Singapura, 21 April 2017
Hujan deras mengguyur pagi di Singapura
hari ini. Bergegas kulangkahkan kaki menuju kantor yang baru saja menjadi
bagian hidupku. Aku mulai bekerja lagi mulai Minggu lalu. Sebuah pekerjaan
paruh waktu, yang kulakukan saat anak-anakku bersekolah. Hanya beberapa jam
saja seharinya dan bila ada masalah semisal anakku sakit atau semisal seperti
kemarin, karena sudah mendaftar jauh-jauh hari untuk pergi ‘field trip’ ke
River Safari bersama Lala, aku diberi izin oleh Boss sekaligus temanku itu.
Hanya memang, tentunya mengurangi pendapatan yang dibawa pulang. Tapi kupikir,
jenis pekerjaan semacam ini, dibutuhkan oleh ibu-ibu rumah tangga seperti
diriku dan banyak Ibu lainnya di Singapura atau bahkan belahan dunia lainnya.
Ketika anak menjadi prioritas utama, karier adalah urutan berikutnya.
Saat diperjalanan, sekolah Odri
menelponku. Odri bilang bahwa dia kena demam. Aku yang hampir sampai kantor,
lalu menelpon Boss-ku. Putar haluan, menjemput Odri ke sekolah. Odri demam hari
ini. Mungkin karena cuaca yang kalau panas luar biasa, kalau hujan disertai
badai. Mungkin juga karena dia kelelahan karena aktivitas yang seabrek-abrek
yang dia ikuti, di sekolah maupun di luar sekolah. Ya, tubuhnya perlu istirahat.
Kujemput dia dan kubawa pulang. Kuberikan Paracetamol untuk anak-anak, sembari
dia beristirahat dan tidur.
Jakarta, November 2006
Hari ini adalah hari terakhirku bekerja
di kantor ini. Sebuah kantor yang selama
hampir dua tahun menjadi bagian hidupku. Sebuah perusahaan Sekuritas milik
pemerintah, di mana posisi terakhirku adalah sebagai ‘Dealer’ atau lebih
tepatnya Foreign Institutional Dealer. Aku tengah berbadan dua dan akan segera
menuju Singapura, ke negara tetangga tempat suamiku akan ditugaskan. Satu sisi,
aku merasa lega karena tidak lagi harus bekerja sebagai broker saham yang
memang tingkat stress-nya cukup tinggi. Namun ada rasa juga akan kehilangan:
sahabat-sahabat rekan kerja, keluarga yang dekat di hati, sahabat dan komunitas
tempatku bertumbuh. Well, saying good bye will never be easy!
Kupandangi lagi komputer yang menjadi
bagian hidupku selama ini. Juga sebuah karier yang Tuhan berikan kepadaku
selama 10 tahun terakhir selepas kuliah. Ah, aku bersyukur. Kupandangi sekali
lagi Bloomber-ku, Reuters-ku, juga sistem komputer yang selalu membantuku di
setiap waktu. Juga telepon-telepon dengan sistem canggih untuk menerima telepon
dari klien kami di Singapura dan Hong Kong… Itu kemudian akan jadi memori dan
selalu jadi bagian hidupku.
Singapura, April 2017
Kenangan akan masa lalu yang cemerlang,
kembali hadir di benakku. Aku melihatnya sebagai penyelenggaraan Ilahi. Sesuatu
yang kupikir bukanlah dari kekuatanku sendiri. Ketika kuliah, aku sudah
merasakan hal ini: ada banyak kali kupikir aku takkan mampu menyelesaikan
kuliahku. Banyak kekhawatiran, terutama karena sakitnya Papa dan akhirnya Papa
harus berpulang selamanya saat aku kuliah tingkat 2. Syukurlah Tuhan selalu
memberikan pekerjaan-pekerjaan paruh waktu yang kulakoni dengan sepenuh hati, karena
aku memang butuh. Dan juga kakak tertuaku yang membantu biaya kuliahku,
sementara biaya bulanan tidak pernah sepeser pun kuminta darinya. Tuhan
cukupkan dan sediakan segala sesuatunya.
Di Hari Kartini ini, kusyukuri itu semua
sebagai sebuah kesempatan yang luar biasa. Bisa mengenyam pendidikan dan
menjadi seorang Sarjana, meskipun dengan perjuangan yang kuakui tidaklah mudah.
