***What I’ve learned from my ‘ruins’- Apa yang saya pelajari dari ‘keruntuhan’ saya.
Suatu waktu, saya pernah berandai-andai. Apa yang terjadi seandainya hari ini saya masih di
Duh, Gusti! Ini sungguh tidak mudah untuk keluar dari zona nyaman yang sudah saya jalani alurnya selama ini.
Mungkin juga karena pribadi saya berdasarkan buku Personality Plus karya Florence Littauer yang pastinya dikenal dengan baik oleh teman-teman tercinta di milis PP Basecamp
Tetapi, sekali lagi saya percaya, bahwa bahkan sebuah kehancuran di mata manusia (read: saya), bisa jadi sebuah berkat yang tak terduga di dalam perencanaan-Nya. Saya selalu ingat kata-kata dari film Eat Pray Love, Ruin is a gift. Ruin is the road to transformation.(Julia Roberts as Liz Gilbert). Bahwa kehancuran ataupun keruntuhan itu adalah jalan menuju perubahan. Siapa yang menyangka, saat-saat ‘bengong’ sambil merenung di Singapura membuahkan hasil corat-coret di blog pertama saya – Chapters of Life yang akhir tahun ini memasuki tahun ke-5. Yang puji Tuhan sudah menelorkan ratusan artikel, puisi, cerpen, cerber, dan sebuah buku bertajuk Chapters of Life: “ From Nothing Into Something” menuliskan kebaikan dari hal-hal sederhana. Juga beberapa buku antologi seperti Fiksimini dengan total 26 penulis, buku-buku rohani (termasuk renungan harian wanita Katolik) dan buku inspiratif semacam ‘Chicken Soup of the Soul’ berbahasa
Hmmm, mungkin tepatnya saya punya beberapa blog juga, dulu di Friendster notes, lalu bergeser ke blogspot. Dan puji Tuhan, saya mulai merintis sekitar 5 blog. Tiga blog yang sangat aktif, satu cukup aktif dan satu lagi kurang aktif. Kehancuran yang saya rasakan begitu menyesakkan di awal, ternyata-lima tahun kemudian- saya syukuri sebagai berkat yang tak terhingga dari Yang Kuasa. Saya tak pernah tahu rencana-Nya dalam hidup saya. Saya hanya berusaha memberikan yang terbaik yang saya bisa di setiap kesempatan, karena saya percaya hidup yang hanya sekali ini, hendaknya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat, bukan dengan hal-hal yang kurang berkenan bagi-Nya.
Kehancuran itu mengajarkan saya rendah hati. Saya tidak pernah menyangka kalau selama ini ternyata saya ‘agak’ terlena dengan kenyamanan saya. Saya agak sombong dan berada di atas awan, bahkan kepercayaan diri kelewat tinggi. Saya kira, saya bisa lakukan apa saja. Tentunya dengan embel-embel Tuhan, itu akan lebih afdol. Tetapi, pada praktiknya, saya tidak sungguh-sungguh membiarkan Allah meraja dalam hidup saya. Saya tetap Ratu di hidup saya, Tuhan? Mungkin hanyalah ucapan manis di bibir, sekadar basa-basi belaka. Kehancuran, membuat saya sungguh tunduk pada-Nya. Tak ada alasan untuk sombong. Semua hanya bagi kemuliaan-Nya.
Kehancuran itu membuat saya belajar melihat rencana-Nya dan bukan melulu rencana saya. Saya bisa rencanakan apa saja, tetapi kalau itu belum waktu-Nya, takkan bisa terjadi juga. Saya belajar untuk berusaha dan kemudian berserah. Kehendak-Nya yang jadi, semoga saya belajar menerima.
Kehancuran itu membuat saya melepas segala milik dan atribut yang pernah saya miliki. Jabatan Manager di tempat saya bekerja, singer di suatu band rohani dan persekutuan doa, semua itu hanyalah sementara dan hanya diberikan-Nya kepada saya. Tidak ada alasan bagi saya untuk bermegah. Itu semua hanya bagi kemuliaan-Nya.
Kehancuran itu membuat saya belajar melihat kesempatan lain yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya. Tak pernah saya sangka, saya menemukan kegemaran di bidang menulis. Hal yang sama sekali berbeda dengan pekerjaan ‘stockbroker’. Menulis setiap hari, terutama renungan harian bagi sesama dengan inspirasi dari-Nya membuat saya belajar ikhlas dan setia. Ikhlas berarti, jika ini dipandang dari perspektif uang atau gaji, hasilnya nihil. Sudah begitu, terkadang dikritik dan dicaci-maki. Tidak apa:), sudah resiko untuk tetap setia bagi Kristus. Saya belajar rendah hati dan tetap ikhlas. Hanya bagi kemuliaan-Nya. Setia berarti, tidak peduli apa pun kondisinya.
Kehancuran itu membuka peluang saya mengenal orang-orang baru. Di negeri baru, saya menemukan teman-teman baru. Di Singapura dan di Ho Chi Minh, saya bersyukur untuk ‘circle of friends’ yang diperkenankan Tuhan berada di sekeliling saya, sungguh sebuah anugerah tak terhingga. Juga, lingkaran sahabat penulis yang ditambahkan-Nya kepada saya. Mereka yang kebanyakan hanya saya kenal dari dunia maya, kemudian kopi darat di dunia nyata.
Kehancuran itu membuat saya mengandalkan Tuhan senantiasa. Saya sadar, saya hanyalah manusia biasa. Bukan dewa, bukan Santa. Saya tidak sekuat yang saya kira. Tetapi, dengan mengandalkan Tuhan sambil terus memberikan yang terbaik, saya terus diingatkan betapa kecilnya manusia. Tanpa diri-Nya, kita bukanlah siapa-siapa. Kemegahan itu hanyalah milik-Nya. Jika diizinkan mampir di hidup saya, saya bersyukur atasnya.
Kehancuran itu mengajarkan saya melihat nilai-nilai lain kehidupan yang sering terlewatkan begitu saja. Sekarang dengan bangga dan bahagia, saya tersenyum dan bilang: “ I’m a happy mom of two beautiful daughters and a spouse of an understanding husband. And I love to write. May all of the role that He entrusted me can glorify His name.” Ya, saya adalah seorang ibu yang bahagia dengan dua putri yang cantik dan istri dari seorang suami yang pengertian. Dan saya suka menulis. Semoga semua peran yang dipercayakan-Nya pada bisa bisa memuliakan nama-Nya.
Seluruh kehidupan saya, biarlah hanya untuk Dia. Semoga semuanya berkenan kepada-Nya. Saya terus belajar untuk rendah hati, tidak cari pamor atau mau ngetop sendiri, berusaha menempatkan diri saya di bawah kaki-Mu, Ya Tuhan. Karena saya bukanlah siapa-siapa tanpa diri-Nya. Semua hanyalah bagi kemuliaan-Nya…
Saya percayakan seluruh hidup dan masa depan saya di tangan-Nya. Sang Pencipta dan Sang Perancang Kehidupan yang sempurna.
HCMC 24 November 2011
-fonnyj.-
*celebrating 5th Year of my blog: Chapters of Life in next December. The best ‘ruin is a gift’ experience from the Lord. Thank God for Your faithfulness:)
No comments:
Post a Comment