Jembatan
Singapore, few weeks ago…
Bus yang kutumpangi sudah berhenti. Dan aku melanjutkan perjalananku ke British Council dengan melalui jembatan penyeberangan.
Jujur, kondisi jembatan penyeberangan di Singapura ini amat berbeda dengan Jakarta. Di sisi kiri-kanan jalan terlihat bunga dan tanaman segar berwarna kehijauan. Asri, diselingi warna pink bunga yang bermekaran. Lalu, kondisi jembatan sepi dan amat bersih. Di ujung jalan kulihat seorang wanita tengah berbicara melalui handphonenya dengan santainya. Kulangkahkan kakiku agak cepat, karena aku sudah hampir terlambat masuk ke kelasku yang mulai jam 19.00.
Tetapi kesan nyaman, bersih, aman, dan asrinya jembatan itu tidak lepas dari ingatanku :)
Jakarta, few years ago…
Pengalaman naik turun jembatan penyeberangan di Jakarta, jelas lebih banyak daripada apa yang kualami di Singapura. Karena aku tinggal di Jakarta lebih lama sekitar 14 tahunan, jadi tentunya kualami berbagai pengalaman dengan jembatan penyeberangan.
Mulai dari kawasan Grogol depan Citraland. Sebagai anak Untar dulu, aku terbiasa naik jembatan penyeberangan Grogol. Jujur lagi nih, dengan rasa was-was karena banyak kejadian mulai dari copet sampai rampok di jembatan penyeberangan.
Kondisi jembatan penyeberangan di Jakarta pada umumny kotor (tetapi di depan Citraland itu sering ada yang menyapu sambil memegang kaleng sembari minta penghargaan atas tugasnya membersihkan jembatan, which was not bad, kan dia juga sudah usaha).
Jembatan di Jakarta secara umum lebih kotor dari Singapura, juga kurang aman, dan banyak pengemis. Tetapi ada yang menarik juga misalnya banyak yang berjualan di sana, mulai dari jepit rambut sampai gantungan kunci ataupun folder untuk kuliah, lengkap deh… (Hal ini yang tidak mungkin kujumpai di Singapura :)).
Pengalaman berjembatan juga kualami di daerah sekitar Setiabudi (Chase), Le Meridien, ataupun Jembatan depan Plaza Indonesia, karena dulu sempat berkantor di kawasan Sudirman-Thamrin. Tetapi tetap saja, banyak pengalaman yang kurang mengenakkan yang kudengar, misalnya ada seorang bule di kantorku dulu yang dirampok 4 orang sekaligus sambil memegang kedua kakinya dan sisanya mengambil barang-barangnya. Mengerikan…? Boleh dibilang begitu.
Tidak tahu bagaimana kondisi jembatan penyeberangan di Grogol, Karet, Sudirman, ataupun di Jakarta pada umumnya sekarang ini, aku hanya mencatat apa yang kuingat beberapa tahun yang lalu di Jakarta…
Biar bagaimana pun, Jakarta tetap kusukai di luar kemacetan dan banjirnya, Jakarta memberikan banyak kenangan manis… Walaupun pengalaman berjembatan di Jakarta tidak termasuk dalam kemanisan itu karena agak sering diiringi rasa was-was…
Jembatan aku dan Dia…
Saat aku berada di jembatan di Napier Road yang menghubungkan sisi Gleneagles Hospital dengan British Council di Singapura ini, aku teringat bahwa jembatan memiliki arti penting. Jembatan menghubungkan dua belah tempat.
Tanpa jembatan, hubungan itu tidak terjalin. Bisa tentunya menyeberang lewat jalan biasa seperti yang biasa dilakukan di Jakarta misalnya, tetapi resiko tentunya lebih besar.
Dalam perenunganku kala itu, membawaku ke dalam pengertian tentang hubunganku dengan Tuhan.
Dalam hal ini, jembatan menghubungkan dua belah pihak: aku dan Dia.
Jembatan yang menghubungkan aku dan Dia adalah DOA.
Tanpa doa, rasanya hidupku belum lengkap. Jembatan doalah yang menghubungkan aku dengan Tuhan selama ini. Doa menghubungkan aku dan Tuhan. Dan rasanya jarak tidaklah menjadi masalah. Karena Tuhan jauh sekaligus dekat. Kalau dilihat dari kebesaran dan keagunganNya, memang sepertinya Dia jauh. Namun sekaligus Dia dekat di hati, karena Dia sudah masuk dalam hatiku dan merajainya.
Di jembatan di Singapura ini, aku bersyukur bahwa aku punya jembatan doa.
Dan semoga jembatan doa yang terbangun menjadi jembatan yang tak kunjung putus yang terus kudoakan setiap hari dalam setiap detik kehidupanku, dalam setiap nafas hidupku, dalam segala suka-dukaku.
Doa tidak harus melulu terpaku pada waktu atau tempat tertentu. Karena jembatan doa bisa terbangun kapan saja, di mana saja, karena Tuhan Yesus selalu ada di tiap detik hidup kita.
Thanks to jembatan yang membawaku kepada pengertian baru. Bahwa pentingnya arti jembatan membawaku kepada pentingnya hidup doa dan tidak melupakannya. Melainkan mencari cara agar jembatanku dengan Dia menjadi lebih asri, indah berwarna-warni, memberikan rasa aman dan tenteram senantiasa dan kutahu itu tidak datang begitu saja. Relasi terbina karena adanya waktu, adanya keinginan untuk meluangkan waktu. Hari ini aku bertanya kepada diriku sendiri (dan tentunya teman-teman bisa juga berefleksi), “ Sudah cukupkah waktuku untuk membina relasi yang baik dengan Tuhan? Bagaimana jembatan doaku dengan Dia apakah sudah terbina baik?”
Mari sama-sama kita benahi jembatan kita dengan Dia saat ini juga agar tercipta hubungan yang semakin indah….
Singapore, April 28, 2008
-fon-
Chapters of Life, begitu saya senang menyebutnya. Karena bagi saya, hidup adalah babak demi babak, bab demi bab, yang menjadikan buku kehidupan saya sempurna.
Sunday, April 27, 2008
Friday, April 18, 2008
Beware of Garbage Trucks
Beware of Garbage Trucks
By David J. Pollay
How often do you let other people's nonsense change your mood?
Do you let bad driver, rude waiter, curt boss, or an insensitive colleague ruin your
day? Unless you're a robot, you are bound to blow your top off.
However, the mark of a successful person is how quickly he or she can get
back his or her focus on what's important.
