Monday, December 17, 2007

Above 30

Oleh: Fonny Jodikin

Hari ini Dea tengah memegang sebuah undangan pernikahan temannya. Bertuliskan TO : Dea and Partner.
Jujur saja, Dea bingung. Di usianya yang sudah melewati batas psikologis yaitu angka 30, Dea saat ini masih seorangan wae. Jadi, siapakah partner yang akan diajaknya ke pesta itu?

Kadang, Dea dengan gaya berani mati datang sendiri ke pesta itu. Buru-buru pulang karena tidak betah dengan pertanyaan, “ Koq sendirian aja? Mana mas-nya?” atau,
“ Kapan nih giliran kamu?”
Dari cuek,menjawab setengah santai, menjawab dengan bercanda, sampai jutek pernah dijalani semua oleh Dea. Dea sendiri terkadang merasa frustrasi dan putus asa. Bukannya dia tidak berusaha, tetapi kalau untuk urusan jodoh, bukanlah suatu hal yang bisa diprediksi. Dea tidak pernah tahu, kapan sang Prince Charmingnya akan datang. Dea juga tidak pernah tahu dengan cara apa dia dan Mr. Rightnya dipertemukan.
Well, everybody has got their own story about this… Tuhan punya caraNya sendiri untuk menghadirkan si soul-mate tersebut.
Jadi, daripada pusing, Dea memilih tidak datang ke wedding party itu. Lagian, memang bukan teman yang akrab sekali sih sama dia. Yah, mendingan Dea di rumah, nonton TV atau VCD Drama Korea yang lagi seru-serunya dan nitip ang pao saja lewat temannya yang akan pergi ke pesta itu.

Setelah membaca cerita singkat di atas…

Apakah cerita Dea di atas sounds familiar? Atau kamu sendiri tengah mengalami kondisi seperti yang Dea alami?
Memang tidak mudah berada pada kondisi ini. But trust me, you are not alone!

Begitu banyak orang terutama yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, mengalami hal seperti ini, masih single di kala usia sudah menjelang, pas, atau bahkan sudah melewati angka 30. Terlebih lagi, akan menjadi sorotan, kalau kamu adalah seorang wanita. Memang tidak enak, namun apa mau dikata, kalau memang sang Pangeran Berkuda Putih tak kunjung tiba, apa mau memaksakan diri untuk menikah dengan siapa saja? Tidak juga, kan?

Tetapi yang namanya orang, selalu saja bertanya-tanya, “ KAPAN?” Terkadang yang mengajukan pertanyaan juga bukan orang yang ‘happily married’. Bahkan, mereka yang mengalami masalah dalam pernikahannya juga mati-matian menanyakan, “Kapan nih?”
Seolah tujuan hidup seseorang hanyalah menikah saja.
Padahal ada banyak nilai lain yang bisa diperoleh dari hidup dan kehidupan itu sendiri. Menikah hanyalah salah satu pilihan yang ada berkenaan dengan panggilan.
Di saat aku pernah mengikuti sebuah retret, dikatakan dalam Katolik terdapat 3 panggilan: Menikah, Hidup Selibat, dan Membiara.
Jadi jelas, menikah bukanlah satu-satunya tujuan hidup di dunia ini walaupun memang pernikahan adalah yang paling umum yang ada di masyarakat kita.

Ketika harus tetap berada pada roda kejombloan walaupun usia sudah merayap melewati angka 30, banyak orang yang kemudian akan mempertanyakan, “ Apa yang salah (sehingga masih single di usia 30)?” Dan kemudian pertanyaan itu dibarengi dengan jawaban mereka sendiri, “ Tampang gak jelek, karir cukup, ooo… pasti kamu terlalu pemilih!” atau “ Kamu pasti dianggap terlalu pintar sehingga mengintimidasi kaum Adam!”
Dan banyak komentar-komentar lainnya yang terkadang tidak enak didengar dan seolah mempersalahkan si jomblo. Namun, apakah sebetulnya asumsi tersebut benar? Tentu saja tidak semuanya benar! Yang menjalani tokh bukan mereka. Mereka, para komentator bak juri Indonesian Idol atau AFI, hanyalah orang yang mengomentari apa yang mereka lihat, dan bukan merasakah apa yang dialami oleh si jomblo.
Mungkin yang harus dipraktekkan adalah, “ Ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan (read: katakan) ”

