Monday, March 24, 2008

Yang Terkasih Yang Terlukai

Yang Terkasih Yang Terlukai

“ Brukkk…,” Bunyi bantingan pintu terdengar keras, ketika Lena buru-buru bergegas masuk ke kamarnya menahan tangis. Tidak disangka, pernikahannya yang baru berusia setahun, membawa luka.
Dalam kamar, Lena membayangkan betapa indah masa-masa berpacaran selama 5 tahun dengan Septian, suaminya. Mereka mengalami banyak hal yang manis bersama. Dan bukan itu saja, Lena juga pernah mengalami beberapa masalah dalam masa berpacaran itu tetapi semuanya selalu ada jalan keluar.
Lena begitu percaya bahwa memang Tian (begitu panggilan suaminya) adalah yang terbaik yang Tuhan beri dalam hidupnya.

Namun, masa pacaran memang amat berbeda dengan pernikahan itu sendiri. Dalam menjalani masa-masa awal pernikahan, Lena mengalami beberapa masalah. Bukan saja dalam hal adaptasi antara dua karakter yang sudah pasti terjadi karena two become one bukan hal yang mudah, apalagi mereka dibesarkan dengan latar belakang keluarga yang berbeda, tentunya masing-masing membawa gaya dan kebiasaan keluarga mereka sendiri-sendiri. Terlebih dari itu, Lena harus menelan kenyataan pahit, bahwa mimpi-mimpi sebelum pernikahan, harus pupus ketika menghadapi realita bahwa cinta romantis dan kemanisan yang direguk semasa berpacaran harus berkurang jauh dan semakin jauh dalam kenyataan hidupnya saat ini.

Apa yang terjadi? Lena membatin. Pertanyaan ini berulang kali muncul dalam benaknya. Sepertinya semua mimpi bahwa Lena akan bahagia, saling memberi, saling membagi, harus pupus, tergantikan dengan kesibukan masing-masing, kekurangan waktu berkomunikasi, kelelahan selepas kerja membawa mereka langsung tidur lelap karena kecapekan. Tidak ada kata-kata manis seperti dulu. Yang ada hanyalah kritik dan kata-kata yang kurang enak didengar. Makin hari sepertinya Lena tidak kenal dengan Tian lagi. Tian bukanlah Tian yang dulu membuatnya jatuh cinta setengah mati, head over heels… Bukan Tian yang seperti ini. Bukan Tian yang dengkurannya begitu keras sehingga membuat Lena tidur tak nyenyak setiap hari. Bukan Tian yang cara memencet odolnya tidak rapi seperti Lena, dan bukan Tian yang secara sembarangan melempar pakaian kotor sehabis pulang kerja. Bukan Tian yang seperti ini.
Lena sedih. Belum lagi hubungan dengan ipar dan mertua yang tinggal satu rumah dengan dia. Menambah banyaknya adaptasi yang harus dilakukan termasuk adaptasi dengan anggota keluarga Tian.
Kepala Lena pusing, rasanya hampir pecah. Sakit sekali rasanya harus bangun dari mimpi indah di awal perkawinannya. Hampir Lena tidak mampu bertahan, dan dia berpikir untuk cerai atau setidaknya pisah rumah. Tapi, bukankah apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia? Itu adalah ayat yang dibacakan di saat pernikahan Lena. Apa yang harus dilakukan??? Haruskah menghadap konselor perkawinan? Karena kalau diteruskan, Lena semakin takut akan menjadi-jadi. Belum lagi kehadiran anak nanti pasti banyak membawa perubahan, Lena belum siap. Untunglah dia belum hamil, dia menarik nafas lega.
Sebegitu peliknyakah kehidupan perkawinan? Kalau tahu begini, Lena memilih hidup melajang. Bebas, merdeka… Tetapi, Lena takut kesepian. Itu juga alasannya menikah.
Lena bingung, entah harus bagaimana. Yang sementara bisa dilakukannya adalah kembali membenamkan kepalanya di bantal. Bertemankan sekotak tissue, Lena menangis. Yah, menangisi semua hal yang jauh dari impiannya selama ini…

Menelaah Lebih Jauh Persoalan Lena…
Setiap orang memiliki mimpi-mimpi sebelum memasuki mahligai rumah tangga. Sebetulnya orang tidaklah buta akan kenyataan begitu banyak permasalahan di dalam rumah tangga, tetapi di kala cinta sudah mengetuk dan rasanya inilah orang yang paling tepat sebagai jodohku, tidak jarang banyak orang berusaha menepis ketakutan yang pernah menghiasi dirinya, bahkan beberapa di antara mereka tidak ragu untuk mengatakan, “ Ah itu bisa terjadi pada orang lain, tetapi tidak pada saya. Dengan pasanganku, aku yakin akan adem ayem saja selama perkawinan,” begitu ujarnya.

