungi wajah mereka. Seolah mendung terus menaungi mata mereka. Tak ada lagi keceriaan. Hidup pun seolah tiada arti. Seperti zombie? Mungkin.
Tetapi, sekali lagi... Aku sadar, bahwa aku tak pernah berhak menghakimi.
Aku belum pernah berada pada kondisi mereka.
Sulit untuk memahami sepenuhnya apa yang terjadi di dalam hati mereka.
Kekecewaan itu terkadang begitu mendalam, saat sesuatu yang tragis terjadi di depan mata.
Sesuatu yang fatal bahkan terkadang terjadi dalam hitungan detik saja.
Seperti Julia yang waktu itu meneriakkan kebenciannya akan bulan Juli.
Dia memang menjadi sumber inspirasi utamaku ke sini.
Pertama kali, saat Suster Maria berkata bahwa dia yang paling sulit didekati membuatku bertekad dalam hati ingin membawa kisahnya-jika ia setuju-ke bagian skripsiku.
Perlahan namun pasti, kudekati Julia dan kujadikan dia seorang sahabat.
Bukankah tiap orang butuh orang lainnya? Walaupun sulit, aku bertekad menjadi sahabatnya.
***
Hari demi hari berjalan pelan.
Namun, dengan pasti, aku dan Julia menjadi sahabat.
Dan kepercayaannya padaku itu kupegang sungguh.
Dia pun memberikan buku hariannya untuk kubaca.
Sesuatu yang tak pernah dia lakukan sebelumnya.
Aku terlarut dalam kesedihan bersamanya.
Kehilangan dua orang yang terkasih di depan mata, bukan sesuatu yang mudah untuk dihadapi.
Dan dia-Julia- harus mengalaminya.
Kuketuk pintu rumah bernuansa kayu kecokelatan itu dengan perlahan.
Wajah seorang Ibu separuh baya membuka pintu dengan tatapan heran.
" Kamu Dian? Yang tadi menelpon ke sini?"
" Iya, bu. Perkenalkan saya Dian Ekawati, mahasiswi tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi. Saya berkenalan dengan Kak Julia di Rumah Kasih. Mohon maaf sebelumnya atas kelancangan saya berani berkunjung ke sini. Ini tanpa sepengetahuan Kak Julia, Bu."
Ibu Tri adalah Ibu kandung Kak Julia.
Mereka sudah 'lost contact' sejak delapan tahun yang lalu.
Saat kemarahan Pak Tri, ayah Kak Julia, yang memutuskan pertalian darah mereka karena pernikahan Kak Julia dengan Sean Thomas. Sean berasal dari Inggris.
Ibu Tri mempersilakanku masuk. Sementara Pak Tri tergolek lemah di tempat tidurnya.
"Bapak sudah sakit sejak setahun terakhir. Kombinasi diabetes dan hipertensinya membuatnya stroke. Lalu, hanya bisa terbaring di tempat tidur atau pergi sebentar dengan kursi roda."
" Ibu pun sudah tidak terlalu kuat menjaga Bapak, Nak..."
Kaki Ibu sudah mulai tidak kuat jika harus berdiri terlalu lama.
Kupandangi mereka dengan haru.
Derita yang harus ditanggung begitu besar.
Apa harus kuceritakan lagi kisah Kak Julia?
Bukankah itu akan menambah kepedihan mereka?
Aku memutuskan untuk diam saja kali ini.
Aku tak hendak melakukan apa pun saat ini.
Hanya kunjungan biasa dengan sebuah rencana di kemudian hari...
Rumah Kasih, 31 Juli 2014
Dengan pertolongan Suster Maria, aku berhasil memboyong Pak Tri dan Ibu Tri ke Rumah Kasih.
Di ruang makan, saat makan siang dan semua anggota serta pengurus Rumah Kasih berkumpul untuk makan bersama, kuajak mereka untuk diam-diam bergabung.
Kak Julia sudah terlihat lebih ceria. Sejak dia meyakini bahwa Sean dan Dwayne sudah damai dalam keabadian. Sejak dia pun menerima kepahitan itu sebagai realita.
Aku semakin senang bersahabat dengannya.
Dan, diam-diam, di Rumah Kasih itu pun ada seorang dokter tampan dan sudah ditinggal istrinya lima tahun lalu, memendam rasa pada Kak Julia.
Dokter Daniel, begitu kami menyebutnya, memperlihatkan dengan jelas kasihnya pada Kak Julia.
Hmmm, kurasa, itu juga yang membuat hari-harinya semakin berwarna.
Dengan menu sederhana hari itu, makan siang terasa betul nikmatnya.
Sayur asem, tahu-tempe goreng, juga ayam goreng kalasan. Tak lupa sambal dan lalapan membuat kami yang hadir mensyukuri berkat Tuhan.
Terima kasih untuk makanan lezat yang disediakan oleh para pengurus kantin di sini, Tuhan...
Hari itu menjadi hari yang penuh keharuan.
Saat dokter Daniel melamar Kak Julia di hadapan kedua orangtuanya.
Pak Tri dan Bu Tri menangis dalam keharuan yang mendalam.
Perdamaian selalu membuahkan hal yang manis.
Hal yang indah...
Selalu ada pelangi sesudah hujan badai sekalipun.
Meskipun harus menunggu. Meskipun harus menjalani badai itu dengan berjuta rasa.
Setelah kesedihan, akan ada derai tawa bahagia lagi.
Oh ya, Kak Julia menerima lamaran dokter Daniel.
Agaknya Kak Julia akan 'move on' dari kebenciannya akan bulan Juli.
Bulan Juli sekarang akan menjadi sesuatu yang juga spesial.
'Mixed feeling' menghadapinya? Mungkin :)
Dan aku? Aku hanya bisa tersenyum tanpa henti sepanjang hari ini.
Persahabatan dengan Kak Julia dan keluarganya.
Menyaksikan kedamaian yang tercipta dan bahagia yang menanti di episode kehidupan mereka selanjutnya...
Tugas akhir ini membawaku jauh lebih dalam.
Lebih dari sekadar seorang mahasiswi yang bersiap untuk skripsinya.
Ini semua mengajariku akan hidup dan kehidupan itu sendiri.
Kecewa mungkin datang, bahkan teramat dalam.
Ia mungkin menimbulkan luka yang tak dapat tersembuhkan oleh waktu.
Namun, percaya bahwa akan ada kasih dalam bentuk lainnya yang menyentuh dengan kelembutan tiada tara.
Aku tersenyum.
Semilir angin di bulan Juli menerpa wajahku.
Bahagia kurasakan menjadi saksi indahnya kisah Kak Julia.
"Selamat berbahagia, Kakkk!"
Kuteriakkan kencang di taman bunga Rumah Kasih.
Kak Julia, Dokter Daniel, Pak Tri dan Bu Tri tersenyum bahagia.
23.07.2014
The End.
fon@sg
@copyright Fonny Jodikin