So what should I do?
Ketika sang jodoh yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Di saat semua teman terdekat sudah menikah dan punya momongan, sementara pacar pun belum punya.
Tidak ada hal yang lebih baik untuk dilakukan selain:

1. Berdoa kepada Tuhan.
Mohon terangNya agar memampukan kita untuk menjalani hidup ini dengan penuh. Sepenuh-penuhnya hanya di dalam DIA. Karena kita tahu dan kita percaya, hidup kita hanya akan menjadi penuh dan sempurna di dalam pengenalan kita akan Dia, di dalam kedewasaan iman dan di dalam penyelenggaraan Ilahi. Sekaligus mendoakan juga, apa yang Tuhan anggap panggilan hidup yang terbaik yang Tuhan rencanakan untuk kita. Ini menjadi penting karena untuk hidup penuh di dalam Dia, kita hendaknya mengetahui juga apa yang kita rindukan plus apa yang Dia rencanakan. Dia tidak akan memaksakan kehendakNya, namun kita juga hendaknya mencari panggilan macam apa yang kita rindukan. Setelah itu (mungkin ada baiknya jika melalui proses discernment), mendoakannya apabila memang panggilan hidup kita menikah, biar Tuhan bukakan jalan. Biar Tuhan yang membimbing kita untuk masuk ke dalam rencanaNya.

2. Tetap berusaha.
Tuhan memang akan memberikan jalan, namun kita juga hendaknya berusaha. Apabila dirasakan memang panggilan hidup kita adalah menikah, rasanya akan sulit apabila kita mengunci pintu kamar kita rapat-rapat dan tidak pergi ke mana pun-hanya di rumah saja-sambil menantikan sang Pangeran tiba. Mungkin dengan keyakinan yang agak ‘naif’ bahwa Sang Pangeran dari antah berantah akan mampir ke rumahku kalau memang dia adalah jodoh yang Tuhan sediakan bagiku. Well, mungkin saja bisa terjadi, tapi rasanya tetap akan lebih bijaksana kalau kita juga memilih aktivitas yang sesuai di mana kita bisa membuka wawasan, menambah kenalan, dan syukur-syukur mendapatkan apa yang kita cari, si Dia sang pujaan hati.
Ikutilah apa yang kamu suka, kursus bahasa, kursus musik, ikut fitness, atau apa saja yang kamu rasa positif dan berguna.
Walaupun dalam hal ini, bukan berarti berusaha menjadikan kamu bak seorang yang lagi desperado mencari jodoh. Saya pernah melihat beberapa contoh, yang selalu saja melihat setiap cowok atau cewek jomblo sebagai
‘ mangsa’. Wah, rasanya berteman biasa dulu lebih baik, daripada terlalu bernafsu ‘ hunting mangsa’. Karena dengan berteman baik, bisa melihat apakah si Dia memang cocok untukku? Apakah aku merasa nyaman bersama-sama dia. Karena pada akhirnya, ketertarikan fisik, percikan asmara, getar-getar cinta atawa chemistry awal akan berakhir. Namun, kenyamanan di saat bersama-sama dengan si Dia akan terus bertahan. Tidak Ja-Im (read:jaga image) dan bisa jadi diri sendiri di hadapan dia adalah yang terpenting.