Sixteen years ago, I learned this lesson. I learn it in the
back of a New York City taxi cab. Here's what happen.
I hopped in a taxi, and we took off for Grand Central Station.
We were driving in the right lane when, all of a sudden, a black car
jumped out of a parking space right in front of us. My taxi driver slammed on
his brakes, skidded, and missed the other car's back end by just inches!
The driver of the other car, the guy who almost caused a big
accident, whipped his head around and he started yelling bad words at us.
My taxi driver just smiled and waved at the guy. And I mean he
was really friendly. So, I said, 'Why did you do that? This guy almost
ruined your car and sent us to the hospital!'
And this is when my taxi driver told me what I now called,
'The Law of the Garbage Truck'.
Many people are like garbage trucks. They run around full of
garbage, full of frustration, full of anger, and full of disappointment. As
their garbage piles up, they need a place to dump it. If they happen to dump
it on you, don't take it personally.
You just smile, wave, wish them well, and moved on. You'll be
happier if you did that rather than fight them.
So this was it: 'The Law of the Garbage Truck'..
I started thinking, how often do I let garbage trucks run
right over me? And how often do I take their garbage and spread it to other
people: at work, at home, on the street? It was that day I said, 'I'm not going to
do it anymore.' I see garbage trucks everywhere and everyday. I see
the load they're carrying. I see them coming to drop it off. And like
my taxi driver I don't make it a personal thing; I just smile, wave, wish
them well, and I move on.
Good leaders know they have to be ready for their next
meeting. Good parents know they have to welcome their kids home from school with
hugs and kisses . Teachers and parents know that they have to be fully present
and at their best for the people they care about.
The bottom line is that successful people do not let garbage
trucks take over their day. What about you? What would happen in your
life, starting today, if you let more garbage trucks pass you by?
Here's my bet. You'll be happier.
So...love the people who treat you right.
Forget about the ones who don't.
Believe that every thing happens for a reason.
If you get a chance, TAKE IT!
If it changes your life, LET IT!
Nobody said it would be easy...
They just promised it would be WORTH IT
By David J. Pollay
How often do you let other people's nonsense change your mood?
Do you let bad driver, rude waiter, curt boss, or an insensitive colleague ruin your
day? Unless you're a robot, you are bound to blow your top off.
However, the mark of a successful person is how quickly he or she can get
back his or her focus on what's important.
Sixteen years ago, I learned this lesson. I learn it in the
back of a New York City taxi cab. Here's what happen.
I hopped in a taxi, and we took off for Grand Central Station.
We were driving in the right lane when, all of a sudden, a black car
jumped out of a parking space right in front of us. My taxi driver slammed on
his brakes, skidded, and missed the other car's back end by just inches!
The driver of the other car, the guy who almost caused a big
accident, whipped his head around and he started yelling bad words at us.
My taxi driver just smiled and waved at the guy. And I mean he
was really friendly. So, I said, 'Why did you do that? This guy almost
ruined your car and sent us to the hospital!'
And this is when my taxi driver told me what I now called,
'The Law of the Garbage Truck'.
Many people are like garbage trucks. They run around full of
garbage, full of frustration, full of anger, and full of disappointment. As
their garbage piles up, they need a place to dump it. If they happen to dump
it on you, don't take it personally.
You just smile, wave, wish them well, and moved on. You'll be
happier if you did that rather than fight them.
So this was it: 'The Law of the Garbage Truck'..
I started thinking, how often do I let garbage trucks run
right over me? And how often do I take their garbage and spread it to other
people: at work, at home, on the street? It was that day I said, 'I'm not going to
do it anymore.' I see garbage trucks everywhere and everyday. I see
the load they're carrying. I see them coming to drop it off. And like
my taxi driver I don't make it a personal thing; I just smile, wave, wish
them well, and I move on.
Good leaders know they have to be ready for their next
meeting. Good parents know they have to welcome their kids home from school with
hugs and kisses . Teachers and parents know that they have to be fully present
and at their best for the people they care about.
The bottom line is that successful people do not let garbage
trucks take over their day. What about you? What would happen in your
life, starting today, if you let more garbage trucks pass you by?
Here's my bet. You'll be happier.
So...love the people who treat you right.
Forget about the ones who don't.
Believe that every thing happens for a reason.
If you get a chance, TAKE IT!
If it changes your life, LET IT!
Nobody said it would be easy...
They just promised it would be WORTH IT
The Colors of Life Part 3: Green
The Colors Of Life Part 3 : GREEN
Di kala terik dan panas menyengat…
Akan sejuk rasanya berteduh di bawah pohon yang rindang.
Dan di banyak tempat di Singapura ini, tumbuh pohon-pohon yang bervariasi. Dari yang besar dan kelihatan sudah sangat tua dan berakar, pohon yang sedang, dan pohon yang kecil-kecil rantingnya.
Tetapi di semua pohon itu sama, bertengger daun-daun kehijauan. Bervariasi dari hijau muda, hijau tua. Tetapi memberikan kesejukan saat dipandang mata.
Di kala hati terasa panas menyengat…
Dalam banyak kejadian di kehidupan ini, sering kali, kita berada pada kondisi hati yang panas. Hati yang panas, yang dipenuhi emosi, akan cenderung marah-terkadang tanpa alasan yang jelas.
Tentu saja mungkin bagi yang tengah berhati panas, terkadang tidak sadar atau tidak sepenuhnya sadar bahwa apa yang dilakukan membuat orang di sekitarnya bertanya-tanya, “ Ada apa dengan dia?”
Akhir-akhir ini aku menerima sebuah e-mail yang berisi tulisan tentang “ Garbage Trucks” sebagai berikut:
Beware of Garbage Trucks
By David J. Pollay
How often do you let other people's nonsense change your mood?
Do you let bad driver, rude waiter, curt boss, or an insensitive colleague ruin your
day? Unless you're a robot, you are bound to blow your top off.
However, the mark of a successful person is how quickly he or she can get
back his or her focus on what's important.
Sering kali, kita menjadi pelampiasan emosi dari orang lain yang merasa tidak bahagia, stress, ataupun depresi. Sama halnya, kita pun apabila merasa stress, pusing dengan segala macam masalah ataupun beban hidup, juga kita tanpa sadar melampiaskan emosi kita kepada orang yang tidak seharusnya menerima. Terkadang tak terhindarkan, tetapi terjadi.
Dan Pollay, sekali lagi juga menggambarkan dengan baik The Law of the Garbage Trucks
And this is when my taxi driver told me what I now called,
'The Law of the Garbage Truck'.
