Wednesday, July 22, 2009

Trip to Inner Me (part 1)

It’s time for holiday! Let’s make a trip…

Kulihat iklan-iklan liburan ada di mana-mana. Mulai dari koran, majalah, televisi, sampai internet semua ada. Memang, manusia perlu liburan dan liburan itu menyenangkan. Sisi lain, liburan juga menawarkan banyak pilihan paket. Mulai dari paket termewah seharga ratusan juta, sampai paket termurah dengan budget airlines, semua ada. Tergantung kantong, tergantung berapa banyak yang mau dikeluarkan untuk trip tersebut. Liburan, buat sebagian besar orang tetap diperlukan, karena tidak mungkin sepanjang hidup kerja dan kerja terus. Orang perlu hiburan, perlu refreshing, untuk kemudian kembali lagi dengan kesegaran baru karena baterai-nya telah di-charge semasa liburan.
Teringat beberapa liburan sederhana yang aku lewati, hanya ke Bandung atau Cirebon, naik kereta ketika kuliah di Jakarta dulu. Entah mengunjungi seorang teman, ataupun mengunjungi kakakku di Bandung. Juga ada liburan-liburan semacam retret, ataupun pernah juga aku melakukan semacam spiritual journey ketika masih Buddhist dulu, untuk merayakan Waisak di Yogyakarta di Candi Borobudur. I love those journeys.
Liburan, the trip, tidak harus mahal memang. Yang terpenting terkadang, ketenangan hati, kegembiraan dan kesukacitaan yang didapatkan sesudahnya.
Dan setelah itu, seolah kita siap untuk menghadapi hidup dan permasalahannya dengan kesegaran baru.

Inner Me…

Di tengah rasa suntuk, kebosanan akan rutinitas, aku merasa perlu untuk melakukan perjalanan ke dalam diri. Banyak orang melakukannya dengan memberikan diri sendiri ‘me’ time. Waktu yang dinikmati bagi diri sendiri, untuk kemudian merasa lebih baik, dan mendapatkan kekuatan baru untuk menghadapi suami/isteri, anak, pekerjaan, teman-teman kantor, boss, bahkan tukang parkir sekali pun, dengan kesegaran dan semangat baru. Dengan lebih bahagia dan terpenuhi ‘ me’ time-nya, orang akan cenderung lebih toleran, karena sang aku telah dipenuhi kebutuhannya, kesukaannya…

Ada satu bagian dalam diri yang merupakan ‘si kecil-nya ‘ kita. Jadi, kita punya Shinta kecil, David kecil, Heru kecil, ataupun Dinda kecil inside of us. Si kecil ini membutuhkan perhatian juga, karena terkadang kita tidak memberikan waktu yang cukup bagi si kecil ini karena kesibukan kerja dan mengurus keluarga, sehingga banyak kali si kecil menjadi tidak puas, karena si kecil tidak sempat diladeni, itu terkadang bisa berakibat buruk juga, karena terlalu banyak dikekang. Maka penting juga, si kecil mendapatkan apa yang dia mau. Tidak setiap kali, namun sesekali waktu. Jadi, jangan heran ketika si kecil ingin menagih es krim, main game, cream bath, ataupun pijat, biarlah sesekali diberikan, sehingga diri ini menjadi segar dan semangat. Dengan juga tidak memanjakan si kecil keterlaluan dengan menuruti semua yang dia mau, kita memberikan keseimbangan bahwa the inner me, si kecil itu tadi, memperoleh kecukupan dan pemenuhan apa yang dia butuhkan.

Trip to inner me…

Ada kalanya Fonny Kecil (FK) merasa senang, gembira, terharu. Dan ada juga kalanya FK merasa sedih, kecewa, terluka. Yes, I’m talking about the honesty to admit my feelings…
Berdialog dengan FK membawa aku kepada kejujuran akan pengakuan perasaan-perasaanku.
Aku sadar, terkadang kesibukan membawaku kepada tindakan tidak memedulikan FK. Tidak memedulikan my inner self, jadi kuputuskan untuk melakukan perjalanan ke dalam diriku. Melewati ruang dan waktu, bukan pergi ke mancanegara, bukan juga ke kampung halaman, namun di sini, di saat ini, dengan posisi duduk dan mata terpejam, kutanyakan kepada hatiku apa yang terjadi, apa yang dirasakan terhadap satu kejadian penting hari ini.

