Friday, July 24, 2009

Trip to the Inner Me Part 2

Day two: Ekspektasi

Ketika kusadari bahwa dalam diriku ada dua kekuatan yang tengah bertarung satu sama lain, yang mana suara lembut itu terus mempersuasiku untuk mengampuni sementara ego-ku berkata: “ Mengampuni itu berarti tidak konsisten dengan kebiasaanku, karena koq bisa berubah dari benci menjadi mau berusaha menerima,” kepalaku tambah pusing.

Dan dengan mata yang kubuka sebentar, aku kembali menganalisa, apa sebetulnya yang terjadi. Banyak kali, konflik dengan orang lain itu ternyata bermula dari ekspektasi. Expectation. Banyak kali, aku berharap besar kepada orang lain, terhadap hidup, dan terhadap diriku sendiri. Dan ketika kenyataan berkata lain, itu yang menyebabkanku kecewa dan sulit menerima. Dan akhirnya memasuki relung kebencian dan tiada maaf bagi mereka atau bagi diriku sendiri. Masih dengan mata terbuka, aku hanya berpikir. Kalau ternyata, apa yang terbaik yang aku lakukan bagi orang lain, tidak memenuhi ekspektasinya, lalu membuatnya kecewa karena berpikir aku tidak cukup keras berusaha, kemudian menempatkan kebencian di hatinya terhadap diriku… Bagaimana perasaanku sendiri? Bagaimana kalau aku bertukar posisi dengan mereka yang kubenci? Bagaimana kalau aku adalah bagian dari kebencian dalam sekat kamar terkunci di hati mereka? Tidak enak juga, pikirku… Aku ingin segala sesuatunya baik adanya. Saling damai, saling mengasihi, tapi kalau aku sendiri tak mau (atau tak mampu?) membuka pintu hatiku, apa aku bisa menerima kalau orang lain melakukannya kepadaku???

Ketidakmampuanku mengampuni sebetulnya tidak sekeras ketidak-mauan ku untuk mengampuni. Padahal banyak kali, aku juga melakukan kesalahan, baik kecil ataupun besar. Baik disengaja maupun tidak, terhadap pihak lainnya. I’m not sinless… I’m not clean from sins. Siapa sih gue? Emangnya dewa?

Lalu kupejamkan mata sekali lagi. Kumasuki relung hatiku sekali lagi. Kukatakan kepadanya:

“ Mari, kita buka pintu maaf kita. Mari kita berdamai dengan orang yang menyakiti hati kita.”

Fonny kecil merengut dan cemberut, tetapi dia berkata,

“ Baiklah, aku mau mencoba mengampuni. Lagian, tidak ada gunanya berlama-lama membenci, karena sebetulnya, aku capekkkkk….”

Capek atau lelah, sudah jadi makanan sehari-hari bagi diriku. Mungkin itu juga yang terjadi pada dirimu? Tetapi kusadari juga, bahwa keletihan jiwa lebih berperan terhadap keletihan fisik. Maksudku begini, dalam keletihan fisik, namun hati yang gembira, itu masih dapat ditanggung… Namun, dalam keletihan hati…capek ati… fisik pun cenderung cepat letih. Karena stress, depresi, frustrasi, orang cenderung mudah sakit, mudah capek fisik, dan tidak bahagia.

Fonny kecil menyetujui tindakanku. Tindakan yang mendengarkan suara lembut itu. Suara hatiku yang kuyakini berasal dari kebaikan-Nya.
Dan pelan-pelan, perjalanan menuju ke dasar diriku menjadi menyenangkan dan menentramkan. Setelah sebelumnya yang ada hanyalah kekacauan, kekusut-masaian, kesedihan dan kemarahan semata. Kini, bisa kulihat lagi senyuman, kedamaian, dan kelegaan. Karena aku memilih mengampuni. Terkadang memang sulit melupakan. Orang melankolis bisa mengingat segala kesakitan yang diterimanya dengan sempurna, lengkap dengan titik komanya. Namun, ketika kusadari lagi, apa perlu sih, aku mengumbar sakit hatiku melulu. Iya, aku sakit hati, aku kecewa, aku marah. Tetapi, apa aku tidak pernah membuat orang lain marah, sakit hati, kecewa? Sama saja, kan?

