Tuesday, December 2, 2008

Tetap Setia

Tetap Setia

Dari hasil obrolan via email dengan seorang teman yang menyarankan aku untuk menulis mengenai perkawinan- khususnya perkawinan Katolik- maka tulisan ini dibuat.
Jujur, menuliskan perkawinan, apalagi setelah menjalaninya juga, bukanlah sesuatu yang mudah. Dalam arti, mengerti betapa sakralnya pernikahan itu, at the same time, betapa kompleksnya pula permasalahan yang dihadapi, padahal kalau dipikir-pikir hanya ada dua pribadi. Tetapi kompleksitas itu berkembang karena perkawinan di Indonesia juga menyangkut perkawinan antarkeluarga. Di mana harus juga berhadapan dengan mertua, ipar, keluarga besan, dan sebagainya.
Dua orang digabungkan menjadi satu saja, sudah cukup berat. Karena banyak perbedaan yang harus disesuaikan antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu bukan hanya sekedar karakter, tetapi juga bagaimana cara masing-masing keluarga membesarkan si anak, sehingga si anak menjadi pribadi yang seperti sekarang ini. Juga tak kurang, pengalaman si anak beradaptasi dengan lingkungan yang dihadapi seperti : sekolah-teman-guru-pacar-dan semua orang yang ditemuinya sepanjang perjalanan hidupnya, juga mempengaruhi dan memberi warna bagi kepribadian si anak.

Well, tulisan ini juga bukan untuk menakut-nakuti para single yang sedang berpacaran, ataupun yang tengah memimpikan suatu pernikahan. Namun rasanya, kita tidak bisa menutup mata, bahwa permasalahan ini ada, timbul, dan berkembang di tengah dunia yang semakin cuek dengan lembaga perkawinan. Dan sementara perkawinan Katolik harus berdiri tegar dengan monogami dan tak terceraikan. Dan itu tidak mudah!

Singkat cerita, temanku itu prihatin dengan kondisi di sekitarnya, di mana dua orang teman baiknya sedang berada dalam proses perceraian. Dua-duanya menikah di gereja Katolik. Yang satu sakramen, yang satu pemberkatan (salah satu pasangan bukan Katolik). Kedua istri bekerja dan permasalahan itu bukan karena pihak ketiga, namun karena materi dan perseteruan dengan keluarga suami.
Aku pribadi juga melihat beberapa perceraian, ada yang memang bermasalah dengan suami yang ternyata setelah dinikahi tidak memberikan nafkah, atau ada juga permasalahan dikarenakan si istri balik lagi dengan pacar lamanya dan tidak mempedulikan sang suami.
Banyak hal yang bisa menyebabkan perceraian itu terjadi.
Cerai menjadi kata yang begitu gampang terlontar ketika terjadi pertengkaran. Atau setidaknya pemikiran untuk pisah rumah sering menghinggapi banyak pasangan ketika timbul konflik. Tidak terbayangkan, mengapa perkawinan yang dulu diimpikan sebagai satu lembaga yang merupakan tempat bertumbuh dalam kasih, koq berbalik menjadi lembaga yang penuh sakit hati, di mana para anggotanya-suami dan istri- berlomba menyakiti hati satu sama lainnya?
Di mana kesetiaan yang diucapkan saat di altar? Yang bersama akan saling menanggung dalam susah senang, untung malang? Di mana kasih, di mana cinta tanpa syarat (unconditional love) yang mampu mengampuni tanpa batas? Tiba-tiba menguap entah ke mana.

Ketika berpacaran, semua terasa indah. Satu sama lain ingin menyenangkan pasangannya. Dan rasanya dunia indah sekali, milik berdua, yang lain ngontrak :).
Tidak demikian halnya ketika menikah. Banyak permasalahan yang dihadapi. Dari mengurus keuangan yang banyak menjadi sumber permasalahan (banyak perceraian juga dikarenakan manajemen uang ini), hubungan dengan mertua-ipar juga menduduki peran yang tak kalah pentingnya, dan of course WIL/PIL pihak ketiga.

Aku termenung. Memang begitu kompleksnya pernikahan, apalagi jika sudah diarungi sekian tahun. Aku baru akan memasuki tahun ke-3 pernikahan kami, masih balita. Aku tak hendak memberi ceramah, karena rasanya masih sangat hijau dalam perkawinan juga, namun aku hanya ingin menghimbau, sekaligus menghimbau diriku sendiri untuk tetap setia dalam perkawinan yang sudah diberikan Tuhan kepada semua yang sudah menikah dan memilih pasangan hidupnya.
We can try for a better married life! Kenapa tidak?

