1 Juni 2018. Singapura.
Saya
menelpon mama di Palembang.
“Ma,
besok aku pulang, ya!”
“
Iya, besok ada doa dan acara kecil buat Papa. Besok ‘kan meninggalnya Papa,
peringatan ke-25 tahun.”
Ujar Mama di seberang sana.
Ujar Mama di seberang sana.
“Oh,
iya… Ok, Ma! Sampai besok…!”
Telepon
kumatikan. Dan aku terdiam.
Saat
membeli tiket pulang ke Palembang, aku tak ingat bahwa itu adalah hari
meninggalnya Papa. Karena kami membeli tiket sekitar bulan Februari lalu. Yang kucocokkan
hanyalah tanggal anak-anak kami liburan sekolah. Dan kemungkinan Odri ada
perjalanan ke luar kota dari sekolah, jadi saya menunda sedikit kepulangan
kami.
Tak
terasa, sudah 25 tahun Papa meninggalkan kami.
Waktu
berlalu begitu cepat rasanya…
Setiap
hari merupakan perjuangan tersendiri dan punya permasalahan serta kebahagiaan
tersendiri.
Detik
berlalu, musim berganti…
Ya,
sudah 25 tahun….
2 Juni 1993. Jakarta.
Derai
air mata masih membasahi kedua belah pipiku…
Aku
berada di Airport Soekarno Hatta untuk ‘go show’, mau beli tiket pulang ke
Palembang.
Mama
baru saja menelponku dan bilang bahwa Papa sudah berpulang untuk selamanya.
Rasanya
tak percaya, karena baru saja kemarin aku menelpon dan bicara langsung dengan
Papa.
Katanya
makanan sudah terasa enak di mulutnya. Aku lega.
Karena
memang Papa ada sakit jantung dan beberapa komplikasi lainnya.
Tetapi?
Hari ini???
Mengapa
kuterima berita seperti ini?
Aku masih belum mandiri…
Aku masih belum mandiri…
Rasanya
ada yang kurang karena belum bisa membahagiakan Papa.
Dan
seketika dia harus pergi?
Kurasakan adanya satu kehampaan yang mendalam.
Kurasakan adanya satu kehampaan yang mendalam.
Bukan
karena hubungan kami yang sempurna…
Relasi kami sempat naik-turun dan sempat juga tegang…
Relasi kami sempat naik-turun dan sempat juga tegang…
Aku
yang keras, seperti Papa…
Aku
juga terkadang suka membangkang, terutama saat SMP…
Sori,
Pa…
Tetapi
satu hal yang kusyukuri, kami berdamai saat aku di SMA.
Kami
bisa berdiskusi tentang Bahasa Mandarin dari versi Papa dan mencocokkannya
dengan Bahasa Jepang yang tengah kupelajari saat itu…
Akhir
yang melegakan, karena aku tak pernah tahu, tak lama berselang Papa harus
berpulang.
Untuk
selamanya.
2 Juni 2018. Palembang.
Pa,
ini aku, suamiku, dan anak-anakku…
Tak
terasa sudah 25 tahun berlalu, Pa…
Papa
pergi meninggalkan kami untuk selamanya…
Ada
hari-hari di mana terasa biasa…
Waktu
memang akan memulihkan…
Tapi takkan pernah sanggup melupakan…
Tapi takkan pernah sanggup melupakan…
Karena
biar bagaimana pun, sampai kapan pun…
Papa
tetap jadi bagian hidup kami…
Namun
ada kalanya, rongga kosong di hati itu sungguh terasa…
Seperti
saat aku pulang ke Palembang saat meninggalnya Papa dan mendapati rumah masa
kecilku lengang…
Ada
kursi yang seharusnya Papa duduk di sana…
Ada sofa tempat kami menonton siaran bulutangkis bersama di televisi.
Ada sofa tempat kami menonton siaran bulutangkis bersama di televisi.
Itu
semua takkan terganti, Pa…
Peristiwa
demi peristiwa memenuhi kepalaku…
Pa,
semoga Papa tenang di sana…
Kupanjatkan
doa bagimu, Pa…
Semoga
Tuhan mendengarkan doa kami, anak-anakmu dan Mama yang masih berjuang hidup di dunia
ini…
Setelah
dua puluh lima tahun, engkau tetap ada di hati kami.
Takkan
terganti.
Bukan karena Papa adalah Papa yang sempurna bagi kami…
Tetapi kami sadari, kami pun jauh dari sempurna sebagai anak-anakmu, Pa…
Bukan karena Papa adalah Papa yang sempurna bagi kami…
Tetapi kami sadari, kami pun jauh dari sempurna sebagai anak-anakmu, Pa…
Saya
yakin, Papa sudah memberikan yang terbaik yang Papa bisa semasa hidup.
Seperti
kami pun begitu dengan segala keterbatasan kami.
Pa,
I miss you…
Ada
kerinduan mendalam saat menuliskan ini semua.
Saat
air mata kembali menetes perlahan.
Air
mata haru, karena kau pernah menjadi bagian hidup yang paling penting dalam
hidup kami.
Singapura,
28 Juni 2018
Fonny Jodikin
No comments:
Post a Comment