Day one: Sekat kamar terkunci dalam hatiku

Kumasuki ruang yang terdalam dari sekat-sekat hatiku. Ada banyak kamar di sana. Kamar-kamar di mana terkunci rapat, dan kuncinya entah ada di mana. Terkadang, aku sendiri yang tak mau melepaskannya. Aku membuang kuncinya. Sehingga tak ada ruang bagiku untuk memaafkan, untuk mengampuni orang yang menyakiti hatiku, hanya karena aku terlalu gengsi, atau terlalu marah, atau terlalu kecewa. Sehingga aku tak mau tahu, aku takkan mengampuninya. Ini bukan salahku, aku adalah korban. Dari ketidakjujuran, dari kebohongan, dari tindakan yang munafik dan memuakkan, dari adu domba, dari fitnah, dan kukunci pintu hatiku untuk kemudian kubuang kuncinya dalam-dalam masuk dalam samudra terdalam diriku. Yang entah harus dicari dengan cara apa, aku tak tahu, aku pun tak mau tahu. Biarlah kesakitan itu kusimpan rapat-rapat. Tetapi ternyata dia menggangguku. Membuatku insomnia berhari-hari, bertahun-tahun lamanya. Hanya karena aku memendam benci. Tidak sepantasnya aku diperlakukan begini. Ini bukan salahku. Why me? Why, God? Kenapa Tuhan tega? Bukankah aku selalu berusaha berbuat baik? Bukankah aku selalu menempatkan kepentingan mereka di atasku? Tetapi kenapa lagi-lagi aku yang disalahkan? Kenapa apa yang terbaik yang aku lakukan bagi mereka hanya dipandang sebelah mata? Memang mungkin yang terbaik dariku, belum cukup bagi mereka. I did my best, but I guess my best wasn’t good enough for them. Tapi, mereka adalah orang-orang yang tak pernah puas, yang selalu merongrong aku, merongrong kedamaianku, dan hanya ingin mempersulit diriku. Jadi, buat apa aku mengampuni mereka? Biarlah kunci itu tenggelam dalam samudera kemarahan di hatiku. Kunci yang tak pernah ingin kucari kembali, biarlah duka ini, dendam ini, kemarahan ini, kusimpan sampai mati. Sadis? Iya.. Anggaplah diriku begitu. Apa ada gunanya aku berbaik hati kalau balasannya seperti itu? Air susu dibalas air tuba!

Ah, aku sadar. Aku marah besar. Aku kecewa berat. Dengan banyak hal. Aku seseorang yang perfeksionis, yang ingin segalanya sempurna, harus berhadapan dengan kenyataan bahwa aku sendiri tidak sempurna, terlebih lagi dunia ini tidak sempurna. Dan tiada cara lain kecuali berdamai dengan hatiku, berdamai dengan diriku.

Dengan malas, kucoba menggapai kunci itu, tidak ada… Iya, tidak ada, karena usahaku asal-asalan dan malas-malasan. Sejujurnya, aku masih OGAH. OGAH banget… Ogah berat untuk mengampuni orang-orang yang tak tahu diri itu… Namun, ketika suara itu mendesakku dengan lembut, dan berkata: kalau kamu tidak mengampuni mereka, kamu sendiri tidak akan diampuni akan dosamu. Begitu pula, pengampunan yang terparah yang harus kulakukan adalah mengampuni diriku sendiri. Perfeksionis berharap banyak kepada dirinya, dan sering kali, bila mengalami suatu kesalahan yang sengaja maupun tidak, dia akan menghukum dirinya dengan keras. Capek? Betul… Tapi si perfeksionis memang memilih jalan itu, untuk merasa sedikit lebih baik, karena dia bertanggung jawab atas apa yang tidak beres yang terjadi dalam hidupnya.

Kuncinya masih kucoba untuk meraihnya. Sulit *sigh*…
Sambil diriku terus mendengar bisikan: “ Kalau kau mau membuka pintu hatimu untuk mengampuni orang lain, mengampuni dirimu sendiri, kau akan merasakan banyak perubahan dalam dirimu, dan akan merasakan kedamaian…”

Stop… Stop! Aku jadi bingung… Antara mempertahankan ego-ku buat konsistensi diriku yang selalu kubanggakan.. Sekali benci, tetap benci donkk… Yang KONSISTEN… Masa’ hari ini benci, besok udah OK lagi? Mana mungkinnn?? Atau? Haruskah aku menyerah kepada suara lembut yang terus membisiki aku sepanjang perjalanan hari pertama ini. Apa yang harus kulakukan?

To be continued…

Singapore, 23 July 2009
-fon-

No comments:

Post a Comment