Wednesday, February 13, 2008

Pulang

Hi all,
Ini ada cerpenku, berjudul Pulang yang sudah dimuat di majalah Evangelion Edisi ke-3 (nov 2007-jan 2008).
Evangelion adalah majalah alumni Kursus Evangelisasi Pribadi (KEP) Paroki Maria Bunda Karmel. Karena ada temen baikku dari kuliah dulu yang jadi redaksi di sana, jadi aku ikutan nyumbang tulisan...

Check this out. And all for His Glory.

GBU,
-fon-

PULANG

“Pulanglah, Maya, mama sakit keras.” Itu sms yang kuterima pagi ini.
Setelah bertahun-tahun, kutinggalkan kota kelahiranku, kini sms dari kakak sulungku tiba. Berapa lama sudah kutinggalkan kota Bandung? Sepuluh tahun? Oh, lebih! Tepatnya dua belas tahun yang lalu, kutinggalkan kota itu, tempat aku lahir dan menamatkan SMU-ku. Ketika aku berumur 17 tahun, papaku meninggal, dan sebelum meninggal ia menuliskan surat wasiat yang berisi tentang pembagian warisan. Di surat warisan itu, aku dan kakakku, Andoko, yah…kami hanya berdua di keluarga, masing-masing mendapatkan satu kapling tanah yang cukup luas, di kota Bandung juga.
Aku sedih, karena aku sangat dekat dengan papaku. Dan ketika ia meninggal, kurasakan duniaku porak-poranda. Aku yang selama itu adalah anak yang cukup membanggakan karena prestasiku, pelan-pelan beranjak merosot. Dan aku mulai susah diatur. Aku tidak mau dengar nasihat mamaku. Untuk apa? Hidupku sudah tiada arti lagi tanpa papa… Kalau mau rusak, biar rusak sekalian hidupku!

Kini, kupandangi wajahku di cermin kamarku yang sempit. Maya Harianto Suteja? Maukah kau pulang?
Ah… Teringat kembali wajah kecewa mama saat kutinggalkan rumah dua belas tahun lalu, dengan
alasan kuliah. Yah… aku mau merantau ke Bali. Aku tidak mau sekota sama mama. Karena mama waktu kecil kutahu hendak menggugurkanku dari kandungannya (psstt…ini kudengar dari Mbak Minah, pembantu kami yang bekerja di keluargaku sejak kakakku baru lahir). Aku benci dia walaupun dia mamaku. Karena hal itulah, aku sangat dekat dengan papaku. Kujual tanah dari papa, dan hasilnya aku mau mandiri. Aku mau berdikari. Uang yang dari papa banyak! Ratusan juta. Dan dengan uang itu, aku pasti bisa hidup enak, bisa hidup mewah di Bali. Memang sih, aku harus kuliah. Tapi, kuliahku akan baik-baik saja walaupun di tengah kemewahan, kan?

Namun kenyataannya, kuliahku berantakan karena aku jarang masuk kuliah. Dan bukan itu saja, hari-hari kulalui dengan penuh kemewahan. Banyak teman, banyak kenalan. Terutama turis-turis dari Australia, mereka menjadi teman baikku. Dari mereka aku belajar pergi ke club, diskotik, serta terakhir aku mencoba minuman keras dan narkotika. Wah, rasanya keren sekali! Berteman dengan bule, pergi hang-out (baca:gaul) habis-habisan. Dan sebentar saja, harta warisan papa hilang entah ke mana. Dan setelah itu, teman-temanku juga tak tentu rimbanya ke mana. Banyak uang, banyak teman? Betul sekali itu yang kurasakan. Dan aku semakin ketagihan alias kecanduan narkoba. Padahal, uang di kantong sudah tak punya. Kucari cara, kupinjam kiri dan kanan. Aku terlibat hutang. Sampai akhirnya aku hanya tinggal menumpang seorang teman, di kamar sempit berdinding tripleks, hampir mati karena sakaw. Diketemukan oleh seorang pastor yang menerima laporan dari tante kos temanku, yah…kini setelah rehabilitasiku selesai, aku tinggal di satu keluarga Katolik yang berbaik hati menampungku untuk menjadi pembantu di rumah mereka.
Antara malu dan segan untuk pulang. Penyesalan karena sudah bertingkah laku begitu tidak karuan. Aku hampir saja menolak permintaan kakakku. Tapi bagaimana kalau kali ini adalah saat terakhir mamaku? Aku ingin minta maaf…

Akhirnya setelah berkonsultasi dengan Tante Lolita, majikanku sekaligus pembimbing rohaniku, aku memutuskan untuk pulang. Tante Lolita membelikan aku tiket ke Jakarta, dan kemudian kusambung dengan mobil travel ke Bandung. Pelan-pelan, kubuka pintu pekarangan rumahku. Sepi. Tapi tertata rapi. Kulihat kakakku tersenyum menyambutku. Tapi, mana mamaku? Bukankah dia sakit keras? Apa aku tidak sempat melihatnya dan meminta maaf? Aku memang terluka, tapi aku sudah mengampuninya. Aku mau memeluknya. Masih sempatkah aku?
Kubuka pintu kamar mama dengan tergesa. Kuteriakkan, “ Mama maafkan aku…,” Tapi kutemukan wajah mama begitu segar, begitu bahagia melihatku. Dia tidak sakit! Jadi?? SMS itu??
Kulihat Mas Ando memandang mamaku dengan penuh arti. “ Ya, Maya, kami harus membohongimu, supaya anak yang hilang itu kembali lagi.”
Yah, kutahu, aku harus kembali. Apa pun caranya, mereka adalah keluargaku yang Tuhan berikan padaku. Thank God for this sweet surprise, kebohongan kecil yang membahagiakan
Aku si anak hilang kini sudah pulang. Kami tertawa bersama. Ah, indahnya!
Pulang? Yah, kini aku sudah pulang! Kupeluk mamaku erat-erat. Aku sayang dia!


Singapore, 16 November 2007
-fon-
* inspired by Lukas 15:11-32 (perumpamaan si anak hilang).

No comments:

Post a Comment