3. Tetap bersuka cita
Kalau belum juga menikah, walaupun sudah kepengen luar biasa mungkin, tetaplah bersuka cita dalam hidupmu. Karena kalau menikah sebetulnya menghadapi lebih banyak permasalahan. Memang ada seseorang yang selalu bersama-sama dengan kita, yaitu pasangan kita, namun harus pula diingat bahwa 2 karakter yang berbeda ini membutuhkan adaptasi yang tidak sedikit di kala memutuskan untuk berumah tangga dan mengarungi bahtera itu berdua. Belum lagi problema itu masih bertambah dengan adanya penyesuaian dengan mertua, ipar, dan saudara-saudara dari pihak suami/istri kita. Trust me, hidup jomblo terkadang sangatlah menyenangkan. Walaupun tentunya juga pernah mengalami rasa kesepian yang dalam apalagi ketika mengalami sakit dan harus tinggal sendirian di kos-kosan atau apartemen mungkin… Terbayang betapa indahnya kalau sudah menikah, ada pasangan yang selalu ada untuk kita, dan menjadi a shoulder to cry on.
Setelah menjalani keduanya, single dan sekarang menikah, saya harus katakan, ada bagian dari being single yang juga tetap saya rindukan. Namun, kebahagiaan perkawinan terletak pada saling membagi dan juga adanya anak yang menjadi sumber cinta keluarga, juga tidak didapati dalam hidup single. Jadi, ada plus minusnya di tiap panggilan. Tidak semua melulu menyenangkan. Tentunya ada good times and bad times untuk tiap panggilan.

4. Tetap percaya bahwa Tuhan sediakan yang terbaik untuk kita.
Mohon karunia iman yang ditambahkan. God will never give us the second best, He’ll only give us the BEST. Masalahnya apakah kita setuju dengan Dia bahwa apa yang dianggap Tuhan paling baik untuk kita adalah memang the best for us? Karena banyak kali kita anggap Tuhan tidak memberikan yang terbaik untuk kita, karena tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan…
Walaupun apa yang kita inginkan tidak kesampaian tapi kalau memang Tuhan sudah sediakan, percayalah bahwa itu yang terbaik untuk kita. Sisanya, bagaimana kita menerimanya, sebagai bagian dari pemenuhan rencanaNya dalam hidup kita.

Dan akhir kata…
Sebagai orang yang juga menikah ketika sudah menginjak kepala tiga, saya bersyukur untuk masa ‘single’ yang bisa saya nikmati sepenuhnya dengan hal-hal positif yang berguna yang saya yakini adalah persiapan Tuhan bagi hidup saya sebelum mempertemukan saya dengan suami saya. Dan memang, hidup berumah tangga tidak mudah, apalagi ketika kita sudah menjadi karakter-karakter yang cukup keras dan punya prinsip sendiri setelah mengarungi kehidupan di atas 30 tahun, namun percayalah, ketika si Dia yang dari Tuhan datang, tidak ada yang sanggup menahannya, yang ada hanyalah cinta dan rasa syukur bahwa memang Tuhan sediakan yang terbaik untukku.

Hiduplah dalam kepenuhan, dalam apa pun panggilan yang tengah dijalani saat ini. Karena tiap panggilan punya masa senang dan susahnya sendiri-sendiri. Namun, keyakinan bahwa apabila kita menjalankan apa yang sudah kita impikan sedari dulu, Tuhan juga pasti berikan suka cita tersendiri. Kesulitan tidak berhenti, permasalahan tidak surut, namun suka cita berlimpah ruah bak sungai yang tak kunjung habis airnya.

Live our life to the fullest! Daripada mengomel, mengoceh, dan menjadi frustrasi, bersukacitalah di dalam Dia. Dalam Dia kita percaya bahwa rancangan yang Dia sediakan untuk kita adalah rancangan yang terbaik dan rancangan damai sejahtera.

Di kala harus menikah above 30, siapa takut? Bukan karena sombong, bukan karena keras kepala, bukan karena tidak mau introspeksi diri… Namun, apabila itu semua sudah dilakukan dan kita pun juga mau berubah untu jadi lebih baik, kita menjadi pribadi yang percaya bahwa Tuhan akan berikan segala sesuatu tepat pada waktuNya.
Amen.

Singapore, 17 Dec 2007
-fon-

No comments:

Post a Comment