Many people are like garbage trucks. They run around full of
garbage, full of frustration, full of anger, and full of disappointment. As
their garbage piles up, they need a place to dump it. If they happen to dump
it on you, don't take it personally.
You just smile, wave, wish them well, and moved on. You'll be
happier if you did that rather than fight them.
Banyak orang (termasuk kita sesekali dalam hidup kita), seperti truk sampah. Yang berlari penuh sampah (sampah emosi dalam hal ini), penuh rasa frustrasi, penuh kemarahan, dan penuh kekecewaan.
Ketika sampah tersebut menumpuk, mereka perlu tempat untuk membuangnya. Ketika mereka kebetulan membuangnya kepadamu, jangan simpan di hati. Tersenyumlah, lambaikan tangan, harapkan yang terbaik bagi mereka, dan melangkah.
Kamu akan lebih bahagia bila kamu melakukannya daripada melawan mereka.
Dan biarlah warna hijau yang sejuk di mata, membawa kita menjadi pribadi-pribadi yang sejuk…
Di antara tumpukan sampah emosi yang meliputi begitu banyak emosi negatif, hendaknya kita tidak melawan dengan kekerasan juga ketika kebetulan kita menjadi tempat penampungan sampah emosi orang lain.
Dan berusaha apabila kita tengah emosi, kita tidak menumpahkannya kepada orang yang tidak seharusnya menerima. Sulit? Pastinya… Tetapi apabila kita mampu melakukannya, kita naik kelas dalam perkembangan iman kita sebagai murid-murid Kristus…
Green Peace. Hijau membawa perdamaian. Mendamaikan suasana alam yang terik menjadi bersahabat dan lebih teduh. Mendamaikan hati-hati yang panas juga menjadi lebih bersahabat dan teduh.
Dunia perlu orang-orang sejuk, dunia perlu orang-orang ‘hijau’ agar dunia tidak sebegitu panas. Suasana di luar boleh panas, tetapi hati dan kepala tetap sejuk.
Singapore, April 19, 2008
Dalam kesejukan warna hijau…
-fon-
Di kala terik dan panas menyengat…
Akan sejuk rasanya berteduh di bawah pohon yang rindang.
Dan di banyak tempat di Singapura ini, tumbuh pohon-pohon yang bervariasi. Dari yang besar dan kelihatan sudah sangat tua dan berakar, pohon yang sedang, dan pohon yang kecil-kecil rantingnya.
Tetapi di semua pohon itu sama, bertengger daun-daun kehijauan. Bervariasi dari hijau muda, hijau tua. Tetapi memberikan kesejukan saat dipandang mata.
Di kala hati terasa panas menyengat…
Dalam banyak kejadian di kehidupan ini, sering kali, kita berada pada kondisi hati yang panas. Hati yang panas, yang dipenuhi emosi, akan cenderung marah-terkadang tanpa alasan yang jelas.
Tentu saja mungkin bagi yang tengah berhati panas, terkadang tidak sadar atau tidak sepenuhnya sadar bahwa apa yang dilakukan membuat orang di sekitarnya bertanya-tanya, “ Ada apa dengan dia?”
Akhir-akhir ini aku menerima sebuah e-mail yang berisi tulisan tentang “ Garbage Trucks” sebagai berikut:
Beware of Garbage Trucks
By David J. Pollay
How often do you let other people's nonsense change your mood?
Do you let bad driver, rude waiter, curt boss, or an insensitive colleague ruin your
day? Unless you're a robot, you are bound to blow your top off.
However, the mark of a successful person is how quickly he or she can get
back his or her focus on what's important.
Sering kali, kita menjadi pelampiasan emosi dari orang lain yang merasa tidak bahagia, stress, ataupun depresi. Sama halnya, kita pun apabila merasa stress, pusing dengan segala macam masalah ataupun beban hidup, juga kita tanpa sadar melampiaskan emosi kita kepada orang yang tidak seharusnya menerima. Terkadang tak terhindarkan, tetapi terjadi.
Dan Pollay, sekali lagi juga menggambarkan dengan baik The Law of the Garbage Trucks
And this is when my taxi driver told me what I now called,
'The Law of the Garbage Truck'.
Many people are like garbage trucks. They run around full of
garbage, full of frustration, full of anger, and full of disappointment. As
their garbage piles up, they need a place to dump it. If they happen to dump
it on you, don't take it personally.
You just smile, wave, wish them well, and moved on. You'll be
happier if you did that rather than fight them.
Banyak orang (termasuk kita sesekali dalam hidup kita), seperti truk sampah. Yang berlari penuh sampah (sampah emosi dalam hal ini), penuh rasa frustrasi, penuh kemarahan, dan penuh kekecewaan.
Ketika sampah tersebut menumpuk, mereka perlu tempat untuk membuangnya. Ketika mereka kebetulan membuangnya kepadamu, jangan simpan di hati. Tersenyumlah, lambaikan tangan, harapkan yang terbaik bagi mereka, dan melangkah.
Kamu akan lebih bahagia bila kamu melakukannya daripada melawan mereka.
Dan biarlah warna hijau yang sejuk di mata, membawa kita menjadi pribadi-pribadi yang sejuk…
Di antara tumpukan sampah emosi yang meliputi begitu banyak emosi negatif, hendaknya kita tidak melawan dengan kekerasan juga ketika kebetulan kita menjadi tempat penampungan sampah emosi orang lain.
Dan berusaha apabila kita tengah emosi, kita tidak menumpahkannya kepada orang yang tidak seharusnya menerima. Sulit? Pastinya… Tetapi apabila kita mampu melakukannya, kita naik kelas dalam perkembangan iman kita sebagai murid-murid Kristus…
Green Peace. Hijau membawa perdamaian. Mendamaikan suasana alam yang terik menjadi bersahabat dan lebih teduh. Mendamaikan hati-hati yang panas juga menjadi lebih bersahabat dan teduh.
Dunia perlu orang-orang sejuk, dunia perlu orang-orang ‘hijau’ agar dunia tidak sebegitu panas. Suasana di luar boleh panas, tetapi hati dan kepala tetap sejuk.
Singapore, April 19, 2008
Dalam kesejukan warna hijau…
-fon-
Monday, April 14, 2008
Menyiasati Tekanan dalam Kehidupan
Minggu, 13 April 2008 | 15:06 WIB
OLEH : Sawitri Supardi Sadarjoen, psikolog
TEKANAN kehidupan akhir-akhir ini tidak dapat diabaikan karena terasa semakin menekan kehidupan manusia dan langsung berpengaruh terhadap keseimbangan faktor biopsikososial individu. Tekanan kehidupan tersebut lebih populer disebut dengan istilah stres.
