Chapters of Life, begitu saya senang menyebutnya. Karena bagi saya, hidup adalah babak demi babak, bab demi bab, yang menjadikan buku kehidupan saya sempurna.
Friday, August 22, 2014
Utopia
Ketika haus, saya hanya butuh air putih.
Sesederhana itu.
Lalu perkembangan zaman, tren, gaya hidup membawa saya mencari yang lainnya...
Mungkin itu juice, mungkin itu teh pake susu yang dikenal dengan nama tea latte, kopi, minuman bersoda yang beragam jenis dan warnanya...
Harga pun beda.
Dari kaki lima, jika itu masuk hotel bintang lima, pasti jadi berlipat ganda...
Ketika lapar, saya hanya butuh nasi.
Mungkin pakai sedikit sayuran dan lauk.
Tidak perlu disajikan seperti di restoran apalagi seperti di kerajaan.
Yang saya butuh hanya makan dan perut kenyang.
Lagi-lagi, keinginan membawa saya lebih jauh.
Ingin makan ini dan itu...
Sehingga harga yang awalnya murah, menjadi ekstra mahal juga.
Lagi-lagi ketika dikemas dengan 'packaging' yang indah, ada harga yang harus dibayar pula...
Sama halnya seperti baju, sepatu, tas, mobil, rumah...
Awalnya hanya kebutuhan.
Ketika itu menjadi keinginan ...
Ketika itu menjadi ajang unjuk gigi...
Ketika gengsi mengolok-ngolok saya untuk ikut-ikutan orang lain...
Jadinya baju, sepatu, tas, mobil, dan rumah pun ikut imbasnya.
Fungsi sama, tapi menempatkan kita di strata sosial yang berbeda.
Padahal?
Yang pakai tak bermerek, belum tentu miskin.
Yang pakai merek, jujurnya, belum tentu juga orang kaya.
Ironis memang...
Seorang sahabat yang bekerja di perbankan di Singapura pernah mengemukakan pengalamannya...
Banyak yang justru punya uang puluhan juta Singapore Dollar (SGD), yang naik kendaraan umum semisal MRT dan bus, atau taksi. Mereka pun cenderung rendah hati, 'low profile' sekali.
Sementara yang uangnya 'baru' jutaan dollar, gayanya selangit.
Sudah wajar katanya.
Saya hanya tersenyum ketika mendengarnya:)
Pernah saya baca juga, pemilik 'department store' di negeri Singa ini malahan sukanya pakai baju murah.
Tinggal juga di tempat yang sederhana.
Padahal beliau mampu untuk membeli yang lebih dari itu.
Sedangkan yang terlihat hebat dan fantastis penampilannya?
Walaupun tidak semua dan tanpa bermaksud menghakimi, saya pun pernah mendengar dan melihat juga, bahwa ada yang memaksakan diri pakai barang bermerek untuk tampil, untuk bisa diterima di kalangan sosial/pergaulan tertentu.
Terkadang dengan menghalalkan segala cara, termasuk cicil, pinjam, dan hutang.
Asal aku pakai barang mewah.
Apa saya anti barang mewah?
Jujurnya tidak.
Itu sih terserah Anda. Anda yang paling mengetahui kondisi finansial Anda.
Jika mampu dan mau, silakan saja.
Namun, saya hanya membayangkan, betapa indahnya jika uang yang dipakai buat pembelian barang-barang yang terlalu mewah dalam jumlah yang super banyak itu bisa disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan.
Mereka yang tak bisa sekolah.
Mereka yang tak punya uang untuk membayar biaya pengobatan...
Mereka yang tak punya cukup uang untuk makan tiga kali sehari...
Ah, pikiran utopia itu kembali hadir tanpa bisa saya cegah...
Betapa indahnya, jika Si Kaya mau berbagi...
Sehingga, yang kurang beruntung pun bisa merasakan sepercik kasih dan kehangatan...
Mungkin ada kekuatiran jika yang berkekurangan terus dibantu, mereka tak terbiasa mandiri.
Mereka jadi tergantung dengan bantuan, tanpa mau berusaha.
Tentunya, akan sangat baik jika dipikirkan mereka juga diberikan kail, bukan ikannya saja.
Namun, ada saatnya mereka memang butuh pertolongan dan itu sangat urgen, tak lagi bisa menunggu.
Maukah kita membantu mereka di saat itu?
Gaya hidup tiap orang berbeda. Yang bikin 'gak enak' adalah ketika Anda mulai menghakimi orang yang gaya hidupnya berbeda dengan Anda.
Dihakimi tak pernah enak, menganggap diri lebih baik dari orang lain bagi saya adalah pertanda kesombongan.
Jujur, saya pernah juga melakukannya, dan itu menjadikan saya malu hati.
Saya pun pernah terbuai ingin ini, ingin itu, namun kembali tersadarkan...
Buat apa yah semuanya itu?
Bisakah saya berkata cukup?
Bisakah saya bersyukur dengan apa yang saya miliki untuk kemudian mau berbagi kepada mereka yang berkekurangan?
Kita lakukan semampu kita...
Kata Bunda Teresa, do small things with love...
Hari ini ketika kehausan dan tidak membawa botol minum, saya terpaku pada kata-kata message in a bottle.
Air minum dari gerai baju-sepatu bermerek 'Cotton On' ini membuat saya teringat untuk berbagi. Salut buat karya-karya mereka di Uganda.
Masih dari botol minum yang sama, saya diingatkan...
It's little things that make a difference...
Hal-hal kecil itulah yang bisa membuat perbedaan.
That's so sweet!
Epilog
Utopia ini mungkin takkan pernah menjelma nyata...
Biarlah ia tetap dalam imaji saja...
Sambil setiap hari, mari melangkah di dalam tindakan nyata...
Dalam kasih, untuk senantiasa berbagi bagi sesama...
Mereka yang menderita, menjerit dalam duka, tanpa tahu harus berbuat apa.
Semoga.
was written and was inside my blog's draft since few months ago...
edited and finalised today 22.08.2014
fon@sg
* catatan : Utopia, dalam arti luas dan umumnya, menunjuk ke sebuah masyarakat hipotetis sempurna. Dia juga digunakan untuk menggambarkan komunitas nyata yang didirikan dalam usaha menciptakan masyarakat di atas. Kata sifat utopis digunakan untuk merujuk ke sebuah proposal yang baik namun (secara fisik, sosial, ekonomi, atau politik) tidak mungkin terjadi, atau paling tidak merupakan sesuatu yang sulit dilaksanakan. (sumber: Wikipedia)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment