*** Sebuah cerpen
Ada yang tidak biasa ketika kutatap raut
wajahnya.
Wajah itu berusaha terlihat ceria.
Namun, aku menangkap ada sesuatu yang
dipaksakan di balik tawa ceria dan senyum gembira itu.
Dia lalu terus menelpon teman baiknya dan
tertawa terbahak-bahak.
“Ada apa, Lien? Mengapa kau sepertinya
aneh hari ini? Tidak biasanya kamu begini…”
Dia diam. Lalu menangis.
“ Saya stress, Bu.” Ujarnya perlahan.
“Lho? Dari tadi kamu tertawa terus, itu
apa?”
“Suamiku selingkuh, Bu.” Lanjutnya lagi.
Tetes air mata kemudian membanjiri
wajahnya.
Aku terdiam. Melongo mendengar berita
yang tak bisa kupercaya ini.
“Bukankah kamu berpacaran lima tahun
lamanya? Bukankah kamu kenal dia sejak sekolah dulu?”
Sejuta tanya yang berputar di kepalaku
dan ada di hatiku, namun mendadak terhenti di udara, tanpa mampu terucap saat
melihat kesedihannya.
Aku tidak tega.
“Selingkuhannya hamil dan sekarang dia
ingin aku menyetujui perkawinannya.”
Tangisnya pecah di bahuku dan kubiarkan
dia menangis sepuas-puasnya.
Lien sudah seperti saudara, dia sudah
kuanggap seperti adikku sendiri, meskipun dia karyawan di rumahku ini. Membantu
bisnis onlineku untuk pengiriman dan administrasinya.
Dia datang dari jam 9 pagi dan pulang
sekitar jam 3, sebelum kemacetan melanda kota Jakarta.
Aku melihat ketegarannya.
Dia memilih untuk mempertahankan
perkawinannya yang terguncang, demi putri semata wayang yang baru berusia 5
tahun.
Aku tahu, itu tidak mudah. Namun dia
tidak mau membiarkan putrinya berkembang tanpa kasih sayang seorang Bapak,
seorang Ayah.
Meskipun untuk itu dia harus menahan
diri, dia harus tercabik-cabik perasaannya setiap hari ketika suaminya mendua.
Mungkin aku sendiri takkan mampu
sepertimu, Lien!
Aku kagum.
Dan yang bisa kulakukan hanyalah
mendukungmu dan berdoa agar usahaku lumayan maju, sehingga aku bisa menaikkan
gajimu yang tidak seberapa itu.
Dua tahun berlalu dan Lien bahkan lebih
tegar sejak kejadian itu.
Kesetiaannya, pengorbanannya berbuah
manis.
Suaminya menceraikan istri mudanya,
setelah tahu bahwa itu bukan anak kandung suaminya.
Suami Lien, Agus, hanya dijadikan batu
loncatan bagi istri mudanya untuk dinikahi.
Padahal pacar gadis itulah yang
menghamilinya dan juga merupakan ayah dari anaknya.
Wajah Lien memancarkan sebuah bahagia
yang tak terucapkan.
Keharuan dalam hatiku pun meluap saat
melihat foto mereka bersama lagi di dinding Facebook-ku.
Kamu pemenang, Lien! Kemenangan ini
terasa manis dan aku bangga menyaksikan ini semua.
Tangis keharuan membelah malamku.
Suatu keajaiban yang diperlihatkan di
depan mataku.
Lien, selamat! Kamu layak menikmati
semuanya ini.
Sementara di luar jendela kamarku, bintang
kecil itu bersinar terang di malam yang gelap.
Menonjolkan keindahannya, meskipun gelap
mengelilinginya.
Seperti kamu, Lien! Ya, seperti kamu!
Singapore, 8 Juni 2017
Fonny Jodikin
No comments:
Post a Comment