Stres adalah situasi yang sangat tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan harapan, kebutuhan, dan tujuan individu atau justru yang sangat menyenangkan dan datang tiba-tiba sebagai kejutan dan biasanya menyertakan reaksi psikofisik spesifik.
Jenis stres
Stres terbagi dalam:
1. Eustres: kejadian yang menyenangkan dan sering tidak terduga, tetapi tetap membuat manusia memberi respons spesifik, seperti hilang nafsu makan, semangat berlebihan, tidak bisa tidur, tetapi setelah waktu relatif singkat kembali pada kondisi awal.
2. Distres: kejadian/situasi tidak menyenangkan karena situasi yang dihadapi jauh dari harapan, keinginan, dan kebutuhan.
Stres kehidupan dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar:
1. Stres katastrofik, bencana alam, seperti banjir bandang, tsunami, gempa bumi yang mengakibatkan trauma psikologik yang mendalam.
2. Stres perkembangan jiwa dihadapi saat seseorang berada dalam masa transisi perkembangan jiwa, seperti masa transisi menuju masa pensiun, yang sering membuka peluang munculnya gejala penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, tekanan darah tinggi atau rendah, dan stroke.
3. Stres berlanjut dihadapi setiap waktu, seperti menghadapi bos yang kaku, dominan dan otoriter, serta kemacetan lalu lintas.
Reaksi terhadap stres
Stres kehidupan yang tidak mampu diatasi dengan baik akan memengaruhi keseimbangan fungsi mental individu.
Individu mengalami ketegangan emosional, merasa tidak aman, tidak nyaman, terganggu keseimbangan psikofisik yang muncul pada berbagai keluhan fisik tanpa dasar gangguan organis yang relevan atau bahkan sulit menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial.
Gangguan keseimbangan fungsi mental itu akan memengaruhi kehidupan intrapsikis dan sosial individu.
Reaksi terhadap kondisi stres yang menyebabkan seseorang berada dalam keadaan frustrasi adalah:
- Agresi: marah, mengamuk, dendam kesumat, jengkel berlanjut, menyerang orang lain (ekstra agresi), atau melukai diri (intra-agresi).
- Depresi: sedih, murung, menarik diri dari pergaulan, mengurung diri, tiba-tiba menjadi pendiam.
- Apatis: acuh tak acuh, tidak peduli lingkungan, tidak mandi, tidak mengikuti aturan yang berlaku.
- Regresi: bertingkah seperti anak kecil lagi, merengek-rengek dalam artian seolah mundur dalam taraf perkembangan terdahulu.
Menyiasati stres
Cara menyiasati stres ketika kita ingin meraih suatu tujuan dalam kehidupan kita adalah dengan mengintegrasikan aspek emosi dengan rasio secara optimal dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan di bawah ini kepada diri sendiri.
1. Perlukah kita bereaksi emosi tanpa kendali seperti itu?
2. Nilailah kembali apakah harapan kita itu realistis?
3. Bisakah kita mencari upaya lain agar akhirnya bisa mendapat apa yang sebenarnya kita harapkan?
4. Perlukah kita tunda beberapa saat agar akhirnya kita memperoleh apa yang kita harapkan?
5. Bisakah kita kompensasikan dengan hal lain?
Untuk itu, agaknya kita perlu juga menilai kembali tujuan kita dengan mengajukan beberapa pertanyaan apakah kita tidak terlampau ambisius? Sejauh mana potensi pribadi, intelektual, dan sosial yang kita miliki membuka peluang tercapainya harapan itu?
Sejauh mana semangat juang, komitmen, dan ketekunan kita meraih harapan tersebut? Sejauh mana kita merencanakan penggunaan waktu dan menggunakan waktu dengan baik untuk meraih apa yang kita inginkan?
Bila ambisi lebih dari potensi, turunkan tujuan dan sesuaikan dengan potensi kita. Juga akomodasikan potensi dan optimalkan pemanfaatan potensi.
Kalau ambisi berimbang dengan potensi, maka kita harus meningkatkan daya juang dengan cara lebih gigih berupaya mencapai tujuan, seperti bangun lebih pagi dan mulai bekerja lebih awal dan selesai bekerja lebih larut sesuai kekuatan fisik yang dimiliki.
Kita juga harus berkomitmen untuk konsentrasi dengan apa yang kita lakukan dan tidak berhenti sebelum maksud tercapai.
Kita juga harus disiplin memanfaatkan waktu dengan tidak membuang waktu dan terencana dalam pemanfaatan sisa waktu, tekun dan konsentrasi pada tujuan yang akan dicapai, dan tidak mudah teralihkan.
Sekarang tinggal kita bertanya kepada diri sendiri, sampai berapa jauh kita sudah menjalani saran-saran di atas. Selamat berjuang.
OLEH : Sawitri Supardi Sadarjoen, psikolog
TEKANAN kehidupan akhir-akhir ini tidak dapat diabaikan karena terasa semakin menekan kehidupan manusia dan langsung berpengaruh terhadap keseimbangan faktor biopsikososial individu. Tekanan kehidupan tersebut lebih populer disebut dengan istilah stres.
Stres adalah situasi yang sangat tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan harapan, kebutuhan, dan tujuan individu atau justru yang sangat menyenangkan dan datang tiba-tiba sebagai kejutan dan biasanya menyertakan reaksi psikofisik spesifik.
Jenis stres
Stres terbagi dalam:
1. Eustres: kejadian yang menyenangkan dan sering tidak terduga, tetapi tetap membuat manusia memberi respons spesifik, seperti hilang nafsu makan, semangat berlebihan, tidak bisa tidur, tetapi setelah waktu relatif singkat kembali pada kondisi awal.
2. Distres: kejadian/situasi tidak menyenangkan karena situasi yang dihadapi jauh dari harapan, keinginan, dan kebutuhan.
Stres kehidupan dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar:
1. Stres katastrofik, bencana alam, seperti banjir bandang, tsunami, gempa bumi yang mengakibatkan trauma psikologik yang mendalam.
2. Stres perkembangan jiwa dihadapi saat seseorang berada dalam masa transisi perkembangan jiwa, seperti masa transisi menuju masa pensiun, yang sering membuka peluang munculnya gejala penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, tekanan darah tinggi atau rendah, dan stroke.
