Friday, November 30, 2007

Menyambut Badai

Menyambut Badai

Kedengarannya agak sedikit di luar normal dan cenderung tidak masuk akal, tetapi itulah yang dituliskan Kahlil Gibran di bukunya yang berjudul ‘Badai.’ Tepatnya Kahlil menuliskannya sebagai berikut:
“ Kejadian menakjubkan pertama yang kuingat adalah saat aku berusia tiga tahun --- ada badai --- kurobek bajuku dan menyongsongnya --- dan sejak itu, aku selalu menyambut badai…” (Kahlil Gibran).

Mungkin sebagian dari kita, tidak terkecuali diriku bergumam dalam hati,
“ Menyambut badai? Mana mungkinnn? Sepertinya suatu hal yang mustahil…”
Badai seharusnya dalam pikiran banyak orang, hendaknya dihindari. Dan apabila badai datang, hendaknya bersembunyi sejauh-jauhnya di tempat yang aman. Boleh keluar, saat badai sudah reda tentunya. Kalau mati-matian menyambutnya, bukankah itu hal yang aneh?

Kalau diimplementasikan dalam kehidupan, badai kehidupan juga tak terhindarkan. Tak terelakkan. Badai bisa datang kapan saja, di mana saja, dan bisa melanda siapa saja tanpa pandang bulu. Jarang sekali ada orang yang siap tatkala badai datang melanda. Biasanya, hidup tengah berada pada kondisi enak atau setidaknya pada kondisi normal, ketika tiba-tiba saja badai melanda dan menyapu bersih semua yang ada. Keadaan menjadi jungkir balik, porak-poranda, dan berubah seratus delapan puluh derajad.

Misalnya tengah enak-enak memiliki pekerjaan yang mantap dengan gaji yang bagus, tiba-tiba saja tanpa bak bik buk, kena PHK dan kehilangan mata pencaharian sehingga harus menyesuaikan gaya hidup. Contoh lain, hubungan dengan kekasih tengah baik-baik saja dan lancar, aman terkendalilah ceritanya. Dan juga secara tiba-tiba datanglah si orang ketiga yang merebut sang kekasih secara paksa. Patah hati, juga termasuk salah satu badai kehidupan. Masih banyak contoh lainnya: anggota keluarga yang tiba-tiba sakit keras tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, meninggalnya salah satu anggota keluarga penopang pengeluaran rumah selama ini, harta dicuri (mobil, rumah, sepeda motor, barang berharga). Dan masih banyak lagi contoh badai-badai dalam kehidupan ini.

Badai tak terelakkan, masalahnya bisakah kita menyambutnya?

Mungkin hal yang tidak mudah. Menyambut badai sounds crazy untuk beberapa orang. Namun, apabila kita telaah lebih lanjut. Badai bisa mengubah sesuatu. Setelah badai datang dan membuat porak-poranda hidup kita, di antara semua kesakitan yang dialami, biasanya ada nilai baru yang dipelajari, ada pengertian baru yang dipahami, dan ada kedekatan relasi yang lebih lagi dengan Sang Pencipta karena menyadari bahwa kita bukanlah siapa-siapa. Jujur di saat menghadapi badai, aku pribadi pernah merasa tidak kuat, hampir tidak bisa bertahan. Dan jujur pula, di saat badai datang sepertinya terkadang Tuhan sulit dicari, serasa Dia tengah bersembunyi. Namun, setelah datang kesadaran dan pencerahan baru dalam diri, baru bisa melihat apa makna terselubung di balik badai kehidupan ini.

Kalau Kahlil Gibran sejak umur belia, tiga tahun, sudah memiliki sikap yang demikian hebat dalam menyambut badai, mengapa kita tidak menirunya, agar kita memiliki sikap yang tahan uji. Bukankah kehidupan ini tak pernah bisa ditebak ke mana arahnya? Dan bukankah badai juga tak pernah bisa dikira kapan datangnya?
Mungkin, kita semua bisa belajar dari Kahlil Gibran hari ini, bahwa ketika badai tiba, mari menyongsongnya. Bahwa ketika badai melanda, mari menyambutnya.

Singapore, 30 November 2007
-fon-

No comments:

Post a Comment