Sunday, November 27, 2011

(Tiada) Sesal



Dimakannya perlahan, tahu dan tempe yang tersisa dari pesta di rumah tetangganya. Masing-masing ada dua, tahu dan tempe goreng. Makanan yang dulu selalu dihindarinya.

Gayanya agak rakus, karena sudah seharian perutnya tak terisi. Jujur saja, kemarin dan kemarinnya lagi, makanan yang layak tak pernah masuk ke pencernaannya. Paling hanya sedikit biskuit, roti murahan yang hampir berjamur, dan banyak air putih yang dia minum. Dengan menyeret kakinya perlahan dia mendekat ke dapur untuk mengambil air minumnya. Kakinya memang pernah terluka dan sekarang menyisakan cacat seumur hidupnya.

Tahu dan tempe beserta nasi langsung ludes seketika. Lapar berat dirinya!

Dia pun mengakui kalau tahu dan tempe itu rasanya lezat luar biasa. Dulu, takkan pernah menu ini ada di daftar makanannya. Kalau tidak sushi, spaghetti, paling-paling steak… Kalau tidak daging, ikan mahal, atau sayuran berkelas, dia tidak akan makan. Alergi dirinya mendengar kata tahu, tempe, kangkung apalagi! Maaf ya, itu baginya hanya makanan untuk orang susah. Tak pernah ia sadar-di masa lalunya- bahwa makanan yang dia kira hanya untuk orang miskin sekali pun sebetulnya adalah makanan yang bergizi, bahkan sering dicari orang-orang kaya.

Hidup memang tak pernah bisa ditebak. Kehancuran dirinya bermula dari kebakaran besar yang melanda kompleks apartemen mewahnya. Tinggallah ia terjebak di unitnya yang terletak di lantai 52, sampai pemadam kebakaran menyelamatkan dia. Dia hidup seorang diri, belum dan memang tak pernah berniat menikah. Mending enak-enak hidup sendiri, tanpa beban, dan menikmati hasil kerjanya sendirian. Hari ini kencan dengan Tuan A – kliennya asal Amerika, besok kencan dengan B-partner bisnisnya. Hidup seperti itu lebih ceria baginya. Tanpa ikatan, senang-senang saja.

Pergi ke luar negeri, jalan-jalan ke Eropa, Amerika, Jepang, dan Korea, sudah dijalaninya. Semua serba mahal, ekslusif, serba nomor satu. Kalau tidak, apa kata dunia??? Gengsi membawanya melambung tinggi, nyaris tak lagi tersisa kerendahan hati yang dulu sempat mengiringi diri. Saat dia masih berstatus anak kampung, di dusun kecil di Pulau Sumatera. Tepatnya di Sumatera bagian Utara, tak begitu jauh dari negara tetangga Singapura.

Dan tiba-tiba saja semua berbalik.

Bisnisnya bangkrut ditipu partner, apartemen mewahnya terbakar dan wajahnya pun terkena luka bakar yang cukup parah. Uangnya tak lagi cukup untuk membiayai gaya hidup jetset yang selama ini sudah jadi kebiasaannya. Tak mampu ia lakukan operasi. Hanya rambutnya yang dia panjangkan untuk menutupi sisi kanan wajahnya yang kehitaman bekas luka bakar. Bukan itu saja, dia lalu hidup terlilit hutang yang besar. Para kreditor mengejarnya, sedangkan partnernya sudah raib ke Australia, itu pun konon kabarnya. Dia tak pernah lagi menemuinya. Karena kebakaran itu pulalah, kakinya jadi cacat. Tak mampu diselamatkan sepertia sedia kala. Masih untung tak perlu pakai kursi roda!

Piring yang kosong masih berada di tangannya. Seolah semua cerita hidupnya terkilas-balik di sana. Dari semua kemegahan dan kemapanan yang pernah dia rasa, kesombongannya, dan betapa dia terhempas jatuh saat itu semua berbalik arah. Sesal di dada, selalu datang terlambat agaknya. Nasi sudah jadi bubur, apa lagi hendak dikata?