3. Stres berlanjut dihadapi setiap waktu, seperti menghadapi bos yang kaku, dominan dan otoriter, serta kemacetan lalu lintas.
Reaksi terhadap stres
Stres kehidupan yang tidak mampu diatasi dengan baik akan memengaruhi keseimbangan fungsi mental individu.
Individu mengalami ketegangan emosional, merasa tidak aman, tidak nyaman, terganggu keseimbangan psikofisik yang muncul pada berbagai keluhan fisik tanpa dasar gangguan organis yang relevan atau bahkan sulit menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial.
Gangguan keseimbangan fungsi mental itu akan memengaruhi kehidupan intrapsikis dan sosial individu.
Reaksi terhadap kondisi stres yang menyebabkan seseorang berada dalam keadaan frustrasi adalah:
- Agresi: marah, mengamuk, dendam kesumat, jengkel berlanjut, menyerang orang lain (ekstra agresi), atau melukai diri (intra-agresi).
- Depresi: sedih, murung, menarik diri dari pergaulan, mengurung diri, tiba-tiba menjadi pendiam.
- Apatis: acuh tak acuh, tidak peduli lingkungan, tidak mandi, tidak mengikuti aturan yang berlaku.
- Regresi: bertingkah seperti anak kecil lagi, merengek-rengek dalam artian seolah mundur dalam taraf perkembangan terdahulu.
Menyiasati stres
Cara menyiasati stres ketika kita ingin meraih suatu tujuan dalam kehidupan kita adalah dengan mengintegrasikan aspek emosi dengan rasio secara optimal dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan di bawah ini kepada diri sendiri.
1. Perlukah kita bereaksi emosi tanpa kendali seperti itu?
2. Nilailah kembali apakah harapan kita itu realistis?
3. Bisakah kita mencari upaya lain agar akhirnya bisa mendapat apa yang sebenarnya kita harapkan?
4. Perlukah kita tunda beberapa saat agar akhirnya kita memperoleh apa yang kita harapkan?
5. Bisakah kita kompensasikan dengan hal lain?
Untuk itu, agaknya kita perlu juga menilai kembali tujuan kita dengan mengajukan beberapa pertanyaan apakah kita tidak terlampau ambisius? Sejauh mana potensi pribadi, intelektual, dan sosial yang kita miliki membuka peluang tercapainya harapan itu?
Sejauh mana semangat juang, komitmen, dan ketekunan kita meraih harapan tersebut? Sejauh mana kita merencanakan penggunaan waktu dan menggunakan waktu dengan baik untuk meraih apa yang kita inginkan?
Bila ambisi lebih dari potensi, turunkan tujuan dan sesuaikan dengan potensi kita. Juga akomodasikan potensi dan optimalkan pemanfaatan potensi.
Kalau ambisi berimbang dengan potensi, maka kita harus meningkatkan daya juang dengan cara lebih gigih berupaya mencapai tujuan, seperti bangun lebih pagi dan mulai bekerja lebih awal dan selesai bekerja lebih larut sesuai kekuatan fisik yang dimiliki.
Kita juga harus berkomitmen untuk konsentrasi dengan apa yang kita lakukan dan tidak berhenti sebelum maksud tercapai.
Kita juga harus disiplin memanfaatkan waktu dengan tidak membuang waktu dan terencana dalam pemanfaatan sisa waktu, tekun dan konsentrasi pada tujuan yang akan dicapai, dan tidak mudah teralihkan.
Sekarang tinggal kita bertanya kepada diri sendiri, sampai berapa jauh kita sudah menjalani saran-saran di atas. Selamat berjuang.
Sunday, April 13, 2008
Gereja St. Ignatius
Church of St. Ignatius, Singapore. Minggu pagi, pkl. 06.50
Pagi ini kuputuskan untuk pergi ke misa pagi. Karena akan ada acara pergi di siang harinya, jadi kupikir akan lebih baik jika aku menyelesaikan tugas yang satu ini, misa minggu.
Kulihat web veritas yang menginformasikan tempat dan jam misa. Misa Bahasa Inggris yang terpagi adalah jam 7, dan salah satu tempat yang cukup dekat dengan rumahku adalah Church of St. Ignatius yang terletak di Kings Road.
Kulangkahkan kaki menuju ke gereja yang tertata rapi dengan gaya minimalis. Cukup indah dan rapi gereja ini. Dan di saat kumasuki gereja, ada rasa yang timbul dan menyelinap dalam hatiku, karena nama St. Ignatius.
Gereja yang juga membawaku kepada pelayanan di PDKKnya di Jakarta, bernama sama. St. Ignatius. Dan bagiku, pengalaman itu membuatku mengingat kembali orang-orang yang kujumpai, teman-teman terkasih di PDKK Ignatius di Jakarta…
Gereja Katolik St. Ignatius Loyola, Jl. Malang, Jakarta
Gereja di kawasan Manggarai ini, berarti sekali untukku. Ini tempat aku dan suamiku menerima Sakramen Perkawinan kami. Tetapi, jauh sebelum ini, gereja ini sudah memiliki makna tersendiri karena bagiku dia memang spesial.
Dulu, sebelum aku baptis, di akhir tahun 2000, seorang teman kostku, Patricia Bing, mengajakku untuk datang ke latihan PD (Persekutuan Doa) katanya. Dan aku yang tengah katekumen, juga mencari suatu kegiatan yang positif. Aku tidak tahu, kegiatan macam apa yang bakal cocok denganku, tetapi yang pasti, aku mau melihat terlebih dahulu. Dan menyanyi adalah salah satu kesukaanku. Jadi, kenapa tidak?
Dari kunjungan pertama ke rumah Pak Suryadi yang menjadi posko kami, rasanya aku biasa-biasa saja. Tidak menolak, juga tidak memberikan komitmen apa pun. Karena pada prinsipnya, ketika aku memberikan komitmen untuk mau aktif, tentunya aku mau sungguh-sungguh aktif. Daripada memberikan janji yang tak pasti, aku mau melihat terlebih dahulu, begitu rencananya. Dan hari itu, aku menikmatinya. Tetapi, tiba di saat doa penutup sekaligus doa syafaat, Ririn, salah satu anggota PD, berdoa begini:
“ Terima kasih, Tuhan, sudah kautambahkan lagi satu orang di antara kami. Terima kasih karena Kau sudah mengirimkan Fonny kepada kami.”