Bisa mendapatkan karier yang baik. Jika tanpa Ibu Kartini, rasanya mustahil untuk
menikmati semuanya itu.
Namun, harus pula kuakui: aku takkan
menentang apa yang namanya kodrat wanita. Meskipun diberi kesempatan menggapai
cita-cita dan pendidikan, ketika akhirnya memiliki anak, merekalah yang
kemudian menjadi tumpuan harapan. Banyak hal yang dulu merupakan hal yang tidak
pernah kulakukan, sekarang menjadi sesuatu yang setiap hari kukerjakan. Dulu
aku bilang, “ Aku tidak bisa masak.” Tetapi sebetulnya lebih ke aku tidak mau
belajar masak karena sudah sibuk kerja dan memasak bukanlah sesuatu yang
menarik perhatianku. Namun sekarang, demi anak-anakku: aku mau belajar masak,
setidaknya kegemaran mereka. Aku bisa ‘baking’, untuk ulang tahun mereka. Tidak
ada kata “MUSTAHIL” bagi mereka yang mau memberikan yang terbaik kepada
anak-anaknya.
Itu sesuatu yang kurasakan. Sungguh!
Kembali ke hari ini. 21 April 2017. Odri
yang sakit, bisa aku temani dan urus di rumah. Aku bersyukur. Pekerjaan,
karier, sesuatu yang menambah penghasilan keluarga di Singapura ini tidaklah
semudah di Indonesia untuk mendapatkannya. Adanya peraturan, adanya banyak
kendala yang tidak memungkinkan, membuat banyak Ibu RT hanya tetap Ibu RT saja.
Banyak yang mengecilkan arti seorang Ibu RT, saya pernah membaca status
seseorang yang seolah begitu hebat kelihatannya (atau ingin terlihat demikian),
seolah merendahkan status wanita yang ‘hanya’ IBU RT saja. Namun, sebagai
seseorang yang pernah berkarier, lalu kemudian karena keadaan harus ‘banting
setir’ jadi IBU RT, saya sangat sadar: peranan ini sangat tidak mudah untuk
dijalani. Butuh sebuah hati yang mau belajar, mau mengasihi, meskipun kelelahan
dan kebutuhan-kebutuhannya tidak selalu terpenuhi. Dan saya kira,
secanggih-canggihnya seorang wanita, jika dia bisa turun ke dapur, piawai
memasak dan membuat kue, dan berpendidikan… Dia bisa menjadi ibu yang selalu
berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Dan semoga bisa membimbing
anak-anaknya menjadi pribadi-pribadi yang baik, mandiri, dan membawa sukacita
bagi orang-orang di sekelilingnya.
Habis gelap terbitlah terang. Begitu
kata Ibu Kartini.
Mungkin di masa-masa tergelap yang kita
jalani sebagai seorang wanita, perempuan, ibu, nenek, tante, sahabat, dan
sebagainya…
Kita pun percaya, akan ada terang yang
‘kan kembali menyapa.
Berusaha dan berjuang sungguh sebagai
seorang perempuan, dengan panggilan dan peranan kita masing-masing…
Menjadi diri kita yang terbaik, tanpa
perlu membanding-bandingkan…
Dibawa ‘happy’ dan ‘enjoy’, saling
menyemangati, karena sesama wanita seharusnya paham: perjuangan untuk jadi
wanita yang tetap tahu kodrat mereka bukanlah pekerjaan gampang.
Raihlah bintang di langit, tetapi tetap
lihatlah rumput-rumput hijau di sekitar kita…
Tetap membumi, tetap rendah hati,
dipenuhi syukur dalam diri…
Semoga kita tetap jadi Kartini-Kartini
yang bisa diandalkan. Cerdas, penuh syukur, dan bagi saya: selalu berusaha
menebarkan bibit-bibit kebaikan, meskipun berada di tengah-tengah dunia yang
penuh amarah ataupun kekacauan.
Selamat Hari Kartini. Terima kasih Ibu
Kartini untuk perjuanganmu!
Keep shining, keep glowing, and be your
very best self, ladies!
Mari menjadi Pejuang Tangguh, mengisi
hidup dengan hal-hal yang baik dan positif!
Singapura, 21 April 2017
Fonny Jodikin
·
A Note On Kartini’s Day.