*** Episode: Jalan Kehidupan
Previously on Thank God I Found You part 17 (Episode: I Do ).
Willem meninggal dunia, meninggalkan luka mendalam di hati keluarganya, terutama Mama Willem. Sementara kisah cinta Vita dan Jason berakhir bahagia di pelaminan. Dengan pesta sederhana, sementara mereka memutuskan untuk berbulan madu ke Singapura dan Ho Chi Minh City. Sementara Susi masih terkaget-kaget dengan kenyataan bahwa Vic yang begitu menarik hatinya, tak lebih hanyalah seorang penjahat kelas kakap yang bergerak sebagai ‘drug dealer’ lengkap dengan segala tindakan ‘money laundering’ yang dilakukannya. Dan kehadirannya yang misterius di sakramen pernikahan Vita-Jason dengan potret-memotret dan samarannya, menimbulkan tanda tanya juga. Apa maksudnya? Ketika selesai acara, dia beranjak mau memasuki mobil, tiba-tiba dia dihentikan seorang pria. Bagaimanakah kelanjutan kisah ini selanjutnya? Simak ceritanya berikut ini….
Episode: Jalan Kehidupan
Masih di parkiran mobil Gereja Theresia …
Susi mengernyitkan keningnya. Pria itu tak dikenalnya, tetapi bisa mengomentarinya seperti itu. Apa maunya?
“ Apa maksudmu bicara seperti itu. Kenal pun tidak aku denganmu.” Kata Susi.
“ Kamu tidak kenal saya, tetapi saya kenal semuanya tentangmu. Saya juga tahu bahwa kamu tukang buat onar selama ini. Jadi, sudahilah ini semua. Sekarang ikut saya!” Ujarnya setengah memaksa. Susi tak keburu berteriak, walaupun dirinya berniat untuk itu. Karena tangan pria itu sudah keburu menyodorkan sapu tangan yang mengandung obat bius. Hasilnya Susi segera pingsan.
***
Aku dan Jason menikmati hari-hari pernikahan kami. Ya, kami tinggal di rumah mertuaku, Mama Jason. Karena Mamanya sudah tua dan sakit-sakitan. Bagiku tak masalah, karena aku bekerja, malah memang tinggal bersamanya adalah baik bagi kami. Lagian, tak lagi kupikirkan itu semua. Itu soal nanti. Sementara kami bersiap untuk menikmati bulan madu kami. Dua hari lagi, kami akan berangkat ke Singapura dan menikmati hari-hari indah kami bersama.
Kusiapkan tasku, packing dimulai. Memang lelah, memang meletihkan, tetapi hatiku senang luar biasa…bahagia…
Hotel Meritus Mandarin, di jantung Orchard Road.
Kami melangkahkan kaki bersama. Penuh senyum dan tawa ceria. Di hotel ini kami akan tinggal sekitar lima malam, sebelum kami berangkat ke Ho Chi Minh City. Sebetulnya ‘rate’ hotel ini tidak murah, tetapi karena aku punya seorang kenalan yang bekerja di sini, jadi kami bisa mendapatkan diskon yang cukup lumayan. Dan tinggal di Orchard Road pastinya amat memudahkan buat kami, ditambah lagi posisi hotel yang bersebelahan dengan pusat perbelanjaan Takashimaya, dekat pula dengan Wisma Atria dan Ion Orchard. Kalau mau ke toko buku, juga tidak terlalu jauh jalannya, tinggal menyeberang atau via ‘underpass’ ke Borders yang terletak di Wheelock Place. Hari-hari ini terasa membahagiakan. Bersama Jason. Oh, tentunya ada masalah-masalah kecil seputar kebiasaan menaruh handuk, memencet odol, kamar mandi yang terlanjur basah olehnya…Hal-hal sepele yang tak pernah kuketahui sebelumnya. Sama seperti Jason yang juga baru mengetahui ritual-ritualku sebelum tidur yang harus dengar musik dulu (makanya kubawa Ipod-ku ke mana-mana) sambil membaca buku atau majalah. Sementara Jason terbiasa tidur dengan televisi yang dinyalakan. Sementara aku? Kalau aku tidur, aku suka suasana yang tenang. Tanpa gangguan apa pun. Akhirnya, keputusannya Jason tetap menyalakan dengan volume kecil, sampai dia tertidur, kumatikan televisi itu. Perlahan, kami mulai adaptasi…Besok, kami akan jalan-jalan ke Universal Studio. Jadi, bobok sajalah!