Dalam hatiku, aku merasa agak terbeban, karena aku belum memutuskan akan aktif atau tidak, tetapi Ririn sudah mendoakan seperti itu. (Tetapi akhirnya kutahu bahwa mungkin itu juga adalah tuntunan Roh Kudus sendiri yang mendorongnya untuk berdoa seperti itu…).
Tetapi sejak hari itu, aku juga berusaha datang ke PD. Dan siapa sangka, akhirnya aku menjadi salah satu anggota di sana. Aku menjadi singer ataupun tim pujian. Dan kebersamaan kami berlanjut sampai kini, ketika mereka datang ke Singapore, mereka mengunjungi atau setidaknya kontak denganku. Dan aku pun demikian, ketika ada di Indonesia, aku juga mengontak mereka. Silaturahmi terjalin dan persaudaraan dalam kasih Kristus, sungguh nyata kurasakan.
Yang sulit kutemukan di tempat lain…
Puji Tuhan untuk semua pelayanan yang Dia percayakan bagiku. Mengawali karyaku lewat PDKK Ignatius Jkt sebagai singer, Tuhan percayakan pelayanan lewat band rohani juga sebagai singer. Aku sangat menikmatinya! Lalu, pelan-pelan, rasa ingin tahuku akan Tuhan, membawaku kepada kursus kitab suci selama 3 tahun. Dan yang pasti, yang masih kulakukan sampai hari ini adalah membagikan karisma menulis yang Tuhan percayakan kepadaku, lewat semua yang kualami, lewat semua yang sempat kupelajari, lewat apa yang kulihat dan Tuhan izinkan untuk kutuangkan dalam bentuk tulisan sampai saat ini.
Namun, di antara semua pelayanan, entah besar ataupun kecil, aku menemukan suatu kedamaian di komunitas kami. (Yang tentunya juga bisa dirasakan di mana pun Tuhan tempatkan kita semua, bukan??).
Kurasakan kasih sesungguhnya dari pembimbing PD kami, Pak Suryadi, lewat keterbukaannya kepada kami. Tuhan sungguh bertahtah dalam kehidupannya, ketika semakin hari semakin kulihat bahwa beliau sungguh tulus dan hanya menginginkan yang terbaik bagi kami semua anak-anak PDnya.
Dia selalu memberikan yang terbaik bagi kami. Tidak pernah dia memberikan yang no. 2, tetapi selalu diberikannya nothing but THE BEST.
Untuk semua hal yang sudah kualami bersama Pak Suryadi, aku mengucapkan terima kasih. Karena dia, aku juga bertahan dalam pelayanan. Di awal, di mana aku kurang mengerti akan banyak hal dan mungkin akan sangat mudah terpengaruh apabila kondisi pelayanan kurang baik, sebagaimana bisa kujumpai di banyak tempat, mungkin aku sudah menyerah kalau tidak melihat ketulusan lewat contoh kehidupan Pak Suryadi yang akrab kami panggil Apek.
Apek membuatku bertahan karena aku mau seperti dia, memperlihatkan ketulusan dan kasih Tuhan dalam kehidupannya.
Bukan pelayanan basa-basi atau asal. Bukan pelayanan yang juga berbau politik dan penuh strategi yang pernah kujumpai, bukan yang mau meninggikan diri, bukan yang mau mencari popularitas. Bukan!
Dan itu sungguh kuhargai, dan kusyukuri.
Setelah aku mulai mengerti esensi yang lebih mendalam, bahwa melayani Tuhan bukan hanya untuk kesenanganku sendiri, namun terutama untuk memberikan diri agar Dia pakai untuk kemuliaanNya dalam kondisi apa pun, membuatku juga semakin mengerti, pentingnya teladan hidup karena kita semua tahu, iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:26).
PDKK Ignatius adalah PD umum walaupun para pelayan pujiannya adalah kebanyakan anak-anak muda. Umat yang datang juga tidak banyak. PD yang dulu diadakan sebulan sekali kemudian menjadi sebulan 2x ini, dikunjungi oleh hanya sekitar 15-20 umat saja. Namun, aku bahagia di sana.
Di kesempatan ini, aku mengucapkan terima kasih kepada Tuhan untuk mempertemukanku dengan Apek dan istri (yang biasa kami panggil A’em), untuk setiap kebaikan hati yang tidak pernah bisa aku balas. Biar Tuhan sendiri yang menambahkan hari-hari penuh kesukacitaan dan ketulusan dalam hidup mereka. Dan juga untuk anak-anak mereka, Ko Alip dan Ci Shinta (Ci Uung). GBU and family!
Juga untuk para senior di PD, Tante Marcella, Pak Frans (alm.) dan ibu, Ko Fajar dan Ci Anne, Oom Hendra dan istri.
Untuk teman-teman dalam Kristus yang menghiasi hampir seluruh hari-hariku selama 6 tahun di Jakarta lewat PDKK Ignatius (dari saat aku hampir baptis tahun 2000, sampai Nov 2006 saat aku pindah ke Singapore):
Efra, Melan + hubby-Christian, Nona, Sylvi (Ipi), Bing-bing, Ami, Ririn, Ani, Jenny+ hubby-Ferdi, Imel, Christian (Efra’s Brother).
Juga untuk Maria dan Patricia Bing yang karena kesibukannya dengan pekerjaan dan rumah tangga plus anak, jarang datang ke PD, namun, terima kasih juga untuk waktu-waktu kita dulu bersama-sama.
Dan mungkin untuk beberapa nama yang tak sempat disebutkan mungkin karena aku kelupaan, namun pernah bersama-sama di PDKK Ignatius, aku mengucapkan terima kasih.
Terima kasih untuk semua perhatian, waktu sharing bersama, waktu pelayanan bersama. Dan waktu hang-out bersama. Itu semua menjadi kenangan yang sangat manis, memori yang sangat berarti bagi diri seorang Fonny.
Kenangan itu menjadikan aku mampu bertahan dalam kondisi yang sangat berbeda di negeri orang, dengan peran yang berubah drastis saat ini. Namun, persahabatan dan perhatian kalian semua, mengingatkanku kalau aku tidak sendirian. Tuhan mengirimkan sahabat dalam hidup kita, dan anggaplah aku beruntung memiliki sejumlah sahabat seperti kalian semua.
I’m just so blessed!
Hari ini, kunjunganku ke St.Ignatius Church Singapore membawaku kembali ke masa-masa indah bersama teman-teman PDKK Ignatius di Jakarta.
Jarak tidaklah menjadi masalah. Apalagi kalau hanya Jakarta-Singapura. Dan jarak lebih tidak menjadi masalah karena sekarang sudah ada email, telepon, dan sms.