Ketika kukatakan, aku mau mengampuni. Tiba-tiba saja, kunci yang kucari-cari, diulurkan oleh seorang peri bersayap putih ke tanganku. Wajahnya segar dan ceria. Seperti yang kulihat di buku-buku tentang fairies, bidadari, ataupun peri. Koq bisa dia punya kunciku? Entahlah, yang pasti, aku hanya menerimanya dengan tangan terbuka. Seterbuka hatiku yang mau menerima semuanya ini sebagai bagian dari kehidupan dan proses pembelajaran.
Memang, tidak selalu, tidak selamanya hidup itu berjalan seperti kehendakku. Banyak kali, hidup belok kanan, belok kiri, bahkan melakukan putar balik, tanpa sepengetahuanku.
Namun, perjalanan ini membuatku sadar, bahwa terus dan terus… hidup tetap proses pembelajaran.

Day three: another day in paradise.
Where are you now, my friends? Jakarta, Surabaya, Medan? Singapore, Hongkong, Australia, USA? India, Myanmar, Thailand, Vietnam? Di kampung atau di kota?
The trip inside my heart was telling me that… biar pun kita berada di kota tercanggih dengan segala fasilitas terlengkap, kita tetap bisa merasa hidup dalam neraka. Dan sebaliknya, biarpun kita tinggal di semacam kampung di Belitung bak film Laskar Pelangi, kita bisa merasakan surga di sana.
Semua ada di hati. Semua tergantung di hati. Tetapi jangan melulu tergantung perasaan. Capek… Ciri orang yang lebih dewasa adalah mereka yang tidak tergantung, tidak dikontrol oleh perasaan. Namun, memang perasaan tidak boleh dicuekkan…

Kubuka mataku. Kulihat sekelilingku. Di kota mana pun kau berada, teman… Kuharap hari ini adalah surga bagimu. Surga karena kau memilih melakukan kebaikan dan menolak kejahatan. Surga karena kau tersenyum di bibir sekaligus tersenyum dalam hati, karena kau sudah mengampuni. Surga, karena kau berdamai dengan sang Pencipta, sehingga apa pun rencana-Nya, kau tidak marah apalagi memaki-Nya. Surga, karena kau serahkan semua ekspektasi dan kerinduanmu yang terdalam kepada-Nya. Surga karena ada suara Tuhan yang merajai hatimu dan bukan ke-egoisanmu.

Heaven or hell, it’s our choice. And hopefully, today, you’ll experience another day in paradise.
Akan banyak pintu-pintu berkarat yang perlu kau buka. Berkarat karena terlalu lama kau pendam. Ketidakpuasan, kekecewaan, kekuatiran, ketakutan, kesombongan, ke-minder-an, kecemburuan/iri dengki, kemalasan, dan semua pintu kenegatifan yang perlu untuk dibuka, diakui, dan kemudian dibawa menuju kedewasaan cara berpikir dan bertindak.

I’m not perfect. But, I just want to be a better person each day. Dan perjalanan ke dalam diri, the trip to the inner me, is taking me there. One step higher, each and every day.

This journey ends today. Diliputi rasa damai. Pulang dari perjalanan singkat menemukan diriku sendiri. Mengenali diriku lagi.

Entah besok, lusa, seminggu atau tiga bulan lagi, aku akan kembali dengan perjalanan baru buat membuka sekat-sekat terkunci yang mungkin tak mau kuakui sebelumnya, hanya untuk lebih berani menghadapi hidup dengan segala fenomenanya. Another trip to the inner me? Yes, of course! Why not???

*** the end

Singapore, July 24, 2009
-fon-

No comments:

Post a Comment