***
Susi terbangun dengan kepala pusing. Pandangannya masih kabur, segala sesuatu seolah berputar di depan matanya. Di manakah dia berada? Harusnya ini bukan tempat yang asing. Seolah sebagian dari tempat ini dikenalinya… Pria itu yang membiusnya sudah tak ada. Dengan pandangan yang masih berkunang-kunang, dia mendengar suara yang juga familiar. Tetapi dia diikat pada kursi di kamar itu. Sehingga tak bisa melakukan apa pun.
Suara itu? Suara seorang perempuan. Mama Willem??? Tiba-tiba dia menyadari bahwa ini adalah bagian dari rumah Willem. Kamar kosong yang tak pernah diisi, kecuali ada tamu yang datang. Mengapa dia sampai ada di sini? Pria itu, apakah dia juga ada hubungannya dengan Mama Willem?
“ Oh, kamu sudah sadar rupanya, Susi!” Mama Willem bicara dengan sinis.
“ Iya, Tante. Eh, iya, Ma. Willem ada di mana? Mengapa aku sampai ada di sini?” tanya Susi.
“ Jadi, kamu tidak tahu? Kamu tidak peduli memang! Willem sudah mati dan itu gara-gara kamu!” Ungkap Mama Willem penuh emosi.
“ Willem…MATI??? Apa yang terjadi, Ma?” tanya Susi terbata-bata.
“ Jangan panggil aku Mama. Aku tak punya menantu kurang ajar sepertimu. Yang bisanya cuma meninggalkan anakku di saat susah. Yang menyusahkan saja. Kami tak tahu kau di mana, makanya kusewa seorang detektif untuk mengikutimu dan membawamu ke sini. Karena aku mau memberitahukan semuanya kepadamu. Willem mati karena stress berat. Dia depresi. Lalu bunuh diri. Dan itu semua gara-gara KAMU! Haruskah kuucapkan terima kasih kepadamu???” Suaranya semakin meninggi.
Susi hanya diam. Terisak. Tak tahu lagi harus bicara apa. Memang dia bukan istri yang baik, tetapi tak pernah terpikirkan olehnya bahwa Willem akan bunuh diri lagi dan kali ini pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.
“ Kamu puas sekarang?” tanya Mama Willem lagi.
“ Nggak, Tante. Saya menyesal.” Jawab Susi perlahan.
“ Ah, sudahlah! Simpan saja sesalmu! Apa mungkin orang sepertimu bisa berubah? Kamu di sini dulu, sampai aku puas. Sampai aku melampiaskan kekesalan hatiku padamu. Walaupun aku tahu, takkan mungkin semua yang kulakukan ini membawa Willem kembali ke pangkuanku…Dia sudah pergiiiii…” Teriak Mama Willem sambil menangis perih.
Susi terpaku sekali lagi. Tiba-tiba penyesalan itu menderanya. Rasa bersalah itu memenuhi hatinya. Apakah seburuk itukah tindakannya?
Mama Willem pergi meninggalkan kamar itu dengan pilu. Sementara Susi dilepaskan dari tali yang mengikatnya oleh pembantu rumah tangga rumah itu tetapi dikunci dari luar. Jendela pun terkunci rapat, sehingga tiada jalan keluar baginya.
***
Siang hari yang menyengat di Universal Studio. Setelah dari pagi kami berkeliling. Kami kelelahan juga. Kami memutuskan untuk minum dan berteduh sejenak. Cuaca yang terik mengakibatkan kami begitu cepat haus. Tiba-tiba, kepalaku berkunang-kunang. Aku pusing mendadak. Ah, tekanan darahku memang sering mendadak turun, apalagi di kondisi panas menyengat seperti ini. Akhirnya acara kami batalkan.
Aku dan Jason pulang ke hotel, istirahat sejenak. Setelah itu, kami makan malam di hotel saja. Karena ternyata kepalaku masih pusing. Jason pun betul-betul menunjukkan kepeduliannya padaku. Mungkin, inilah anugerah terbesar dalam hidupku. Ada seseorang yang menyayangiku dan dia berada di sisiku ketika aku tengah sakit seperti ini. Masih makan perlahan dengan tidak bersemangat. Aku berusaha menelan makanan itu, tapi aku tak mampu. Pusing kepala melandaku. Kuputuskan untuk tidur.
