Bahkan kamu tak lagi mau menatap mataku.
Kamu memalingkan wajahmu.
Diam. Membisu.
Bibirmu seolah kelu.
Sementara aku?
Masih menunggu...
Masih menunggu...
Setidaknya satu-dua kalimat jawaban darimu.
Rintik hujan di awal Desember ini seolah menjawab keresahan hatiku dengan kepedihan.
Hujan deras juga turun di wajahku.
Derai air mata sudah dari tadi mengaliri kedua belah pipiku.
Mengapa kamu tega membiarkanku dalam kebimbangan?
Aku tak tahan lagi.
Lalu, aku pergi.
Jika ini memang akhir yang kauidamkan.
Akan kucoba kuhadapi dengan tegar, walaupun tak kupungkiri: aku tenggelam dalam kekecewaan.
Kemudian berlanjut ke kemarahan.
Mengapa kamu tega???
Diam seolah jadi solusi.
Padahal kutahu: dalam hati masih begitu banyak tanya yang belum terselesaikan.
Hanya air mata yang menetes ini seolah menjadi jawaban sementara atas semua hal yang seolah berbalik dalam hitungan detik saja.
Ya, kenyataan ini begitu pahit kurasakan.
Sementara di bulan yang seolah dengan meriah dirayakan, mengapa terasa begitu membosankan, memuakkan, dan: menyakitkan...???
Dalam diamku, kucari wajah-Mu...
Berharap ada jawaban di situ...
Setidaknya di sudut kecil di hatiku...
Namun nyatanya: tidak ada jawaban jua...
Sampai hari ini, tidak ada!
Apa yang harus kulakukan? Aku sunguh tidak tahu...
Selain membenamkan kepalaku. Lagi.
Mengadu kepada bantal di kamarku...
Dan membanjirinya. Lagi dan lagi...
Dengan air mata.
Sampai setidaknya rasa sakit itu berkurang.
Sedikit saja.
Ya, sedikit pun sudah cukup lumayan bagiku.
Setahun berlalu.
Desember kembali menghampiriku.
Waktu menjadikanku sedikit lebih kuat, walau kusadari aku tak benar-benar mampu melupakanmu.
Aku tak mau dibilang perempuan lemah, apalagi tanpa daya.
Meskipun aku masih menyimpan rasa sayang itu.
Dan: bayangmu tak pernah lepas dariku...
Namun kendali akan hatiku sudah berada pada tanganku sendiri...
Aku tak lagi terlarut dalam kesedihan yang terlalu.
Aku terus menjalani kehidupanku, berusaha sedikit lebih tegar dari hari kemarin di setiap hari yang kulalui...
Sampai hari ke-10 bulan Desember ini, kau muncul lagi di hadapanku.
Kau bilang kau minta maaf kepadaku.
Kau bilang kau sudah khilaf berpaling dariku dan yang sungguh keterlaluan: dengan sahabat baikku.
Kini kau sudah putus dan ingin kembali padaku.
Persahabatanku hancur, juga hubungan asmara kita kandas waktu itu.
Kupandangi kau dengan ragu.
Begitu sulit untuk memberimu kesempatan itu...
Walaupun aku tahu, dalam hatiku aku masih merindu...
" Maaf, Pras, aku tidak bisa kembali seperti dulu." Kutegarkan hatiku, meskipun aku tahu suaraku bergetar menahan emosiku.
Aku meninggalkan dirinya yang kebingungan di kafe kecil itu.
Kafe di mana terukir banyak keindahan kisah kami di dalamnya dan sudah kuputuskan harus sampai di sini saja.
Hujan gerimis mengiringi langkahku.
Sesudah melihat ekspresinya, aku tidak lagi ragu untuk melepaskan seluruh bayangan dirinya detik itu.
Tidak ada penyesalan di matanya, yang ada hanya sebuah keangkuhan menginginkan aku kembali padanya.
Hari kesepuluh di bulan Desember, sebuah keputusan penting di hidupku: selamat tinggal, Pras!
Ini akhir kisah kita yang sempat terjalin selama lima tahun lamanya.
Sebuah payung tiba-tiba menaungiku.
Payung hitam yang cukup besar untuk dua orang.
Dan kulihat sahabatku, Eric, yang selalu jadi pendengar setiaku dan penyemangatku selama setahun terakhir ini datang menghampiriku.
Dengan tatapan tajam dan penuh cinta dia memandangku.
Sesuatu yang mungkin tidak kuperhatikan benar-benar selama setahun ini karena aku terlalu terpaku pada Pras dan terlalu fokus pada problemku belaka.
Dia memelukku.
" Sari, aku mencintaimu, " Bisik Eric lembut di telingaku.