Kira-kira begini mungkin tips bagi kita semua:
1.Libatkan Tuhan sebagai pusat perkawinan itu sendiri.
Dengan melibatkan Tuhan sebagai ‘center’ akan menjadi lebih mungkin bagi kedua belah pihak untuk saling mengampuni. Tidak ada yang mustahil bila Tuhan campur tangan. Dan rasanya, tidak ada perselisihan yang tak terselesaikan, apabila kita mau melihat dari sisi orang lain, dari sudut pandang pasangan kita, dan bukan hanya terpaku dalam pemikiran dan anggapan bahwa diri sendiri yang paling benar.

2.Komunikasi, komunikasi, sekali lagi komunikasi.
Di tengah zaman gadget ini, rasanya komunikasi menjadi hal yang mudah, apabila kedua belah pihak menginginkan perbaikan. Ada handphone yang bisa mengirim SMS, MMS, dan saling bertukar cerita. Ada internet yang memungkinkan untuk chatting, e-mail, bahkan saling melihat wajah lewat web cam. Dan sebagainya. Tetapi masalahnya terkadang, dengan yang serumah, dengan pasangan, komunikasi rasanya koq mentok, rasanya sudah tidak banyak yang bisa dibicarakan, karena kalau dibicarakan, hasilnya perang. Jadi, untuk beberapa pasangan lebih baik diam, daripada ribut. Dan hasilnya, masing-masing semakin tenggelam dalam pikiran dan kesibukan masing-masing, yang ujung-ujungnya saling menjauh. Mengupayakan komunikasi yang lebih baik tidak mudah, namun hendaknya berusaha untuk itu. Dulu waktu berpacaran, kenapa yah bisa ngobrol berjam-jam? Lha koq setelah menikah, jadinya cuma bicara seperlunya? Ironis? Untuk banyak pasangan itulah yang terjadi.

3.Find a time on your own
Bo Sanchez, penulis kondang asal Filipina, selalu menyediakan waktu seminggu sekali untuk nge-date dengan sang istri. Hal yang patut dipuji, di tengah segala kesibukannya berkotbah keliling dunia, dia masih menyempatkan diri untuk membawa istrinya untuk menghabiskan waktu berdua saja. Ini penting untuk menciptakan atmosfir yang positif dalam keluarga, dalam rumah tangga. Untuk yang masih memiliki anak kecil, mungkin hal ini sulit, karena si anak belum bisa ditinggal. Namun, bisa dicari jalan keluarnya, mungkin tidak perlu seminggu sekali, namun sebulan atau dua bulan sekali. Bisa minta tolong saudara dekat untuk membantu mengawasi si anak. Atau apabila kedua pasangan rela menunda waktu berdua, waktu pergi dengan si anak juga bisa menjadi waktu yang berkualitas bagi si keluarga. Tidak perlu yang mahal, bisa ke taman bunga, taman bermain. Semua orang berusah menghemat di tengah krisis moneter ini, dan waktu yang berkualitas tidak sama dengan penghamburan uang semata. Bisa dicari jalan yang murah namun tetap berkualitas.

4.Mengingat kembali hal-hal positif pada diri pasangan.
Bagaimana kisah cinta Anda dulu? Apa yang membuatmu jatuh cinta jungkir balik karena si Dia? Apakah kepandaiannya? Apakah ketampanan/kecantikannya? Atau kebaikannya? Pasti ada sesuatu yang menjadikan kita menyukai pasangan kita dan mau menikah dengannya. Permasalahannya, di tengah kesibukan keseharian kita, hal itu menjadi terlupakan dan terlewatkan begitu saja, walaupun tampak di depan mata.
Juga mungkin dikarenakan kekesalan yang berlebihan terhadap hal yang berulang-ulang dilakukan pasangan, misalnya pelupa, sulit merapikan barang sehingga rumah berantakan, dll, membuat si pasangannya menjadi gampang marah, emosi, dan mengingat hal-hal kecil yang buruk itu. Sedangkan hal-hal baik, tertutup dengan hal-hal jelek.
Untuk jatuh cinta lagi pada pasangan sendiri, rasanya perlu menyediakan waktu untuk merenungkan hal-hal positif pada dirinya. Bila perlu menuliskannya dan membacanya kembali.
We need to fall in love with our spouse. Fall all over again!