Dan jarak semakin tidak jadi masalah, karena kenangan itu terpatri dalam hati di mana pun kalian sekarang berada, atau ke mana pun kalian nanti akan diutusNya.
Thank God for all of you…
Singapore, April 13, 2008
-fon-
NB: satu hal yang kuharapkan agar teman-teman PD bersatu selalu dalam kasihNya. Dan semoga tetap kompak dalam Kristus. Dan… mudah-mudahan PDKK Ignatius semakin berkembang dan umatnya semakin banyak. Amiennnn…
Wednesday, April 9, 2008
The Colors of Life Part 2: Blue
The Colors of Life part 2: Blue
Lokasi: Kawasan Seminyak-Bali, beberapa tahun yang lalu…
Ketika aku tengah duduk di sebuah restoran yang terkenal akan sandwichnya di Seminyak- Bali ini, kulihat begitu indah perpaduan warna biru yang sempurna.
Ah, aku selalu suka warna biru. Apabila harus dihadapkan dengan pilihan dalam membeli pakaian, ada warna putih-biru-hitam-pink, aku kebanyakan akan selalu mengambil warna biru.
I love BLUE!
Ok, back to gradasi warna biru yang sempurna di Seminyak.
Pasir di depan restoran berwarna putih, kontras dengan warna biru muda laut di depanku, bertambah tua warna birunya ketika semakin ke tengah laut. Sambil menahan nafas, aku hanya berujar. Indah! Ciptaan Tuhan sungguh sempurna indahnya.
Dan langit yang berwarna biru, juga menambah keindahan alam yang serba biru di mataku…
Biru…
Sebetulnya kata BIRU, tidak selalu berkonotasi positif. When I’m feeling blue, somehow, berarti, ketika aku merasa sedih.
Tapi dalam pandangan mataku, biru selalu berarti semangat baru. Ada keceriaan baru ketika memakai sesuatu yang baru bewarna biru.
Biru, bagiku adalah sesuatu yang menyenangkan. Yang selalu membuat aku merasa betah untuk berlama-lama dalam warna itu. Entah memandangi alam yang mayoritas berwarna biru ataupun dengan hanya memakai kaos warna biru. Sesederhana itu …
Biru…
Membuatku mampu mengucap syukur untuk hal-hal yang kusukai dalam hidup ini. Untuk orang-orang yang kucintai dan membuatku betah berlama-lama dengan mereka. Karena mereka bisa menerima diriku apa adanya.
Biru bagiku, bisa berarti suatu kesukaan, suatu hobby, suatu kesukacitaan. Misalnya, menulis, menonton, menyanyi, ataupun santai sambil minum teh atau kopi.
Dan biru bagiku bukanlah tempat yang mewah, bukanlah sesuatu yang mahal. Asal kujalani dengan seseorang yang dekat di hati. Yang bagiku dia adalah ‘rumahku’ karena membuat aku betah bersama dengannya.
Biruku…
Biruku berarti suamiku, anakku, orang tuaku, adikku, sahabat-sahabat terdekatku. Mereka yang membuatku merasa nyaman dan merasa ‘ at home’ karena penerimaan yang besar dari mereka terhadap aku dengan segala kekuranganku.
Biruku yang terutama berarti TUHAN YESUS. Yesuslah yang membuat aku bisa melangkah dalam keseharian hidupku. Di tengah kondisi hidup yang tak pernah terprediksi, aku menemukan biruku dalam Tuhan Yesus. Karena Dia, aku merasa diterima. Karena Dia, aku merasa berharga. Jauh sekali dengan apa yang ditawarkan dunia ini. Berbeda sekali dengan apa yang kutemui di keseharian kehidupan yang terkadang mengecewakan ini. Biruku berarti Yesus yang menerimaku apa adanya, tanpa perlu ja-im (read: jaga image).
Terima kasihku untuk biruku. Les Blues. Dan yang paling utama dan terutama, yang terbiru dalam hatiku, Yesus Kristus.
Singapore, 10 April 2008 pukul 00.12
Masih dalam kondisi mengharu biru…
-fon-
Lokasi: Kawasan Seminyak-Bali, beberapa tahun yang lalu…
Ketika aku tengah duduk di sebuah restoran yang terkenal akan sandwichnya di Seminyak- Bali ini, kulihat begitu indah perpaduan warna biru yang sempurna.
Ah, aku selalu suka warna biru. Apabila harus dihadapkan dengan pilihan dalam membeli pakaian, ada warna putih-biru-hitam-pink, aku kebanyakan akan selalu mengambil warna biru.
I love BLUE!
Ok, back to gradasi warna biru yang sempurna di Seminyak.
Pasir di depan restoran berwarna putih, kontras dengan warna biru muda laut di depanku, bertambah tua warna birunya ketika semakin ke tengah laut. Sambil menahan nafas, aku hanya berujar. Indah! Ciptaan Tuhan sungguh sempurna indahnya.
Dan langit yang berwarna biru, juga menambah keindahan alam yang serba biru di mataku…
Biru…
Sebetulnya kata BIRU, tidak selalu berkonotasi positif. When I’m feeling blue, somehow, berarti, ketika aku merasa sedih.
Tapi dalam pandangan mataku, biru selalu berarti semangat baru. Ada keceriaan baru ketika memakai sesuatu yang baru bewarna biru.
Biru, bagiku adalah sesuatu yang menyenangkan. Yang selalu membuat aku merasa betah untuk berlama-lama dalam warna itu. Entah memandangi alam yang mayoritas berwarna biru ataupun dengan hanya memakai kaos warna biru. Sesederhana itu …
Biru…
Membuatku mampu mengucap syukur untuk hal-hal yang kusukai dalam hidup ini. Untuk orang-orang yang kucintai dan membuatku betah berlama-lama dengan mereka. Karena mereka bisa menerima diriku apa adanya.
Biru bagiku, bisa berarti suatu kesukaan, suatu hobby, suatu kesukacitaan. Misalnya, menulis, menonton, menyanyi, ataupun santai sambil minum teh atau kopi.
Dan biru bagiku bukanlah tempat yang mewah, bukanlah sesuatu yang mahal. Asal kujalani dengan seseorang yang dekat di hati. Yang bagiku dia adalah ‘rumahku’ karena membuat aku betah bersama dengannya.
Biruku…
Biruku berarti suamiku, anakku, orang tuaku, adikku, sahabat-sahabat terdekatku. Mereka yang membuatku merasa nyaman dan merasa ‘ at home’ karena penerimaan yang besar dari mereka terhadap aku dengan segala kekuranganku.