Keesokan harinya.
Kondisiku belum berubah banyak. Jason setengah memaksaku untuk cek ke dokter. Apalagi ini di Singapura yang terkenal dengan dokter-dokter yang kompeten. Kami belum tahu harus ke mana. Yang terdekat adalah Mount Elizabeth Hospital, di belakang Paragon sana. Bahkan bisa jalan kaki. Sementara masih dalam jarak yang amat dekat Gleneagles Hospital juga tak jauh dari Orchard Road. Tetapi, RS itu terkenal mahal, namun Jason tetap memaksaku pergi ke salah satu dari keduanya. Biar aku tak terlalu tersiksa lama. Kuputuskan untuk pergi ke Gleneagles saja. Kami naik taksi.
Kami mendaftar pada dr. Ng, ahli syaraf. Sebetulnya aku bingung harus ke dokter apa, tetapi kuputuskan untuk memulainya dari dr. Ng yang direkomendasikan seorang sahabat Jason di negeri ini.
Setelah memeriksaku secara teliti, dr. Ng menyarankan aku untuk melakukan scan di kepalaku. Hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Takut sih, tapi apa boleh buat, harus kuhadapi juga. Setidaknya aku ingin tahu kejelasan juga, apa sebetulnya penyebab sakit kepalaku itu. Selama ini, terkadang ia datang dan pergi. Tetapi, tak pernah jadi masalah besar. Selalu kupikir itu karena kurang darah yang muncul tiba-tiba. Tak pernah jadi gangguan besar. Jadi, aku pun sudah terbiasa. Ketika harus diperiksa, sejujurnya ada keraguan menyergapku juga. Haruskah? Kuputuskan untuk mengatakan iya, walaupun hatiku kalut. Tuhan, tolong aku… Kugenggam tangan Jason dan berusaha mencari kehangatan dari tangannya….Ya, aku sungguh takut!
***
Susi memutuskan untuk masuk ke kamar mandi dan mandi. Seperti biasa ritualnya. Dia berbaring di bath tub, seolah tak peduli kondisinya yang tengah disandera mertuanya sendiri. Di bath tub itu, tiba-tiba dia membayangkan kehidupannya sendiri. Willem sudah mati. Terbaring di bath tub ini, membuatnya berpikir, beginikah rasanya berada dalam peti mati? Beginikah rasanya ketika harus pergi untuk selamanya? Tiba-tiba ada rasa sesal juga. Sesal karena dia tak menjadi istri yang baik selama ini. Bukannya menjadi istri yang baik, malahan dia bersenang-senang dengan pria lain yang baru dijumpainya. Tetapi, dia sudah kena batunya sendiri. Ternyata Vic tak lebih dari seorang penjahat kelas kakap!
Kembali merasakan dirinya di dalam bath tub itu, dia merasakan seolah kematian itu bisa begitu dekat. Selama ini, hidupnya tak pernah benar. Selama ini, hidupnya isinya hanyalah kebencian dan dendam yang terus dia sebarkan. Adakah kesempatan kedua untuk menata kembali hidupnya? Mungkinkah dia mengulang segala sesuatunya dengan berbeda?
Air matanya turun seketika. Jarang-jarang Susi menangis. Perlahan dia bangkit berdiri, menyudahi mandinya. Tiba-tiba dirasakannya mual yang amat sangat menyerang lambungnya. Dia pun muntah seketika. Heran. Ini pun tak pernah terjadi.
Diingatnya kembali kapan terakhir dia datang bulan. Ternyata sudah lebih dari 35 hari yang lalu. Mengapa dia bisa lupa? Mungkinkah dirinya hamil? Kalau hamil, anak siapa ini? Willem atau Vic? Lagian, dalam kondisi tersandera begini, mungkinkah dia lakukan tes kehamilan?
Ketika seluruh pikiran itu berkecamuk di kepalanya. Tiba-tiba pintu kamar dibuka lagi.
Bersambung…
Jakarta, 10 Agustus 2010
-fon-