Air mata membanjiri kedua belah pipinya. Dia sungguh menyesal saat ini. Selalu ia berseru dan mendesah, “ Ah, kalau saja…”

Kalau saja waktu bisa diputar kembali, dia ingin bertingkah laku lebih baik lagi. Lebih rendah hati, lebih bisa mengontrol diri, mungkin lebih memberikan hartanya kepada kegiatan sosial daripada hanya menyenangkan dirinya sendiri. Dia ingin berbagi. Kalau saja episode hidupnya bisa kembali, andai ada sebuah tombol ‘rewind’ yang bisa diputar. Dia sungguh rela untuk mengulangi semuanya dengan sikap yang sama sekali berbeda. Tetapi, mungkinkah??? Mengapa kenyataan ini begitu pahit bagi dirinya?

Dia sadar, dirinya pernah salah. Salah teramat besar dan pencobaan ini yang menyadarkannya. Kalau tidak ada kejadian kebakaran dan kebangkrutan, tentu dirinya masih pongah luar biasa. Satu sisi, dia mensyukurinya. Walaupun kini rupanya sudah tak karuan, tetapi dia masih bersyukur diberi kesempatan hidup. Terkadang, rasa malu menyerang, mau bunuh diri pun pernah. Dunia dan teman-temannya sesama sosialita, kini memandang penuh cibiran. Hanya karena dia tak lebih dari sekadar peminta-minta. Yang tak pernah tahu besok harus makan apa. Mengandalkan belas kasihan sesama. Itu saja!

Dia duduk di kursi reot satu-satunya yang dia punya. Dia berdoa.

“ Tuhan ampunilah… Aku sungguh menyesal, Tuhan. Untuk semua kesombongan yang memabukkan. Yang membuatku lupa diri dan tinggal dalam kepongahan. Kusadari Tuhan, bahwa Engkau yang kuasa. Hanya Engkau. Semua milikku di dunia hanyalah sementara. Kecantikan, ketenaran, atau harta. Kesehatan, sahabat, dan keluarga… Mereka hanyalah titipan belaka. Aku menyesal, Tuhan…Maafkanlah diriku.”

Diusapnya perlahan tetesan air matanya. Kondisi tak punya apa-apa ini membuatnya sadar, bahwa selama ini dia sering takabur. Melupakan Tuhan dan sesama. Hanya mementingkan diri sendiri dan maunya senang saja. Semoga masih ada waktu untuk membenahi diri… Jangan sampai dia sombong sampai mati…

Tak ada lagi yang harus disombongkan.

Tiga hari sesudahnya, dia diketemukan meninggal dalam senyuman. Dia sudah berpulang dalam kedamaian. Tanpa uang dan harta, tanpa ketenaran atau nama, tanpa sahabat atau keluarga.

Di rumah reot di pinggir jalan itu, dia tersenyum bahagia. Sesal sudah berganti sukacita. Selamat tinggal derita dunia! Dia menuju persatuan yang abadi dengan Sang Pencipta untuk selamanya.

HCMC, 24 November 2011

-fonnyjodikin-

*cerita hanyalah fiktif belaka, bila ada kesamaan tentunya itu tidak disengaja. Semoga menjadi bahan pelajaran bagi kita semua, bahwa tak ada gunanya bersikap pongah apalagi sombong, karena semua milik kita hanya titipan-Nya… Hidup kita hendaknya untuk memuliakan nama-Nya.

3 comments:

  1. Duuhhh...sedih amat ceritanya.

    setelah dengan tulus menyesal dan bertobat, lalu mati... :(
    Sayang sekali..tidak ada kesempatan untuk menebus kesalahan dan dosa, karena keburu mati... :(

    ReplyDelete
  2. @Mel: thanks ya:) Salam selalu:)
    @Teguh: trims ya buat tanggapannya. Sering kali kita berpikir bahwa kematian adalah akhir segalanya. Tetapi, justru kematian adalah awal persatuan yang abadi dengan Yang Kuasa. Jadi, pertobatan yang terjadi sebelumnya sebetulnya indah dan tetap indah. Setelah itu bersatu kembali dengan-Nya. Memang penebusan kesalahan di dunia seolah terabaikan dan tak bisa lagi dilakukan karena sudah keburu wafat, tapi sesungguhnya kehidupan yang abadi yang justru jadi acuan di cerita kali ini. Terima kasih sekali lagi sudah mampir dan berkomentar:) Salam!

    ReplyDelete