Namun, pada kenyataannya, pada saat memasuki perkawinan, hendaknya kita juga menyiapkan diri bahwa akan banyak sekali adaptasi yang harus dilakukan. Karena sang pilihan kita bukan hanya berada bersama-sama kita selama dua atau tiga jam seminggu, namun setiap hari, bahkan seumur hidup kita! Dan ini bukan main-main.
Dan orang yang selalu bersama-sama. Dekat. Tentunya membuka lebih banyak peluang pula untuk saling melukai. Kalau sesama teman bertemu, pastilah saling jaga perasaan. Atau sebagian orang ada yang ja-im (jaga image), tidak menampakkan sifat aslinya. Begitu pula di masa pacaran, banyak pula yang ja-im. Namun, dalam perkawinan tidak ada lagi ja-im. Semua terbuka keasliannya.

Di masa berpacaran, Lena dan Tian, sedikit banyak saling ja-im. Itu yang membuat mereka saling jatuh cinta. Namun, cinta yang tulus dan sesungguhnya diuji bukan pada saat semua ceria, semua indah. Namun, terlebih dari itu, cinta sejati diukur dari kemampuan untuk memaafkan, kemampuan untuk menerima perbedaan, kemampuan untuk mengerti pasangan.
Dan jujur saja, itu bukan hal yang mudah! Tetapi, patut diperjuangkan.
Lena mungkin ada baiknya untuk mengenang kembali hal-hal positif yang ada pada diri Tian, yang dulu membuatnya jatuh cinta. Yang selalu membuat dirinya bangga akan Tian. Dan Lena juga hendaknya mengerti bahwa Tian tidak selalu mampu untuk jadi pangeran penolong bak Michael Scoffield dalam serial Prison Break yang serba bisa, yang serba pintar memutar otak, selalu bisa menemukan solusi permasalahan.
Tian bukan Superman. Tian bukan dewa. Tian hanya manusia biasa. Begitu pun dengan Lena. Dalam keletihan, Lena cenderung marah-marah dan semakin melihat kejelekan yang ada pada diri Tian.

Akhirnya, memang pria dan wanita berbeda. Seperti yang ditulis oleh Bill dan Pam Farrel dalam buku mereka dengan judul yang sangat menarik: Men Are Like Waffles, Women Are Like Spaghetti (Understanding and Delighting in Your Differences), mengungkapkan perbedaan sebagai berikut:
Men process life like waffles. They think and act by moving from box to box---they enter a box, size up a single problem, and formulate a solution.
Women process life like a plate of spaghetti. Each issue is like an individual noodle that touches every other noodle on the plate, and women find it natural to multitask.


Atau yang sudah lebih dulu kita kenal, Men are From Mars, Women Are From Venus karya John Gray, juga mengungkapkan hal yang kurang lebih sama nadanya. Pria dan wanita memang berbeda.

Tidak ada cara lain untuk menjembatani perbedaan itu selain mencoba untuk saling mengerti, mencoba untuk saling menerima, dan akhirnya saling mengampuni. Tidak mudah, membutuhkan perjuangan senantiasa, namun itu tugas kita sebagai anak-anak Tuhan untuk belajar mengampuni.
Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?"
Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.
( Matius 18:21-22)


Oh, No!! Bukan saya Tuhan, saya tidak mampu mengampuni sebegitu banyak kali, walaupun itu adalah orang terkasih dan terdekat saya… Saya tidak bisa, Tuhan!
Mungkin itu jawaban yang terlintas di benak kita saat membaca ayat di atas.
Tetapi sekali lagi, kita diingatkan bahwa memang hidup berkeluarga, apalagi di awal masa pernikahan memang tidak mudah. Namun, Tuhan juga memberikan rahmatNya bagi mereka yang berdoa dan percaya, bahwa tetaplah berpegang dalam kasih, dalam pengampunan, dalam Yesus Kristus sebagai pusat keluarga dan pusat rumah tangga. Sekaligus percaya, bahwa Tuhan akan selalu sediakan jalan keluar. Asal kita mau berubah, asal kita mau mengalah dan memohon maaf. Mengalah bukan berarti KALAH. Demi yang terkasih, aku mau mengalah. Sehingga, kejadian yang terkasih yang terlukai bisa diminimisasi.
Tuhan, berilah kami hati seperti hatiMu yang penuh belas kasihan, terutama bagi orang-orang yang dekat di hati kami. Bukan kebetulan, mereka ada dalam kehidupan kami, namun karena rencanaMu, mereka hadir dalam hidup kami. Ajar kami untuk lebih menghargai mereka yang dekat, mereka yang mungkin tidak sempat kami beri perhatian karena kami terlalu sibuk.
Ajar kami Tuhan, agar kami mampu mengampuni dan terus mengampuni sebagai proses yang tak pernah usai dalam sekolah hidup kami di dunia ini.
Amen.

Singapore, 24 March 2008
-fon-

No comments:

Post a Comment