5.Hubungan dengan keluarga besan.
Hal ini tidak mudah. Banyak pasangan mengeluhkan bahwa si mertua begini, si ipar begitu, dan sebagainya. Ini juga hal yang sensitif. Misalnya sang suami harus menerima keluhan tentang ibunya terus menerus dari istrinya sendiri. Kondisi suami berada pada suatu dilema, satu pihak ibu- pihak lain istri. Sungguh tidak mudah! Sang suami dalam istilah yang sering dipakai di sini, sandwiched, terjepit di tengah-tengah.
Dengan gaya dan cara yang berbeda, kita dibesarkan. Dan sebagai istri, hendaknya juga menyadari kesulitan si suami apabila istri berseteru dengan mertua. Tentu saja, adaptasi itu tidak mudah, apalagi harus tinggal dengan mertua yang sama sekali berbeda dengan orang tua kita. Namun, biar bagaimana pun berusaha menerima bahwa dia adalah ibu dari pasangan kita. (Permasalahan lebih sering terjadi antara istri dengan mertua perempuan, walaupun tidak tertutup kemungkinan juga bahwa suami dengan mertua juga bermasalah, namun di banyak permasalahan biasanya istri dengan mertua perempuan).
Pasangan kita tidak bisa memilih orang tuanya, dia juga adalah buah hati mereka yang dibesarkan dengan cinta. Sedapat mungkin kita berusaha hormat dengan pihak keluarganya. Walaupun banyak perbedaan yang kalau dibicarakan bisa memancing kericuhan, namun apa gunanya itu semua? Berusaha lebih positif dengan keluarga suami. Semoga dengan atmosfir dan niat positif itu, membawa perkembangan yang positif pula bagi keluarga kedua belah pihak.

6.Tidak merasa lebih baik dari pasangan.
Pasangan yang kita pilih, adalah yang terbaik di mata kita pada saat kita berpacaran dan mengenalnya. Maka, rasanya tidak adil juga bila kita menganggap diri lebih baik. Suami tidak baik rasanya bila menganggap remeh istri, walaupun dia hanya ibu rumah tangga. Dan sejujurnya ibu rumah tangga juga memiliki banyak peran yang tidak mudah juga, walaupun tidak dinilai dalam bentuk gaji ataupun uang.
Bagi para istri yang bekerja dan punya penghasilan (bahkan beberapa lebih tinggi dari suaminya), hendaknya tetap menghormati sang suami, karena dia adalah kepala keluarga. Bukan berarti memiliki uang lebih berarti bisa menginjak-injak harga diri suami.

Dalam Efesus, juga dikatakan sebagai berikut:
5:22 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan,
5:23 karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh.
5:24 Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.
5:25 Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya
5:26 untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman,
5:27 supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.
5:28 Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri.
5:29 Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat,
5:30 karena kita adalah anggota tubuh-Nya.
5:31 Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
5:32 Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.
5:33 Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.

Rasanya, kalau mau membicarakan semua perbedaan yang tak ada habisnya, tak akan pernah selesai. Namun, apabila berkeinginan untuk menikah dan saling setia dalam mempertahankan pernikahan yang monogami dan tak terceraikan, butuh usaha dari semua yang sudah menikah untuk memperkuat rumah tangga masing-masing dan melakukan semua yang bisa dilakukan untuk mempertahankan pernikahan itu.
Tidak ada yang mustahil bila melibatkan Tuhan. Semoga keinginan untuk tetap setia menjadi keinginan terdalam dalam hati setiap kita dan ingin mewujudkannya.
Menikah sebagai salah satu panggilan hidup yang diberikan Tuhan, hendaknya disertai juga dengan niat mempertahankannya till death do us part.
Last but not least, beberapa waktu lalu, aku baca di koran Singapura ini, ada pasangan yang merayakan hari jadi perkawinan mereka yang ke-72. Sang suami berumur 90-an, sementara sang istri 88. Kenapa tidak bisa? Contohnya sudah ada…:)

Singapore, 3 December 2008
-fon-
PS: thanks to Irene, my ex-colleague, for the idea to write down this.

No comments:

Post a Comment