Pernah berdalih?
Hmmm, rasanya banyak dari kita pernah melakukannya. Untuk tahu pastinya apa arti dalih, bisa kita lihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) online yang sering jadi teman setia saya jika kesulitan mencari padanan kata atau arti sebuah kata dalam Bahasa Indonesia… Menurut KBBI: da·lih n alasan (yang dicari-cari) untuk membenarkan suatu perbuatan. Contohnya akan saya berikan juga dalam kisah-kisah sebagai berikut…
Kasus Oom Senang
Perkenalkan, dirinya adalah Oom Senang. Oom Senang ini berusia sekitar 50-an tahun. Oom punya istri yang cantik, molek, dengan tubuh langsing berisi. Dan pernikahan dengan istrinya ini sudah berlangsung di atas 10 tahun. Istrinya ini adalah istri kedua, setelah cerai dari istri pertamanya sekitar 20 tahun yang lalu. Dari istri pertama, Oom Senang punya anak berusia 19 tahun. Dan dari istri keduanya, Oom punya seorang anak lagi, berusia baru 3 tahun. Dengan posisi di kantor yang semakin mapan, Oom semakin punya uang dan kekayaan. Oom pun punya sekretaris di kantor. Sekretarisnya ini tidaklah secantik istrinya. Tapi, karena namanya juga Oom Senang, dia akhirnya kepincut juga dengan sekretarisnya itu. Alasannya: sering bersama, tumbuh cinta. Itu yang membuatnya memutuskan untuk cerai dari istrinya. Ironisnya, tak sampai seminggu kemudian, pesta pernikahannya dengan Sang Sekretaris pun berlangsung. Itu terjadi setelah Si Istri dipulangkan ke
Kini dia menikmati hidup barunya dengan sekretaris yang langsung naik posisi jadi nyonya. Oom senang terkekeh riang. Ketika ditanya apa alasannya menceraikan istrinya? Jawabnya: “ Istriku memang cantik, tapi kurang pintar. Sekretarisku lebih pintar daripada dia.”
(Oom, Oom… Kalau mau cerai dan nikah lagi, bilang saja memang mau. Tak usah pakai dalih istri kurang pintar segala, Oom… Dalih itu menyakitkan…Kalau istri Oom sudah cantik, kemudian pintar bahkan lebih pintar dari Oom? Mungkin Oom akan berdalih lagi: istri saya terlalu pintar, saya lebih suka Sekretaris saya yang kurang pintar…Halah! Oom, Oom….Kasihan istrinya, Oom!).
Kasus Atet-Bandar Narkoba
Namanya Atet (bukan nama sebenarnya). Atet adalah seorang pemilik bisnis perikanan. Beberapa tambaknya menghasilkan ikan dan udang yang biasanya cukup lumayan untuk menghidupi keluarganya. Setidaknya dapur rumah tangga mereka tetap ‘ngebul’ dengan bisnis ikan dan udangnya itu. Tetapi, akhir-akhir ini, dirinya tengah dirundung kemalangan. Ikan dan udangnya mati semua, tanpa diketahui penyebab pastinya. Dan itu mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Lalu, seorang teman menawarkan kepadanya untuk menjadi pengedar narkoba. Atet pikir, tokh yang penting dapat uang cepat. Dari pengedar, tak lama Atet naik pangkat jadi Bandar. Setahun berlalu, Atet ditangkap polisi karena terbukti dalam mobilnya terdapat narkoba satu kilogram. Atet masuk penjara. Ketika ditanya mengapa sampai memilih jadi pengedar bahkan ‘Bandar Narkoba’? Jawaban Atet: yah, karena bisnis ikanku hancur, jadi aku ganti profesi. Tapi, Tet, bukankah profesi lainnya banyak? Mengapa harus pilih narkoba? Akhirnya larinya ke penjara juga? Bisnis hancur, butuh uang, membuat Atet berdalih dan membenarkan dirinya untuk jadi bandar narkoba. Bolehkah? Salahkah? Mari kita tanya hati nurani kita…
Kasus Oom Senang dan Atet, agaknya cukup akrab di telinga kita. Tanpa sadar, kita pun pernah melakukannya, mungkin dalam skala yang lebih kecil ketimbang mereka. Melakukan apa yang kita inginkan, untuk kemudian mencari dalih yang paling pas untuk membenarkan tindakan kita walaupun mungkin itu adalah tindakan yang salah. Tetapi, biarlah hati nurani yang mudah-mudahan masih murni terus mengingatkan kita, bahwa tindakan itu keliru. Takkan ada damai yang menyertai tindakan keliru yang dipasangi dalih dan didekorasi dengan seindah mungkin. Tindakan yang salah, tetaplah salah. Mungkin ada baiknya kita belajar rendah hati untuk mengakui: ya, saya salah untuk kemudian berusaha memperbaiki diri. Daripada melulu membenarkan diri sendiri, membuat benteng pertahanan yang sangat kokoh, hanya untuk ditertawakan sekitar kita. Bahwa betapa jelaslah sudah, tindakan kita itu hanya mempermalukan diri kita sendiri.
Di bagian akhir tulisan ini, saya hanya ingin menghimbau kita bersama sekaligus mengingatkan diri saya sendiri juga: untuk berusaha ambil tanggung jawab. Tidak cari alasan apalagi dalih untuk membenarkan tindakan saya, apalagi kalau saya jelas-jelas SALAH. Tindakan Oom Senang membodoh-bodohi istrinya dan memberikan predikat pintar pada sekretarisnya hanya memperlihatkan bahwa memang dirinya tak mampu menahan diri, asal embat tanpa peduli, tak punya perasaan, dan membenarkan tindakan poligaminya dengan dalih istri kurang pintar. Walaupun mungkin mereka punya permasalahan lain yang lebih kompleks dalam pernikahan mereka, bila mereka mau berusaha, pasti ada jalan keluar. Bukan dengan mengganti istri dengan sekretarisnya begitu saja. Masih ada langkah-langkah positif yang bisa dilakoni: retret bersama, ke psikolog, ambil cuti untuk honey-moon berdua atau liburan dengan keluarga, konsultasi dengan pemuka agama yang dipercaya, berdoa, dsb.
Tindakan Atet yang membenarkan dirinya bisnis narkoba sebagai ganti bisnis ikannya, juga adalah dalih semata. Saya pikir, mungkin saya lebih respek kalau Atet jadi sopir taksi, pengamen, atau kerja lainnya yang mungkin dipandang orang sebelah mata- namun halal, daripada kaya raya dari narkoba. Kalau hanya mau cari bisnis lainnya, berapa ribu kesempatan yang masih ada? Tanpa harus melakukan yang illegal dan merusak masa depan manusia terutama pemakainya: narkoba.
Pernah salah adalah manusiawi, asal kemudian berusaha belajar untuk lebih baik lagi dan memperbaiki diri. Salah, kemudian menutupinya dengan topeng dalih, hanyalah akan memperkeruh keadaan saja. Semoga kita bisa mengendalikan diri dengan lebih baik. Tidak melulu menyalahkan orang lain, mengambil kesempatan pembenaran diri lewat dalih bila kita memang salah. Karena pada akhirnya-waktu jualah yang akan membuktikan nantinya: orang yang berdalih hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.
HCMC, 26 September 2011
-fonnyjodikin-
* copas, forward, share? Mohon sertakan sumbernya. Trims.
sumber gambar: sidsavara.com
No comments:
Post a Comment