Biruku yang terutama berarti TUHAN YESUS. Yesuslah yang membuat aku bisa melangkah dalam keseharian hidupku. Di tengah kondisi hidup yang tak pernah terprediksi, aku menemukan biruku dalam Tuhan Yesus. Karena Dia, aku merasa diterima. Karena Dia, aku merasa berharga. Jauh sekali dengan apa yang ditawarkan dunia ini. Berbeda sekali dengan apa yang kutemui di keseharian kehidupan yang terkadang mengecewakan ini. Biruku berarti Yesus yang menerimaku apa adanya, tanpa perlu ja-im (read: jaga image).
Terima kasihku untuk biruku. Les Blues. Dan yang paling utama dan terutama, yang terbiru dalam hatiku, Yesus Kristus.
Singapore, 10 April 2008 pukul 00.12
Masih dalam kondisi mengharu biru…
-fon-
Thursday, April 3, 2008
Marathon Runners or Sprinters?
Marathon Runners or Sprinters?
( Source: Billy Milton’s e-book: Building a Marathon Marriage)
At the moment I said, “I do,” I realized that I made a wedding vow in front of my dear husband, and most of all, we exchanged our wedding vow in front of the Altar of the church which means we said it before God.
By saying, “I do,” doesn’t mean that life would be as beautiful as Hollywood’s dream. It’s not as simple as that! Marriage needs lots of adjustments, tolerance, and most of all the willingness to accept every single change that will come along the way.
Changes are uncertain. But as the wise person said, the only thing that’s certain in this life is just the changes. We’ll be in a dynamic situation where changes can be met here, there and everywhere in our life.
Of course, I’m not an expert of a marriage. I’m still far from that! But, with this tiny experience of marriage, I tried to see more from other people’s point of view as well.
And Billy Milton’s book at least gave me a real good example on how to face a marriage with a different attitude- the better one for sure!
Why do so many marriages fail? Quite simply, couples start their married life with a sprinter's mentality and when the reality of the commitment hits them, they bail. They aren't thinking marathon—they're thinking sprint. They're thinking, Glamour and glory, when they need to think, Guts and graft.
And most importantly, Billy also gave a secret to a marathon marriage:
Many couples mistakenly believe that if you love someone, marriage will be easy.
Every couple who's achieved a healthy longevity in their marriage has recognized that there are times of pain when they want to give up, when they even think they don't love each other anymore. But they don't quit. Why? Because they've developed the "marathon mentality"—in which pain doesn't divert a true marathon runner from his or her goal.
Don't be a sprinter—develop a marathon mentality and get set for a great race. Here are some secrets that marathon-marriage couples have discovered:
1. Pain isn’t always a bad thing.
2. Displaced pain can lead to trouble
3. Pain isn’t a signal that your marriage is over.
4. Pain can’t be the focus of your race.
It seems that what Billy has emphasized along his book is about realizing that pain will be there in a marriage (and of course in all part of our life, married or single, pain is unavoidable). But pain isn’t a signal that marriage is over. And pain can’t be our focus of the race. If we’re focusing on that, for sure, we’ll be in trouble.
And finally, I realized that it’s almost impossible to have a healthy marriage without involving God, our Lord as the center of the marriage itself. Knowing that marriage will be full of pain and yet we still need to be faithful no matter how painful the condition is, the ability to forgive is on top of the list. While asking for more merciful heart to God, I know and I realize more and more each day that I could never make it on my own. Depending on God in order to have a marathon runner attitude towards my marriage and also toward this life, would make our Daddy in Heaven proud :)
God, let me be a Marathon Runner and not a sprinter in this marriage and also in this life. Amen.
Singapore, April 3, 2008
-fon-
( Source: Billy Milton’s e-book: Building a Marathon Marriage)
At the moment I said, “I do,” I realized that I made a wedding vow in front of my dear husband, and most of all, we exchanged our wedding vow in front of the Altar of the church which means we said it before God.
By saying, “I do,” doesn’t mean that life would be as beautiful as Hollywood’s dream. It’s not as simple as that! Marriage needs lots of adjustments, tolerance, and most of all the willingness to accept every single change that will come along the way.
Changes are uncertain. But as the wise person said, the only thing that’s certain in this life is just the changes. We’ll be in a dynamic situation where changes can be met here, there and everywhere in our life.
Of course, I’m not an expert of a marriage. I’m still far from that! But, with this tiny experience of marriage, I tried to see more from other people’s point of view as well.
And Billy Milton’s book at least gave me a real good example on how to face a marriage with a different attitude- the better one for sure!
Why do so many marriages fail? Quite simply, couples start their married life with a sprinter's mentality and when the reality of the commitment hits them, they bail. They aren't thinking marathon—they're thinking sprint. They're thinking, Glamour and glory, when they need to think, Guts and graft.
And most importantly, Billy also gave a secret to a marathon marriage:
Many couples mistakenly believe that if you love someone, marriage will be easy.
Every couple who's achieved a healthy longevity in their marriage has recognized that there are times of pain when they want to give up, when they even think they don't love each other anymore. But they don't quit. Why? Because they've developed the "marathon mentality"—in which pain doesn't divert a true marathon runner from his or her goal.
Don't be a sprinter—develop a marathon mentality and get set for a great race. Here are some secrets that marathon-marriage couples have discovered:
1. Pain isn’t always a bad thing.
2. Displaced pain can lead to trouble
3. Pain isn’t a signal that your marriage is over.
4. Pain can’t be the focus of your race.
It seems that what Billy has emphasized along his book is about realizing that pain will be there in a marriage (and of course in all part of our life, married or single, pain is unavoidable). But pain isn’t a signal that marriage is over. And pain can’t be our focus of the race. If we’re focusing on that, for sure, we’ll be in trouble.
And finally, I realized that it’s almost impossible to have a healthy marriage without involving God, our Lord as the center of the marriage itself. Knowing that marriage will be full of pain and yet we still need to be faithful no matter how painful the condition is, the ability to forgive is on top of the list. While asking for more merciful heart to God, I know and I realize more and more each day that I could never make it on my own. Depending on God in order to have a marathon runner attitude towards my marriage and also toward this life, would make our Daddy in Heaven proud :)
God, let me be a Marathon Runner and not a sprinter in this marriage and also in this life. Amen.
Singapore, April 3, 2008
-fon-
Subscribe to:
Posts (Atom)