Aku menangis di dalam pelukannya.
Di hari kesepuluh di Bulan Desember, sebuah kisah baru akan kumulai.
Babakan baru, episode baru cintaku dengan Eric.
Angin membelai lembut wajahku dan rambutku.
Mengiringi sebuah keputusan dan sebuah cinta yang membuka tangannya lebar-lebar di hadapanku.
10 Desember 2016
fon@sg
(Fonny Jodikin)
Diam seolah jadi solusi.
Padahal kutahu: dalam hati masih begitu banyak tanya yang belum terselesaikan.
Hanya air mata yang menetes ini seolah menjadi jawaban sementara atas semua hal yang seolah berbalik dalam hitungan detik saja.
Ya, kenyataan ini begitu pahit kurasakan.
Sementara di bulan yang seolah dengan meriah dirayakan, mengapa terasa begitu membosankan, memuakkan, dan: menyakitkan...???
Dalam diamku, kucari wajah-Mu...
Berharap ada jawaban di situ...
Setidaknya di sudut kecil di hatiku...
Namun nyatanya: tidak ada jawaban jua...
Sampai hari ini, tidak ada!
Apa yang harus kulakukan? Aku sunguh tidak tahu...
Selain membenamkan kepalaku. Lagi.
Mengadu kepada bantal di kamarku...
Dan membanjirinya. Lagi dan lagi...
Dengan air mata.
Sampai setidaknya rasa sakit itu berkurang.
Sedikit saja.
Ya, sedikit pun sudah cukup lumayan bagiku.
Setahun berlalu.
Desember kembali menghampiriku.
Waktu menjadikanku sedikit lebih kuat, walau kusadari aku tak benar-benar mampu melupakanmu.
Aku tak mau dibilang perempuan lemah, apalagi tanpa daya.
Meskipun aku masih menyimpan rasa sayang itu.
Dan: bayangmu tak pernah lepas dariku...
Namun kendali akan hatiku sudah berada pada tanganku sendiri...
Aku tak lagi terlarut dalam kesedihan yang terlalu.
Aku terus menjalani kehidupanku, berusaha sedikit lebih tegar dari hari kemarin di setiap hari yang kulalui...
Sampai hari ke-10 bulan Desember ini, kau muncul lagi di hadapanku.
Kau bilang kau minta maaf kepadaku.
Kau bilang kau sudah khilaf berpaling dariku dan yang sungguh keterlaluan: dengan sahabat baikku.
Kini kau sudah putus dan ingin kembali padaku.
Persahabatanku hancur, juga hubungan asmara kita kandas waktu itu.
Kupandangi kau dengan ragu.
Begitu sulit untuk memberimu kesempatan itu...
Walaupun aku tahu, dalam hatiku aku masih merindu...
" Maaf, Pras, aku tidak bisa kembali seperti dulu." Kutegarkan hatiku, meskipun aku tahu suaraku bergetar menahan emosiku.
Aku meninggalkan dirinya yang kebingungan di kafe kecil itu.
Kafe di mana terukir banyak keindahan kisah kami di dalamnya dan sudah kuputuskan harus sampai di sini saja.
Hujan gerimis mengiringi langkahku.
Sesudah melihat ekspresinya, aku tidak lagi ragu untuk melepaskan seluruh bayangan dirinya detik itu.
Tidak ada penyesalan di matanya, yang ada hanya sebuah keangkuhan menginginkan aku kembali padanya.
Hari kesepuluh di bulan Desember, sebuah keputusan penting di hidupku: selamat tinggal, Pras!
Ini akhir kisah kita yang sempat terjalin selama lima tahun lamanya.
Sebuah payung tiba-tiba menaungiku.
Payung hitam yang cukup besar untuk dua orang.
Dan kulihat sahabatku, Eric, yang selalu jadi pendengar setiaku dan penyemangatku selama setahun terakhir ini datang menghampiriku.
Dengan tatapan tajam dan penuh cinta dia memandangku.
Sesuatu yang mungkin tidak kuperhatikan benar-benar selama setahun ini karena aku terlalu terpaku pada Pras dan terlalu fokus pada problemku belaka.
Dia memelukku.
" Sari, aku mencintaimu, " Bisik Eric lembut di telingaku.
Aku menangis di dalam pelukannya.
Di hari kesepuluh di Bulan Desember, sebuah kisah baru akan kumulai.
Babakan baru, episode baru cintaku dengan Eric.
Angin membelai lembut wajahku dan rambutku.
Mengiringi sebuah keputusan dan sebuah cinta yang membuka tangannya lebar-lebar di hadapanku.
10 Desember 2016
fon@sg
(Fonny Jodikin)