Mataku kini memandangi Jalan-Jalan Penuh Keindahan (3)
Gede Prama, pada bagian epilog buku ini menuliskan, bahwa maksud dari jalan-jalan keindahan adalah sederhana. Pertama, hidup di atas dualitas. Yaitu ketika suka itu berkunjung, cobalah untuk berbisik ke dalam diri: sebentar lagi ia juga akan pergi! Hal yang sama juga layak dibisikkan ketika kesedihan mengunjungi kehidupan.
Dan kedua, membingkai semua pandangan dengan rasa syukur. Ada banyak hal yang mengesankan yang kubaca dari buku ini, tapi biarlah ini tulisan bagian ke-3 ini mengakhiri tulisanku tentang buku ini.
Luka Ternyata Membawa Permata
Tidak ada orang yang berdoa agar hidupnya dilukai atau terlukai, entah secara fisik atau psikologis. Akan tetapi, kendati tidak berdoa, bahkan demikian waspada dan hati-hatinya terhadap kemungkinan dilukai, tetap saja luka-luka itu terkadang datang tak terelakkan. Entah itu melalui orang tua, pacar, teman kerja, relasi, tetangga, atau malah melalui pasangan hidup, tetap saja ada pintu-pintu kehidupan yang terbuka bagi datangnya luka. (hal.173)
Sejarah bangsa-bangsa membuktikan, bahwa bangsa yang besar juga memiliki sejarah luka yang hebat. Dan bentangan gambar kehidupan ini sedang bertutur: luka ternyata membawa harta! Sayangnya, terlalu sedikit yang bisa menemukan harta yang dibawa luka. Mungkin karena kita manusia sudah demikian seriusnya dengan air mata. Tidak saja air mata menutupi mata, tetapi juga menutupi hampir seluruh penglihatan tentang harta yang dibawa luka. Tidak sedikit orang yang tidak saja buta akan harta yang dibawa luka, sebaliknya di samping meninggalkan hartanya juga menciptakan luka-luka baru yang lebih dalam. Ini yang terjadi pada orang-orang yang luka, kemudian mengibarkan bendera-bendera kebencian dan pembalasan tinggi-tinggi. (hal.175).
Seorang sahabat Gede Prama yang bertahun-tahun digulung oleh gelombang besar luka dan menumpahkan air mata yang tidak sedikit, belakangan sempat berbisik pelan: hidup ini mirip dengan kegiatan membuka lapisan-lapisan bawang merah. Awalnya berwarna merah dan kering, semakin dibuka kulit bawang merahnya semakin ia berwarna lebih putih (baca jernih, bersih, tanpa cela). Dan di ujung perjalanan, yang tersisa hanya satu: air mata! Bukan air mata luka, tetapi air mata permata yang dibawa luka. Ia tidak melewati sungai duka cita, melainkan dibawa oleh cahaya-cahaya suka cita. Ia tidak ditemani oleh kebencian dan dendam, namun bersayapkan dua hal: cinta dan keikhlasan.
My reflection on this article…
Luka, suka atau tidak suka, tidak terelakkan dalam hidup ini. Luka memang terkadang amat menyakitkan, dan terkadang sedemikian sakitnya hati kita yang terluka, sehingga kita cenderung membenci dan mendendam. Banyak tindakan kekerasan, tindak kejahatan, dari tindakan kriminal ringan sampai pembunuhan berawal dari luka dan akhirnya membuat luka yang baru. Luka menimbulkan luka. Itu yang terjadi di masyarakat kita, dan tidak mustahil terjadi di dalam diri kita, entah di lingkup keluarga, lingkup pertemanan, atau lingkup dunia kerja.
It happens!
Namun, sebagai umat Kristiani, kita disadarkan oleh kasih Yesus. Kasih Yesus memampukan kita melewati semua luka bersama Dia. Dia selalu menemani kita dan kita tidak pernah dibiarkanNya sendirian. Luka memang menyakitkan, namun luka selalu bisa dipulihkan oleh kasih Yesus yang sempurna.
Kasih Yesus mampu memasuki relung-relung hati kita yang terluka parah. Dan bukan itu saja, juga mampu memulihkan dan menyembuhkannya kembali seperti sedia kala.
Dan setelah kita melewati itu semua, bersama Yesus tentunya, kita akan sadari bahwa luka itu juga membawa permata yang pada saat kita terluka, tidak bisa kita lihat kilau cahayanya.
And finally we can be what we are today, juga karena sebagian dari luka itu mendewasakan kita dan menjadikan kita ‘someone better.’
Luka bisa menjadikan kita tambah terpuruk. Tapi, dalam Tuhan, kita percaya bahwa luka menjadikan kita semakin berkilau bak permata. Permata-permataNya di dunia ini.
Singapore, 14 Nov 2007
-fon-
No comments:
Post a Comment